Rekonsiliasi
James Luhulima ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 28 Mei
2016
Akhir-akhir ini,
persoalan Partai Komunis Indonesia, yang lebih dikenal dengan singkatannya,
PKI, kembali diributkan. Bahkan, tidak sedikit kalangan yang menyebut bahwa
PKI akan bangkit kembali. Semua hiruk-pikuk tentang PKI itu dipicu oleh
diselenggarakannya Simposium 1965 pada tanggal 18-19 April lalu. Simposium
1965 yang mengacu kepada Gerakan 30 September (G30S PKI) disebut-sebut
diselenggarakan karena ingin menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu.
Bahkan juga
disebut-sebut, Simposium 1965 itu juga dimaksudkan untuk meluruskan sejarah.
Pertanyaan yang langsung muncul adalah mungkinkah sejarah diluruskan?
Bukankah sejarah itu merupakan catatan tentang apa yang telah terjadi di masa
lampau, lalu bagaimana meluruskannya pada saat ini, 50 tahun sesudahnya.
Sejarawan Asvi Warman
Adam dalam suatu diskusi di Jakarta menyebutkan, pelurusan sejarah itu
diperlukan untuk memberikan rasa keadilan kepada korban atau pihak-pihak yang
menjadi korban.
Justru di sinilah
persoalan utamanya. Siapa yang dianggap sebagai korban? Menjawab pertanyaan
itu sungguh tidak mudah, apalagi jika kita tidak memilah-milahnya. Pada 1
Oktober 1965, yang menjadi korban adalah enam jenderal dan satu perwira
menengah Angkatan Darat. Dan, pada saat itu, Angkatan Darat di bawah pimpinan
Mayjen Soeharto yakin bahwa pembunuhan itu didalangi oleh PKI.
Itu sebabnya, mulailah
pimpinan dan anggota PKI serta organisasi binaannya diburu oleh Angkatan
Darat. Muncullah korban-korban baru. Tidak berhenti di sana, orang-orang
dekat dan simpatisan Presiden Soekarno pun ikut menjadi sasaran. Mereka ini
adalah korban tambahan, yang biasa disebut kerusakan tambahan dari suatu
peristiwa (collateral damage).
Pengejaran dan penindakan terhadap pemimpin dan anggota PKI serta organisasi
binaannya itu demikian intens sehingga bukan hanya tentara yang memburu
mereka, anggota masyarakat umum pun turut berpartisipasi. Dan, korban-korban
berjatuhan.
Belakangan, muncul
tulisan-tulisan yang menyatakan PKI sesungguhnya tidak berada di balik
peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat. Namun,
tulisan-tulisan itu dianggap analisis (hasil analisa) setelah peristiwa itu
terjadi (post factum). Yang
kebenarannya pun bisa dipertanyakan, mengingat orang-orang yang melakukan
analisa itu tidak berada di tempat itu ketika peristiwa itu terjadi.
Bahwa pada saat
memburu pimpinan dan anggota PKI serta organisasi binaannya, Angkatan Darat
yakin bahwa PKI bersalah, itu tidak dapat dimungkiri. Yang menjadi
pertanyaan, mengapa tidak semua orang yang dianggap bersalah diajukan ke
pengadilan? Banyak yang langsung dipenjara, dibuang ke Pulau Buru, dan bahkan
dibunuh tanpa melalui proses pengadilan.
Pertanyaannya, lalu,
siapa yang harus disalahkan? Jika ingin merunut kembali ke belakang, kini,
sudah sangat sulit dilakukan, terutama karena tokoh-tokoh yang dulu menangani
secara langsung peristiwa G30S sudah tidak ada lagi. Jika tetap memaksa untuk
merunut kembali ke belakang, itu pasti akan mendapat perlawanan keras dari
pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab karena khawatir akan muncul aksi
balas dendam. Keadaan juga dapat berkembang tidak terkendali mengingat pada
saat ini masih banyak kalangan, terutama di Angkatan Darat, yang percaya,
atau bahkan yakin, bahwa G30S didalangi oleh PKI.
Selain itu,
tokoh-tokoh elite yang ada pada saat ini pun, baik sipil maupun militer,
masih anak-anak ketika peristiwa itu terjadi 50 tahun lalu. Kalaupun ada yang
usianya sudah cukup tua, mereka tidak berada di tengah-tengah pusaran ketika
peristiwa itu terjadi pada 1965. Dengan demikian, sulit mendapatkan gambaran
yang terang benderang mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada 50 tahun
lalu dari mereka.
Bukan tidak bersimpati, atau berempati, terhadap
penderitaan yang dialami korban-korban yang diperlakukan tidak adil akibat
peristiwa G30S. Kita tahu penderitaan itu pasti sangat berat. Akan tetapi,
upaya merunut kembali itu, pasti akan memancing reaksi keras dari berbagai
pihak. Dan, hiruk-pikuk tentang kebangkitan kembali PKI yang muncul
akhir-akhir ini sudah jelas memperlihatkan hal itu. Jika tetap dipaksakan
dikhawatirkan keadaan berkembang tidak terkendali dan bukan tidak mungkin
dapat memecah kesatuan bangsa.
Hal itu juga
diingatkan oleh Menteri Pertahanan
Ryamizard Ryacudu. Ia mengatakan, "Jadi, keluarga PKI ini sayang tidak
sama Indonesia? Tak perlulah simpan dendam, harus berpikir
jernih. Kalau dendam, tidak pernah maju-maju, bertambah kompleks masalah
kita."
Model Mandela
Yang diperlukan
Indonesia adalah rekonsiliasi. Dalam kenyataan, rekonsiliasi hanya dapat
terjadi apabila, pertama, yang mengakibatkan timbulnya korban, meminta maaf.
Kedua, yang menjadi korban bersedia memaafkan.
Apabila opsi pertama
yang dipilih, bisa diperkirakan rekonsiliasi akan sangat sulit diperjuangkan
dan jalannya pun akan sangat panjang. Jika opsi kedua yang dipilih,
rekonsiliasi bisa lebih mudah dan waktunya pun lebih cepat. Meskipun untuk
hal itu memerlukan jiwa yang sangat besar dan kesadaran yang sangat dalam
dari para korban untuk (bersedia) memaafkan.
Kita dapat mencontoh
Nelson Mandela dari Afrika Selatan, yang memimpin warga kulit hitam Afsel
untuk memaafkan pemerintah dan warga kulit putih Afsel yang menindas mereka
lebih dari 60 tahun, dengan memberlakukan kebijakan apartheid (pemisahan
berdasarkan warna kulit).
Kebijakan apartheid
itu diberlakukan di Afsel tahun 1930-an dan pada 1961 mulai mendapatkan
perlawanan dari African National Congress (AFC) yang mewakili warga kulit
hitam Afsel. AFC yang dipimpin Nelson Mandela turun ke jalan dan menentang
kebijakan apartheid. Tahun 1962, Mandela dijebloskan ke penjara. Setiap
perjuangan menentang kebijakan apartheid selalu dilawan pemerintahan kulit
putih dengan kekerasan senjata dan tidak sedikit korban jiwa yang berjatuhan.
Ketika, 11 Februari
1990, hampir 30 tahun sesudahnya, Mandela dibebaskan
pemerintahan kulit putih di bawah Presiden Frederik Willem de Klerk yang
berniat mengakhiri kebijakan apartheid, Mandela tidak menyimpan dendam. Ia
malah membujuk warga kulit hitam Afsel untuk memaafkan negara demi
terciptanya Afsel baru, di mana warga kulit hitam dan kulit putih
diperlakukan setara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar