Resistensi Anti Mikroba
Nila F Moeloek ; Menteri Kesehatan
|
KOMPAS, 27 Mei
2016
Resistensi anti
mikroba (anti microbial resistance/ AMR) muncul sebagai salah satu tantangan
kesehatan terbesar dunia. Persoalan ini menjadi isu kesehatan masyarakat dan
mengancam kesehatan masyarakat.
Ancaman terhadap
kesehatan dewasa ini memang bukan saja datang dari penyakit menular dan tidak
menular, melainkan juga datang dari cara kita mengobati penyakit yang
bersumber dari virus atau bakteri.
Resistensi anti
mikroba terjadi ketika mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur, dan
parasit, berubah sehingga kebal anti biotik. Hal ini membuat sakit menjadi
lebih lama, bahkan kematian, dan biaya pengobatan mahal.
Tahun 2014, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan surveilans global mengenai resistensi
anti mikroba dengan menggarisbawahi resistensi anti biotik sebagai ancaman
terhadap kemampuan mengobati infeksi-infeksi umum di masyarakat dan rumah
sakit.
Laporan tersebut juga
menekankan pentingnya aksi segera, terkoordinasi dari semua sektor pemerintah
dan masyarakat, agar karena tanpa aksi demikian dunia akan menuju era pasca
anti biotik dengan infeksi umum dan cedera ringan yang dapat kembali
mematikan.
Kesimpulan itu ditarik
dari temuan WHO di seluruh dunia. Di antaranya adalah peningkatan bertahap
resistensi terhadap obat-obat HIV pada 2012. Terdapat 480.000 kasus baru dari
multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) di beberapa negara di dunia pada
2013. Selain itu, ada peningkatan resistensi terhadap pengobatan Malaria
falciparum di wilayah Mekong Raya.
Peningkatan proporsi
resitensi anti biotik pada bakteri-bakteri yang menyebabkan infeksi umum,
seperti infeksi saluran kemih, pneumonia, dan infeksi aliran darah; hingga
kegagalan pengobatan untuk gonore, juga dilaporkan sejumlah negara.
Kerugian akibat
resistensi anti mikroba tidak semata-mata berkaitan dengan masalah medis,
tetapi juga ekonomi dan biaya sosial yang ditimbulkan.
Tinjauan tentang
resistensi anti mikroba yang diketuai ekonom terkenal Inggris, Jim O’Neill,
menunjukkan bahwa kerugian medis, ekonomi, dan sosial yang ditimbulkan sangat
mencengangkan. Diproyeksikan akan terdapat 300 juta kematian prematur,
hilangnya 100 triliun dollar AS dalam ekonomi global pada 2050, jika tren resistensi
anti mikroba tidak dikendalikan.
Kematian akibat
resistensi anti mikroba juga diproyeksikan menjadi penyebab kematian terbesar
pada 2050, yakni 10 juta jiwa, melampaui penyebab-penyebab kematian utama
lain, seperti kanker dan diabetes.
Saat ini kematian
terkait dengan resistensi anti mikroba sekitar 700.000 jiwa (estimasi
rendah). Tampaklah lonjakan besar dalam kematian akibat resistensi anti
mikroba jika hal ini tidak ditangani secara tepat.
Tantangan penanganan
Penanggulangan AMR
tidak mudah karena bukan hanya melibatkan pihak pasien atau dokter saja,
tetapi merupakan interaksi kompleks dari berbagai faktor mulai dari dokter,
pasien, industri farmasi, kepentingan bisnis, kesadaran masyarakat, hingga
dunia pendidikan secara luas.
Lebih dari itu,
penanganan AMR makin sulit karena anti biotika bukan saja dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit-penyakit infeksi pada manusia, tetapi juga bidang lain,
seperti pertanian dan peternakan. Luasnya cakupan pemakaian anti biotika
dalam produk-produk pertanian dan peternakan memerlukan perhatian khusus dan
ketaatan ketat terhadap peraturan yang ada. Kesadaran akan bahaya residu anti
biotika dari produk peternakan perlu ditingkatkan agar seiring upaya
penanganan AMR.
Kenyataan bahwa
penyebab dan dampak persoalan resistensi anti mikroba melampaui bidang
kesehatan masyarakat memerlukan partisipasi dari semua sektor pemerintah dan
masyarakat untuk bekerja sama menanggulangi tantangan ini.
Bagaimanapun juga,
kita tidak ingin capaian pembangunan nasional yang telah dicapai dengan susah
payah hilang gara-gara kerugian akibat penanganan resistensi anti mikroba
yang salah. Lebih jauh, jangan sampai kapasitas untuk mencapai tujuan
pembangunan global, seperti Sustainable Development Goals (SDGs), direduksi
oleh dampak resistensi anti mikroba.
Peta jalan
Dengan kesadaran akan
pentingnya penanggulangan AMR secara kolektif dan tepat, Indonesia telah
membuat peta jalan 2015-2019, yang mencakup berbagai kebijakan dan strategi
upaya penanggulangan resistensi anti mikroba.
Tujuan utama rencana
strategis di atas adalah: 1) terwujudnya upaya pengendalian resistensi anti
mikroba di fasilitas kesehatan, 2) terwujudnya masyarakat peduli pengendalian
resistensi anti mikroba, yang ditandai dengan peningkatan pemahaman AMR,
penurunan konsumsi anti biotik maupun penjualan anti biotik secara bebas, 3)
terwujudnya inovasi kurikulum pendidikan ihwal pengendalian resistensi anti
mikroba untuk tenaga kesehatan, dan 4) terwujudnya kolaborasi lintas-sektor
di luar Kementerian Kesehatan.
Bentuk-bentuk kerja
sama multisektoral, antara lain mencakup kerja sama dengan Kementerian
Pertanian dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, organisasi
profesi, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Di tingkat global,
Indonesia memainkan peran penting melalui forum Global Health Security Agenda
(GHSA). Aspek-aspek resistensi anti mikroba yang ditargetkan mencakup
manusia, hewan, pertanian, makanan, dan lingkungan. Indonesia menjadi ketua
GHSA 2016 di forum yang beranggotakan 50 negara ini.
Untuk menanggulangi
resistensi anti mikroba dalam kerangka kerja GHSA, setiap negara anggota
diharapkan: a) mengembangkan rencana komprehensif nasional, b) memperkuat
kapasitas surveilans dan laboratorium, dan c) meningkatkan kolaborasi untuk
mendukung tindakan preventif, diagnostik cepat, dan pengobatan alternatif,
serta pengembangan dan pelestarian anti biotik baru.
Mengingat pentingnya
aksi global yang terkoordinasi, kita perlu jeli melihat potensi untuk bekerja
sama secara aktif dengan negara lain dan masyarakat internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar