Rabu, 27 September 2017

Membaca Ulang Film Pengkhianatan G-30-S PKI

Membaca Ulang Film Pengkhianatan G-30-S PKI
                                                                             

                                                           
Baiklah diterima bahwa film Pengkhianatan G-30S-PKI suatu karya dengan kandungan estetika. Suatu karya kreatif, khususnya seni, tidak ada salahnya dibaca, didengar, ditonton berulang-ulang, jika memang muatannya mengesankan.

Karya seni akan mengasah rasa dan memperkaya batin. Namun, jika harus digiring rame-rame oleh kekuasaan di luar diri, tentulah tak elok untuk nalar dan kecerdasan pribadi. Interaksi dengan karya seni hendaklah bersifat otentik, antara daya magnet dari karya dan  persepsi  dari penikmatnya.

Bagi generasi milenial yang lahir dan besar di era pasca-Orde Baru, baik diungkapkan sedikit latar belakang. Film Pengkhianatan G-30S-PKI diproduksi tahun 1984 oleh perusahaan film negara, disutradarai oleh sineas terkemuka Arifin C Noer. Film ini berdurasi tiga setengah jam lebih, diputar secara masif di bioskop-bioskop dengan penonton yang dikerahkan dari sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Kemudian, secara berkala setiap akhir September, diputar di media pemerintah: TVRI.

Film ideologis

Film itu dibuat setelah konsolidasi kekuasaan Orde Baru optimal, dengan keberhasilan meniadakan setiap oposisi. Mulai dari gerakan intelektual kampus dekade 1970-an sampai kekuatan parpol Islam awal 1980-an, telah dimatikan. Sejak itu kekuasaan dibangun atas dasar ideologi Orde Baru.

Sebenarnya seperti apa ideologi Orde Baru? Ada dua, yaitu pertama, yang bersifat manifes dijabarkan resmi, secara struktural disosialisasikan dengan Ketetapan MPR No II/1978 berupa penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). P4 adalah penjabaran lima sila Pancasila ke dalam 36 butir pedoman  untuk sikap dan perilaku sosial. Ini boleh kita sebut ideologi terbuka. Kedua, yaitu ideologi tertutup, berlangsung dalam struktur tersembunyi  (hidden structure) yang dimunculkan melalui pembunuhan misterius, intimidasi dengan memarjinalkan warga sebagai di luar sistem, dan semacamnya.

Film Pengkhianatan G-30S-PKI tentunya untuk mengisi alam pikiran warga dengan ideologi terbuka, tetapi di balik itu juga terkandung ideologi tertutup. Film ini berusaha menggambarkan peranan militer dalam melindungi Pancasila sebagai dasar negara RI dari ancaman komunisme melalui perebutan kekuasaan oleh PKI. Bahaya PKI adalah kekerasan yang dilakukan terhadap sesama warga ataupun kekejaman terhadap aparat TNI di sejumlah daerah. Puncaknya adalah penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat. Penggambaran ini diwujudkan melalui sejumlah visualisasi serta ujaran dialog pelaku  dan komentar oleh narator.

Struktur film ini kuat, dengan menggabungkan dokumenter dan teatrikal, karena itu tidak membosankan menontonnya. Jika diringkas, film ini menyangkut latar sosial dari keberadaan PKI; keadaan Soekarno (Bung Karno) yang sakit-sakitan sehingga perlu perawatan dokter-dokter dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT); gerakan PKI; penculikan dan pembunuhan jenderal; serta peranan Soeharto dalam penumpasan PKI. Film ini oleh Badan Sensor Film dinyatakan layak untuk remaja. Namun, dramatisasi adegan, terutama mengenai kekejaman, agaknya tidak membayangkan bahwa film akan ditonton oleh murid-murid SD yang digiring oleh guru-gurunya ke gedung bioskop.

Komunikasi disfungsional

Kreator film ini mulai dari sutradara, pengarah seni, sampai pemain tentulah berniat tulus dalam mendukung pembuatan film ini. Semua bersetuju bahwa kekejaman seperti yang dilakukan oleh PKI harus dihindari. Rakyat Indonesia jangan sampai dikuasai oleh komunisme. Tak pelak, begitu intensi dan tujuan yang menggerakkan para pekerja kreatif di film ini. Dari sini efek diharapkan terwujud.

Namun, tidak setiap intensi dan tujuan komunikasi akan fungsional. Dalam propaganda memang bersifat linier, efek bisa dicapai sesuai tujuan. Efek propaganda akan pudar setelah kekuasaan pendukung runtuh dan kebenaran muncul. Apakah efek  Pengkhianatan G-30S-PKI sudah pudar sehingga ancaman komunisme di depan mata sehingga generasi milenial akan terkontaminasi?

Tunggu dulu. Pengkhianatan G-30S-PKI tidak sepenuhnya film propaganda. Film itu dikreasi dengan dramaturgi yang kuat, penggarapan estetis yang tinggi, dan pemeranan yang bagus. Ada intensi estetika, tidak semata-mata mendukung propaganda. Bahkan, Arifin C Noer menyediakan berbagai celah untuk mengintip kebenaran. Walau kebenaran itu harus dilihat melalui teks terbalik atau biasa disebut "baca di antara baris" (read between the lines), mencari wacana yang tersembunyi.

Kekejaman PKI di ruang sosial sebelum 1965 ditunjukkan melalui dan ilustrasi dari peragaan intimidasi terhadap kelompok agama dan kliping koran-koran menyangkut aksi sepihak petani yang berani melakukan kekerasan terhadap aparat TNI. Peragaan dan kliping koran sebagai pendahuluan wacana, untuk diikuti tentang rencana PKI yang digambarkan melalui pertemuan tokoh-tokoh partai itu. Untuk generasi muda sekarang tentu nama pimpinan partai itu sudah kehilangan konteks, karena itu tidak ada maknanya sebagai rapat untuk gerakan besar. Kesannya hanya sekumpulan orang yang duduk di kelas sempit. Yang menonjol hanya adegan laki-laki merokok tiada henti.

Setelah itu, kekejaman menjelang peristiwa G-30-S, digambarkan melalui sejumlah adegan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Seluruh adegan sadisme dinarasikan sebagai tindakan PKI. Namun, secara visual, sama sekali tak ada pertaliannya dengan PKI. Bahkan, secara auditif, dalam dialog pelaku dan narasi, digambarkan sejumlah militer. Dan, seluruh adegan demi adegan penculikan dilakukan oleh militer. Suara terompet yang biasa terdengar di barak tentara, suara derap sepatu, semuanya mengindikasikan suasana militer. Begitu juga dalam adegan penyiksaan di Lubang Buaya, beberapa kali dalam ambilan dekat dan medium kamera menggambarkan pelaku militer atau setidak-tidaknya paramiliter.

Kemudian, boleh difokuskan pada sekuen persiapan penculikan, ada adegan tentara menerima dan meneliti beberapa foto jenderal yang akan diculik. Secara bersengaja (dengan close-up), diambil wajah-wajah yang akan diculik. Tidak ada foto Soeharto. Luar biasa bukan?

Karena itu, kalau Pengkhianatan G-30S-PKI dimaksudkan untuk mendukung ideologi militerisme di Indonesia, dengan menggambarkan peran militer dalam menumpas komunisme,  agaknya dengan cara lain film ini boleh dibaca dengan cara lain. Betapa berbahayanya jika militer disusupi oleh ideologi radikal sehingga seorang prajurit berani menghardik atasan, untuk kemudian membunuhnya. Itu secara gamblang digambarkan film Pengkhianatan G-30S-PKI. Mari menonton ulang.



Sumber :  Ashadi Siregar (Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme), KOMPAS 25 September 2017

Minggu, 24 September 2017

Isu PKI : Ambil Apinya, Jangan Abunya

Isu PKI : Ambil Apinya, Jangan Abunya
                                                                             

                                                           
Pemberontakan G30S/PKI atau Gerakan Tigapuluh September PKI menurut istilah Jenderal Soeharto, atau Gestok atau Gerakan Satu Oktober 1965 dalam istilah Sukarno, merupakan salah satu peristiwa politik paling dramatis dan kelam bagi perjalanan bangsa Indonesia. Dramaturgi tersebut dimulai dengan skenario gerakan politik pembunuhan para perwira tinggi TNI pada waktu itu, dan menimbulkan turbulensi politik dari berbagai lapisan masyarakat. Pemberontakan politik dan bersenjata itu pun akhirnya memakan korban digulingkannya Sukarno dari jabatan presiden, dan diikuti dengan pelaksanaan proyek "desukarnoisasi".

Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code menulis ungkapan "history is always writen by the winners"; sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Gestok 1965 telah menjadi peristiwa kelam bagi bangsa Indonesia karena sejak saat itu narasi politik tentang bagaimana sesungguhnya latar belakang dan peristiwa terjadinya pemberontakan tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965 itu tidak dapat diketahui dengan jernih dan objektif oleh Bangsa Indonesia.

Penulisan dan kesimpulan peristiwa tersebut kemudian hanya menjadi monopoli kekuasaan Orde Baru sebagai Sang Pemenang. Narasi tunggal sejarah Bangsa Indonesia tentang Peristiwa 1965 oleh versi pemenang tersebut kemudian ditulis menjadi narasi resmi atas nama negara, mulai dari penulisan buku-buku sejarah hingga pembuatan film Pemberontakan G30S/PKI sejak 1984.

Sejak saat itu, setiap orang atau kelompok dan organisasi yang ingin mengetahui apalagi meluruskan tentang bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi, dan siapa saja pihak yang terlibat dalam Peristiwa G30S/PKI atau Gestok tersebut akan dikenakan stigma sebagai PKI, komunis atau pendukung PKI. Tidak jarang bagi tokoh-tokoh yang mencoba membahas apalagi berusaha meluruskan objektivitas Peristiwa 1965 tersebut berakhir dengan nasib yang tragis.

Saat ini, rezim Orde Baru sebagai Sang Pemenang peristiwa pemberontakan politik tahun 1965 tersebut telah ditumbangkan rakyat melalui Gerakan Reformasi tahun 1998, dengan epilog ditetapkannya mantan Presiden Soeharto —sang Pahlawan Orde Baru— sebagai tersangka korupsi melalui TAP MPR Nomor XI/MPR/1998. Haruskah sejarah kelam bangsa Indonesia tahun 1965 itu mau terus kita propagandakan menurut versi rezim yang korup dan sudah tidak berlaku lagi?

Bung Karno sebagai Korban

Kalau kita lihat sisi sejarah yang lain di luar narasi versi Orde Baru, maka kita dapat melihat pandangan dan sikap Presiden Sukarno pada waktu itu. Menurut Sukarno, peristiwa Gestok (Bung Karno menyebut Gestok karena peristiwa pembunuhan para jenderal dan perwira TNI itu terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965) dalam suratnya kepada Pimpinan MPRS RI tanggal 10 Januari 1967 yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara menjelaskan bahwa peristiwa G30S adalah suatu "complete ovverompeling" atau penyerbuan yang lengkap/sempurna bagi dirinya.

Berdasarkan penyelidikannya, Bung Karno menjelaskan bahwa Peristiwa G30S ditimbulkan oleh pertemuan tiga sebab, yaitu: (a) keblingernya pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme), (c) adanya oknum-oknum yang tidak benar. Oleh karenanya Presiden Sukarno pun mengutuk Peristiwa Gestok 1965 tersebut dan menyatakan yang bersalah harus dihukum. Sukarno kemudian membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili pelaku-pelaku pemberontakan tersebut.

Sukarno juga menolak permintaan MPRS, harus bertanggung jawab sendiri atas peristiwa Gestok tersebut. Dalam suratnya Sukarno pun menanyakan, siapa yang bertanggung jawab atas usaha pembunuhan dirinya dalam penggranatan di Cikini, pemberondongan dari pesawat udara oleh Maukar, pencegatan bersenjata di gedung Stanvac dan di Cisalak. Sukarno meminta "kebenaran dan keadilan" atas peristiwa-peristiwa tersebut.

Teori Sukarno yang menyebutkan bahwa Peristiwa Gestok adalah "penyerbuan yang lengkap/sempurna" terhadap dirinya kemudian menjadi kenyataan. Pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara yang diminta dan disampaikan kepada Pimpinan MPRS RI untuk mempertanggungjawabkan Peristiwa G30S/PKI pada waktu itu ditolak. Setelah Pimpinan dan anggota MPRS diganti dengan orang-orang yang anti-Sukarno, yaitu antara lain Ketua MPRS Chairul Saleh digantikan Jenderal TNI AD A.H. Nasution dan Wakil Ketua MPRS Ali Sastriamidojo diganti Osa Maliki, kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasan Sukarno.

Tragisnya, dalam bagian menimbang/konsideran Tap MPRS tersebut dituliskan, berdasarkan laporan Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Jenderal Soeharto) dituduhkan bahwa Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Berdasarkan tuduhan itulah akhirnya MPRS mencabut kekuasaan Sukarno. Dalam pasal 6 Tap MPRS XXXIII/1967 itu terdapat ketentuan bahwa Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden berkewajiban untuk melakukan proses peradilan atas tuduhan Bung Karno terlibat dalam Peristiwa G30S/PKI.

Namun, sampai Bung Karno meninggal dunia pada 21 Juni 1970 tidak pernah ada proses peradilan apapun, apalagi sebuah peradilan yang fair atas tuduhan keji yang dialamatkan kepadanya. Akhirnya Sang Proklamator Bangsa Indonesia itu meninggal dunia dengan membawa beban yang amat berat bagi diri dan keluarganya sebagai tertuduh pengkhianat kepada bangsa dan negara yang ia ikut susah payah mendirikannya, melalui pemberontakan G30S/PKI.

Setelah 45 tahun berlalu, tuduhan keji Bung Karno melakukan pengkhianatan karena mendukung Peristiwa G30S/PKI itu pun diralat oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada 7 November 2012 melalui Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 83/TK/Tahun 2012, Bung Karno mendapatkan status kenegaraan sebagai Pahlawan Nasional. Pemberian gelar Pahlawan Nasional tersebut memiliki implikasi hukum gugurnya tuduhan Bung Karno pernah melakukan pengkhianatan kepada bangsa dan negara sebagaimana tertuang dalam Tap MPRS Nomor XXXIII/1967 tersebut.

Dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan diatur ketentuan bahwa syarat seorang tokoh bangsa Indonesia dapat memperoleh status gelar Pahlawan Nasional adalah apabila semasa hidupnya (antara lain) tidak pernah dihukum apalagi berkhianat kepada bangsa dan negara.

Meskipun demikian, Bung Karno kini sudah tiada. Beliau telah pergi meninggalkan kita semua sejak 47 tahun lalu. Keluarga besar Bung Karno dan para pengikut-pengikutnya pun sudah mengikhlaskan kepergiannya dan peristiwa kelam yang dialami Bung Karno dan bangsa Indonesia. Saya yakin demi persatuan bangsa Indonesia, kita semua sudah memaafkan kejahatan politik kepada seorang Pendiri Bangsa, namun tidak untuk kita lupakan agar kita semua dapat memetik hikmahnya. Forgiving but not forgetting.

Dengan dimensi narasi sejarah yang demikian itu, apakah masih relevan lagi jika saat ini Bangsa Indonesia masih ingin memprogandakan kembali narasi sejarah G30S/PKI hanya mengikuti cerita yang dibuat oleh rezim Orde Baru melalui pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI? Selain rezim tersebut sudah tiada dan dijatuhkan rakyat dengan membawa stigma sebagai rezim koruptor sebagaimana TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, juga narasi film tersebut bukanlah fakta yang objektif dan komprehensif tentang sejarah bangsa Indonesia pada 1965-1967.

Film tersebut secara konten mengandung unsur kekerasan dan hanya mempertontonkan perpecahan di tubuh TNI dan pertikaian politik para pendahulu bangsa yang sangat merusak nation and character building generasi muda bangsa Indonesia. Jika kita konsisten untuk menjaga persatuan bangsa dengan sungguh-sungguh, marilah kita akhiri melanjutkan sisa-sisa konflik para pendahulu bangsa kita. Masih banyak hal-hal positif yang telah diperbuat para pendahulu bangsa Indonesia yang dapat kita jadikan suri tauladan bagi generasi bangsa berikutnya. "Marilah Kita Warisi Api Perjuangan Para Pendahulu Bangsa Bukan Mewarisi Abunya."

Membicarakan kebangkitan PKI dan komunisme dalam sistem negara hukum Pancasila adalah sesuatu yang tidak ada gunanya. Selain tiap-tiap bangsa wajib ber-Tuhan menurut falsafah sila Ketuhanan dalam Pancasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945, PKI juga sudah mati permanen di Indonesia. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Sebagai Partai Terlarang di Indonesia sudah final karena berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002 telah dinyatakan masih berlaku.

Sementara, lembaga MPR RI pasca perubahan UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada 1999-2002 sudah tidak lagi memiliki kewenangan apapun untuk membuat ketetapan MPR yang bersifat mengatur keluar (regeling). Dengan demikian tidak ada lagi celah hukum apapun bagi bangkitnya PKI di Indonesia karena TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 sudah tidak dapat lagi cabut oleh siapapun dan lembaga negara mana pun termasuk oleh MPR sendiri.

Sumber :  Ahmad Basarah (Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR), DETIKNEWS 22 September 2017




Komen :

Yang saya suka dari tulisan ini adalah, pertama, bagian yang menyampaikan bahwa Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden RI oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat SEMENTARA) karena dinyatakan terlibat dalam G30S/PKI, walaupun secara resmi hal tersebut BELUM diputuskan oleh pengadilan. 

Sebagaimana kita ketahui, dalam kondisi krisis politik..jangankan lembaga peradilan, bahkan lembaga tertinggi MPRS pun dengan mudah diintervensi dengan cara mengganti “man behind the gun”-nya).

Hal lain yang menarik adalah tuduhan bahwa Bung Karno selaku Presiden RI terlibat dalam gerakan kudeta yang dilakukan oleh G30S/PKI (yang bermaksud merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno?). Tuduhan ini tentu memerlukan penjelasan yang cukup “rumit” tentang keterlibatan Bung Karno agar bisa dimengerti oleh masyarakat awam dan dapat diterima oleh akal sehat. 

Kedua, yang saya suka dalam tulisan ini adalah..ketika Presiden SBY memutuskan Bung Karno sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2012 yang konon sekaligus juga menggugurkan tuduhan Bung Karno sebagai pengkhianat bangsa dan negara sebagaimana tersebut dalam Tap MPRS Nomor XXXIII/1967.

Tentu ketika mempertimbangkan Bung Karno untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Presiden SBY memperhatikan dengan seksama peran penting Bung Karno sebagai proklamator dan juga jasa-jasa lainnya yang telah diberikan kepada bangsa dan negara. Bahwa Bung Karno (dan juga para tokoh founding fathers kita lainnya) mempunyai kelemahan dan juga kekurangan di sana-sini dalam menjalankan roda pemerintahannya tentu hal tersebut telah kita ketahui bersama. Namun itu sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk melupakan perjuangan dan jasa-jasanya pada bangsa dan negara. Termasuk ketika, dalam sebuah pertarungan politik, Presiden Soekarno yang dikenal dengan “Go to Hell with Your Aid”-nya dinyatakan sebagai “pengkhianat bangsa dan negara”.

Hal lain yang mungkin menjadi perhatian publik adalah mengapa penetapan Soekarno sebagai Pahhlawan Nasional tidak dilakukan pada saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang notabene adalah anak kandung Soekarno. 

Mengenai pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI versi Orde Baru, mengapa tidak? Kalau kita takut anak-anak generasi milenial nantinya akan mendapatkan informasi yang bias tentang Sejarah Peristiwa 1965, mengapa tidak kita buat saja film baru tentang Sejarah Politik Indonesia 1965-1967 yang berbasis riset sejarah yang kredibel. Barangkali bisa dipertimbangkan untuk diadakan lomba pembuatan film tersebut. Pertanyaan saya, tidak mungkinkah di era reformasi-digital ini kita bisa membuat film tentang “Peristiwa 1965” yang lebih baik dan kredibel dari film Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat di era Orde Baru? Sebuah tantangan yang mudah-mudahan tidak gagal dilewati hanya karena tekanan aksi demo massa dari kelompok Pendukung Film Satu Versi.    

Kamis, 21 September 2017

Film Pengkhianatan G30S/PKI : Docudrama atau Fakta?

Film Pengkhianatan G30S/PKI :
Docudrama atau Fakta?
 Kisah Seorang Anak SMP di Tahun 1984 dan Film Pengkhianatan G30S/PKI 
                                                                             

                                                           
MUNGKIN betul kata sejarawan John Roosa dalam salah satu karya suntingannya: untuk Indonesia, 1965 adalah tahun yang tak pernah berakhir.

Hampir setiap tahun, menjelang akhir September dan awal Oktober, selalu tak luput dari pembahasan fakta, tulisan, buku atau kesaksian baru tentang kejadian di sekitar 30 September 1965 sampai 1 Oktober 1965.

Tetapi tahun ini sangat berbeda. Pembahasan ramai di berita sepanjang minggu ini, tentu lebih kencang lagi di lini massa media sosial adalah tentang rencana pemutaran kembali film legendaris Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI yang lebih sering disingkat judulnya sebagai Pengkhianatan G30S/ PKI.

Film produksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1984 ini diakui para pembuatnya sebagai docudrama, drama dokumenter, bukan dokumenter.

Sebagian besar adegan dibuat dalam rekaan ulang, walaupun ada juga beberapa bagian (sangat sedikit) berupa dokumentasi.

Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer, diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp 800 juta kala itu. Mungkin 10 kali lipat dalam nilai mata uang saat ini.

Selesai pada 1984 dan kemudian diputar secara terus-menerus di bioskop nasional dan TVRI selama kurang lebih 13 tahun. Mungkin inilah film nasional dengan jumlah penonton terbanyak sampai saat ini.

Ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya, 21 Mei 1998, mulai banyak pihak mengkritisi film ini. Film yang sejak semula memang tujuannya sebagai film propaganda di era pemerintahannya.

Ini diperkuat oleh hasil riset beberapa sejarawan yang baru terungkap setelah Presiden Soeharto berhenti.

Dari rujukan-rujukan yang saya peroleh, setidaknya ada tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI.

Mereka adalah almarhum Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono. Majalah Tempo menulis, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu mengatakan, ia pernah ditelepon Marsekal Udara Saleh Basarah, Kepala Staf Angkatan Udara KSAU (1973-1977) sekitar bulan Juni-Juli 1998.

"Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata Juwono ketika diwawancarai 28 September 2012.

Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting. Supaya informasi yang diperoleh siswa didik lebih berimbang.

Ada pun Menteri Penerangan saat itu Letjend (Purn.) TNI Yunus Yosfiah, mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.

"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti ditulis dalam harian Kompas, 24 September 1998.

Nonton bareng dan diputar kembali

Minggu lalu, 15 September 2017, awalnya ada pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan: masyarakat dan generasi muda saat ini perlu tahu sejarah G30S/ PKI.

“Tujuannya, agar masyarakat dan generasi muda mengetahui bahwa pernah ada gerakan kudeta," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya, Jumat (15/9/2017) yang dimuat Kompas.com.

Ia melanjutkan, karenanya, ia tak masalah jika film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI diputar kembali di layar-layar kaca televisi nasional.

Izin Mendagri kemudian membuat Panglima TNI Jederal Gatot Nurmantyo melanjutkannya dengan seruan serta perintah menonton bareng film ini tepat di malam 30 September 2017 nanti.

Menonton film ini pada 1984

Ramai pemberitaan akan diputarnya kembali film Penghianatan G30S/PKI membuat saya kembali mengingat apa yang saya alami ketika film ini baru saja diproduksi dan wajib ditonton seluruh siswa sekolah umum se-Indonesia.

Saya beruntung menjadi salah satu dari jutaan anak dan pelajar Indonesia yang dikenai wajib nonton bareng (nobar) di bioskop. Sehingga saya bisa menceritakannya kembali pengalaman 33 tahun lalu yang ternyata relevan sampai sekarang.

Tak lama setelah film itu rilis, saya menjalani program wajib-tonton film Pengkhianatan G-30-S/PKI di sebuah bioskop umum di Rawamangun, Jakarta Timur. Kami duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama.

Bioskop itu berkapasitas 200-an orang. Dalam suasana gelap-pekat, tanpa penjelasan lebih dulu dari guru-guru, kami semua dibuat tercekat atas suguhan di layar.

Beberapa teman saya menangis. Bagaimana tidak menangis? Bukan film horor, tetapi film yang berdurasi sekitar 3 jam itu menyuguhkan scene mengerikan seperti pembacokan, penyiksaan, dan darah.

Awalnya, saya menilai kami menangis dan histeris karena kami masih kecil. Tetapi ternyata, sampai usia kuliah hanya momen itulah yang saya (dan mungkin teman-teman saya saat itu) ingat tentang kejadian bersejarah Tragedi 1965.

Setelah itu setiap tahun film itu diputar di televisi. Untungnya Ayah dan Ibu saya cukup bijak. Selalu ada acara lain bila malam itu tiba.

Atau, kalau pun menonton, hanya sambil lalu. Semakin dewasa, saya lalu semakin yakin. Film itu adalah propaganda anti-PKI.

Penyebabnya, karena di zaman Orde Baru sangat sering cuplikan film itu menyertai berita tentang peristiwa bersejarah itu, tanpa ada keterangan tambahan bahwa ini cuplikan film.

Mana yang benar, dan mana yang cuma adegan film, campur aduk. Sehingga komentar saya dalam diskusi dengan orangtua ketika itu adalah, “Apakah betul itu kejadian sebenarnya?”
Dan Ayah saya yang mungkin juga tak berminat membahasnya, hanya menjawab pendek, “Kurang lebih, tapi ada yang tidak benar.”

Di masa itu pengetahuan saya (juga hampir semua teman) tentang sejarah kelam ini memang hanya dari buku Sejarah Nasional Indonesia, buku pegangan siswa SMP sampai SMA, karya Prof Nugroho Notosusanto dan film itu.

Menemukan fakta

Di masa dewasa dan baru lulus dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, saya seorang wartawan. Saya lalu bersinggungan lagi cukup intens dengan tema ini ketika majalah berita tempat saya bekerja, majalah D&R, menulis liputan utama selama empat edisi berturut-turut pada bulan Oktober 1998.

Saya mewawancarai  dr. Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.

Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.

Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan, “Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”

Saya ingat, saya lalu bertanya pada Prof Arief, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata? “Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru,” demikian Prof Arief.

Wartawan dan penulis kawakan Julius Pour mengutip lengkap wawancara saya di majalah D&R itu. Satu lagi, pada edisi Oktober 1998 itu saya juga mewawancarai Ibu Mitzi Farre-Tendean, kakak kandung almarhum Kapten Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution yang menjadi korban.

Pierre anak tengah dan satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara. Ibu Mitzi memiliki dokumentasi cukup lengkap surat kabar di masa itu yang menjadi topik wawancara kami.

Salah satunya ketika kami membahas berita di koran Angkatan Bersenjata tentang almarhum adiknya yang disiksa dan dilecehkan seksual oleh para anggota Gerwani. Ia mengunjungi sendiri para tertuduh di tahanan, dan dari bincang-bincang dengan para perempuan itu, dia sendiri ragu mereka pelakunya.

“Para perempuan itu diambil dari daerah Senen dan dipaksa mengaku mereka melakukan penyiksaan kepada Pierre,” kata Ibu Mitzi dalam wawancara itu. Wawancara lengkap saya ini diterbitkan di majalah D&R tahun 1999.

Jadi, cukuplah sudah kesimpulan saya dan cukup alasan buat saya berpendapat: film itu bukan fakta, terutama pada bagian drama penyiksaan para korban.

Bagian paling utama dari film itu, yang begitu membekas sampai meninggalkan trauma pada anak-anak yang menontonnya adalah drama penyiksaan di Lubang Buaya.

Padahal, dengan sedih saya mengingat, bagian itulah yang paling traumatis, mencekam dan membekas di benak anak-anak. Tanpa mereka tahu konteks yang melatarbelakangi peristiwa ini terjadi.

Pada tulisan saya selanjutnya, saya akan menulis bagaimana trauma itu bahkan sampai dialami oleh putera bungsu Nani Nurrachman Sutojo, Nano, yang kala menonton film itu baru berusia 8 tahun.

Ibu Nani adalah putri Jenderal Sutojo Siswomihardjo, salah satu pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa subuh 1 Oktober 1965 itu.

Nano mengeluarkan, “What is communist, Ma? Did they kill Eyang Tojo?”

Pertanyaan yang membuat ibunya terperangah dan tidak mampu menjawabnya. Ia hanya meminta waktu. Sampai Nano memahami penjelasannya.

Buku Nani Nurrachman Sutojo dan Jenderal Pranoto Reksosamodra

Pada tahun 2011 dan 2013 keterlibatan saya sebagai penyunting-penulis dua buah buku terkait Tragedi 1965, semakin menambah wawasan pikir saya tentang tragedi nasional ini, Memoar Ibu Nani Nurrachman Sutojo dan Memoar Jenderal Pranoto Reksosamodra.

Kedua buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas dalam waktu yang tidak terlalu jauh. 2013 dan 2014. Ketiga pengalaman menulis dengan tema 1965, tetapi dalam tiga periode waktu yang berbeda ini membuat saya sadar, betapa pentingnya menulis sejarah dari tuturan lisan, tuturan pelakunya. Bukan berasal dari pendapat satu pihak.

Tuturan Ibu Nani dan almarhum Jenderal Pranoto dalam bukunya, juga almarhum Prof Arief Budianto. Ibu Mitzi-Farre Tendean dan berbagai sumber tuturan para korban, saksi dan pelaku dalam Tragedi 1965 yang saat ini sangat mudah kita peroleh, seharusnya mendapat tempat cukup signifikan dalam buku-buku sejarah.

Seperti dikatakan Menteri Juwono Sudarsono ketika melarang pemutaran film ini pada tahun 1998: harus ada tambahan muatan baru dalam buku-buku sejarah sehingga penulisan ataupun karya film tentang masa itu lebih berimbang.

Sayang, imbauan beliau sampai saat ini tidak tercapai. Saya percaya, seruan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo adalah demi kebaikan bangsa, tetapi alangkah luar biasa baiknya bila seruan menonton film ini disertai juga seruan membaca sumber-sumber sebanyak mungkin.

Sehingga, misalnya, ketika ada pertanyaan soal bagian mana dalam film itu yang docudrama (rekaan atau adegan yang diambil dari kejadian nyata) dan bagian mana yang betul-betul dokumenter, tidak menjawabnya dengan: Saya tidak tahu. Atau: Saya tidak memikirkannya.

Sekali lagi, ini cuma saran seorang penulis muda, yang lahir jauh setelah Tragedi 1965 terjadi, tetapi sangat tertarik ikut serta mempelajari dan menulis sejarah. Saya adalah bagian dari “suara yang tidak mengalami, tetapi ingin mendengar, mencari tahu dan menuliskannya”.


Sumber :  Imelda Bachtiar (Wartawan), Kompas.com 20 September 2017