Demokrasi Transisional
Rahadi T Wiratama ;
Peneliti LP3ES dan Redaktur Jurnal Prisma
|
KOMPAS, 26 Mei
2016
Proses demokratisasi
setelah kejatuhan rezim otoriter umumnya ditandai apa yang dinamakan sebagai
periode transisi. Hilangnya sifat-sifat transisional secara berangsur
merupakan pertanda bahwa proses demokratisasi yang berlangsung telah memasuki
tahap konsolidasi.
Demokrasi yang
terkonsolidasi, oleh karena itu, mengandaikan adanya sebuah sistem politik
stabil, koheren, dan dapat dijadikan acuan tepercaya bagi semua pihak bagi
proses pengambilan keputusan strategis. Pertanyaannya, setelah melewati 18
tahun kejatuhan Orde Baru, apakah proses demokratisasi di Indonesia dewasa
ini telah dapat dinyatakan terkonsolidasi?
Involusi politik
Sampai batas tertentu,
transisi memang mengandaikan adanya semacam eksperimentasi politik untuk
menemukan satu sistem politik yang lebih stabil dan diakui sebagai ”kerangka
bermain” yang disepakati bersama. Di negara-negara yang mengalami proses
transisi demokrasi seusai rezim otoriter, seperti di Amerika Latin,
konsolidasi demokrasi umumnya dicapai setelah sedikitnya dua kali pemilu (Guillermo O’Donnell, dkk, 1986).
Dibandingkan era Orde
Baru, sistem politik Orde Reformasi jauh lebih memadai. Selain terdapat
pemilu legislatif dan pemilu presiden reguler, termasuk pilkada, hak-hak
sipil dan politik warga negara relatif lebih memperoleh jaminan.
Dengan demikian, Orde
Reformasi telah mencatat banyak kemajuan berarti di bidang politik. Meski
demikian, seiring beberapa kemajuan tersebut, sistem demokrasi yang kita
bangun masih kerap terinterupsi oleh berbagai problem politik yang tergolong
mendasar sifatnya.
Jika persoalan
rekonsiliasi nasional dalam rangka menyelesaikan konflik-konflik masa lalu
dipandang sebagai modal dasar bagi pemantapan sistem demokrasi pasca Orde
Baru, kita belum banyak mencatat perubahan berarti dalam soal ini.
Masih cukup segar
dalam ingatan kita ketika DPR hasil Pemilu 2014 menganulir pilkada langsung.
Sekalipun akhirnya pilkada langsung kembali diberlakukan, peristiwa ini
menunjukkan bahwa proses demokratisasi di Tanah Air masih sulit ditebak
arahnya. Artinya, berbagai kemungkinan semacam itu bisa saja kembali terjadi
tanpa sebuah kepastian.
Demikian pula
menyangkut perdebatan atas penetapan parliamentary
threshold yang selalu muncul menjelang pemilu legislatif. Apakah terdapat
jaminan bahwa soal ini tidak akan kembali muncul menjelang pemilu legislatif
di tahun 2019?
Ilustrasi di atas
sekadar contoh kasus yang menggambarkan bahwa masyarakat politik gagal
menciptakan kerangka dasar rule of the
game yang dapat diterima semua pihak. Masih terdapat perbedaancara
pandang dalam memaknai tentang apa seharusnya dijadikan sebagai dasar sistem
politik nasional.
Apakah ini dapat
dinamakan sebagai dinamika politik? Jawabnya boleh jadi, ”ya”. Namun,
”dinamika” yang terjadi saat ini lebih pada persoalan untuk menemukan rule of the game, bukan dinamika
berdasarkan rule of the game yang
stabil dan dapat dijadikan acuan oleh semua pihak.
Masa transisi yang
justru memberikan ruang bagi masyarakat politik untuk menghasilkan sistem
politik stabil dan kredibel tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat politik
secara maksimal. Di sinilah letak persoalannya.
Transisi tak berujung
Sejak memasuki era reformasi
pada 1998, sistem politik yang terbangun belum dapat sepenuhnya menghilangkan
ciri-ciri transisional. Oleh karena itu, demokrasi di era reformasi ini
sesungguhnya belum memasuki fase konsolidasi.
Dampak buruk dari
transisi yang berkepanjangan adalah bahwa masyarakat akan semakin kehilangan
kepercayaan pada sistem politik yang seharusnya berfungsi sebagai ”mesin”
yang dapat mengolah harapan mereka jadi kenyataan. Kondisi semacam ini jelas
akan selalu menimbulkan ketidakpastian politik.
Ironisnya, kita pun
lalu menjadi terbiasa dengan sistem transisional semacam ini. Kita sepertinya
telanjur menyatu dengan abnormalitas. Hampir tanpa disadari, abnormalitas
telah menjadi semacam habitus dalam kehidupan politik di negeri ini.
Ketidakpastian telanjur dianggap sebagai ”yang normal”.
Delapan belas tahun
kita hidup dalam suasana transisional. sistem demokrasi di era reformasi ini
boleh jadi bukan kebablasan, sebagaimana yang sering dipahami secara umum,
melainkan gagal menghilangkan sifat-sifat transisionalnya.
Dari kewenangan yang
dimilikinya, masyarakat politik sesungguhnya masih mempunyai peluang untuk
memantapkan desain politik nasional. Oleh karena itu, soal ini menjadi agenda
politik yang harus diselesaikan, setidak-tidaknya sebelum Pemilu Legislatif
dan Pemilu Presiden 2019. Kalaupun akhirnya negeri ini harus menempuh masa
transisi demokrasi dalam waktu dua dasawarsa, hal tersebut tentu masih jauh
lebih baik daripada tidak sama sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar