Sabtu, 31 Juli 2021

 

Wawancara Imajiner dengan Christianto Wibisono

Astrid Wibisono ;  Anak Christianto Wibisono, Managing Director

Pusat Data Bisnis Indonesia

WATYUTINK, 29 Juli 2021

 

 

                                                           

Dari balcony Kempinski Residence, Bundaran HI Jakarta di mana Christianto Wibisono biasa berdialog dengan Bung Karno saya Astrid Wibisono memulai wawancara perdana ini:

 

Astrid Wibisono (AW): Hi Dad, it’s only been a week since you left. How you doin’ up there?

 

Christianto Wibisono Alm. (CW): Hi Tid, ya papi masih lihat-lihat di sini sambil memantau situasi Jakarta. Baru seminggu sudah heboh donasi 2T Akidi Tio.

 

AW: Betul. Papi up to date amat, sudah tau aja. By the way, siapa sih itu? Banyak yang nanya.

 

CW: Ya memang misterius itu, namanya belum pernah muncul dalam daftar Konglomerat atau pembayar pajak terbesar. Yang lebih penting justru bukan siapa dia, tapi bagaimana dana 2T itu sukses disalurkan tepat sasaran. Harus ada sinergi terintegrasi antar Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat untuk penanggulangan COVID terutama di area epicenter pandemi.

 

Mungkin bisa dibentuk Trust Nasional Pemberdayaan Dana Covid (TNDC) di mana seluruh dana yang terkumpulkan baik dari donasi maupun lainnya, dimanage secara keseluruhan dengan anggaran khusus, bukan hanya untuk mengatasi COVID sementara waktu tapi di masa depan berdwifungsi sebagai crisis management tool sekaligus capital expenditure.

 

Jadi tidak setiap kali si A sumbang sekian untuk spending X, si B sumbang lagi sekian untuk spending Y, tapi semua jalan sendiri-sendiri dan akhirnya dana habis untuk expenses dan tidak ada preventive & lucrative long term healthcare masterplan. Kita harus bentuk formula antisipasi krisis, COVID ini kan pertama beredar sudah dari akhir 2019, jangan tunggu darurat baru kelabakan.

 

AW: Kita sampai langsung turun kelas lho Dad, di World Bank sekarang Indonesia jadi negara penghasilan menengah bawah. Gimana cara ini untuk upgrade?

 

CW: Ya justru itu kalau mau reposisi harus all-out. Selain TNDC kita harus jeli memilah anggaran, memilih mana yang harus diprioritaskan tidak hanya jangka pendek. Papi kan memang kalau bicara selalu long term. Kita harus sedia amunisi budget untuk Minimum Essential Health Protection, jangan hanya koleksi “Alutsista” (apalagi yang obsolete). Sebagian anggaran alutsista ini baiknya dialihkan untuk riset rekayasa rejuvenasi biomedical engineering. Sudah waktunya dunia beranjak dari weapons of mass destruction ke weapons of mass protection.

 

Perhatikan data budget spending negara-negara di dunia untuk military vs. healthcare di WIBK terakhir yang ditulis Senin 12 Juli, 4 hari sebelum masuk ICU: Indonesia dan India ada di peringkat bottom 2 untuk healthcare spending. Lantas keduanya jadi Top 2 epicenter pandemi. COVID tidak pandang bulu, menyerang dari buruh sampai presiden dimanapun. Jadi hanya bisa dilawan dengan full access terhadap layanan dan fasilitas kesehatan yang juga tidak pandang bulu.

 

Negara harus membangun imunitas secara sistematis untuk mencegah bahaya “badai Cytokine” yang fatal, apalagi dengan penyakit komorbid Indonesia yang sudah eksis dari jaman Belanda yaitu kecenderungan “desintegratie” dan “politisering”, yang berdampingan menciptakan systemic collapse.

 

AW: OK Dad let’s hope this country can rise sooner than later. Terus-terus gimana you di sana sudah ketemu siapa aja? Wawancara dengan Bung Karno sudah ga imajiner lagi donk? Tatap muka sekarang.

 

CW: Hush! Data warga alam baka milik Tuhan pribadi, di bawah kedaulatan-Nya. Tidak bisa papi sharing, biar di surga juga tetap ada Data Privacy Act. Untungnya disini ga ada hacker, jadi aman. Imajiner you teruskan lah. Jangan keseringan, nanti orang bosan. Toh harus kumpulkan data dulu dan riset sebelum nulis. Jangan asal bunyi. Your argument must be supported by facts. Pertahankan kredibilitas papi & PDBI.

 

Oh ya Tid, bentar lagi HUT ke-76 RI. Jangan lupa titipan kado papi hibah koleksi 2000+ buku pribadi yang waktu itu kita sudah atur dgn Gubernur DKI. Kita bukan konglomerat, ga mungkin kita saingan nyumbang trilyunan. But knowledge is our eternal asset, yang harus terus dishare dan diviralkan.

 

AW: Iya Dad pasti. Waktu acara Ibadah Pelepasan 24 Juli lalu juga sudah disebutkan oleh Gubernur bahwa tgl 17 Agustus 2021 nanti akan dilaksanakan serah terima Hibah Buku Christianto Wibisono untuk Perpustakaan DKI & Nasional, hopefully sebagian bisa ditempatkan di Taman Ismail Marzuki yang baru.

 

Berhubung you tidak akan hadir untuk acara itu dan membedah buku terakhir Kencan Dinasti Menteng (KDM) yang semula direncanakan, your editor Yohanes Sulaiman akan membantu mengulas konten. I myself akan menyampaikan kesan & kenangan dari beberapa tokoh yang seminggu ini berbaik hati menulis obituari yaitu: Bpk. Denny JA, Didik Rachbini, Jaya Suprana, Hendrawan Supratikno, Dahlan Iskan, dan Ibu Mari Pangestu sebagai tanda apresiasi kepada mereka dan seluruh pihak yang sudah memberi bantuan moral & menguatkan keluarga kita.

 

CW: Ya bagus. Papi sudah lihat Zoom Ibadah Pelepasan dan happy melihat Anies-Ahok dalam 1 screen. Dulu cita2 papi Indonesia bisa menjadi juru damai Israel & Arab-Palestina. Cita-cita yang selalu diketawain orang termasuk you. Tapi papi yakin Indonesia suatu saat bisa mencapai top rank bukan dalam kategori keterpurukan. Kalau kita pernah menjadi top epicenter pandemi, pada saat yang Tuhan tentukan nanti Indonesia akan bangkit menjadi top epicenter keragaman, toleransi, dan meritokrasi.

 

OK Tid sudah papi mau makan cemilan favorite dulu, French Fries sama kue basahan. Dulu kan papi batuk-batuk terus jadi sama mami ga boleh makan gorengan dan manis-manis. Sekarang ga ada yang larang hehehe.

 

You take care Tid & Jas. Take care of Mom, your kids and husbands. Remember my last words, “Semoga manusia Indonesia terus diteguhkan dengan hidup yang berawal dari nafas, bertumbuh dalam iman, dan berbuah sebagai roti kehidupan (berkat) bagi sesamanya.” Breath, Faith, Bread.

AW: Thanks Dad. Enjoy your French Fries. Till we converse again. ●

 

 

Mengakhiri Kesombongan dan Prasangka

Xavier Quentin Pranata ;  Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa

DETIKNEWS, 30 Juli 2021

 

 

                                                           

Saat kuliah English Literature oleh Barbara Hopwood, dosen kami, saya dianjurkan untuk membaca novel Pride and Prejudice karya Jane Austin. Novel klasik yang sudah dicetak lebih dari 20 juta eksemplar dan masuk "most-loved books" ini belum lama ini diputar di Netflix. Novel yang terbit pada 1813 ini tetap apik dan ciamik diikuti di zaman sekarang. Bukankah kisah cinta senantiasa up to date?

 

Antara Kesombongan dan Prasangka

 

Kisahnya sebenarnya hanya seputar kehidupan orang-orang kaya di Inggris pada tahun 1800-an. Keluarga kaya dengan lima anak gadis ini mencari menantu kaya agar keturunan mereka bisa sejahtera. Di sinilah konflik terjadi. Elizabeth Bennet, putra kedua keluarga Bennet, tokoh sentral dalam novel ini dikenal sebagai gadis yang bukan saja menarik penampilannya melainkan juga jenaka dan cerdas. Dia ketemu lawan yang tangguh dalam diri Fitzwilliam Darcy pengusaha kaya pemilik perkebunan yang sangat luas dengan penghasilan selangit.

 

Elizabeth, tokoh protagonis, awalnya alergi terhadap Darcy karena sikapnya yang angkuh. Meskipun demikian, setelah mengenalnya lebih jauh, ternyata Darcy tidak seperti yang dia duga. Keangkuhannya bisa jadi dipengaruhi oleh penghasilannya yang jika dihitung uang sekarang membuat orang tercengang. Para pelayannya bahkan menganggap tuannya sebagai orang yang baik hati dan sopan. Kisahnya berakhir dengan happy ending. Kelima gadis itu mendapatkan jodoh masing-masing.

 

Meskipun Jane Austin hanya ingin menggambarkan kehidupan masyarakat Inggris pada zaman itu, khususnya orang-orang kaya yang bisa saja terkesan snob dan "semau gue", tampaknya kisah ini juga bisa kita pakai untuk belajar saling memahami sesama anak bangsa. Bukankah saat ini kesombongan dan prasangka terus-menerus diumbar di media sosial sehingga terjadi riak kecil sampai benturan keras yang jika tidak segera diatasi membuat perahu Indonesia bukan saja bocor, melainkan tenggelam? Failed nation, kata Ibas, bisa terjadi jika kita sendiri yang menggenapinya dengan terus-menerus membuat kegaduhan.

 

Kesombongan

 

Orang-orang yang hidup serba berkecukupan seringkali tanpa sadar menyakiti hati orang lain baik lewat ucapan, sikap maupun tindakan. Di sebuah sekolah internasional, seusai liburan, para murid kelas atas itu dengan enteng berkata, "Rasanya bosan pergi ke Eropa melulu. Itu sebabnya kemarin saya minta Papa untuk berlibur ke Maldives."

 

Teman-temannya yang sesama anak orang kaya memakluminya, bahkan menambahkan, "Saya juga bosan ke Amerika. Papa selalu mengajak kami ke sana sih. Tahun ini saya minta berlibur ke Islandia." Apa yang mereka tidak ketahui bahwa di kelasnya ada anak-anak orang biasa yang bisa masuk ke sekolah elit itu karena beasiswa. Jangankan keluar negeri, untuk mencukupi makan mereka sehari-hari saja ortunya harus membanting tulang.

 

Snobisme semacam itu yang tanpa sadar --atau dengan kesadaran penuh untuk konten YouTube-nya-- memamerkan pola hidup mewah di media sosialnya. Mungkin karena terlalu sibuk dengan dunia glamour-nya sehingga lupa bahwa masih banyak saudaranya yang terpaksa harus menutup lapaknya karena PPKM darurat. Work from home bagi mereka yang punya tabungan berjibun dan penghasilan tetap setiap bulan masih bisa ditanggung, namun bagaimana mereka yang kerja hari ini untuk makan hari ini atau istilah kerennya "from hand to mouth"?

 

Saya baca di media mainstream seorang pemilik warung kopi menyegel tempat usahanya sendiri dengan tulisan seperti ini: "Kami bukan kriminal Kami hanya menjual kopi. Tapi karena peraturan yang selalu menyudutkan kami bahkan berpatroli setiap hari dan akhirnya tempat ini kami segel sendiri..." Pengumuman selanjutnya ditulis dengan huruf besar dengan tinta merah: "SEMOGA KARYAWAN KAMI TIDAK MENJADI KRIMINAL SETELAH DIRUMAHKAN."

 

Ada dua poin yang terbaca jelas. Pertama, mereka merasa keberatan kalau warung kopinya ditutup. Kedua, ada semacam peringatan bahwa orang yang lapar bisa melakukan apa pun, termasuk tindakan kriminal. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Christine Lee, MD, seorang gastroenterologist: "There is a physiological reason why some people get angry when they're hungry."

 

Hal inilah yang seharusnya sudah menjadi pertimbangan yang matang bagi para pembuat peraturan agar pelaksanaannya di lapangan bisa fleksibel dengan pendekatan yang humanis. Polisi memborong nasi jinggo sebelum meminta pedagang untuk menutup warugnya di Gianyar, Bali patut diapresiasi ketimbang menyemprotkan air ke warung makan dan warung kopi.

 

Kesombongan lain yang patut disayangkan adalah penghinaan lewat media sosial. Misalnya, mengolok-olok netizen yang dianggap tidak bisa berbahasa asing, bahkan diminta belajar dari anak kecil. Cuitan semacam ini jelas membuat warganet marah dan justru mengungkit kembali bahwa yang bersangkutan juga bukan orang yang tanpa cela. Bisa jadi karena kejengkelan mereka tidak hanya menjadi hater bagi yang bersangkutan, melainkan menyasar ke orang-orang terdekatnya baik garis lurus ke atas --ortu-- maupun garis lurus ke bawah --anaknya.

 

Jane Austin dalam Pride and Prejudice menulis dengan sangat apiknya: "For what do we live, but to make sport for our neighbors, and laugh at them in our turn?" Apa sih untungnya memamerkan Ferrari, Maserati dan Lamborghini di garasi sementara 'tetangga' susah mencari sesuap nasi di warung sendiri?

 

Prasangka

 

Kata ini sungguh berbahaya. Tanpa sadar, atau dengan kesadaran penuh, bisa jadi kita seperti yang diungkapkan Jane Austin, "I have not the pleasure of understanding you." Senang tidak senang, suka tidak suka, mau tidak mau, "no man is an island," ujar John Done, sebagai makhluk sosial kita perlu berusaha memahami orang lain. Bukankah Stephen R. Covey pun menganjurkan kita untuk "seek first to understand, then to be understood"?

 

Alangkah konyolnya kita jika berharap, bahkan memaksakan kehendak, agar 'kamu' memahami 'aku' tanpa mencoba memahami 'kamu' lebih dulu ketimbang menuntut 'kamu memahami aku'. Pemahaman bersama membuat polarisasi antara 'kamu' dan 'aku' bertransformasi menjadi 'kita'.

 

Pemerintahan Jokowi, sejak awal pandemi, terkesan menutup-nutupi wabah Covid-19 dan bahayanya. Alasannya sangat masuk akal, yaitu agar rakyat tidak panik dan melakukan hal yang justru merugikan. Misalnya saja, panic buying, sehingga terjadi mark up gila-gilaan untuk produk obat, vitamin, dan tabung oksigen. Karena barang-barang yang dicari --misalnya saja masker pada awal pandemi-- langka, atau bahkan habis, ada orang-orang yang justru menimbun untuk menaikkan harga jualnya.

 

Ada lagi yang 'memanfaatkan' kepanikan sekaligus ketidaktahuan masyarakat terhadap produk sehingga ada spekulan yang menyebarkan kabar yang half truth, sehingga Bear Brand pun diborong orang. Seorang netizen menanggapi rush terhadap "susu beruang" ini dengan membuat meme yang lucu: "Jadi khasiat susu ini membunuh si virus, caranya adalah dengan membuat virus tersebut bingung, ini susu sapi, mereknya beruang iklannya naga, karena bingung virusnya stres lalu imun si virus turun jadinya itu virus bisa dikalahkan oleh antibodi...gini toh cara kerjanya."

 

Saya percaya ulah iseng warganet itu justru yang bisa meningkatkan imun kita. Anak saya yang terbiasa minum susu merek ini pun ikut tergelak saat melihat meme ini. Bukannya hati yang gembira adalah obat yang mujarab?

 

Kembali ke kesan bahwa pemerintah menutup-nutupi kasus ini. Alasannya, sekali lagi, jika warga panik, Indonesia bisa mengalami masa paceklik. Sebaliknya, saat pemerintah melakukan PSBB sampai PPKM darurat --istilah yang gonta-ganti berkali-kali-- yang tujuannya jelas untuk menghambat penyebaran virus, banyak orang yang menentang. Dasarnya apa? Bisa jadi karena memang terdampak keras usahanya. Bisa juga karena prasangka. Apalagi saat diumumkan bahwa tempat ibadah harus ditutup selama PPKM darurat. Pemerintah dianggap menekan umat beragama.

 

Sudah Saatnya Meruntuhkan Kesombongan dan Menghilangkan Prasangka

 

Caranya? Bersama-sama melakukan tobat nasional. Bukan yang satu diminta tobat, sedangkan yang lain tetap kumat. Teguran Nabi Yesaya ini perlu kita renungkan: "Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu."

 

Pertama, bertobat dari kesombongan. Mari sama-sama merendahkan diri dengan duduk bersama mencari solusi. Bukankah sinergi jauh lebih elok ketimbang adu gengsi? Negara lain yang bahu membahu antara legislatif, eksekutif dan yudikatif plus rakyat sudah lebih dulu bangkit. Mereka yang sudah beradu cepat melakukan tamasya di ruang angkasa, masak kita masih terus saja berkutat di kolam angsa?

 

Kedua, bertobat dari prasangka. Banyak hal yang kita yakini benar ternyata tidak seperti itu. Ingat apa yang Goebbels katakan, "Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran." Mari sudahi narasi basi yang membuat mati nurani.

 

Ketiga, tinggal diam dan tinggal tenang. Orang yang grusa-grusu seringkali justru membuat kekisruhan. Orang yang cepat marah justru jadi orang yang kalah. "Angry people are not always wise," ujar Jane Austin dalam Pride and Prudice. Bukankah 'anger' (amarah) yang diumbar justru menjadi 'danger' (bahaya) yang bukan saja mencelakakan orang lain, tetapi juga diri sendiri.

 

Mari belajar untuk merasa puas dengan apa yang kita miliki. Seperti kata Jane Austin, "I must learn to be content with being happier than I deserve."

 

 

Urgensi Penajaman Strategi Komunikasi di Masa PPKM Level 4

Jannus TH Siahaan ;  Praktisi Komunikasi dan Sosiolog

DETIKNEWS, 30 Juli 2021

 

 

                                                           

Setelah ditemukan kasus varian baru virus Corona, Delta, di Indonesia, eskalasi kasus positif COVID-19 di berbagai daerah Jawa-Bali nampaknya tidak dapat terbendung lagi oleh Pemerintah. Sebagai varian baru, virus Corona varian Delta memiliki tingkat penularan yang relatif lebih tinggi atau mudah menyebar dari satu penderita kepada orang lain. Akibatnya, lonjakan kasus COVID varian Delta membuat banyak fasilitas kesehatan nasional ambruk karena keterbatasan daya tampung, minimnya peralatan kesehatan seperti tabung oksigen, dan jumlah tenaga kesehatan yang kurang memadai.

 

Sayangnya, penerapan PPKM Level 4 Jawa-Bali ternyata tidak secara signifikan dan efektif mampu menekan mobilitas masyarakat karena masih banyak yang abai terhadap bahaya penyebaran varian Delta yang sudah banyak merenggut korban jiwa. Salah satu sebab utamanya tentu faktor ekonomi. Sebagian masyarakat terpaksa tetap bekerja di luar rumah dan tetap melakukan aktivitas agar tetap bisa menafkahi keluarga, sementara pemerintah belum bisa memberikan jaminan pendapatan masyarakat yang hilang kalau mereka dipaksa harus tetap di rumah.

 

Faktor lainnya, pemerintah masih lemah dalam hal strategi komunikasi. Pemerintah perlu melakukan perubahan strategi komunikasi publik dengan mulai menerapkan pendekatan framing of risk (Teori Prospek). Asumsinya adalah bahwa kerugian dan keuntungan dinilai secara berbeda, dengan demikian individu dapat membuat keputusan berdasarkan keuntungan yang dirasakan ketimbang kerugian yang akan dialami.

 

Dalam konteks pandemik, strategi komunikasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah ialah membangun kewaspadaan masyarakat mengenai bahaya COVID-19 yang mengancam hilangnya nyawa orang-orang terkasih. Dengan kata lain, gaya komunikasi yang perlu dibangun ialah komunikasi darurat kelas satu bahwa Indonesia sedang berada dalam bahaya wabah. Pemerintah dituntut untuk mampu meyakinkan publik bahwa (1) mencegah bahaya kesehatan dari COVID-19 jauh lebih penting ketimbang urusan ekonomi dan (2) menerima akibat terjangkit COVID-19, terutama varian Delta, sebanding dengan "menunggu meninggal".

 

Jadi pesan yang perlu disebarkan ialah pesan-pesan dalam konteks framing of risk, yakni pesan-pesan yang lebih menitikberatkan pada risiko yang akan ditimbulkan oleh COVID-19 dan risiko dari aktivitas-aktivitas yang mempercepat penularan COVID-19. Artinya, persuasi sudah tidak maksimal lagi hasilnya, sehingga perlu ditingkatkan ke level pesan dengan tendensi "menakuti".

 

Contoh analogis yang paling mudahnya dipahami adalah peraturan pelarangan merokok yang dikomunikasikan dengan gambar penderita kanker paru-paru pada setiap kemasan rokok. Dalam tataran teknis, tentu pengemasan pesan perlu dilakukan secara variatif, strategis, kreatif, dan menyasar seluruh target lapisan masyarakat agar secara inklusif masyarakat paham atas bahaya COVID-19.

 

Karena gagalnya penyampaian pesan tersebut, pemerintah pun gagal memaksimalisasi penerapan kebijakan PPKM level 4. Masyarakat masih menganggap bahaya dari penyebaran COVID-19 tidak lebih penting ketimbang bahaya jika tidak keluar rumah untuk beraktivitas. Persoalan kurang maksimalnya penyampaian pesannya ini terkesan sangat sederhana, tapi justru sebenarnya perannya sangat krusial dalam mengubah perilaku publik terhadap COVID-19. Dengan kata lain, jika pesan tak sampai kepada publik, maka pesan tidak akan diinternalisasi dengan baik dan akan gagal digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan opsi perilaku.

 

Melihat kondisi krisis kesehatan yang semakin parah dan berbahaya akibat pertambahan angka kasus yang kian agresif, ditambah dengan semakin banyaknya negara yang melarang warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia, selain menutup pintu izin masuk bagi WNI, maka saat ini sudah seharusnya pemerintah menyebarkan informasi dengan pesan yang tepat dan melalui semua lini dan channel penyebaran informasi yang ada. Pesan KOMINFO RI sebagai institusi pemegang otoritas penuh dalam urusan informasi publik dalam memberikan informasi yang gamblang, jelas, dan tentunya dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali harus dimaksimalkan lagi.

 

Dengan fakta yang berkembang sampai hari ini, tentu kesimpulan sementara kita bahwa Kominfo RI masih belum mampu membangun pemahaman masyarakat mengenai bahaya COVID-19 di seluruh level lapisan masyarakat. Pemerintah dan Kominfo RI sangat perlu memperlakukan situasi darurat, sehingga semua celah dan upaya penyebaran pesan bahaya bisa dipakai. Karena, menyelamatkan nyawa warga negara adalah tugas penting dan utama pemerintah.

 

Saat ini, strategi komunikasi yang dapat dilakukan dengan mempertajam framing tentang bahaya dan risiko yang diakibatkan oleh COVID-19 saat ini ialah, pertama memaksimalkan seluruh channel komunikasi yang ada (stasiun TV, radio, internet, media sosial, dan berbagai saluran) yang bisa terakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

 

Kedua, penggunaan suara dari Opinion Leader dalam mengkomunikasikan pesan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk penggunaan konten-konten lokal yang disuarakan oleh tokoh-tokoh lokal dan tokoh komunitas. Dalam hal ini, adaptasi kebijaksanaan lokal dan suara-suara dari komunitas lokal perlu disasar, karena sangat mumpuni dalam meningkatkan kapatuhan anggota komunitas pada tata kelola mitigasi COVID-19.

 

Nihilnya kasus COVID-19 di masyarakat Badui Banten bukan saja karena Badui adalah masyarakat tertutup, tapi juga karena peran tokoh dan pemimpin lokal di Badui sangat menjadi kunci bagi masyarakatnya dalam mematuhi aturan main pencegahan penyebaran kasus COVID-19, selain adanya ramuan-ramuan tradisional Badui yang berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh dan selalu dikonsumsi oleh masyarakat di sana tentunya. Apa yang terjadi di Badui ini bisa diadopsi oleh pemerintah dalam mendekati tokoh-tokoh budaya dan komunitas untuk menjadi agen penyebaran informasi bahaya COVID-19 di tingkat akar rumput.

 

Dan ketiga, pemerintah perlu memaksimalisasi peran akademisi, perguruan tinggi dan institusi pendidikan lainnya dalam menyebarkan komunikasi bahaya COVID-19. Jejaring dunia pendidikan akan memiliki pengaruh cukup signifikan dalam mengajak seluruh pihak, baik masyarakat umum maupun swasta untuk bahu membahu menggaungkan bahaya COVID-19 sebagai tanggung jawab sosialnya.

 

Pandangan-pandangan akademis dari pihak kampus dan lembaga pendidikan akan menjadi counter narative yang positif untuk mematahkan pandangan-pandangan konspiratif terkait COVID-19 yang masif beredar di tengah masyarakat. Terbukti, pesan-pesan konspiratif yang kontradiktif terhadap pesan pemerintah cukup berperan besar dalam mengurangi rasa waswas publik terhadap bahaya COVID-19. Sehingga dengan memaksimalkan peran lembaga pendidikan dari pusat sampai ke daerah-daerah akan memvalidasi dan mengamplifikasi pesan-pesan darurat dari pemerintah di satu sisi, tapi juga bisa menegasi informasi-informasi yang berlawanan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh pemerintah. Semoga! ●

 

 

Pandemi dan Pendisiplinan Masyarakat

Rosdiansyah ;  Dosen Ilmu Komunikasi pada UPN Surabaya, Peneliti Budaya Massa

DETIKNEWS, 30 Juli 2021

 

 

                                                           

Entah sampai kapan pandemi ini berlangsung. Tak ada yang berani memastikan sebab varian baru COVID-19 bermunculan dengan berbagai karakternya yang harus diwaspadai siapapun. Kesiagaan tampak dari mereka yang peka situasi melalui cara menjaga diri lebih baik.

 

Hari-hari penuh kekhawatiran, berita duka nyaris tiap hari menghiasi grup-grup chat Whatsapp. Silih berganti, seakan tiada henti. Satu grup memberitahu kabar duka, tak berselang lama grup berbeda mengumumkan belasan anggota grup melakukan isolasi mandiri (isoman).

 

Foto-foto warga berjubel di lorong-lorong rumah sakit atau pusat-pusat layanan kesehatan terunggah beruntun dalam grup-grup Whatsapp. Para warga grup tak mungkin mengabaikan foto-foto itu, dan mereka melihat seksama orang-orang sakit antri layanan kesehatan. Memantik rasa iba, rasa kasihan sekaligus menerbitkan kehati-hatian bagi siapapun dalam situasi pandemi ini.

 

Tak bisa dipungkiri, rumah sakit menjadi pusat perhatian masyarakat saat ini. Siapapun sangat mengapresiasi kesibukan luar biasa para tenaga kesehatan (nakes). Observasi dan evaluasi perkembangan tingkat kesehatan pasien menjadi rutinitas sehari-hari para nakes ini. Dengan sabar dan telaten, mereka mencermati para pasien dari hari ke hari.

 

Pemeriksaan fisik, riwayat penyakit lalu terapi menjadi bagian penting dalam 'the body of medical knowledge' (bagian pengetahuan medis atau kedokteran). Adalah Michel Foucault, sang filsuf Prancis, yang telah mengupas pelajaran-pelajaran penting sekaligus menarik dari kehadiran rumah sakit dalam sejarah umat manusia.

 

Pada tahun 1963, Foucault menerbitkan buku bertajuk Naissance de la Clinique yang satu dekade kemudian baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul The Birth of Clinic (1973). Sembari merujuk ke kamus medis karya Vicq d'Azyr, Foucault menulis, keorganisasian sistem pendidikan di dalam rumah sakit merupakan solusi universal bagi masalah-masalah dari pelatihan medis.

 

Reformasi besar dalam sejarah kesehatan manusia terjadi ketika rumah sakit berhasil membawa pandangan rasional. Sebelum rumah sakit hadir, cara-cara pengobatan pasien sangat tergantung pada mantra dan mistik. Itulah yang terjadi dalam kuil-kuil pengobatan, termasuk di dalam kuil Aesculapius, sang dewa pengobatan. Begitu rumah sakit hadir, perubahan besar terjadi. Pengamatan seksama serta evaluasi rasional menjadi bagian penting.

 

Termasuk evaluasi hasil pengujian dari laboratorium klinik. Dari situlah kemudian diagnosis ditegakkan. Artinya, kebenaran medis ditemukan. Menyingkap sumber penyakit. Lalu, mengobati pasien agar kesehatannya pulih. Foucault secara cermat menceritakan perjalanan sejarah terbentuknya metode penyembuhan dari penyakit itu ketika rumah sakit militer Saint-Eloi di Montpellier dipimpin Baumes, seorang mantan guru besar universitas setempat, pada tahun 1794.

 

Di bawah Baumes, rumah sakit bukan hanya tempat untuk penyembuhan orang sakit dari penyakit. Melainkan, juga menjadi tempat untuk menerapkan sistem pengajaran. Berbagai observasi serta evaluasi dikembangkan sehingga keseharian rumah sakit pun berubah. Para pengamat berpengalaman mengajar mereka yang magang untuk mengetahui liku-liku penyakit serta tahap pengobatan. Rumah sakit berubah fungsi menjadi semacam sekolah atau pelatihan. Bahasa dogmatis menjadi tahap penting dari transmisi kebenaran. Tak lagi diujarkan, melainkan melalui tatapan.

 

Menatap adalah mengobservasi sekaligus mengevaluasi apa yang ada di depan mata. Melihat seksama, rinci serta cermat bagaimana gejala penyakit timbul lalu menentukan tahap pengobatan. Bagi Foucault, inilah sintaksis baru. Kebenaran tak lagi semata diujarkan layaknya di ruang perkuliahan, sebab praktek serta eksplorasi pengamatan langsung menjadi lebih signifikan.

 

Mendisiplinkan Diri

 

Tindakan preventif jelas juga penting daripada sekadar mengandalkan tindakan kuratif. Seringkali kegagalan dalam tindakan preventif (pencegahan) terjadi bukan karena hambatan penjelasan medis untuk disebar ke masyarakat. Melainkan, kegagalan itu berpangkal dari sulitnya mendisiplinkan masyarakat.

 

Kedisplinan berkaitan pada pengawasan. Jika kedisplinan disadari dengan baik lalu meningkat, maka pengawasan bisa dikendorkan. Sebaliknya, jika kedisiplinan menurun, maka otomatis pengawasan perlu ditingkatkan. Soal dinamika kedisiplinan ini juga telah dikupas Foucault dalam berbagai karyanya.

 

Di antaranya, buku Security, Territory, Population (2007), Foucault menyinggung peran dan fungsi regulator dalam mengawasi pergerakan orang serta barang. Pendisiplinan masyarakat erat kaitannya pada kiprah regulator sebagai arsitek ruang disiplin. Dalam situasi darurat, regulator akan menunjukkan diri sebagai penguasa yang memiliki kedaulatan teritorial.

 

Sejarah umat manusia telah menunjukkan itu, ketika suatu wilayah dipandang berada dalam marabahaya, maka otomatis penguasa wilayah bertindak cepat. Virus berwujud supermikro yang menyebar cepat menulari manusia merupakan marabahaya itu saat ini. Boleh jadi, cara salah satunya mengetahui kehadiran virus adalah melalui gejala tubuh terinfeksi seperti demam.

 

Walaupun Foucault bukan dokter, namun penjelasannya tentang krisis tubuh akibat demam dalam kitabnya The Birth of the Clinic sangat fantastik. Demam merupakan mekanisme pertahanan tubuh menghadapi benda asing yang masuk. Ketika wabah virus meluas, maka dibutuhkan kedisiplinan menjaga kesehatan tubuh.

 

Termasuk dalam soal isolasi mandiri yang kini sedang jadi "tren". Mengisolasi diri memang tidak enak apalagi bagi orang gampang jenuh. Namun, itulah cara mendisiplinkan diri agar tubuh tetap sehat serta bugar. ●

 

 

Vaksin dan Kerja Kemanusiaan

Ferdiansah ;  Peneliti ISAIs UIN Sunan Kalijaga

DETIKNEWS, 30 Juli 2021

 

 

                                                           

Di tengah pro-kontra vaksin berbayar beberapa waktu yang lalu, saat ini kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kontribusi Prof. Dame Sarah Gilbert, sang penemu vaksin Oxford/AstraZeneca yang enggan mengambil hak paten atas vaksinnya yang sebenarnya bisa membuatnya menjadi seorang yang kaya raya.

 

Melalui pelepasan royalti atas penemuan ilmiah tersebut, maka jutaan manusia di dunia akan mendapatkan vaksin AstraZeneca dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Sebuah kontribusi kemanusiaan yang luar biasa di tengah banyak kekhawatiran negara akibat pandemi, khususnya negara berpendapatan rendah (low-income countries).

 

Pada hari pertama perhelatan tenis bergengsi di Wimbledon dibuka (18/7), Gilbert yang saat itu tengah menonton mendapatkan standing ovation dari publik Inggris atas peran kemanusiaannya.

 

Gilbert adalah profesor dalam bidang vaksinologi di Universitas Oxford. Ia bersama timnya, yakni Marco Polo Peralta, Rebecca Makinson, dan Indra Rudiansyah (mahasiswa Ph.D asal Indonesia) dengan proses riset yang cukup panjang dan begitu melelahkan di laboratorium vaksin Jenner Institute. Akhirnya mereka berhasil menemukan dan menguji vaksin AstraZeneca hanya dalam kurun waktu 11 bulan saja. Salah satu rekor penemuan vaksin tercepat di dunia.

 

Namun meskipun masuk dalam rekor penemuan tercepat vaksin, menurut pengakuan Gilbert dalam NewScientist (10/7), "…I spent a huge amount of time during those increasingly strange weeks attempting to secure funding. We decided we just had to get on with it, spending money we did not yet have…" Menurutnya pengujian riset vaksin AstraZeneca bisa dilakukan lebih cepat lagi, jika seandainya Gilbert tidak terhambat persoalan funding riset.

 

Polemik Vaksin

 

Dulu, saat vaksin AstraZeneca mulai digunakan di Indonesia sempat terjadi perdebatan teologis di kalangan agamawan. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan fatwa antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dengan MUI Jawa Timur tentang kehalalannya. MUI Pusat meragukan kehalalan vaksin AstraZeneca. MUI Pusat menyatakan status hukum haram terhadap vaksin AstraZeneca karena bahannya mengandung tripsin babi.

 

Sedangkan MUI Jawa Timur memfatwakan AstraZeneca sebagai vaksin yang halal dengan analogi bahwa vaksin AstraZeneca ibarat seperti tanaman yang diberi pupuk dari kotoran hewan najis. Kemudian, buah yang dihasilkan tanaman tersebut hukumnya suci untuk dimakan.

 

Meskipun mengharamkan, MUI Pusat juga memberikan fatwa mubah (kebolehan) penggunaan vaksin AstraZeneca dalam kondisi darurat. Berdasarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang penggunaan vaksin AstraZeneca harus memenuhi setidaknya lima syarat. Pertama, ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syari'iyyah) yang menduduki kondisi darurat syar'iy (dlarurah syar'iyyah).

 

Kedua, ada keterangan dari ahli kompeten dan tepercaya tentang adanya bahaya (risiko fatal) jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19. Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity). Keempat, ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah. Kelima, pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia.

 

Riset dan Kemanusiaan

 

Di saat sebagian orang banyak yang mengambil kesempatan dalam kondisi kesempitan ini, ternyata ada sosok Gilbert yang dengan sukarela memberikan hasil finansial hak paten risetnya secara cuma-cuma untuk kerja kemanusiaan. Produk riset Gilbert ke depan akan sangat membantu umat manusia melawan virus Corona.

 

Dalam konteks riset, umumnya dana riset yang digelontorkan oleh suatu lembaga/negara sangatlah mahal, mengingat kualitas riset suatu negara berbanding lurus dengan kemajuan negara tersebut. Tak ayal berbagai negara berlomba-lomba untuk menggelontorkan dana riset yang besar-besaran. Namun kuatnya budaya kapitalisme global meniscayakan akan adanya harga yang harus dibayar untuk harga suatu karya riset.

 

Sempat terjadi polemik seputar vaksin berbayar melalui Kimia Farma beberapa waktu yang lalu, namun akhirnya dibatalkan dan dicabut oleh Presiden Jokowi, (16/07). Terkait vaksin berbayar termuat dalam Permenkes nomor 19 tahun 2021, bahwa vaksinasi berbayar yang pendanaannya dibebankan pada badan hukum atau badan usaha diperuntukkan terhadap pekerja, keluarga atau individu lain dalam keluarga. Selain itu, vaksinasi kepada individu biayanya dibebankan kepada diri yang bersangkutan.

 

Padahal harga pembelian vaksin dalam program tersebut dipatok sebesar Rp 321.660 per dosis. Peserta vaksinasi juga akan dikenakan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis. Jika dikalkulasikan, setiap satu dosis penyuntikan vaksin, peserta harus mengeluarkan Rp 439.570. Karena dibutuhkan dua dosis vaksin, maka total biaya vaksinasi per individu sebesar Rp 879.140. Harga yang cukup fantastis di tengah paceklik ekonomi seperti saat ini.

 

Di sisi lain, pemerintah sampai saat ini yang sedang memperpanjang penerapan PPKM darurat yang pada gilirannya membuat sebagian kalangan masyarakat mengalami defisit penghasilan. Oleh karenanya, vaksin seharusnya digratiskan dan tetaplah menjadi tanggungan pemerintah mengingat vaksin telah menjadi kebutuhan pokok sebagai penguatan imun (herd immunity) bagi masyarakat.

 

Maka dari itu, kerja kemanusiaan Gilbert di atas setidaknya ke depan juga akan sedikit membantu finansial pemerintah Indonesia dalam program akselerasi vaksinasi nasional yang hingga detik ini belum usai. Akhirnya, semoga pandemi Covid-19 yang sedang melanda ini akan segera berlalu. ●