Poros Ekonomi Jokowi-Putin
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
Madya
Institute for Social Research and
Development, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
20 Mei 2016
MENARIK mencermati
kunjungan Presiden Jokowi ke Rusia yang disambut secara hangat oleh Presiden
Vladimir Putin di rumah musim panas Bocharov Ruchei, di Sochi, 'Negeri
Beruang Putih' Rusia. Dalam perbincangan di antara dua pemimpin negara itu
yang paling berkesan ialah ternyata 60 tahun silam, tepatnya pada 1956,
Presiden Pertama RI Soekarno pernah ke Sochi untuk melakukan perundingan
dengan Uni Soviet yang saat itu di bawah kepemimpinan Nikita Kruschev.
Di antara kerja sama
di antara kedua negara ialah soal bisnis dan ekonomi. Seperti diketahui,
pemerintahan Jokowi sekarang ini tengah menggenjot pembangunan infrastruktur
di berbagai daerah. Di sisi lain, Rusia membutuhkan kemitraan dengan
Indonesia yang dinamis yang sebelumnya sempat terputus. Secara garis ideologi
ekonomi, baik RI maupun Rusia di bawah Jokowi-Putin sebetulnya sangat lentur,
dalam arti menganut mazhab 'neososialisme' yang membuka keran deregulasi.
Dalam diskursus
ideologi ekonomi, sebetulnya mazhab itu di satu sisi memperjuangkan fundamentalisme
pasar, yaitu pandangan yang menekankan bahwa mekanisme pasar akan berjalan
dengan baik apabila ia bebas bergerak tanpa kendali dan intervensi yang
berlebih dari pemerintah. Friedrich von Hayek, pemenang Hadiah Nobel Ekonomi
1974, yang bersama gurunya, Ludwig von Mises, selama ini dipandang sebagai
bapak paham deregulasi, memang sangat dikenal sebagai penganjur utama
deregulasi.
Pendekatan pasar yang
bersifat deregulasi secara singkat mengedepankan free-fight competitions, internasionalisasi persaingan ekonomi,
serta meminimalkan peran negara dalam perekonomian. Argumentasinya kompetisi
(free-trade dan free-internal trade) yang dipagari
beragam aturan pemerintah hanya akan membuat macet dan stagnannya
perekonomian.
Menurut pandangan itu,
solusinya ialah membuka sekat-sekat pembatasan dengan perekonomian deregulasi
dari peran serta fungsi negara. Jikapun ada peran dan fungsi negara, peran
dan fungsi tersebut akan selalu mengandung unsur yang kontradiktif di dalam
dirinya. Dua macam peran dan fungsi yang berlawanan tersebut ialah fungsi
akumulasi dan fungsi legitimasi. Kontradiksi yang hadir dalam nuansa seperti
ini, di satu sisi, menghadirkan peran pemerintah yang harus senantiasa
menciptakan dan memelihara suasana kondusif bagi akumulasi modal. Di sisi
lain, pemerintah juga dituntut mampu menciptakan dan memelihara suasana
tertib, demi terciptanya harmonisasi sosial.
Sebaliknya, mazhab
neososialisme berbeda dengan fenomena sosialisme yang sebelumnya juga pernah
terjadi. Cile, misalnya, pada dekade 1990-an dipimpin presiden yang
berideologi sosialis, tetapi sosialismenya cenderung bersifat top down.
Sosialisme pada tataran
itu banyak menimbulkan pertumpahan darah dan bermunculannya sejumlah fenomena
kekerasan, yang melibatkan rakyat Cile sendiri, karena sebuah kebijakan di
situ dipaksakan seorang pemimpin yang belum tentu sesuai dengan keinginan
bersama sehingga menimbulkan huru-hara sosial.
Tujuan-tujuan
sosialisme yang lazimnya ditujukan bagi kesejahteraan, kesetaraan, dan
hak-hak rakyat yang berdaulat justru kontraproduktif karena yang terjadi
sentralisme kepemimpinan yang cenderung menafikan hasrat dan keinginan rakyat.
Sosialisme memang
identik dengan cara-cara kekerasan, konservatisme sosial, antidiplomasi, dan
identik tidak pro pada demokratisasi, atau dengan kata lain sosialisme
antidemokrasi. Namun, dalam perkembangan sosialisme kontemporer atau bisa
juga disebut neososialisme, sosialisme di situ mulai ditafsirkan kembali,
sosialisme yang pro pada demokratisasi (sosial demokrat), pro pada humanisme,
dan mencintai persaudaraan serta perdamaian.
Mazhab itu tengah
berkembang di daratan Latin Amerika. Negara-negara seperti Venezuela,
Bolivia, dan Nikaragua, bersatu melawan ketidakadilan ekonomi global. Mantan
presiden Venezuela, misalnya Hugo Chavez yang telah meninggal pada 2013, dulu
menjadi ikon bagi para pemimpin di negara-negara Amerika Latin, yang memberi inspirasi,
semangat, dan perlawanan pada ketidakadilan praktik-praktik kebijakan ekonomi
global.
Hugo Chavez berani
melakukan penolakan penandatanganan sejumlah traktat penting kerja sama
ekonomi di antara perusahaan-perusahaan milik AS di Venezuela. Alasan yang
menjadi prinsip idealnya cukup populis karena selama ini
perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk natural
resource, tetapi tak memedulikan dampak pada lingkungannya, dan juga tak
memberi kesejahteraan pada penduduk lokal.
Di negara kita sebelum
era Jokowi, pemerintah memang terlalu an
sich membuka kebijakan deregulasi ekonomi tanpa dilandasi mazhab
neososialis. Deregulasi murni membuka program ekonomi selebar-lebarnya pasar
dan investor asing tanpa ada landasan untuk kesejahteraan rakyat.
Padahal, kita melihat
sendiri, perusahaan-perusahaan asing tak banyak memberi manfaat dan
kesejahteraan pada masyarakat lokal. Mestinya pemerintah mempertimbangkan
eksistensi perusahaan-perusahaan asing, bukan malah ingin menambah kuotanya,
seperti dalam kebijakan deregulasi ekonomi dengan cara membuka kemungkinan
pasar yang seluas-luasnya. Lagi pula, kebijakan ekonomi yang terlalu membuka
pasar sebenarnya bertentangan dengan cita-cita para founding father, yang sedari awal memang ingin membangun ekonomi
kerakyatan.
Dalam pernyataan bahwa
ekonomi Indonesia harus berbasis pada kerakyatan tersurat secara eksplisit
dalam UUD 1945. Para founding father
menyadari bahwa persoalan yang cukup serius bagi pembangunan sebuah nation-building harus terlebih dulu
memperhatikan kelayakan hidup warga negaranya. Kelayakan itu tak hanya cukup
untuk mengakomodasi kesejahteraan secara material, dalam bentuk bangunan
fisik dan kebutuhan bagi social-capital.
Dengan demikian,
sesungguhnya negara mempunyai tanggung jawab bagi pembangunan sebuah negara
yang berkesejahteraan (welfare state). Hal itu sudah menjadi konsekuensi
logis atas UUD 1945, misalnya, pada Bab X Pasal 27 pointer ke-2, Bab XA Pasal
28B pointer ke-2 dan Pasal 28C pointer pertama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar