Tampilkan postingan dengan label Y Ari Nurcahyo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Y Ari Nurcahyo. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 April 2016

Perombakan Kabinet

Perombakan Kabinet

Y Ari Nurcahyo ;   Direktur Eksekutif PARA Syndicate
                                                        KOMPAS, 16 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden Joko Widodo beralasan akan merombak kabinetnya jika hal itu ditimbang lebih membawa manfaat daripada mudarat. Mempercepat kerja pemerintahan menjadi kunci dari alasan tersebut. Presiden perlu memastikan, program kerja prioritas dan target pembangunan bisa segera tercapai di tengah sisa waktu ke depan.

Telah lama isu perombakan (reshuffle) kabinet jilid dua merebak. Sejak Oktober tahun lalu, menginjak setahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, wacana ini berembus ke publik, tetapi isunya perlahan surut ke belakang. Baru memasuki April ini, isu reshuffle kembali mencuat lebih kencang jadi perbincangan luas di publik dan diskusi ramai di media sosial, bahkan beredar nama-nama baru anggota kabinet.

Boleh jadi publik memang sedang antusias mencermati kinerja kabinet Jokowi. Namun, di balik itu, yang sebenarnya tengah terjadi adalah sedang berlangsung tarik-menarik kepentingan politik dengan menggunakan kekuatan luar mendesakkan agenda reshuffle demi merepresentasi kepentingan kelompok mereka. Kategori ”kelompok mereka” ini bisa jadi partai politik, relawan, organisasi, atau sejenisnya. Karena itu, Presiden perlu menakar dan menimbang matang semua masukan dan saran terkait rencana reshuffle.

Keseimbangan baru

Di tengah kontestasi kepentingan yang menghampiri Presiden, perlu ditegaskan bahwa reshuffle adalah hak prerogatif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial. Aturan main ini harus mampu ditunjukkan kepada publik sehingga Presiden sungguh menggunakan hak prerogatifnya secara otonom.

Saat membuka rapat paripurna kabinet (Kamis, 7/4), bahasa tubuh dan mimik wajah Presiden Jokowi tampak muram ketika mengatakan kepada para menterinya; ”Politik kita adalah politik kerja, bukan politik rencana, bukan politik wacana…!” Pernyataan ini terbilang sangat keras untuk model presiden seperti Jokowi yang berlatar budaya Jawa. Dalam perspektif budaya politik Jawa, gerak tubuh dan bahasa verbal yang lugas seperti itu mengirimkan pesan kuat adanya kehendak Presiden mencari keseimbangan baru.

Dalam filsafat Jawa ada ungkapan ”hamemayu hayuning bawana”, yang secara harfiah berarti menjaga keseimbangan kehidupan dan keselarasan dunia. Secara kosmologis, keseimbangan ini diwujudkan dalam perilaku manusia yang selalu menjunjung moral dan keutamaan.

Jika diciutkan dalam praksis politik, filsafat Jawa itu dapat diartikan sebagai keseimbangan antara jagat kekuasaan besar (presiden) dengan kekuasaan kecil (menteri dan pembantu presiden). Dalam relasi kekuasaan di pemerintahan, makna itu berarti hubungan kerja dan fungsi kerja yang efektif dalam menjalankan pemerintahan.

Karena itu, perlu dipahami bahwa Presiden Jokowi beralasan kuat untuk menciptakan keseimbangan baru dalam kabinet pemerintahannya. Setelah berjalan memasuki tahun kedua pemerintahan, kegaduhan kabinet akibat ulah ”nakal” beberapa menterinya tidak saja telah mengacaukan tatanan keseimbangan kerja di kabinet, tetapi juga sudah menggerus kewibawaan Presiden. Bahkan, ada sikap nyentrik menterinya yang sudah sampai membuat malu Presiden Jokowi di depan publik. Dalam perspektif budaya politik Jawa, hal-hal ”nakal” di luar pakem seperti itu sering kali merusak keseimbangan kerja.

Terganggunya keseimbangan kerja tim kabinet dan tergerusnya kewibawaan Presiden akibat sikap sengaja ”nakal” beberapa menteri, disadari Presiden Jokowi: menyerang langsung tepat di jantung kekuasaan Jokowi sebagai Presiden.

Meminjam Ben Anderson (1972), dalam budaya politik Jawa, konsep kekuasaan itu bersifat konkret, homogen, konstan, dan memusat. Karena itu, perilaku beberapa menteri yang mbalelo dan bikin gaduh di publik, dalam perspektif ini, sama saja menggeser atau mengacaukan sentralitas jagat kekuasaan besar seorang presiden. Seperti nyala lampu pijar, terang cahayanya jangan sekali-kali diterpa distorsi cahaya lain yang mengganggu.

Kabinet efektif

Karena itu, keputusan Presiden Jokowi merombak kabinet adalah tepat jika langkah itu merupakan jawaban Presiden menciptakan keseimbangan baru untuk mempercepat kerja pemerintahan. Presiden perlu menjaga semangat tim kerja kabinet tetap di jalur the dream team yang andal dan produktif bekerja. Perombakan kabinet ini jadi hal sangat penting bagi pertaruhan Presiden untuk membumikan Nawacita sebagaivisi besar merealisasikan program kerja prioritas dan target pembangunan.

Kabinet Kerja, sesuai namanya, harus membuktikan sebagai kabinet kerja yang efektif, tim kerja yang berkinerja optimal, berdaya kerja dan berhasil guna menjalankan target kerja pembangunan yang sudah direncanakan. Kabinet efektif itu akan menampilkan resume power baru dengan menguatnya kekuasaan presidensial.

Kondisi ini juga akan menciptakan stabilitas politik yang terjaga, baik di parlemen maupun relasi antarpartai politik pendukung pemerintah. Dan, terutama, kabinet menjadi efektif, tidak lagi menuai gaduh karena orientasi utama setiap menteri adalah kecepatan kerja kabinet.

Dengan perombakan kabinet yang terukur tersebut, arah resume power yang memusat ke Presiden ini secara pasti menguatkan posisi politik Presiden Jokowi: ia adalah the real president yang tak pernah berhenti bekerja untuk rakyat, bukan mengabdi partai atau kelompok relawan. Ya, semua itu karena kita mencintai Indonesia.

Jumat, 11 Desember 2015

Presiden Tanpa Mahkota

Presiden Tanpa Mahkota

Y Ari Nurcahyo  ;  Direktur Eksekutif PARA Syndicate
                                                      KOMPAS, 11 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saat ini, Presiden Joko Widodo harus segera mengonsolidasikan kekuasaan (resume power). Apabila terlambat, pemerintah bisa tidak sanggup menghadapi merosotnya kinerja kabinet dan tergerusnya kewibawaan Presiden.

Banyak hal bisa menjadi pemicu. Utamanya anomali kasus hukum dan pelanggaran etika pejabat publik. Dari polemik antarmenteri di ruang publik sampai skandal "papa minta saham" yang mencatut nama Presiden.

Karena itu, Presiden tidak cukup hanya menegur dan meminta menterinya agar solid bekerja untuk rakyat dan bukan kontestasi kelompok kepentingan. Presiden Jokowi harus menyadari bahwa sejak hari pertama dilantik sebagai Presiden, pemerintahannya terus "digoyang" oleh lawan politik, mungkin juga dari lingkarnya sendiri. Presiden sudah bekerja keras, tetapi episentrum masalah berada di pembantu-pembantu Presiden dan partai pendukung.

Karena itu, kalau Presiden Jokowi tidak segera menghimpun kembali kekuasaannya, resume power sampai tingkat substantif, tidak tertutup kemungkinan derasnya arus kekecewaan publik akan ikut "menggoyang".

Politik partai

Masalahnya bukan Presiden Jokowi yang kurang cakap memilih anggota kabinet sebagai the dream team di Kabinet Kerja. Orang yang baru belajar politik pun paham bahwa Jokowi tidak punya kontrol (dan kendali) penuh atas kekuasaannya.

Memang betul Jokowi memperoleh dukungan suara lebih dari 53 persen rakyat pemilih. Namun, riil kekuasaan politik sesungguhnya berpusat di partai politik. Sepanjang sejarah, kekuasaan politik kita adalah kekuasaan partai-partai. Segala urusan harus lewat partai, dari seleksi pejabat sampai urusan pasal dan proyek.

Sejak awal, Jokowi disebut "petugas partai" dari partai pengusungnya, PDI-P. Hal ini menyelipkan makna politik: Joko Widodo bukan "penguasa partai". Posisinya bukan ketua umum partai, bukan pula elite tertinggi di partai yang mencalonkannya. Apalagi, hingga kini, beliau juga belum memegang kontrol atas partai-partai pendukungnya di pemerintahan.

Secara eksistensial, magnet kekuasaan presidensial Jokowi seperti diisap lubang hitam kosmologi politik sehingga Jokowi bernasib seperti "Presiden tanpa mahkota". Akibatnya, Presiden Jokowi dengan kekuasaan presidensialnya dihadapkan pada persoalan serius dukungan politik partai-partai dan loyalitas ganda para pembantunya.

Ada problem serius dukungan politik partai-partai. Apalagi, dengan konfigurasi baru setelah satu partai oposisi menyeberang menjadi pendukung, beredar isu perombakan kabinet lanjutan. Semua akan menjadi masalah bagi komitmen loyalitas jika para menteri berasal dari partai.

Medan kekuasaan Presiden akan bergerak ke arah disonansi politik yang semakin liar. Jika tidak segera melakukan resume power, posisi Presiden akan rentan menghadapi gempuran kelas menengah dan massa rakyat. Bagaimana strategi menghadapi kebuntuan politik partai ini?

Dengar suara rakyat

Sebagai langkah pertama, Presiden Jokowi harus mengonsolidasi kekuasaan dengan menghimpun kembali kekuasaannya yang bersumber dari kekuatan rakyat. Jokowi harus kembali bersandar kepada rakyat, rahim yang menjadikannya presiden. Singkatnya, Jokowi harus mendengarkan suara rakyat yang jernih dan benar menyuarakan kemanusiaan, keadilan, dan keutamaan berpolitik.

Langkah konkretnya adalah Presiden berhenti mendengarkan group-think dan para pembantunya yang selama ini hanya menyajikan masukan dan laporan yang terbukti menjauhkan kebijakan dan langkah Presiden Jokowi dari kehendak rakyat. Berikan ruang publik untuk Vox Populi Vox Dei.

Kita harus kembali ke politik. Jika abai, kita bisa memasuki ambang krisis res publica karena politik dimengerti sebagai penguasaan, bukan kebebasan. Meminjam pemikiran filosofis Hannah Arendt (1906-1975) bahwa krisis res publica merupakan manifestasi empiris dari kekeliruan pemahaman tentang kekuasaan.

 Arendt memandang politik sebagai komunikasi karena "kekuasaan terjadi di antara manusia-manusia jika mereka bertindak bersama". Oleh karena itu, ruang publik (polis) merupakan medan politik mewujudkan kebebasan lewat komunikasi dan mengembangkan solidaritas.

Dan, akhir dari res publica adalah ketika terjadi kolonisasi ruang publik oleh yang privat. Karena itu, membersihkan elite partai dan politisi dari korupsi, kolusi, dan nepotisme saja tidak akan mencukupi untuk menegakkan res publica kita.

 Kita harus sampai pada tindakan konkret menetralkan persenyawaan bisnis dan politik, menghentikan persekongkolan pengusaha dan politisi yang membajak kepentingan negara.

Kita menunggu keutamaan Presiden Jokowi mengambil "mahkota"-nya agar bisa kembali bertakhta di hati rakyat.

Jumat, 22 Mei 2015

Revolusi di Kebun Anggur

Revolusi di Kebun Anggur

Y Ari Nurcahyo  ;   Direktur Eksekutif PARA Syndicate
KOMPAS, 22 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dramaturgi politik Presiden Joko Widodo yang lebih banyak menampilkan pencitraan di ”depan” panggung, tetapi lambat menjalankan konsolidasi di ”belakang” panggung, terbukti menggerus tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahannya.

Dalam enam bulan pertama percaya diri politik turun dengan tajam. Untuk mengembalikan harapan publik, saat ini mendesak bagi Jokowi merevolusi kebun anggur kekuasaannya: segera melakukan terobosan signifikan menunaikan revolusi mental dan segera mengganti pembantunya yang tak cakap bekerja.

Tim transisi bermasalah

Kesalahan kecil dalam mengeksekusi kebijakan politik di awal telah membuka kotak persoalan yang mengatasinya berlarut-larut. Berawal dari keberadaan tim transisi yang problematik, antiklimaks pembentukan kabinet balas jasa yang oleh Daoed Joesoef disebut sebagai the longest week that ever exist menemukan aktualitasnya pada kebijakan prematur, seperti Kartu Indonesia Sehat, pergantian pemimpin Polri yang menyeret kemelut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Tentu meluruskan kebijakan politik yang bengkok lebih sulit daripada membetulkan kebijakan ekonomi yang melenceng. Sejak awal beberapa kebijakan politik Jokowi berkesan tidak tepat.

Ketika pemilu presiden, banyak orang mengapresiasi Jokowi mencanangkan revolusi mental. Jokowi menulis ”Revolusi Mental” di Kompas (10/5/2014) melihat reformasi yang telah bergulir 16 tahun baru sebatas kelembagaan, belum menyentuh paradigma, cara pikir, mental— apalagi membudaya—akibat salah kaprah dan salah kelola pembangunan yang belum menggerakkan manusia sebagai subyek. Ia menawarkan terobosan budaya politik untuk membangun Indonesia baru yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya sesuai dengan gagasan Trisakti Bung Karno.

Setahun kemudian, revolusi mental sebagai gagasan sentral Jokowi dalam menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasi permasalahan bangsa jauh panggang dari api dan surut ke belakang karena belum ada realisasi konsep yang membumi di ranah kebijakan.

Dari awal Jokowi tampak tak paham bahwa pusat gravitasi revolusi mental adalah pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kebudayaan. Penulis sependapat dengan Daoed Joesoef (Kompas, 7/11/2014) bahwa kebijakan Jokowi memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sungguh merisaukan dan bisa berakibat fatal karena pendidikan adalah satu keseluruhan meski dibuat berjenjang dan merupakan bagian dari kebudayaan. Karena sejak awal Jokowi keliru memahami pendidikan dan kebudayaan, orbit realisasi revolusi mental lembam di aras kebijakan.

Revolusi mental seharusnya menjadi gerakan menanam mimpi Indonesia jaya di kebun anggur kebudayaan. Indonesia punya modal membangun kejayaan: 67 juta anak muda berumur 10-24 tahun sebagai berkah demografi. Merekalah calon pemimpin dan penggerak pembangunan Indonesia 30 tahun mendatang. Namun, prasyarat yang kita miliki meraih bonus demografi itu masih jauh dari harapan. Pemerintah hanya punya waktu kurang dari 15 tahun untuk serius melakukan terobosan strategis dan berkelanjutan sehingga bisa meraih kesempatan emas di puncak bonus demografi pada 2028-2031 (Kompas, 28/4).

Kita punya tak hanya kesempatan besar menggerakkan pembangunan dan kemajuan bangsa, tetapi juga menentukan masa depan, seperti yang mau kita ciptakan mulai dari hari ini. Apakah bangsa ini akan terus menguras semua sumber dayanya sekadar membunuh waktu, ataukah kita mau bergerak menggunakan segala sumber daya yang masih ada untuk menghidupkan waktu sehingga roda pembangunan berputar kencang. Kuncinya ada pada keseriusan kita menyingkirkan kebebalan logika untuk memahami Indonesia.

Gagasan besar revolusi mental, Trisakti, Nawacita, dan poros maritim harus mampu menggerakkan mimpi bangsa di orbit kebudayaan sehingga mampu melahirkan perubahan budaya masyarakat baru yang menghargai kebaikan dan keutamaan hidup, seperti kejujuran, rendah hati, kerja keras, tangguh, sederhana, hormat dan menghargai, serta antikorupsi. Ikhtiar membangun paradigma dan mental baru itu butuh stamina dan kesabaran melakukan gerakan pembudayaan aktif. Nilai dan keutamaan seperti itu yang harus segera ditanam di kebun anggur kebudayaan kita yang kian hari kian gersang dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

Jalan bahasa

Meminjam filsafat Immanuel Kant (1724-1804) bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia mengajar dirinya sendiri, manusia adalah sang pembelajar hidup di kebun kebudayaannya. Kebudayaan semacam sekolah tempat manusia belajar sekaligus mengajar; menyekolahkan manusia bertumbuh semakin berbudaya, seraya di saat yang sama ia menambah- kan suatu nilai.

Jalan kebudayaan menegaskan arti kebudayaan sebagai kata kerja, bukan kata benda yang diam atau sudah jadi. Seperti uraiannya yang menyebut gejala kebudayaan berlangsung dalam suatu tegangan antara imanensi (yang melingkupi) dan transendensi (yang mengatasi), CA van Peursen (1976) melihat kebudayaan sebagai rencana tertentu. Maka, jalan kebudayaan harus dimulai dari kerja menyiapkan suatu strategi kebudayaan.

Gagasan revolusi mental akan efektif menciptakan terobosan budaya baru jika dan hanya jika ia menjadi kerja bersama di jalan kebudayaan. Persis karena mental adalah gerak kesadaran manusia yang sedang menanami kebun anggur kebudayaannya. Manusia harus diperlakukan sebagai tujuan dan nilai. Mewujudkan revolusi mental adalah kerja kebudayaan. Kita harus segera menyusun suatu kebijakan mengenai kebudayaan: menerobos dinamika kebudayaan dengan intensi habitus mental baru.

Johann Gottfried Herder (1744-1803) menyatakan bahasa sangat penting membentuk kesadaran diri suatu bangsa. Suatu bangsa ditempa oleh semangat nasionalnya (Volksgeist) yang muncul dari bahasa dan mencerminkan karakter tanah airnya. Bahasa nasional adalah roh penopang dan perawat identitas budaya dan kesadaran nasional suatu bangsa. Karena itu, strategi kebudayaan diwujudkan dengan mendaraskan revitalisasi bahasa Indonesia. Menguatnya arus globalisme memerlukan bahasa nasional sebagai penopang semangat nasional. Bahasa Indonesia, warisan par excellence Sumpah Pemuda 1928, sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan harus dikembalikan ke arus utama strategi kebudayaan Indonesia.

Ahli linguistik Universitas Gadjah Mada, Sudaryanto, mengidentifikasi dua fungsi bahasa yang khas dan hakiki: mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama (Kompas, 23/11/2014). Terdapat hubungan erat dan esensial antara keduanya. Revolusi mental dimungkinkan bila bangsa ini kembali menyadari fungsi hakiki bahasa itu. Bangsa ini diharapkan bisa mengembalikan fungsi bahasa Indonesia menjadi energi kreatif membangun kebudayaan, sebagai medium intelektual menelurkan nilai kebaikan dan keutamaan publik seluas-luasnya di masyarakat.

Seperti janji kampanye Jokowi, jalan perubahan untuk Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian dimulai dengan menghadirkan negara yang bekerja. Kini rakyat menunggu revolusi di kebun anggur Jokowi.

Sabtu, 01 November 2014

Merawat Kegembiraan Rakyat

Merawat Kegembiraan Rakyat

Y Ari Nurcahyo  ;  Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


POLITIK adalah kegembiraan. Pesan ini yang mau disampaikan Presiden Joko Widodo kepada semua rakyat di seluruh penjuru Tanah Air. Kemeriahan kirab budaya rakyat, 20 Oktober lalu, menjadi penanda itu. Namun, enam hari kemudian banyak orang menahan tanya, ketika susunan menteri di Kabinet Kerja dinilai anti klimaks. Pasar pun tidak merespons positif dan cenderung terkoreksi.

Stamina pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JKW-JK) tegak berdiri di bawah kehendak rakyat akan diuji waktu. Rakyat yang dipimpin sudah menunjukkan, mereka selalu siap sedia dan sabar menanti pemimpinnya. Rakyat mencintai pemimpinnya seperti sepasukan penjaga malam yang siap dengan pinggang tetap terikat pedang dan pelita tetap menyala. Rakyat yang bergembira akan bersetia merawat harapan. Namun, apabila gelembung harapan itu tidak berujung kenyataan, ia akan pecah jadi kutukan.

Menghidupkan waktu

Saatnya momentum pembuktian. Realitas pembentukan kabinet yang dihadang desakan waktu dan disesaki tekanan politik kelompok kepentingan dan partai-partai pendukung agaknya sudah dimaklumkan di depan sehingga segala sesuatunya menjadi tampak wajar di belakang. Untungnya rakyat (bersama relawan) masih sabar menunggu seraya mengamati dengan fokus mata seperti mikroskop raksasa mengarah ke setiap menteri di Kabinet Kerja. Mereka punya 100 hari pertama untuk melewati ujian pembuktian kerja, kerja, dan kerja, dengan hasil nyata!

Para menteri Kabinet Kerja JKW-JK jangan sampai membunuh waktu. Ajakan Presiden Jokowi kepada seluruh rakyat dari semua lapisan profesi, mulai pedagang kaki lima, petani, nelayan, guru, sampai dokter dan politisi untuk ”kerja, kerja, kerja!” harus berujung sinergi produksi yang sungguh terbukti bukan janji. Pemimpin pilihan rakyat harus mampu menyatukan kesadaran dan energi rakyatnya menjadi kekuatan superproduktif untuk membangun kejayaan negeri. Dengan demikian, para menteri di pemerintahan JKW-JK tetap bersiaga di hadapan perapian rakyat untuk terus menghidupkan waktu.

Pemenuhan janji dan perwujudan program kerja yang sebelum ini hanya menjadi etalase kampanye harus bergerak ke dapur reproduksi kebijakan yang nyata, terukur, dan tepat sasaran.

Janji mewujudkan kedaulatan pangan dan energi dengan memberantas semua lini mafia harus menjadi prioritas. Saatnya Presiden Jokowi bersama tim fokus bekerja demi tegaknya Indonesia Raya yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Haruskah demikian

Haruskah episode pembuka Kabinet Kerja anti klimaks? Jangan sampai denyut yang hilang pada awal pertama saat mereka dilantik menjadi beban yang memberatkan langkah ke depan. Kuncinya ada pada kesanggupan membuat perubahan mendasar dan transformasi cepat.

Manuskrip Beethoven, Es muss sein (Haruskah demikian), dalam bahasa Milan Kundera (1984) merupakan motivasi realistis sang komposer untuk mengubah sebuah inspirasi liar menjadi sebuah kanon kuartet yang serius, mentransformasi sebuah lelucon menjadi kebenaran. Karya komposisi Beethoven itu dihasilkan dari kreasi mengubah yang enteng dan remeh-temeh menjadi berbobot dan substantif. Siapa menduga tesis sederhana itu akhirnya menjadi masterpiece sepanjang waktu? Karya-karya orisinal seperti itu yang selalu menghidupkan waktu.

Presiden Jokowi punya orisinalitas gagasan dan gaya kepemimpinan. Soalnya bagaimana kekuatan itu menginspirasi semangat tim kabinetnya. Waktu akan menguji apakah Kabinet Kerja betul-betul the dream team yang sigap bekerja keras sehingga the dreams come true.

Confusius (551-479 SM) bertutur bijak, ”Seorang pemimpin harus menjadi junzi (orang hebat)”, yaitu seorang yang memiliki kualitas keutamaan, kesetiaan, dan ketulusan. Pemimpin seperti ini jika berkehendak untuk kebaikan niscaya yang dipimpin akan memperoleh kebaikan.

Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla bersama para menterinya semoga menjelma junzi-junzi Republik yang bekerja terdepan untuk terus merawat kegembiraan rakyat.

Senin, 20 Oktober 2014

Lampu-lampu Terang

Lampu-lampu Terang

Y Ari Nurcahyo  ;   Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS,  18 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


JOKOWI membuka harapan. Pertemuannya dengan pemimpin partai Koalisi Merah Putih otomatis membangkitkan optimisme. Langkah itu segera mencairkan kebekuan politik di antara dua kubu calon presiden dalam pilpres lalu. Rakyat melihat demokrasi kembali terang. Publik mengapresiasi langkah Jokowi melakukan silaturahim politik sebelum dirinya resmi dilantik sebagai presiden, 20 Oktober. Jokowi telah bertemu dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Kekhawatiran publik akan terjadinya krisis politik pun menyusut. Optimisme pasar mulai menggeliat. Kini saatnya semua komponen bangsa bersatu. Ke depan semua pihak harus duduk bersama untuk membangun Republik. Siklus politik pada garis orbitnya tak pernah melanggengkan kawan atau lawan. Perbedaan dalam politik merupakan hal wajar dan sejatinya justru diperlukan demi menjaga diskursus dan perimbangan. Menjadi sayang apabila perbedaan itu menjurus kesesatan kelompok.

Oleh karena itu, keberadaan kelompok partai di Koalisi Merah Putih yang saat ini ”menguasai” parlemen dan barisan partai di Koalisi Indonesia Hebat yang ”memegang” pemerintahan harus dilihat sebagai manfaat daripada masalah. Eksistensi keduanya diyakini akan konstruktif terhadap kematangan berdemokrasi di Republik. It takes two to tango. Tidak ada tango jika hanya satu penari. Keduanya harus berpasangan. Keduanya dibutuhkan untuk menjamin eksistensi masing-masing, sebagai tandem atau memainkan peran oposisi. Relasi pemerintah dan parlemen yang seperti ini, selain akan lebih mengoptimalkan fungsi check and balances, fenomena divided government akan mengorbitkan eksekutif dan legislatif pada garis edar yang semestinya.

Rakyat menjadi pusat edarnya. Kehendak rakyat adalah matahari. Karena itu, Indonesia Raya harus dibangun di atas kehendak rakyat. Di sana Republik didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Melipat sinisme politik

Antara kebaikan dan keburukan dalam politik seperti dua helai benang yang beradu sisi. Saat memegang yang pertama di salah satu ujung sering kali kita dikecohkan oleh yang kedua di ujung lain. Oleh karena itu, politik sering mengecoh dan mengaburkan. Sepertinya dalam politik segala sesuatu dimaafkan terlebih dulu, dan karena itu secara sinis segala sesuatu lantas diperbolehkan. Politik tampak seperti medan gravitasi tanpa dosa.

Sinisme ini mengafirmasi semua simpang siur peristiwa politik di Senayan. Pembahasan tata tertib DPR, pengesahan UU MD3, pengesahan UU Pilkada lewat DPRD, pemilihan pimpinan DPR, dan pemilihan pimpinan MPR adalah saksi diam dari sinisme politik atas instrumentasi proses legislasi demi intensi waton sulaya (asal beda). Hal serupa dilakukan Presiden Yudhoyono dengan menerbitkan perppu untuk membatalkan UU Pilkada. Politik tiba-tiba memasuki lorong gelap karena meninggalkan kehendak rakyat.

Politik kehilangan pertanyaan soal nilai dan cita-cita. Namun, bagaimana politik bisa bernilai dan bercita-cita, sedangkan latihan politik adalah berpolitik itu sendiri? Jawabannya boleh jadi  sederhana: berpolitik adalah tentang cita-cita bernegara. Bernegara adalah obsesi setiap rakyat untuk tersenyum bahagia karena tercukupi pangan, sandang, dan papan. Untuk melipat sinisme politik, dalam berpolitik hendaknya cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Politik memang butuh kecerdikan manakala berpolitik menggunakan taktik, strategi, dan keterampilan teknis. Seperti ular, politik adalah seni bersiasat. Namun, politik juga butuh ketulusan seperti merpati sebab berpolitik harus mengedepankan moral demi meraih hikmat kebijaksanaan. Seperti merpati, politik sejatinya tindakan moral. Dalam risalah politik, Immanuel Kant menempatkan ketulusan/kebijaksanaan moral di atas kecerdikan siasat.

Jika sudah bisa demikian, politik tak mudah direduksi jadi perkara siapa dapat apa, di mana, kapan, dan bagaimana. Politik tak melulu dipakai untuk membahasakan kepentingan. Politik tak lagi merupakan sederet argumentasi yang disusun sekadar untuk melakukan klaim atau mempertahankan kepentingan kelompok. Politik kembali sebagai gagasan tentang cita-cita bernegara. Politik yang berdiri di atas kehendak rakyat.

Apa yang dinyatakan pemimpin Perancis, Charles de Gaulle, ”Politik adalah masalah yang terlalu serius untuk diserahkan kepada politisi”, pastinya benar. Politik yang tak meninggikan hikmat kebijaksanaan hanya akan melahirkan politisi cangkokan dan menjauhkan ladang benih negarawan. Banyak politisi negeri yang berhenti hanya jadi kunang-kunang. Serangga malam bercahaya ini menarik, tetapi tak bertahan lama karena selamanya mereka tak pernah jadi lampu. Hanya sedikit politisi yang bisa jadi lampu terang. Mereka setia menerangi kehendak rakyat dengan ketulusan bekerja. Mereka lampu-lampu terang pembawa kegembiraan rakyat.

Kamis, 11 April 2013

Politik Bukan Pasar Malam


Politik Bukan Pasar Malam
Y Ari Nurcahyo  ;  Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 11 April 2013

  
Membaca lagi roman Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, tahun 1950-an, pikiran saya menatap politik Indonesia yang rasanya mirip pasar malam. Setiap memasuki tahun politik menjelang pemilu, arena politik diramaikan orang-orang yang berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula pergi.
Partai politik yang lama sepi ramai lagi. Para politikus berduyun-duyun ke daerah pemilihannya, blusukan mengail simpati dukungan. Orang-orang ramai masuk ke politik dan mendaftar menjadi calon anggota legislatif (caleg). Ada pula yang pergi atau pindah partai. Di mana-mana, bendera, atribut partai, spanduk, dan gambar calon presiden mulai bertebaran. Keramaian politik, seperti halnya pasar malam, menarik banyak orang berdatangan.
Namun, ada geliat ganjil dari keramaian politik itu. Gejalanya kian mencemaskan saat politik menjelma pesta pora kekuasaan dan harta, dan tanpa malu menjual gagasan negara hukum demokrasi. Nyatanya, politik telah menginvasi hukum dan membajak institusi-institusi demokrasi kepada berhala uang. Politik suap, pasar suara, dan transaksi politik mengisi setiap lorong dan sudut ruang politik.
Ancaman Tirani Politik
Politik Indonesia dalam pertaruhan. Demokrasi liberal bersanding politik transaksional telah menjadikan uang dan kuasa sebagai gravitasi politik mutakhir. Politik, seperti dikatakan Harold Laswell, menjadi sekadar urusan ”siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”.
”Tak ada benteng yang demikian kuat sehingga uang tak dapat memasukinya,” kata filosof Cicero. Namun, bukan itu soalnya. Sentral masalah adalah ketika ”semua orang sama di hadapan uang”, dan karena itu mengakibatkan ”tak semua orang sama di hadapan hukum”. Sebab, hukum bisa amat mudah diperjualbelikan. Politik pun berwatak transaksional.
Politik tidak dijalankan dalam rangka bernegara sehingga gagasan bernegara kian jauh dari keadilan hukum dan cita-cita konstitusi. Dominasi politik seperti itu membuka ancaman tirani politik. Saat politik jadi panglima, hukum dikesampingkan; sekadar alat politik. Jika dibiarkan, jurang negara gagal di depan mata.
Dalam politik seperti itu, apa saja dihargai karena bisa diberi harga di hadapan mata uang, wani piro? Kekuasaan dan uang telah menjadi episentrum berpolitik dekonstruktif yang menghancurkan gagasan besar negara hukum sebagai rumah politik. Pekatnya instrumentasi uang di tubuh politik menebarkan radioaktivitas yang bisa membunuh demokrasi.
Ancamannya adalah hukum digantikan transaksi, kompromi licik, dan main hakim sendiri. Hukum bisa diberi harga karena itu hukum bisa dibeli, ditransaksikan, atau jika tidak, ditukar hukum rimba. Hukum diatur dan dikendalikan dengan modus dagang dan politik jual beli. Siapa menguasai harta dan memegang kuasa, dialah pemenang hukum dan penentu politik. Penyerangan kelompok bersenjata ke LP Cebongan merupakan bukti bahwa hukum negara tidak berdaya menghadapi aksi main hakim sendiri.
Politik Pasar Malam
Lanskap politik Indonesia telah serupa pasar malam. Politik sebagai dagangan. Partai lebih mirip gerai toserba, menjual apa saja dan siapa saja bisa datang atau pergi. Partai memburu caleg seperti membuka bursa tenaga kerja. Menjadi politikus tak beda dengan karyawan atau pekerja yang sibuk mencari nafkah, bahkan nyambi berburu rente.
Politik pasar malam menjual apa saja dan siap menghibur pengunjung siapa saja. Semua mata dalam politik seperti itu adalah ”mata-mata” yang melihat segala sesuatu dengan ”mata” uang. Di pasar malam, baik politik maupun hukum menjadi anonim di hadapan nilai uang.
Seperti pasar malam yang biasa digelar dengan simbol bendera atau umbul-umbul apa saja, ramai orang berduyun terjun ke politik atau masuk partai bukanlah meminati garis ideologi atau program partai, tetapi karena ketertarikan nilai harga (besaran harta) dari dagangan politik mereka. Uang telah mengudeta idealisme perjuangan politik menjadi sekadar peluang politik jangka pendek.
Saat ini, di partai nyaris tak ada tempat bagi teladan dan keutamaan politik, apalagi ideologi. Parameter kepartaian pun monolitik, hanya mengejar popularitas dan elektabilitas, lupa akan kaderisasi. Gejala politik pasar malam menjalar dan semakin kuat menginvasi institusi negara dan bangunan demokrasi. Kita malas merawat gagasan, ideologi, dan nilai keutamaan berpolitik sehingga politik menjadi miskin cita-cita tentang bernegara.
Politik pasar malam menjelaskan mengapa demokrasi dengan pemilu langsung yang selama 14 tahun kita jalankan hanya menghasilkan pemerintah yang korup; mengapa hampir semua partai tak bisa menghindar terlibat korupsi; mengapa produk hukum dari pusat hingga ke daerah tumpang-tindih; penegakan hukum lemah; dan wibawa negara hukum nyaris lumpuh. Semua itu tak lain karena politik kita tanpa gagasan bernegara.
Orang berpolitik tak bisa hanya berduyun-duyun datang atau pergi; hanya untuk menikmati malam sesaat saja. Rumah politik adalah negara hukum. Seperti Immanuel Kant (1795) yang menyebut politik sebagai ausübender Rechtslehre, yaitu mempraktikkan hukum. Artinya, berpolitik menjalankan praktik bernegara sesuai prinsip-prinsip negara hukum. Berpolitik harus mengabdi hukum demi tegaknya negara hukum dan kesejahteraan.
Politik bukan pasar malam, tetapi politik adalah praksis hukum. Berpolitik adalah bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. Di sanalah politik bekerja untuk rakyat.

Senin, 12 November 2012

Pahlawan Bukan Ratu Adil


Pahlawan Bukan Ratu Adil
Y Ari Nurcahyo ;  Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 10 November 2012



Mimpi kita untuk perbaikan Indonesia tanpa sadar telah menguras nalar seluruh anak bangsa. Pemimpin yang dirindukan tak datang-datang, apalagi mengharapkan sosok pahlawan. Kita pun lalu memimpikan datangnya ”Ratu Adil”.
Dongeng Ratu Adil sepertinya representasi genangan bawah sadar kita yang merindukan kehadiran pemimpin andal bak pahlawan. Bangsa ini rindu pemimpin bersosok pahlawan. Kerinduan itu semakin pekat manakala kondisi kesesakan hidup tampak kian sulit diurai.
Pemimpin yang didambakan tak kunjung datang, masalah yang mendera tidak juga bisa terpecahkan. Kita lalu mengutuk keadaan dengan menyandarkan harapan pada cerita tentang orang-orang hebat. Terjelma doa kita diam-diam: Indonesia akan jaya apabila dipimpin oleh seorang ”Wong Agung”.
Mungkin kekeliruan sejarah yang selalu menderetkan tokoh-tokoh besar. Membaca sejarah hampir selalu merupakan cerita tentang kehebatan tokoh-tokoh besar dengan penjelmaan heroik. Karena itu, sering kali sejarah gampang berbaur dengan dongeng.
Kisah Diponegoro, Imam Bonjol, Hasanuddin, Pattimura, atau juga dalam dunia pewayangan, seperti Gatotkaca, Hanoman, Arjuna, selalu dihadirkan dengan bumbu cerita mitos. Sosok dan kepahlawanan mereka sering kali dimitoskan sebagaimana layaknya sosok Superman. Meskipun kita tahu bahwa orang-orang hebat dalam dongeng sejarah itu adalah manusia seperti kita.
Dua Krisis
Indonesia sedang heboh mencari pemimpin. Kini banyak orang ingin menjadi pemimpin, sayangnya sedikit sekali dari mereka yang bisa memimpin negara- bangsa ini.
Berlakulah ungkapan Jawa: sing bisa ora kuasa, sing kuasa ora bisa. Defisit kepemimpinan terjadi di mana-mana: dari lingkup rukun tetangga, organisasi keagamaan, organisasi masyarakat alias ormas, partai politik, sampai pucuk kepemimpinan republik ini.
Kehebohan kita mencari pemimpin adalah cermin kegaduhan politik yang gagal mengartikulasikan cita-cita republik ini menjadi realitas. Cita-cita negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, sepertinya hanya menjadi dongeng verbal konstitusi. Ketaksetiaan kita merawat ”Rumah Republik” sebagai cita-cita bersama, dan kemalasan kita menyemai kader-kader pemimpin andal baru, adalah dua dosa struktural bangsa ini.
Sejatinya bangsa ini sedang mengalami krisis pemimpin dan krisis cita-cita. Dua krisis ini berisiko tinggi meremukkan konstruksi pilar ”Rumah Republik” dan memutus rajutan kesadaran kolektif yang mengikat kita dalam bangunan keindonesiaan. Masalah ini tentulah krisis besar dan amat serius.
Oleh karena itu, perjalanan bangsa ini ke depan akan sangat ditentukan oleh kemampuan generasi zaman ini menghasilkan genius-genius yang memberi makna kepada kehidupan bangsanya. Hanya dengan demikian sejarah bangsa ini akan menumbuhkan bunga yang paling indah untuk Indonesia.
Menata Indonesia
Berhentilah bermimpi dan mendongeng Ratu Adil. Mitos itu menyesatkan nalar dan menciptakan kemalasan berpikir. Kita lebih baik mengasah budi dan menajamkan hati untuk memfokuskan usaha menata masa depan. Belum cukup belajar sejarah dengan hanya menderetkan nama pahlawan nasional sebagai nama bandara atau jalan utama kota.
Mulailah dengan belajar dari sejarah dengan mengenali nilai-nilai keutamaan dan semangat dari sosok pahlawan nasional. Mereka juga adalah manusia, sama seperti kita. Bedanya, mereka adalah orang-orang yang sudah cukup dan sudah selesai dengan dirinya, dan sanggup melampaui rata-rata keutamaan unggul yang dimiliki orang pada umumnya untuk mengabdi kemanusiaan.
Pahlawan bukanlah Ratu Adil. Juga tidak seperti gambaran Nietzsche tentang Übermensch (Manusia Atas) yang meramal mengenai manusia masa depan. Pahlawan sejatinya adalah contoh hidup dari masa lalu yang semangat keutamaannya bisa menjadi teladan yang bertahan melampaui zamannya dan relevan untuk masa kini. Sebenarnya kita tidak butuh dongeng atau cerita superhero rekaan seperti film- film Hollywood. Kita punya ratusan nama pahlawan nasional, masih ditambah deretan pahlawan daerah di setiap tempat. Semua itu kekayaan teladan dan keutamaan yang luar biasa untuk membangun peradaban yang genius.
Teladan keutamaan itu seharusnya bisa menjadi inspirasi untuk menata Indonesia. Bangsa ini membutuhkan pemimpin- pemimpin bersosok negarawan. Sebagai pejuang-pejuang republik, para pahlawan kita adalah para negarawan terdepan yang dengan setia mengawal cita-cita res publica yang disebut Indonesia.
Untuk menebus dosa atas dua krisis besar, generasi sekarang harus duduk untuk belajar dari sejarah mengenali ketokohan para pahlawan. Krisis pemimpin bisa diputus dengan identifikasi teladan riil kepemimpinan yang baik. Adapun krisis cita-cita bisa ditebus lewat revitalisasi keutamaan yang menghendaki hidup bersama di ”Rumah Indonesia”.
Catatan Penutup
Indonesia adalah sebuah cita-cita untuk mewujudkan res publica. Rumah Indonesia itu kini terkoyak oleh tindakan sok para pemimpinnya, banalitas korupsi, kekerasan, ancaman teror, ketimpangan kaya- miskin, dan kemunduran budaya. Untuk keluar dari krisis besar ini, kepemimpinan terbaik dari pemimpin rakyat berjiwa negarawan sangat dibutuhkan.
Bonus demografi berupa rata-rata usia penduduk Indonesia berkisar 28 tahun menjadi modal. Jumlah terbesar penduduk berusia muda adalah aset produktivitas bangsa. Mereka adalah generasi pahlawan masa depan bangsa yang akan menegakkan pilar-pilar kejayaan Indonesia. ●