Stres Traumatis Sekunder
Agustine Dwiputri ;
Penulis Kolom PSIKOLOGI Kompas
Sabtu
|
KOMPAS, 21 Mei
2016
Saya, 28 tahun, bekerja sebagai konselor di sebuah organisasi
nirlaba yang menangani korban kekerasan pada perempuan dan anak. Setelah bertugas
selama lebih dari dua tahun, saya merasa seperti sia-sia saja semua yang saya
lakukan.
Saya juga jadi mudah marah, sering malas berangkat ke lokasi
kerja. Padahal, saya tahu bahwa klien-klien saya memerlukan kehadiran saya.
Saya sedang berpikir, kok, saya jadi mengalami hal-hal yang juga dirasakan
oleh para korban, seperti mimpi buruk dan tidak bisa tidur. Apakah saya juga
telah mengalami stres? Apakah ini yang disebut stres sekunder? Mohon
penjelasan Ibu. Terima kasih.
W di M
Benar Saudari W, dari
surat yang saya ringkas di atas, tampaknya Anda memang terpapar apa yang
disebut sebagai stres traumatis sekunder. Mari kita simak bersama uraian
mengenai hal itu.
Saakvitne dan Pearlman
(1996) mengatakan bahwa stres traumatis sekunder atau vicarious
traumatization adalah transformasi pengalaman batin konselor/terapis sebagai
hasil dari keterlibatan empatik dengan klien/korban trauma dan materi
traumanya. Stres traumatis sekunder sulit dihindari karena merupakan hasil
dari bekerja dengan korban trauma dengan cara peduli dan empati. Ini adalah
konsekuensi alami dalam merawat dan membantu orang yang mengalami trauma,
karena itu penting untuk tidak melihatnya sebagai tanda kelemahan.
Jika stres traumatis
sekunder tidak dapat dihindari, tenaga profesional dan konselor yang membantu
mereka yang mengalami peristiwa traumatis perlu belajar untuk menerima dan
mengakui hal ini sebagai bagian tak terpisahkan dari pekerjaan mereka,
kemudian mulai menyusun berbagai strategi serta sumber daya untuk bertahan
dalam jangka panjang agar dapat bekerja secara sehat di bidang ini.
Pengaruh stres
traumatis sekunder cenderung berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu
dan sering tidak mudah melihat bahwa konselor tengah dipengaruhi oleh hal
tersebut sampai terjadi sesuatu yang menyoroti perubahan kepribadian dan gaya
hidupnya. Stres traumatis sekunder dapat berdampak terhadap semua bidang
kehidupan dan efeknya dapat berkisar dari ringan sampai mengganggu.
Berbagai tanda dan gejala
Claudia Herbert dan
Ann Wetmore (2001) menjelaskan beberapa tanda stres traumatis sekunder untuk
diwaspadai, di antaranya:
- Kurangnya motivasi
dan perasaan tidak punya waktu untuk diri sendiri.
- Kesulitan dengan
pasangan Anda atau dengan hubungan dekat lainnya.
- Mempertanyakan
pilihan kariernya, merasa tidak berguna.
- Berkurangnya kontrol
diri, meningkatnya kemarahan, ketidaksabaran, hubungan yang tegang dengan
orang lain.
- Kehilangan
kepercayaan kepada orang lain.
Ada pula berbagai
gejala stres traumatis sekunder yang dirinci dalam beberapa area:
Area emosional - mati
rasa atau berjarak; perasaan berlebihan atau bahkan mungkin putus asa.
Area fisik - memiliki
energi yang rendah atau merasa lelah.
Area perilaku -
perubahan pada rutinitas atau terlibat dalam mekanisme merusak diri sendiri.
Area profesional -
mengalami kinerja rendah dari tugas dan tanggung jawab pekerjaan; merasa
semangat kerja yang rendah.
Area kognitif -
mengalami kebingungan, konsentrasi berkurang, kesulitan mengambil keputusan;
mengalami bayangan trauma dengan seperti melihat peristiwa berulang-ulang.
Area spiritual -
mempertanyakan makna hidup atau kehilangan kepuasan diri.
Area interpersonal -
secara fisik menarik diri atau menjadi emosional dengan tidak adanya rekan
kerja atau keluarga Anda.
Jika konselor melihat
salah satu perubahan tersebut pada diri sendiri, akan sangat membantu jika
dia berbagi dengan orang lain dan mengidentifikasi cara-cara di mana konselor
dapat mengendalikan dampak dari beberapa perubahan tersebut. Konselor perlu
melihatnya sebagai peringatan bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk
memperbaiki keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupannya.
Mengelola stres traumatis sekunder
Kesadaran adalah kunci
untuk mengelola stres sekunder bagi organisasi maupun bagi individu. Suatu
komunitas dapat berbagi informasi tentang tanda-tanda stres sekunder sehingga
anggota kelompok mengenali tanda-tanda dalam diri mereka sendiri dan orang
lain. Pengecekan dalam kelompok kecil secara teratur dapat menjadi jalan
keluar bagi munculnya perasaan frustrasi dan stres. Mengakui adanya kondisi
stres secara administratif dapat membantu konselor merasa didengarkan.
Para konselor perlu
menyadari bahwa bekerja dengan para korban trauma bisa sangat sulit ketika:
- tidak ada ketentuan
bagi konselor untuk beristirahat;
- konselor membawa
beban kasus yang terlalu berat;
- tidak tersedia
supervisi atau konsultasi yang memenuhi syarat;
- organisasi gagal
untuk mengenali nilai pekerjaan trauma atau dampak yang mungkin terjadi pada
konselor;
- liburan tidak memadai;
- konselor masih baru
atau kurang kualifikasinya untuk jenis pekerjaan ini;
- konselor mempunyai
harapan yang terlalu tinggi dalam bertugas.
Menurut Saakvitne dan
Pearlman (1996), jika konselor telah menyadari berbagai potensi faktor risiko
di atas, cobalah mengidentifikasi untuk diri sendiri:
1. Manakah dari
hal-hal di atas yang mungkin berlaku untuk Anda?
2. Apa yang dapat Anda
lakukan untuk mengubahnya?
3. Bagaimana dan kapan
Anda akan membuat perubahan ini?
Nilailah berbagai
kebutuhan dan catat bagaimana Anda telah memperolehnya dan bagaimana Anda
akan mengatasi di masa depan potensi efek stres. Misalnya, Anda perlu merawat
diri, menjalankan suatu kegiatan, berlibur maupun berbagai cara menghindar
lainnya, menciptakan makna dalam pekerjaan dan kehidupan, menantang keyakinan
dan asumsi negatif, serta perlu kegiatan sosial.
Konselor juga dapat
melindungi diri dan mengelola stres traumatis sekunder dengan berlatih
perawatan diri melalui olahraga teratur, diet makanan sehat, dan tidur yang cukup.
Kegiatan seperti yoga atau meditasi dapat membantu mengurangi stres secara
umum. Penting bagi konselor untuk menjauh dari situasi yang menstimulasi
stres. Menghabiskan waktu dengan keluarga atau teman-teman, atau fokus pada
suatu kegiatan atau hobi dapat membantu.
Suatu hal yang akan
membantu adalah dengan menemukan seorang "mitra kerja", mungkin
rekan profesional, dengan siapa Anda bisa mendiskusikan perubahan yang telah
direncanakan dan memonitor kemajuan Anda.
Salam sukses untuk
pekerjaan mulia Anda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar