Kamis, 25 Agustus 2016

Cerita ditolaknya Gloria jadi Paskibraka hingga Jokowi turun tangan

Cerita ditolaknya Gloria jadi Paskibraka hingga Jokowi turun tangan
Reporter : Dede Rosyadi | Jumat, 19 Agustus 2016 04:00


Merdeka.com - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, anak buahnya yang melatih Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) sempat memanas dan adu pendapat saat muncul keputusan bahwa Gloria Natapradja Hammel batal menjadi anggota Paskibraka pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 di Istana Merdeka, Jakarta Pusat.

Hal itu lantaran Gloria kedapatan memiliki dwikewarganegaraan dan dianggap melanggar aturan yang menyebabkan dia tidak bisa mengibarkan bendera merah putih bersama kawan-kawan Paskibraka.

"Sama-sama kita ketahui bahwa proses pemilihan Paskibraka itu mulai dari daerah-daerah sampai pusat. Itu Kementerian Pemuda dan Olah Raga menyeleksi anggota Paskibraka kurang lebih satu bulan sebelumnya. Dari hasil pengecekan pemilihan itu, maka diserahkan ke TNI untuk dilatih dengan beberapa pelatih agar jadi Paskibraka," kata Gatot di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (18/8).

Gatot melanjutkan, para anggota Paskibraka mulai dibina oleh TNI dengan jadwal pelatihan mulai pukul 04.00 WIB. Mulai dari bangun pagi, kemudian bagi beragama Islam menunaikan salat dan berdoa. Selepas itu, dilanjutkan senam dan sarapan pagi.

"Latihan sampai malam dan ada pembentukan karakter. Mereka semua ada dibuat satu unit solid, mempunyai jiwa persaudaraan. Mempunyai kecintaan Tanah Air tinggi dan rasa tanggung jawab besar. Ini dibentuk," papar Gatot menceritakan.

Ketika sudah berjalan satu bulan, kata Gatot, akan ada pelaksanaan gladi kotor. Setelah satu hingga tiga kali gladi kotor, maka dilanjutkan dengan gladi bersih dan upacara.

Menurut Gatot, saat gladi kotor yang bertanggung jawab dalam agenda itu adalah perwira upacara yakni Brigjen Josua Sembiring. Perwira yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Staf Garnisun.

"Perwira upacara kemudian melaksanakan upacara dan menyeleksi komandan upacara dan sebagainya, berdasarkan aturan. Masuk di sini, aturannya adalah Paskibraka harus WNI," jelas Gatot.

"Setelah di cek, Gloria ternyata ditemukan (kewarganegaraan ganda). Ada yang protes untuk tidak boleh ikut, itu pendapat anggota TNI juga," sambungnya.

Gatot menambahkan, hubungan antara pelatih dengan Paskibraka terjalin dengan baik. Antara pelatih dengan anggota Paskibraka sudah seperti anak sendiri.

"Jadi TNI dengan TNI ribut, adu pendapat, dan lapor kepada saya. Yang jelas kita pada dilema Undang-undang mengatakan begitu," imbuhnya.

Menurut Gatot, keputusan itu berdasarkan pada Undang-undang No 12 Tahun 2016, mengatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) menikah dengan Warga Negara Asing (WNA), maka anaknya memiliki kewarganegaraan ganda.

"Itu pasal selanjutnya mengatakan, apabila anak tersebut lahir sebelum Undang-undang ini digunakan, maka diberi kesempatan selama empat tahun untuk mendaftarkan ke kementerian atau petugas sebagai Warga Indonesia. Gloria tak mendaftarkan ini," ungkapnya.

Dengan begitu, masih kata Gatot, Gloria pun memiliki kewarganegaraan ganda, namun nanti dia berhak memilih salah satu kewarganegaraan saat usia 18 tahun.

"Kemudian Undang-Undang yang tadi ada pasal apabila memiliki tanda dua kewarganegaraan, bisa paspor atau lainnya, maka otomatis kewarganegaraannya sebagai Warga Negara Indonesia hilang. Dan adik kita (Gloria) ini memiliki paspor," papar jenderal bintang empat ini.

Merujuk pada Undang-Undang yang ada, kata Gatot, maka dengan sangat terpaksa Gloria harus melepaskan keanggotaan Paskibraka. Kasus itu sampai ke Presiden Jokowi dan memberikan hasil berbeda untuk Gloria.

"Nah, Presiden kita ini sangat bijak.
Sebagai tamu kehormatan, kemudian pada saat penurunan bendera juga seperti Paskibraka juga, (Gloria) dengan seragam Paskibraka sebagai Gordon, sebagai pengawal Presiden," tutur Gatot.

"
Jadi aturan tak dihilangkan, dia juga tetap jadi Paskibraka sebagai Gordon dan semuanya happy. Saya juga tenang juga kan," pungkasnya.


Rabu, 24 Agustus 2016

Mengkloning Ahok-Risma

Mengkloning Ahok-Risma

Tri Marhaeni P Astuti ;   Guru Besar Antropologi Unnes Semarang;
Pengamat Pendidikan dan Sosial Politik
                                             SUARA MERDEKA, 23 Agustus 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Ibu, kalau orang Jakarta tidak mau memilih Ahok, kirim saja ke sini, kami siap memilihnya…”

DARI sisi kepentingan personal, saya tidak punya hak pilih dan tak terkait apa pun dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Maka sebenarnya boleh saja saya tidak peduli, namun ternyata hati dan tangan ini terasa gatal, tak bisa untuk tidak peduli. Tiap hari membaca dan mendengar pemberitaan tentang hiruk pikuk Pilgub DKI, suka tidak suka akhirnya menyita perhatian saya sebagai anak bangsa.

Tanpa bermaksud membela siapa pun, menghakimi siapa pun atau kelompok mana pun, tulisan ini hanyalah ungkapan suara hati sebagai rakyat yang merasa heran. Ketika sebagian besar masyarakat Jakarta menjagokan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku petahana, semakin kuat pulalah gelombang tekanan dari berbagai pihak untuk menghentikan langkahnya.

Suatu hari saya datang ke sebuah daerah di Sumatera — yang jelas bukan Bangka Belitung daerah asal Ahok –, sopir taksi yang mengantar dengan bersemangat bertanya apakah saya orang Jakarta? Saya jawab saja sekenanya, ”Iya”.

Dan, dengan berapi- api dia bilang, ”Ibu, kalau orang Jakarta tidak mau memilih Ahok, kirim saja ke sini, kami siap memilihnya…” Itu tentu logika sederhana dari representasi rakyat yang merindukan pemimpin seperti Ahok.

Tak hanya sekali itu saya mendengar ungkapan yang sama dari beberapa orang meskipun dengan bahasa yang berbeda. Ternyata, di tataran elite politik dan penentu kebijakan, suasananya lebih hiruk pikuk. Bukan ramai mendukung, melainkan sibuk mencarikan musuh untuk Basuki Tjahaja, sampai pada kesibukan mencari celah menghentikan langkahnya.

Mulai dari pernyataan bahwa tidak ada partai yang bersedia mengusung, sampai gerakan ”pokokya bukan Ahok”. Keriuhan tarik ulur kepentingan sampai pada inventarisasi sejumlah nama kepala daerah yang dinilai sukses secara politik, dicintai rakyat, berhasil membangun daerah, dan mempunyai ”nilai jual” tinggi.

Mereka diseret masuk ke pusaran arus Pilgub DKI. Manajemen konflik dijalankan. Ahok ”dibentur- benturkan” dengan tokoh-tokoh ”yang dianggap baik dan berhasil”, misalnya dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Seolah-olah terekomendasikan bahwa untuk mengalahkan Ahok, harus ”dicarikan lawan yang seimbang”.

Elite politik lupa, ketika mereka sibuk mencarikan lawan tanding, dan yang muncul adalah tokohtokoh baik, berhasil memimpin wilayah, dicintai rakyat, dan mampu membawa perubahan, mereka secara tidak sadar mengakui bahwa kelas Ahok setara dengan para tokoh tersebut. Mungkin mereka tidak menyadari, atau sebenarnya paham, namun kepentingan politiklah yang membuat tidak sadar.

Pilihan Rasional

Logikanya, kalau Ahok dianggap setara dengan para tokoh yang diusung untuk jadi tandingan, hal itu berarti ”salah satu dari mereka harus dimatikan”. Dan, boleh jadi ini bukan logika politik para elite, bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik ketika banyak pemimpin yang baik, berhasil, dan dicintai rakyat seperti Risma, Ridwan Kamil, dan Ahok.

Dalam logika berpikir umum, sebuah pilihan tentu didasari oleh pikiran rasional. Ukuran rasionalitas adalah norma umum yang berlaku tentang baik buruk, benar salah, indah tidak indah, atau etis tidak etis. Ukuran-ukuran ini, secara universal disepakai oleh sebagian besar masyarakat. Secara sederhana, meminjam istilah Weber, tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan.

Tindakan ini, dalam ranah Sosiologi dikembangkan oleh Coleman (1989) yang menyatakan bahwa pilihan rasional merupakan tindakan rasional dari individu atau aktor untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan tujuan tertentu, dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan rasionalnya.

Kalaulah pilihan rasional rakyat adalah pemimpin- pemimpin seperti Ahok, Risma, atau Ridwan Kamil, mengapa justru hal itu dianggap tidak rasional dengan cara menciptakan konflik di antara tokoh yang dipilih itu? Rasionalitas rakyat sungguh sederhana, mereka hanya ingin negara yang sudah 71 tahun merdeka ini menjadi lebih baik dalam segala bidang.

Masyarakat sudah mulai pandai memilih mana pemimpin yang membawa kemaslahatan dan mana yang tidak. Jangan sampai kecerdasan itu dibodohkan dengan klaim stereotipe bahwa ”masyarakat belum siap berdemokrasi”. Masyarakat sudah siap berdemokrasi dengan pilihan-pilihan rasionalnya. Justru yang tampak tidak siap adalah elite politik, dengan pilihan yang semuanya berasionalisasi politis.

Sebenarnya, pilihan rasional antara rakyat dan penggawa negara akan sejalan manakala muara pilihan politik itu rasional, demi kemaslahatan rakyat, bukan pilihan yang hanya dipolitisasi untuk tujuan sekelompok orang atau golongan. Betapa indah apabila justru berlangsung ”kloning” agar muncul banyak Ahok dan Risma yang lain di bumi Indonesia sebagai aliran-aliran atrinak sungai yang akan bertemu dalam satu muara kemaslahatan umat.


Kisah Murka Anies Baswedan dan Memo yang Bocor

Kisah Murka Anies Baswedan dan Memo yang Bocor

Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia
Jumat, 17/06/2016 09:21 WIB

Menteri Anies berang kala melihat guru TK tak dilayani baik di Kemdikbud. Ia mengancam lewat memo: Jika ada yang menolak berubah, tegur keras-tegas, beri aba-aba minggir dari barisan! (ANTARA/Sigid Kurniawan)

Jakarta, CNN Indonesia -- Sabtu pekan lalu, Anies Baswedan seperti biasa menyempatkan diri menulis memo harian untuk jajarannya sembari menghabiskan waktu dalam perjalanan. Menulis memo, kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, merupakan salah satu rutinitasnya menjaga komunikasi dengan para bawahannya.

"Saya  sering nulis-nulis pesan saat dalam perjalanan. Memo ini prinsipnya untuk ingatkan mereka agar stick pada visi kami (Kemendikbud)," kata Anies di sela rapat Kemendikbud dengan Komisi X di Gedung DPR RI, Jakarta, kemarin.

Menulis memo, menurut Anies, ampuh untuk menjaga kedisiplinan jajarannya. Memo itu tak pernah ia sebar luaskan karena khusus untuk internal kementerian.

"Saya tulis memo lalu kirim ke grup WhatAapp khusus eselon I (Kemendikbud). Tapi kadang-kadang mereka (pegawai eselon I) izin untuk sebar ke eselon lainnya. Ya sudah tidak tahu sampai mana lagi memo itu," ujar Anies sembari tertawa.

Namun akibatnya, salah satu memo internal Anies itu bocor Sabtu malam dan langsung beredar viral di media sosial.

Isi memo yang bocor itu sama sekali tak menyenangkan karena berisi murka Menteri Anies. Ia berang dan kecewa dengan kinerja jajarannya yang tak maksimal melayani masyarakat, khususnya para guru.

Memo itu diawali dengan cerita Anies kala bertemu seorang guru TK asal Magelang, Ibu Mei, di kantor kementeriannya. Saat itu Ibu Mei sedang mengurus surat kepangkatan, namun tak berhasil menuntaskan urusan surat itu lantaran petugas tak ada di tempat.

Padahal, Ibu Mei harus segera kembali ke Magelang karena kadung memesan tiket pesawat pulang-pergi. Ibu Mei sudah hendak menyerah mengurusi surat kepangkatannya ketika bertemu Menteri Anies –yang langsung murka begitu mendengar cerita guru TK itu.

Anies geram, lantas mengajak Ibu Mei ke ruangannya. Tak lama setelah peristiwa itu berlalu, memo berisi kemarahan Anies pun menyebar.

"Bapak dan Ibu semua, seorang ibu guru TK yang sudah amat senior dari pinggiran Kabupaten Magelang telah habiskan uang untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta pulang-pergi dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat. Ini tidak seharusnya terjadi dan tidak boleh berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG," demikian kutipan isi memo internal Anies.

Anies menyesalkan hal seperti itu masih terjadi pada lembaganya. Mestinya, kata Anies, petugas tidak meninggalkan tempat kerjanya ketika sedang berjaga agar tetap bisa melayani masyarakat.

Anies pun mengancam akan memberi sanksi tegas kepada bawahannya yang ketahuan bekerja tanpa punya niat melayani masyarakat.

"Sanksi tegas ada, tapi nanti dibicarakan internal saja. Saya enggak hobi mempermalukan orang," ujar Anies.

Berikut isi memo Anies:


Kepada
Yth Jajaran Pimpinan Kemdikbud
 
Assalamu'alaikum wr wb
Kemarin saya mampir ke Unit Layanan Terpadu di Gedung C. Saya tuliskan catatan kecil untuk jadi bahan refleksi dan susun langkah perubahan.
 
Begini ceritanya .....

"Inggih Pak, mboten napa-napa," jawab Ibu Mei. Iya tidak apa-apa, Pak. Itu jawabnya saat saya minta maaf atas nama Kemdikbud.

Saya tanya kenapa dia sampai pergi ke Jakarta.  "Saya ini sudah 59 tahun, Pak. Tahun depan pensiun. Kalau tahun ini ada masalah, saya takut tidak bisa terima uang pensiun," Ibu Mei menjelaskan alasan kenapa ke Jakarta.

Itu cuma satu dari dua ratusan orang yang datang di hari Jumat kemarin. Ibu guru itu bernama Ibu Mei, seorang guru TK dari Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Dia berangkat ke Jakarta ditemani putrinya yang tinggal di Semarang dan seorang staf Dinas Pendidikan Kab. Magelang.

Sesudah Jumatan, saya berjalan melewati ULT. Tanpa sengaja, berpapasan lagi dengan mereka bertiga di selasar depan ULT.

Saya tanya apakah sudah beres, lalu putrinya menjawab, "Tadi kami diminta oleh petugas ULT untuk mengurus ke lantai 13 di Gedung D. Kami sudah ke sana lalu menunggu tapi petugasnya tidak ada."

"Sekarang mau ke mana?" tanya saya. Putrinya kemudian menjawab, "Kami mau ke bandara, terlanjur beli tiket PP sore ini." Semua diam. Saya kaget, ya amat terkejut.

Bapak dan Ibu semua, seorang ibu guru TK yang sudah amat senior dari pinggiran Kab Magelang telah habiskan uang untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta PP dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat.

Cukup sudah tempat ini jadi pangkal kekecewaan!!

Saya ajak mereka ke ruangan saya dan panggil petugas GTK untuk membereskan hingga tuntas.

Bapak dan Ibu, ini tidak seharusnya terjadi dan tidak boleh berulang. Saya tegaskan sekali lagi: TIDAK BOLEH BERULANG.

Saya akan ceritakan lagi pengalaman nyata, pengalaman kami yang pernah saya ceritakan pada Ibu dan Bapak sekalian saat kita bicara soal pelayanan pada guru beberapa bulan yang lalu.

Saat itu saya masih duduk di bangku SMA. Saya mengantar almarhum ayah ke Stasiun Tugu di Jogjakarta. Beliau berangkat naik KA Senja Utama ke Jakarta, akan mengurus soal kepangkatannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kami sekeluarga melepas dengan penuh harap bahwa kepangkatannya bisa beres. Beberapa hari kemudian, menjelang subuh saya menjemput di Stasiun Tugu lagi. Saat itu diceritakan bahwa urusannya tidak selesai karena pejabat yang berwenang sedang tidak di tempat dan yang lain tidak bisa memutuskan. Ya, sama persis. Pulang kampung dengan tangan hampa. Sebabnya sama: pejabat tidak ada di tempat.

Sekembalinya dari Jakarta, pagi itu juga ayah langsung mengajar lagi. Ruang kelasnya tidak boleh kosong terlalu lama.

Beberapa waktu kemudian, kami sekeluarga mengantar lagi ke Stasiun Tugu. Ayah berangkat lagi ke Jakarta untuk menuntaskan urusan kepegawaiannya, yang pada waktu itu beliau sudah lebih dari 25 tahun mengajar. Bawa kopor dan tas dokumen berisi semua berkas-berkas penunjang.

Di perjalanan pulang dari stasiun, Ibu bergumam sambil matanya berkaca-kaca, "Kasihan abah jadi korban perubahan aturan". Kami panggil ayah dengan sebutan sunda, abah. Saya tidak ingat detail aturannya, tapi kami semua diam sambil berharap kali ini beres.

Datang harinya beliau kembali ke Jogja. Saya jemput lagi di Stasiun Tugu subuh-subuh. Beliau membawa kabar, tidak bisa. Ikhtiar pengurusan pangkat itu hasilnya nihil.

Saya ingat, kami duduk mengitari meja makan mendengarkan cerita beliau saat mengurus di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bawa map berisi dokumen, mengantre di ruang tunggu, hingga akhirnya ditemui sang pejabat. Detail cerita beliau.

Kami semua jadi geram dan kesal mendengarnya. Di akhir obrolan pagi itu, beliau mengatakan kira-kira begini, biarlah negara tidak mengakui masa kerja ini tapi yang penting ada di catatan Allah.

Hingga akhirnya hayatnya, pangkat ayah tidak pernah bisa dituntaskan. Ayah  mengajar lebih dari 40 tahun. Ribuan pernah jadi muridnya. Kebahagiaannya didapat bukan dari selembar kertas pengakuan negara, tapi dari lembaran surat, kartu lebaran, atau silaturahmi bekas murid-muridnya.

Setiap melihat guru datang ke Kemdikbud mengurus kepangkatan, sertifikasi, NUPTK dll, saya membayangkan mereka kelak pulang ke rumah disongsong oleh istri, suami dan anak-anak yang berharap dengar kabar baik, seperti keluarga kami dulu. Semua anggota keluarga menunggu kepulangan dengan penuh harap untuk sebuah urusan yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Tugas mereka mengajar, mendidik, dan menginpsirasi. Tugas birokrasi pendidkkan adalah memudahkan mereka bekerja, bukan malah menyulitkan. Cukup sudah. Cukup kementerian ini jadi kontributor permasalahan administrasi tanpa akhir.

Bapak dan Ibu, Laporan dari BKLM tentang jumlah guru yang datang ke ULT Kemdikbud ini jangan pernah dipandang semata-mata sebagai data statistik untuk dianalisa.

Tiap angka itu adalah seorang manusia harapan keluarga. Mereka adalah pilar keluarga. Anak, istri atau suami menunggu penuh harap di kampung halaman. Mereka adalah pejuang yang telah lelah, telah berkeringat di garis depan, di depan kelas untuk mendidik anak-anak kita.

Lunasi semua haknya. Permudah semua prosesnya. Manusiawikan kembali proses pengurusannya. Tuntaskan ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Di hari Sabtu siang, renungkan catatan ini. Bayangkan tiap kita berada di posisi para pencari kepastian, para Ibu dan Bapak guru yang datang ke ULT.

Awal minggu depan, saya akan siapkan surat instruksi resminya. Instruksinya: semua unit yang terkait dengan urusan data guru dan seputar pengurusan administrasi guru untuk menyiapkan rencana perombakan total. Penyederhanaan total. Segera siapkan untuk menjalankan instruksi.

Jika Bapak dan Ibu menemui kendala, ada yang menolak untuk berubah, ada yang tidak sanggup untuk menyederhanakan proses, maka tegur dengan keras dan tegas. Beri aba-aba untuk minggir dari barisan!


Sumber :  http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160617092059-20-138845/kisah-murka-anies-baswedan-dan-memo-yang-bocor/