Selasa, 24 Mei 2016

Membangkitkan Literasi Lokal

Membangkitkan Literasi Lokal

Sofie Dewayani ;    Ketua Yayasan Litara; Anggota Satgas Gerakan Literasi Sekolah
                                               MEDIA INDONESIA, 23 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bungai ingin seperti Kak Putir, bisa menganyam tikar...tapi Kak Putir tak mau mengajari. Bungai ingin seperti Kak Putir, punya banyak teman. Bungai ingin ikut bermain Basam bersama, tapi Bungai hanya boleh melihat saja. Diam-diam Bungai mengikuti Kak Putir ke sanggar. Bungai meniru gerakan Kak Putir menari. "Bungai! Anak laki-laki tak boleh menari tarian Bahalai," kata Kak Putir. Bungai melihat dan menirukan orang menari Mandau. Hore! Ternyata ada tarian yang cocok untuk Bungai. Bungai dan Kak Putir menari bersama. Mereka bisa menari Manasai bersama-sama.

GURU-GURU SD dari Kabupaten Pulang Pisau, Kotawaringin, dan beberapa kabupaten lain di Kalimantan Tengah itu takjub akan lontaran ide-ide tentang kekayaan budaya lokal yang dapat mereka tuangkan saat mengadaptasi buku cerita anak Ketika Gilang Ingin seperti Kak Sita, yang berlatar budaya Jawa. Karya guru-guru ini menampilkan tokoh cerita yang berkostum tarian Mandau, menarikan tari Manasai atau menggunakan masker ke sekolah karena kabut asap yang pekat.

Apabila buku-buku cerita anak menampilkan tokoh cerita yang mencerminkan pembaca dan tradisi di lingkungan mereka yang kaya, anak akan bangga terhadap diri dan budaya mereka. Dengan praktik menulis dan memadukan kekayaan tradisi lokal dalam pembelajaran, guru pun tumbuh sebagai figur teladan yang literat. Maka, kita dapat membayangkan dahsyatnya kemampuan literasi siswa apabila guru mampu mengadaptasi buku teks pelajaran, kurikulum, dan menyusun Rencana Program Pembelajaran yang berbasis pada kompetensi yang mempertimbangkan kebutuhan lokal suatu daerah. Inilah profil pendidik yang dibutuhkan Indonesia saat ini.

Praktik literasi lokal ialah kegiatan sporadis yang selama ini luput dari pengamatan. Karena itu, tidak terukur oleh survei literasi global. Dengan tingkat melek aksara 93% (UNESCO, 2012), Indonesia sesungguhnya mengungguli India (69%) dan Pakistan (55%). Namun, kemampuan membaca aksara ini ternyata tak mampu mendongkrak perilaku literat. Survey terbaru CCSU bahkan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal tingkat sirkulasi surat kabar dan sebaran perpustakaan per kapita. Apa yang salah dengan kehidupan literasi bangsa ini?

Multidimensi

Harvey Graff (1979) sudah lama mengingatkan bahwa tingkat melek aksara ialah mitos literasi. Program pemberantasan buta aksara tidak otomatis menaikkan taraf kehidupan seseorang, memberdayakannya, apalagi menjadikannya motor perubahan sosial. Salah satu sebabnya ialah tingkat kemelekaksaraan sering diukur dari kemampuan seseorang untuk berpikir dan berkomunikasi menggunakan bahasa yang dominan.

Penelitian Susan Philips (1992), misalnya menunjukkan bahwa buruknya prestasi akademik siswa-siswa Indian di sebuah sekolah Amerika Serikat disebabkan oleh prasangka bahwa mereka tidak responsif dan tidak literat. Ternyata, sikap 'tidak responsif' ini merupakan ekspresi sikap hormat kepada orang dewasa yang ditunjukkan siswa dengan menghindari kontak mata saat berbicara kepada guru yang berkulit putih.

Menariknya, para siswa Indian ini menunjukkan prestasi akademik ketika diajar guru orang Indian. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan literasi bersifat multidimensi dan terbentuk dalam konteks budaya komunikasi lokal yang unik. Ironisnya, kemampuan literasi selama ini diseragamkan oleh kurikulum, buku teks pelajaran, bahkan kompetensi dasar yang berstandar nasional sehingga budaya minoritas menjadi 'tidak tampak (invisible).

Praktik literasi di negara multikultur seperti Amerika Serikat dan Indonesia seharusnya mengakomodasi aktivitas literasi yang beragam. Sikap literat tidak dapat ditumbuhkan tanpa penghargaan terhadap budaya literasi siswa, yaitu budaya berpikir, mengolah pengetahuan, dan cara berkomunikasi yang membesarkan mereka di rumah. Cara berpikir literat dapat dipupuk dengan membuat materi pembelajaran yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan materi yang relevan ini, siswa tidak hanya mampu memahami bacaan, tetapi juga menganalisis bacaan dan menggunakannya dalam memahami fenomena sosial di sekitarnya. Apabila pembelajaran berlangsung seperti ini, pendidikan mampu mengubah kesadaran, membebaskan, dan pada akhirnya memungkinkan transformasi sosial.

Kemiskinan struktural

Kemerdekaan Indonesia tak mungkin diraih tanpa kebangkitan literasi lokal yang dimotori Budi Utomo. Budi Utomo mengembangkan pendidikan keaksaraan menjadi pemberdayaan rakyat pribumi dan pergerakan sosial. Sekolah yang dikembangkan Budi Utomo memodifikasi sekolah Belanda dengan memasukkan nilai-nilai budaya Jawa. Dengan kemunculan Budi Utomo, perjuangan melawan penjajah menjadi lebih terorganisasi karena dimotori kaum intelektual pribumi. Budi Utomo melakukan transformasi sosial melalui pendidikan dengan kegiatan literasi yang tak hanya menjadikan rakyat pribumi melek aksara, tetapi juga motor perubahan sosial.

Tantangan Indonesia di era modern ini bukan lagi buta aksara. Saat ini kita ditantang oleh permasalahan kemiskinan struktural, ketidakpedulian sosial, sikap individualistis, egoisme kelompok yang memicu konflik horizontal, serta ketidakmampuan untuk memilah dan mengkritisi informasi dengan baik. Mengembangkan literasi lokal dalam konteks krisis lingkungan, misalnya dapat dilakukan guru sekolah dasar di Kalimantan dengan membuat cerita tentang anak yang harus pergi ke sekolah dengan sebagian wajah tertutup masker karena kabut asap yang pekat. Setelah membacakan cerita ini, guru dan siswa dapat berdiskusi tentang dampak kebakaran hutan bagi kesehatan dan cara menanam kelapa sawit yang ramah lingkungan, tanpa membakar lahan.

Contoh lain, tokoh dalam cerita karya guru dapat menampilkan seorang anak Dayak dan anak Jawa di Kalimantan yang bersahabat di sekolah. Cerita multikultural ini dapat dijadikan media untuk berdiskusi tentang keragaman budaya juga agama, secara terbuka. Selama ini praktik toleransi sudah terjadi di banyak tempat. Dengan mendiskusikannya di sekolah, siswa akan terlatih untuk berbagi pendapat dan melakukan refleksi kritis secara lebih mendalam tentang pengalaman keseharian mereka. Diskusi seperti ini perlu terjadi di sekolah dan guru perlu memfasilitasi serta menjadi promotor dialog dalam norma yang sesuai dengan kearifan budaya lokal daerah.

Tema-tema pembakaran hutan dan praktik keragaman kultural di daerah tidak terpapar secara spesifik dalam buku teks pelajaran dan buku-buku pengayaan yang beredar di kota-kota besar di Pulau Jawa. Tugas gurulah untuk menjadikan kompetensi dasar dalam kurikulum nasional relevan dengan misi dan kebutuhan pembelajaran di daerah. Indonesia memerlukan guru-guru yang berperan seperti aktivis Budi Utomo, yaitu yang mengajarkan pendidikan yang memberdayakan -- yang tidak terpaku pada kurikulum yang kaku -- sembari memampukan siswa untuk menjadi arif dengan budaya lokal dan menjadi motor perubahan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar