Membangkitkan Literasi Lokal
Sofie Dewayani ;
Ketua Yayasan Litara; Anggota Satgas Gerakan
Literasi Sekolah
|
MEDIA INDONESIA,
23 Mei 2016
Bungai ingin seperti Kak Putir, bisa menganyam tikar...tapi Kak
Putir tak mau mengajari. Bungai ingin seperti Kak Putir, punya banyak teman.
Bungai ingin ikut bermain Basam bersama, tapi Bungai hanya boleh melihat
saja. Diam-diam Bungai mengikuti Kak Putir ke sanggar. Bungai meniru gerakan
Kak Putir menari. "Bungai! Anak laki-laki tak boleh menari tarian Bahalai,"
kata Kak Putir. Bungai melihat dan menirukan orang menari Mandau. Hore!
Ternyata ada tarian yang cocok untuk Bungai. Bungai dan Kak Putir menari
bersama. Mereka bisa menari Manasai bersama-sama.
GURU-GURU SD dari
Kabupaten Pulang Pisau, Kotawaringin, dan beberapa kabupaten lain di
Kalimantan Tengah itu takjub akan lontaran ide-ide tentang kekayaan budaya
lokal yang dapat mereka tuangkan saat mengadaptasi buku cerita anak Ketika
Gilang Ingin seperti Kak Sita, yang berlatar budaya Jawa. Karya guru-guru ini
menampilkan tokoh cerita yang berkostum tarian Mandau, menarikan tari Manasai
atau menggunakan masker ke sekolah karena kabut asap yang pekat.
Apabila buku-buku
cerita anak menampilkan tokoh cerita yang mencerminkan pembaca dan tradisi di
lingkungan mereka yang kaya, anak akan bangga terhadap diri dan budaya
mereka. Dengan praktik menulis dan memadukan kekayaan tradisi lokal dalam
pembelajaran, guru pun tumbuh sebagai figur teladan yang literat. Maka, kita
dapat membayangkan dahsyatnya kemampuan literasi siswa apabila guru mampu
mengadaptasi buku teks pelajaran, kurikulum, dan menyusun Rencana Program
Pembelajaran yang berbasis pada kompetensi yang mempertimbangkan kebutuhan
lokal suatu daerah. Inilah profil pendidik yang dibutuhkan Indonesia saat
ini.
Praktik literasi lokal
ialah kegiatan sporadis yang selama ini luput dari pengamatan. Karena itu,
tidak terukur oleh survei literasi global. Dengan tingkat melek aksara 93%
(UNESCO, 2012), Indonesia sesungguhnya mengungguli India (69%) dan Pakistan
(55%). Namun, kemampuan membaca aksara ini ternyata tak mampu mendongkrak
perilaku literat. Survey terbaru CCSU bahkan menempatkan Indonesia pada
peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal tingkat sirkulasi surat kabar dan sebaran
perpustakaan per kapita. Apa yang salah dengan kehidupan literasi bangsa ini?
Multidimensi
Harvey Graff (1979)
sudah lama mengingatkan bahwa tingkat melek aksara ialah mitos literasi.
Program pemberantasan buta aksara tidak otomatis menaikkan taraf kehidupan
seseorang, memberdayakannya, apalagi menjadikannya motor perubahan sosial.
Salah satu sebabnya ialah tingkat kemelekaksaraan sering diukur dari
kemampuan seseorang untuk berpikir dan berkomunikasi menggunakan bahasa yang
dominan.
Penelitian Susan
Philips (1992), misalnya menunjukkan bahwa buruknya prestasi akademik
siswa-siswa Indian di sebuah sekolah Amerika Serikat disebabkan oleh
prasangka bahwa mereka tidak responsif dan tidak literat. Ternyata, sikap
'tidak responsif' ini merupakan ekspresi sikap hormat kepada orang dewasa
yang ditunjukkan siswa dengan menghindari kontak mata saat berbicara kepada
guru yang berkulit putih.
Menariknya, para siswa
Indian ini menunjukkan prestasi akademik ketika diajar guru orang Indian. Hal
ini membuktikan bahwa kemampuan literasi bersifat multidimensi dan terbentuk
dalam konteks budaya komunikasi lokal yang unik. Ironisnya, kemampuan
literasi selama ini diseragamkan oleh kurikulum, buku teks pelajaran, bahkan
kompetensi dasar yang berstandar nasional sehingga budaya minoritas menjadi
'tidak tampak (invisible).
Praktik literasi di
negara multikultur seperti Amerika Serikat dan Indonesia seharusnya
mengakomodasi aktivitas literasi yang beragam. Sikap literat tidak dapat
ditumbuhkan tanpa penghargaan terhadap budaya literasi siswa, yaitu budaya
berpikir, mengolah pengetahuan, dan cara berkomunikasi yang membesarkan
mereka di rumah. Cara berpikir literat dapat dipupuk dengan membuat materi
pembelajaran yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan materi yang relevan
ini, siswa tidak hanya mampu memahami bacaan, tetapi juga menganalisis bacaan
dan menggunakannya dalam memahami fenomena sosial di sekitarnya. Apabila
pembelajaran berlangsung seperti ini, pendidikan mampu mengubah kesadaran,
membebaskan, dan pada akhirnya memungkinkan transformasi sosial.
Kemiskinan struktural
Kemerdekaan Indonesia
tak mungkin diraih tanpa kebangkitan literasi lokal yang dimotori Budi Utomo.
Budi Utomo mengembangkan pendidikan keaksaraan menjadi pemberdayaan rakyat
pribumi dan pergerakan sosial. Sekolah yang dikembangkan Budi Utomo
memodifikasi sekolah Belanda dengan memasukkan nilai-nilai budaya Jawa.
Dengan kemunculan Budi Utomo, perjuangan melawan penjajah menjadi lebih
terorganisasi karena dimotori kaum intelektual pribumi. Budi Utomo melakukan
transformasi sosial melalui pendidikan dengan kegiatan literasi yang tak
hanya menjadikan rakyat pribumi melek aksara, tetapi juga motor perubahan
sosial.
Tantangan Indonesia di
era modern ini bukan lagi buta aksara. Saat ini kita ditantang oleh
permasalahan kemiskinan struktural, ketidakpedulian sosial, sikap
individualistis, egoisme kelompok yang memicu konflik horizontal, serta
ketidakmampuan untuk memilah dan mengkritisi informasi dengan baik. Mengembangkan
literasi lokal dalam konteks krisis lingkungan, misalnya dapat dilakukan guru
sekolah dasar di Kalimantan dengan membuat cerita tentang anak yang harus
pergi ke sekolah dengan sebagian wajah tertutup masker karena kabut asap yang
pekat. Setelah membacakan cerita ini, guru dan siswa dapat berdiskusi tentang
dampak kebakaran hutan bagi kesehatan dan cara menanam kelapa sawit yang
ramah lingkungan, tanpa membakar lahan.
Contoh lain, tokoh
dalam cerita karya guru dapat menampilkan seorang anak Dayak dan anak Jawa di
Kalimantan yang bersahabat di sekolah. Cerita multikultural ini dapat
dijadikan media untuk berdiskusi tentang keragaman budaya juga agama, secara
terbuka. Selama ini praktik toleransi sudah terjadi di banyak tempat. Dengan
mendiskusikannya di sekolah, siswa akan terlatih untuk berbagi pendapat dan
melakukan refleksi kritis secara lebih mendalam tentang pengalaman keseharian
mereka. Diskusi seperti ini perlu terjadi di sekolah dan guru perlu
memfasilitasi serta menjadi promotor dialog dalam norma yang sesuai dengan
kearifan budaya lokal daerah.
Tema-tema pembakaran
hutan dan praktik keragaman kultural di daerah tidak terpapar secara spesifik
dalam buku teks pelajaran dan buku-buku pengayaan yang beredar di kota-kota
besar di Pulau Jawa. Tugas gurulah untuk menjadikan kompetensi dasar dalam
kurikulum nasional relevan dengan misi dan kebutuhan pembelajaran di daerah.
Indonesia memerlukan guru-guru yang berperan seperti aktivis Budi Utomo,
yaitu yang mengajarkan pendidikan yang memberdayakan -- yang tidak terpaku
pada kurikulum yang kaku -- sembari memampukan siswa untuk menjadi arif dengan
budaya lokal dan menjadi motor perubahan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar