Menuju Pemilu Konstitusional
Refly Harun ; Praktisi
Hukum Tata negara Dosen di Program Pascasarjana UGM
|
MEDIA INDONESIA,
21 Mei 2016
HARI ini, 18 tahun
lalu, ialah hari tumbangnya rezim otoriter Orde Baru.
Hari ini adalah hari
jatuhnya HM Soeharto. Hari ini pula pertanda dimulainya era baru bernama era
reformasi. Sudah banyak yang telah dicapai dalam era reformasi, tetapi banyak
pula yang belum terjangkau.
Salah satunya soal
pemilihan umum (pemilu).
Sejak era reformasi
1998, Indonesia telah menyelenggarakan 4 kali pemilu legislatif, 3 kali
pemilu presiden/wakil presiden, dan lebih dari 1.000 pemilihan (umum) kepala
daerah (pilkada) di seluruh Indonesia.
Meski pemilu-pemilu
itu relatif demokratis menurut banyak pihak--salah satu indikatornya, hasil
atau pemenang pemilu tidak bisa dipastikan atau ditentukan seperti pada
pemilu-pemilu Orde Baru (unpredictable
result)--tak bisa dimungkiri masih banyak soal yang menggelayut di jagat
pemilu kita. Yang paling menonjol ialah masih banyaknya kecurangan dalam
pemilu.
Kecurangan pemilu (electoral fraud) menyebabkan semua
asumsi pemilu jadi berantakan. Dalam soal pilihan sistem proporsional
terbuka, misalnya, diasumsikan anggota legislatif terpilih akan lebih
akuntabel terhadap para pemilih karena dipilih secara langsung. Bila mereka
tidak akuntabel terhadap pemilih, pada pemilu berikutnya, mereka tidak
terpilih lagi.
Karena itu, untuk
tetap di hati rakyat, anggota legislatif harus peduli pada rakyat, terutama
para pemilih.
Dalam konteks pilkada,
pilihan terhadap pilkada langsung diasumsikan kepala daerah yang terpilih
juga akan mengabdi kepada masyarakat.
Akan pula muncul punishment dari rakyat bila mereka
tidak bekerja baik untuk rakyat. Begitulah hukum besi pemilu yang kita yakini
selama ini.
Ternyata asumsi-asumsi itu tumbang dalam fakta. Sudah ratusan
kepala daerah harus mendekam di balik jeruji besi karena menyandungkan diri
atau tersandung kasus korupsi. Alih-alih memikirkan rakyat, yang mereka
pikirkan ialah pengembalian modal politik plus mencari bonus untuk pilkada
berikutnya.
Kondisi yang sama
terjadi pula pada anggota legislatif, baik di tingkat pusat (DPR) maupun di
tingkat lokal (DPRD). Sistem proporsional terbuka tidak berpengaruh untuk
mendekatkan mereka pada konstituen. Sebab, mayoritas yang terpilih tahu untuk
meraih suara, terlebih suara perseorangan butuh upaya yang ekstra. Tidak
hanya mengeruk suara langsung dari rakyat, tapi langsung bermain curang pada
distribusi internal antarsesama calon dari parpol yang sama.
Dengan cara penentuan
calon terpilih melalui mekanisme suara terbanyak setelah partai dipastikan
mendapat kursi, para calon dalam satu partai dan daerah pemilihan yang sama
saling sikut untuk menjadi nomor satu.
Persaingan dalam
sistem proporsional terbuka yang paling sadis bukan terjadi antarpartai,
melainkan antarcalon dari partai yang sama. Bahkan, sering terjadi aliansi
calon dari partai yang berbeda untuk menghadang laju kemenangan teman dari
satu partai. Begitulah gambaran pesimistis dari pemilu di era Reformasi.
Terjadi paradoks. Meski
kecurangan kasat di depan mata, tidak ada mekanisme penegakan hukum yang
efisien, efektif, dan menjerakan.
Mekanisme penegakan
hukum pemilu kita dibuat tumpul di muara. Salah satu penyebabnya adalah
terlalu banyaknya institusi yang terlibat sehingga keadilan pemilu (electoral justice) tidak tercapai.
Padahal, tujuan utama
sebuah sistem atau mekanisme keadilan pemilu ialah pulihnya hak-hak elektoral
yang terlanggar. Bila terjadi pencurian suara secara sengaja oleh kontestan
pemilu, yang perlu dilakukan pertama ialah mengembalikan suara itu kepada
yang berhak. Menghukum pencuri suara ialah soal kedua yang bisa dicapai
melalui penegakan hukum pidana pemilu dalam jalur umum saja (criminal justice system) tanpa perlu
prosedur khusus.
Prosedur khusus
diperlukan dalam pengembalian suara pemilih yang dicuri tersebut. Dalam
konteks Indonesia, keadilan pemilu bertujuan menegakkan pemilu
konstitusional, yaitu pemilu yang diamanatkan UUD 1945 yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil).
Dua jalur penguatan
Dengan landasan pemikiran yang demikian itu, dalam
rancangan disertasi yang saya buat dan saya pertahankan hari ini di Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang, saya mengusulkan langkah menyatuatapkan
penyelesaian masalah-masalah hukum melalui dua jalur.
Pertama, jalur tanpa perubahan konstitusi. Kedua, jalur
seandainya terjadi perubahan UUD 1945 (lagi).
Bila perubahan UUD
1945 sulit dilakukan, saya mengusulkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
menjadi lembaga penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu. Bawaslu akan
menangani sebagian besar masalah hukum pemilu agar penyelesaian sengketa
pemilu (electoral dispute resolution)
bisa berlangsung efektif dan efisien.
Dengan demikian,
Bawaslu tidak perlu lagi menjadi lembaga pengawas pemilu, yang saya pandang
tidak efektif karena tidak menentukan dalam penyelesaian masalah. Dalam
kapasitas sebagai pengawas, Bawaslu dan jajaran layaknya tukang pos yang
mengantar surat. Bawaslu hanya menyampaikan kepada institusi yang berwenang
bila terjadi pelanggaran pemilu, pelanggaran pidana kepada polisi,
pelanggaran administratif kepada KPU, dan pelanggaran kode etik kepada Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hanya sengketa pemilu yang dapat
ditangani sendiri hingga terbit suatu keputusan.
Dengan kapasitas baru sebagai lembaga penyelesaian
sengketa dan pelanggaran pemilu, Bawaslu tidak perlu lagi menjadi lembaga
pengawas.
Biarlah pengawasan diserahkan kepada stakeholder pemilu
lainnya, yaitu peserta pemilu, parpol, pemantau pemilu, dan pemilih secara
keseluruhan. Bawaslu berkonsentrasi untuk menyelesaikan sengketa atau
pelanggaran pemilu agar pemilu konstitusional dapat diwujudkan.
Terakhir, andai perubahan konstitusi dimungkinkan, saya menyarankan
Mahkamah Konstitusi (MK) diberi kewenangan untuk menyelesaikan sebagian besar
masalah hukum pemilu dalam perspektif mewujudkan pemilu konstitusional sesuai
dengan keberadaan MK sebagai the
guardian of the constitution.
Menuju pemilu
konstitusional ialah tantangan bagi demokrasi Indonesia.
Tersedianya mekanisme
penyelesaian sengketa/pelanggaran pemilu yang efektif dan efisien ialah salah
satu cara mewujudkan pemilu konstitusional.
Pemilu di mana pun di
dunia ini tidak mungkin steril dari kecurangan dan kesalahan. Namun, yang
terpenting ialah selalu ada cara untuk mengoreksi kecurangan itu sekaligus
menghukum mereka yang curang.
Hal itu bisa dicapai
baik dengan mendayafungsikan lembaga yudisial (MK) maupun nonyudisial
(Bawaslu).
Hari ini sudah 18
tahun reformasi kita. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Mewujudkan
pemilu konstitusional salah satunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar