Rabu, 27 Desember 2006

Mencari Sosok Ibu di Hari Ibu



MENCARI SOSOK IBU DI HARI IBU



Anak saya yang baru akan menginjak usia dewasa pada tanggal 22 Desember lalu bertanya kepada saya, mengapa kalau Hari Ibu ada tetapi Hari Bapak tidak ada? Mendengar pertanyaan anak saya tersebut, saya tersenyum.  Dalam hati saya teringat ketika pertanyaan yang sama juga pernah ada di benak saya  ketika usia saya kurang lebih sama dengan usianya. Lalu, untuk sekadar memuaskan keingintahuan anak saya tersebut, saya memberikan penjelasan sekenanya yang mudah-mudahan dapat diterima oleh anak saya. 

Waktu itu saya jelaskan kepada anak saya bahwa Hari Ibu sengaja diadakan dan diperingati supaya kita sebagai warga Indonesia selalu ingat (jangan melupakan) jasa dan pengorbanan seorang Ibu yang sangat besar, terutama dalam melahirkan, mengasuh dan membesarkan anak-anaknya.  Satu hal yang perlu kita sadari, keberhasilan generasi muda untuk tampil menjadi pemimpin bangsa banyak tergantung pada sejauhmana keberhasilan Ibu dalam membesarkan, mengasuh dan mendidik anak-anaknya.  Mengingat peran Ibu yang demikian penting tersebut, setiap tanggal 22 Desember kita semua diingatkan untuk menghormatinya, mengindahkan pesan dan ucapannya, dan memberikan kado penghargaan kepadanya.

“Lalu, mengapa Hari Bapak tidak diperingati?”, tanya anak saya.  Setelah berhenti sejenak untuk berpikir, lalu saya jelaskan bahwa Hari Bapak tidak perlu diperingati karena memang tidak ada alasan atau kepentingan yang mendesak untuk memperingatinya. Maksud saya, kalau Hari Ibu itu diperingati karena ada kecenderungan masyarakat (termasuk sebagian para Ibu dan paling tidak pada saat itu) untuk melupakan peran Ibu yang sangat penting tersebut.  Sedangkan peran Bapak nampaknya (paling tidak sampai saat ini) sama sekali tidak ada yang mempermasalahkannya, sehingga tidak perlu dibuat Hari Bapak untuk memperingatinya. Mendengar penjelasan saya tersebut, anak saya pun manggut-manggut. 

Saya tidak tahu apakah anak saya dapat menerima sepenuhnya penjelasan saya.  Tetapi yang pasti adalah saya telah berbohong kepadanya karena saya sendiri sebenarnya ragu sejauhmana kebenaran penjelasan yang telah saya sampaikan kepadanya.

Saya memang pernah membaca bahwa pada tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari nasional.  Tanggal 22 Desember dipilih karena hari itu bertepatan dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta.  Namun saya tidak tahu persis, dan saya juga tidak terlalu peduli, apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan kaum perempuan pada saat itu.   Satu hal yang saat ini saya peduli adalah sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan saat ini?

Ada tiga sosok Ibu yang akan saya tampilkan dalam tulisan ini, dan ketiganya mempunyai peran penting dalam proses pembangunan bangsa yang tidak bisa kita abaikan begitu saja.  Yang pertama adalah sosok Ibu Rumah Tangga yang saya percaya jumlahnya merupakan mayoritas di Indonesia.  Ibu Rumah Tangga sering digambarkan sebagai sosok Ibu yang mempunyai perhatian penuh pada anak-anak dan juga Sang Suami.  Ia mengabdikan hidupnya secara total kepada mereka.  Namun, ada pula sebagian dari kita yang mengkritiknya sebagai manusia yang terlalu “nrimo”.  Sama sekali tak terlintas dalam benaknya untuk beremansipasi, termasuk merambah ke dunia kerja yang selama ini biasa dilakukan oleh kaum lelaki.  Hidupnya bagai burung di dalam sangkar.  Ia sudah merasa dimuliakan apabila ia mampu memberikan keturunan dan hidupnya dijamin aman. Lebih dimuliakan lagi apabila ia bisa hidup dalam “sangkar” yang terbuat dari emas.

Sosok Ibu yang kedua adalah yang biasa kita kenal sebagai Wanita Karir, yakni wanita yang sehari-hari lebih sering menyibukkan diri dalam kegiatan profesi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Wanita Karir pada umumnya mempunyai latar belakang pendidikan yang relatif lebih terpelajar dibandingkan dengan wanita yang cukup puas dengan predikat sebagai Ibu Rumah Tangga.  Ia juga dikenal sebaga wanita yang selalu berusaha untuk mematahkan mitos dunia kerja milik kaum pria.  Namun, Wanita Karir juga tidak jarang menerima kritik sebagai manusia yang telah melawan kodratnya.  Demi ambisi pribadi ia rela membiarkan suami dan anak-anaknya dilayani dan dijaga oleh Pembantu Rumah Tangga. Dan barangkali yang paling membuat orang geram, demi karir dan jabatan yang akan diperolehnya kadang ia rela menyerahkan mahkota kewanitaannya kepada Boss dan atasannya.

Sosok Ibu berikutnya adalah Perempuan Aktivis. Meskipun ia telah bersuami dan bahkan mempunyai banyak anak, tetapi ia lebih suka menyebut dirinya sebagai Perempuan ketimbang sebagai sosok Ibu.  Sosok Ibu Perempuan Aktivis ini sangat idealis dan kritis.  Ia selalu memposisikan dirinya dekat dengan rakyat melalui kegiatannya yang bertajuk pemberdayaan masyarakat. Sebagian besar waktu hidupnya memang dipersembahkan untuk memperbaiki nasib kaum perempuan yang tertindas dan teraniaya. Namun, sama halnya dengan Ibu Rumah Tangga dan Wanita Karir, Perempuan Aktivis pun tak luput dari sorotan kritik yang bisa membuat wajah mereka memerah menahan marah. 

Sama dengan Wanita Karir, Perempuan Aktivis juga dikritik karena terlalu banyak melakukan kegiatan di luar rumah sehingga seringkali mengganggu keharmonisan hubungan keluarga (suami, isteri dan anak-anak mereka) dalam rumah tangganya sendiri.  Selain itu, tidak jarang kegiatan demonstrasi yang konon mereka lakukan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan tersebut sebenarnya tidak lebih dari sekadar melaksanakan mandat atau pesan sponsor dari organisasi non-pemerintah internasional (international NGOs) yang telah mengucurkan dananya kepada LSM tempat mereka bekerja. Teriakan perangnya yang ditujukan kepada pemerintah juga sebenarnya tidak lebih dari sekadar sinyal agar pemerintah meresponnya dengan memberikan bantuan proyek pemberdayaan masyarakat dimana ia menjadi bagian di dalamnya.  Atau siapa tahu, kegarangannya menyerang pemerintah akan berbuah tawaran pemerintah untuk menempati posisi terhormat sebagai wakil rakyat atau birokrat.

Karakter ketiga sosok Ibu tersebut di atas memang sengaja saya tampilkan secara hitam-putih, dari sisi positip maupun dari sisi negatipnya. Maksud saya adalah ingin menunjukkan bahwa manapun sosok Ibu yang kita pilih sebagai panutan, mereka semua adalah sosok manusia yang masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan.  Kritik yang menunjuk pada sisi negatip dari masing-masing sosok Ibu hendaknya dijadikan acuan bagi sosok Ibu yang bersangkutan untuk memperbaiki kondisi rumah tangga keluarganya menuju kondisi keluarga yang dicita-citakan bersama.

Dalam hal ini saya juga ingin mengingatkan bahwa dalam kenyataan seringkali kita tidak bisa membedakan secara tegas ketiga sosok Ibu tersebut dengan menggunakan kacamata (analisa) hitam-putih.  Sebagai contoh, yang dimaksud sosok Wanita Karir atau juga Perempuan Aktivis bukanlah mereka yang sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (memasak, mencuci pakaian, membersihkan lantai rumah, dan seterusnya).  Demikian pula halnya dengan sosok Ibu Rumah Tangga, ia bukanlah seorang Ibu yang sama sekali tidak pernah melakukan aktivitas diluar rumah, misalnya dalam kegiatan organisasi PKK atau organisasi keagamaan. Dengan demikian, kaca mata analisa sosok Ibu dalam hal ini hanya dapat digunakan untuk melihat sejauhmana ia lebih banyak memfokuskan perhatian pada pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Wanita Karir atau Perempuan Aktivis.

Kembali pada pertanyaan saya sebelumnya tentang sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan pada saat ini?  Dengan tegas saya ingin menyatakan bahwa di era sekarang ini kita membutuhkan ketiga sosok Ibu yang telah kita bicarakan. Perbedaan pendapat di antara kelompok masyarakat selama ini tentang sosok Ibu yang menurut mereka layak untuk dijadikan panutan lebih sering didasarkan pada stereotipe yang selama ini dianut oleh banyak orang bahwa pengakuan terhadap peran penting sosok Ibu yang satu berarti sama halnya dengan penolakan terhadap peran penting sosok Ibu yang lain.  Hal lain yang pantas disesalkan, pendapat tentang sosok Ibu yang layak dijadikan panutan seringkali didasarkan pada ajaran atau kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun, dan bukan didasarkan pada sejauhmana etos kerja yang telah diperlihatkan, dan juga sejauhmana pengabdian yang telah diberikan, kepada keluarga dan juga kepada masyarakat.  Akibat dari ego kita yang berlebihan tersebut, polemik jender pun acapkali berkembang menjadi liar, tanpa ditopang argumen-argumen yang cukup mengakar.

Mengapa ketiga sosok Ibu tersebut kita butuhkan? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada suatu diskusi tentang masalah ekonomi bahwa kemakmuran atau kemajuan ekonomi suatu bangsa hanya bisa dicapai dengan cara meningkatkan produktivitas ekonominya secara nasional.    Lalu, apa hubungannya ketiga sosok Ibu tersebut dengan masalah produktivitas nasional? 

Seorang Ibu (apalagi kalau anak-anaknya sudah cukup besar dan sudah mandiri) masih mempunyai sisa waktu yang cukup banyak setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga.  Ia bisa berdagang di dalam atau di luar rumah untuk menambah penghasilan suami yang barangkali kurang mencukupi.  Ia juga masih mempunyai sisa waktu untuk belajar memasak, merajut, merangkai bunga, dan lain-lainnya pada kegiatan PKK yang diselenggarakan tidak jauh dari rumahnya.  Saya percaya sepenuhnya bahwa kegiatan-kegiatan positip yang dilakukan di luar waktu untuk mengurus suami dan anak-anaknya tersebut sangat bermanfaat baginya dan bagi keluarganya.

Lalu, mengapa kita juga membutuhkan sosok Ibu Wanita Karir?  Seorang ibu yang dalam kolom pekerjaan di KTPnya tertulis sebagai PNS dan bukan sebagai Ibu Rumah Tangga tentu punya alasan lain lagi mengapa ia bekerja sebagai pegawai negeri, padahal suaminya juga telah bekerja dan kebetulan sama sebagai pegawai negeri.  Seorang Ibu Guru PNS pernah mengatakan kepada saya bahwa ia bekerja sebagai guru karena penghasilan suaminya kurang mencukupi kebutuhan keluarganya. Selain itu, sebagai Guru ia juga bisa belajar dari pengalamannya mengajar selama ini untuk diterapkan kepada anak-anaknya, dan juga kepada siswa-siswanya yang lain tahun ajaran berikutnya.   Sebagian pekerjaan rumahnya seperti mencuci dan menyeterika pakaian dikerjakan oleh pembantu rumah tangga yang ia gaji secara bulanan.  Dengan demikian, pilihan profesinya sebagai seorang Guru PNS telah memberikan banyak manfaat kepada dirinya, keluarganya, siswa-siswanya, dan juga kepada pembantu rumah tangganya.

Alasan yang kurang lebih sama juga berlaku terhadap pertanyaan mengapa kita juga membutuhkan sosok Ibu Perempuan Aktivis.  Pada intinya mereka masih mempunyai sisa waktu yang cukup banyak, di luar kegiatan internal rumahtangganya, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya, keluarganya dan juga masyarakat.

Kembali lagi pada pertanyaan saya tentang sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan saat ini. Setelah memperhatikan peran penting ketiga sosok Ibu tersebut diatas, saya berkesimpulan bahwa kita membutuhkan sosok Ibu yang mampu membuktikan bahwa semua kritik dan sorotan negatip yang ditujukan kepadanya adalah salah.  Kita membutuhkan sosok Ibu Rumah Tangga yang mampu bekerja di dalam dan juga di luar “sangkar”. Kita juga membutuhkan sosok Ibu Wanita Karir yang tidak menelantarkan anak-anak dan suaminya, dan tidak pula menggadaikan kehormatannya kepada atasannya. Dan kita juga membutuhkan sosok Ibu Perempuan Aktivis yang berdemonstrasi karena sesuai dengan tuntutan hati nurani. Bukan karena dibayar oleh organisasi LSM yang mensponsorinya, dan bukan pula karena ingin mendapatkan tempat terhormat sebagai birokrat atau wakil rakyat.

Siapakah mereka?  Barangkali mereka adalah mirip dengan sosok-sosok Ibu “Bhinneka Tunggal Ika” yang fotonya pernah dipajang di halaman depan majalah Tempo beberapa waktu lalu. Yang pasti, mereka bukanlah perempuan biasa. Perempuan yang dengan ikhlas dan sepenuh hati selalu menyumbangkan ide dan tenaganya untuk keharmonisan dan kesejahteraan keluarganya, untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat, dan untuk kemakmuran dan kemajuan bangsanya. ●  

Rabu, 15 November 2006

Andaikan Semua Bulan Ramadan



Tidak lama setelah bulan suci Ramadhan tahun lalu berlalu, seorang ustadz berkata “Alangkah indahnya dunia ini seandainya semua bulan ini Ramadhan”. Ia membayangkan apa yang akan terjadi seandainya lamunan itu kemudian menjadi kenyataan. Semua umat muslim di dunia tentunya akan dipaksa untuk terus-menerus berlatih setiap hari menahan diri dari semua godaan nafsu duniawi. Mereka juga akan selalu dipicu untuk memperbanyak ibadah. Karena setiap ibadah yang dilakukannya dijanjikan akan mendapatkan nilai pahala yang dilipatgandakan hingga berpuluh bahkan beratus kali lipat.  Selain itu, praktek prostitusi dan penjualan minuman keras pun mungkin akan jauh berkurang.  Sementara itu, para artis yang sebelumnya sering memamerkan bagian-bagian tubuh sensualnya pun akan berubah penampilan menjadi wanita muslimah. Kondisi sebagaimana dilukiskan oleh ustadz tersebut mengantarkan kita pada suatu imajinasi dunia yang indah, yang penuh dengan berkah. Tetapi benarkah dunia ini akan menjadi indah bila semua bulan ini Ramadhan?

Satu hal yang tidak mungkin diragukan adalah bahwa pemahaman dan perspektif orang  tentang suatu keindahan mungkin berbeda. Ustadz sebagaimana telah saya sebut di atas melihat fenomena sosial di bulan Ramadhan dengan rasa bangga dan berharap fenomena tersebut akan terus berlanjut. Sementara itu, bukan tidak mungkin sebagian di antara kita justru melihatnya dengan rasa kecewa bahkan sinis dan tidak menghendaki hal itu terjadi lagi. Betapa mereka tidak kecewa ketika menyaksikan bahwa semua kebaikan dan penampilan islami yang diperlihatkan oleh banyak orang pada bulan Ramadhan tersebut ternyata hanya merupakan ritual ibadah yang bersifat sesaat. Semua kebaikan berakhir setelah Ramadhan berakhir. Pelacur akan kembali lagi  melacur, sama halnya dengan perampok akan kembali lagi merampok. Mereka tidak melacur, merampok dan melakukan perbuatan negatip lainnya pada bulan Ramadhan karena semata-mata untuk menghormati bulan suci Ramadhan, dan juga untuk membersihkan dosa-dosa yang telah mereka perbuat pada bulan-bulan sebelumnya. Selepas Ramadhan, dengan mengenakan baju putih yang masih bersih, tentunya mereka akan dapat mulai menjalankan profesinya kembali dengan penuh percaya diri, tanpa diganggu oleh perasaan dosa yang membebani.  Pertanyaan yang tentunya mengusik kita adalah mungkinkah mereka akan berubah, sehingga dunia menjadi lebih indah, bila semua bulan ini Ramadhan?

Hal lain yang menarik pula untuk disimak adalah motivasi orang beribadah dan berbuat baik di bulan Ramadhan. Sulit untuk tidak mempercayai bahwa banyak orang beribadah dan berbuat kebajikan di bulan Ramadhan semata-mata karena mereka tergiur dengan janji pahala yang akan dilipatgandakan. Dengan memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan mereka sangat meyakini bahwa itu akan mengantar mereka menjadi penghuni surga, sekaligus terhindar dari siksaan api neraka. Dengan kata lain, motivasi mereka memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan adalah terutama didasarkan pada ego, yakni keinginan mereka untuk selamat di hari akhirat. Sayangnya, dibalik semua ibadah yang mereka lakukan tersebut kepentingan individual lebih mengemuka daripada kepentingan sosial. Ibadah shalat dan puasa yang mereka lakukan dengan tekun di bulan Ramadhan pun hanya sebatas untuk melaksanakan syariat simbolik, yang diyakininya akan mampu mendekatkannya dengan Sang Khalik (hablun min Allah). Ibadahnya tidak mampu menggugah hati dan kemauannya untuk bersilaturahmi dan berbagi kebaikan kepada dunia, kepada sesama manusia (hablun min annas).  Dengan kata lain, ibadah yang mereka lakukan di bulan Ramadhan sama sekali bukan dalam konteks untuk mengubah dunia ini menjadi surga bagi semua umat manusia (rahmatan lil alamin).  Lalu, siapa yang akan mengatakan bahwa ibadah yang dilandasi oleh motivasi untuk mendapatkan pahala yang berlipatganda dan hanya untuk memenuhi kepentingan individualnya akan membuat dunia kita ini menjadi indah?

Sebagaimana kita saksikan bersama dan telah sering disajikan di berbagai media massa, fenomena bulan Ramadhan juga ditandai dengan meningkatnya penawaran dan permintaan barang dan jasa, dengan sejumlah dampak buruk yang seringkali kita perhatikan hanya dengan sebelah mata. Sebenarnya merupakan hal yang sangat ironis bahwa pada bulan dimana kita sedang menjalankan ibadah puasa, yang intinya merupakan latihan pengendalian diri dari setiap godaan nafsu duniawi, kegiatan belanja dan pola konsumsi kita justru mengalami peningkatan secara cukup signifikan. Untuk mengamankan agar ibadah puasa kita tamat selama sebulan penuh, kita menyediakan aneka makanan bergizi tinggi di rumah dan menyantapnya di malam hari dalam jumlah yang berlimpah. Belum lagi ditambah sekian kali kita menikmati undangan acara Buka Bersama dari seorang teman, keluarga dan mitra kerja. Alhasil, selama bulan Ramadhan perut kita bukan diuji melainkan dimanjakan. Akibatnya, kita lupa belajar bagaimana si miskin menahan lapar.  

Bukan hanya lupa belajar menahan lapar, kita pun lupa belajar menahan godaan iklan tivi di malam hari. Seringkali tidak kita  sadari bahwa berbagai iming-iming hadiah yang  disajikan dalam kemasan acara Ramadhan di berbagai stasiun tivi di malam hari tersebut sebenarnya merupakan salah satu bentuk komersialisasi Ramadhan yang tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan keuntungan. Komersialisasi Ramadhan bukan hanya ada di berbagai acara tivi di malam hari. Ia juga hadir bersilaturahmi dengan kita melalui telepon seluler kita.  Dengan berbekal ilmu Ekonomi Pulsa model AFI (Akademi Fantasi Indosiar), ia tawarkan berbagai macam program SMS berhadiah yang beraroma judi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila selama bulan Ramadhan konsumsi pulsa kita biasanya menjadi jauh membengkak. Sekali lagi, di bulan suci Ramadhan kita telah gagal menahan diri dari godaan nafsu duniawi.
 
Barangkali godaan di bulan Ramadhan yang paling sulit kita hadapi adalah ketika kita  harus berbelanja menyiapkan semua keperluan untuk merayakan lebaran. Untuk merayakan lebaran kita menyediakan menu makanan yang terdiri dari ketupat, daging, telor dan ayam di meja makan sampai dengan aneka makanan dalam toples di meja tamu yang seringkali tak habis berminggu-minggu. Beberapa hari menjelang lebaran, kita juga punya tradisi berbelanja aneka baju baru (terutama baju dan asesori muslim) untuk semua anggota keluarga, walaupun di dalam lemari pakaian kita sebenarnya masih terdapat banyak persediaan aneka baju lama.  Dan yang paling sering membuat kepala kita pening adalah memikirkan bagaimana supaya kita mempunyai persediaan uang yang cukup untuk keperluan mudik lebaran. Walaupun tujuan mudik lebaran sebenarnya sangat mulia, yakni bersilaturahmi dengan orangtua dan sanak keluarga di kampung halaman, dalam praktek tidak jarang mudik lebaran menyimpang menjadi semacam ajang pameran kekayaan dan kemewahan.  Mudik lebaran juga terkesan telah menjadi kebiasaan yang dipaksakan.  Demi mudik lebaran, tabungan yang dengan susah payah dikumpulkan dari bulan ke bulan selama setahun tiba-tiba terkuras habis hanya dalam hitungan hari. Dan yang patut disayangkan bahwa semua pengorbanan untuk merayakan tradisi lebaran tersebut ternyata tidak mampu mengubah diri kita menjadi manusia baru dengan tingkat ketakwaan yang dapat dibanggakan.  Lalu, apakah pesta lebaran yang terkesan jor-joran dan gagal mendekatkan jiwa kita kepada Sang Pencipta tersebut akan membuat dunia kita ini menjadi lebih indah?

Tentu saja semua sisi gelap Ramadhan yang sengaja saya tampilkan dalam tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menutupi atau menyangkal adanya sisi terang Ramadhan.  Dalam tulisan ini saya hanya ingin menunjukkan bahwa dunia kita ini tidak serta merta akan menjadi indah bila semua bulan ini Ramadhan.  Di bulan Ramadhan setan tidak berpuasa untuk menggoda kita, bahkan cenderung untuk melipatgandakan kegiatannya.  Ramadhan dan juga lebaran bisa menjadi sebuah ritual ibadah yang kering, bahkan mungkin destruktif sebagaimana telah saya tunjukkan dalam tulisan saya ini, bila kita yang notabene adalah khafilah Allah di dunia ini tidak dengan tekun menjaga dan mengarahkannya menjadi ibadah yang penuh rahmah, ibadah yang penuh berkah.  Namun tentu saja kita juga semestinya percaya bahwa upaya untuk mengubah dunia menjadi surga bagi semua umat manusia harus terus kita lakukan, apakah saat itu Ramadhan atau bukan.
 

Jumat, 06 Oktober 2006

Merintis Tradisi Baru Merayakan Idul Kurban

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, beberapa waktu lalu umat Islam merayakan Idul Adha dengan melaksanakan shalat berjamaah dan kemudian melakukan ritual penyembelihan hewan kurban, yang sebagian dagingnya dibagikan kepada mereka yang meminta (mu’tar) dan yang menerima tetapi tidak meminta (qanaah). Melihat peningkatan jumlah hewan kurban yang disembelih dari tahun ke tahun pada umumnya kita mensyukurinya karena itu merupakan pertanda meningkatnya kesadaran umat Islam untuk melakukan ibadah kurban.

Sore harinya, seorang anak saya yang telah berstatus mahasiswa bertanya kepada saya “Mengapa setiap tahun kita harus menyembelih sekian banyak hewan kurban hanya untuk membuktikan bahwa kita taat kepada perintah Allah SWT?  Bahkan penyembelihan hewan kurban juga seringkali dinyatakan sebagai amal ibadah yang perlu dipertontonkan kepada orang lain.  Mudah-mudahan penyembelihan hewan kurban tersebut tidak dipertontonkan juga kepada anak-anak SD dan balita yang oleh gurunya telah diajari untuk menyayangi binatang. Melihat kenyataan tersebut, saya khawatir istilah ‘berkurban’ dalam Islam akan dipersepsikan orang sebagai ‘menyembelih atau membunuh binatang’ daripada ‘memberikan pengurbanan (sebagian rizki, nikmat, tenaga dan pikiran) kita kepada kaum dhuafa dan mereka yang membutuhkannya’.” 

Simbol dan Substansi Ibadah Kurban

Mendengar gugatan anak saya yang bersemangat tersebut saya hanya tersenyum. Protes anak saya tersebut mengingatkan saya pada perdebatan antar umat Islam tentang ibadah simbolik dan ibadah substantif. Yang dimaksud ibadah simbolik adalah  gerakan ritual, cara, jumlah, waktu, dan tempat yang harus dilakukan dalam setiap ibadah.  Sedangkan ibadah substantif pada hakekatnya merupakan tujuan yang ingin dicapai di balik gerakan ritual tersebut.  Sebagai contoh, ibadah simbolik shalat adalah melakukan gerakan badan disertai ucapan sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam ketika melakukan shalat. Sedangkan substansinya adalah mendekatkan diri kepada Allah supaya kita terhindar dari perbuatan mungkar. Ibadah simbolik puasa adalah menahan lapar dan dahaga mulai matahari terbit hingga matahari terbenam, sedangkan substansinya adalah melatih diri untuk meningkatkan derajat takwa kita.  Demikian pula,  ibadah simbolik kurban adalah menyembelih hewan kurban, tetapi substansinya adalah membunuh nafsu kebinatangan kita (untuk memiliki/menguasai) dengan cara memupuk jiwa pengurbanan kita (untuk memberi).

Sikap menggugat anak saya tersebut di atas barangkali mewakili sikap sebagian anak muda lainnya yang tidak rela masyarakat kita hanya memuja simbol dan mengabaikan substansi yang tersembunyi dibalik simbol tersebut. Mereka kelihatannya juga belum cukup puas dengan penjelasan bahwa menyembelih hewan kurban adalah merupakan perintah Allah yang wajib kita tunaikan. Mereka lebih suka menafsirkan perintah Allah tersebut sebagai menyembelih nafsu binatang yang ada pada jiwa manusia.  Mereka melihat masalah sosial seperti korupsi dan kemiskinan yang melilit negeri ini bukan karena  manusia tidak taat untuk menyembelih hewan-hewan kurban, melainkan karena manusia tidak mau mengurbankan egonya untuk memperkaya diri sendiri dan tidak mau memberikan sebagian kekayaannya untuk kepentingan ekonomi para kaum dhuafa di negeri ini. 

Tentu saja pada prinsipnya saya juga mengamini sebagian besar yang telah mereka sampaikan.  Bahkan, sejauh yang saya amati melalui beberapa tulisan dan sejumlah khutbah yang disampaikan dalam rangka memperingati Idul Adha, sebagian besar ulama kita juga menyampaikan kepedulian yang kurang lebih sama dengan kepedulian yang telah mereka kemukakan. Pada umumnya, para ulama juga menginginkan agar ibadah kurban tidak identik dengan penyembelihan makhluk hidup atau hewan-hewan kurban secara massal.  Semestinya, menurut mereka, penekanan ibadah kurban adalah pada “pengurbanan diri secara ikhlas, untuk kepentingan diri sendiri (dalam rangka memelihara hubungan dekatnya dengan Allah) dan juga untuk kepentingan orang lain (dalam rangka memelihara hubungan/ kepedulian sosialnya dengan sesama manusia)”.

Namun, ada beberapa hal yang mendorong saya berpendapat bahwa keinginan tersebut tidak mudah untuk diwujudkan.  Pertama, karena banyak di antara kita sendiri yang menghendaki supaya ritual penyembelihan hewan kurban secara massal, sebagaimana yang selama ini dilakukan, tetap dipertahankan atau bahkan kalau bisa skalanya semakin diperluas. Banyak di antara kita yang merasa belum dekat dengan Allah apabila kita tidak melakukan ritual penyembelihan hewan kurban. Kedua, setiap upaya untuk membatasimengubah ritual pengurbanan (penyembelihan) hewan menjadi ritual pengurbanan lainnya (misalnya pengurbanan uang, barang atau jasa) mungkin akan berhadapan dengan resistensi dari sebagian umat Islam yang menghendaki ditegakkannya kemurnian ajaran Islam. Mereka yang mencoba menafsirkan kembali ayat-ayat Al-Quran yang terkait dengan penyembelihan hewan kurban harus siap menerima predikat sebagai penyebar ajaran sesat.  Ketiga, berbagai himbauan para ulama supaya dalam rangka melaksanakan ibadah kurban masyarakat tidak hanya sibuk menyembelih hewan-hewan kurban, membagi-bagikan dagingnya dan kemudian mengadakan pesta sate nampaknya juga tidak akan mampu banyak mengubah  pemahaman dan keyakinan sebagian masyarakat bahwa ibadah kurban identik dengan penyembelihan hewan-hewan kurban. 

Merintis Tradisi Baru Merayakan Idul Kurban

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah pandangan sebagian masyarakat yang percaya bahwa ibadah kurban identik dengan penyembelihan hewan kurban secara massal?

Hal pertama yang perlu kita sadari adalah bahwa mengubah pandangan masyarakat bukanlah  pekerjaan yang mudah.  Kedua, yang kita lakukan tentu saja bukanlah menghapus ritual penyembelihan hewan kurban, melainkan membatasi fokus kegiatan masyarakat yang berlebihan pada ritual penyembelihan hewan kurban dengan cara menciptakan tradisi pengurbanan baru yang lebih mendekatkan kita pada tujuan dibalik kegiatan ritual tersebut.

Kegiatan-kegiatan yang bersifat pengurbanan seperti memberikan bantuan (uang, barang, tenaga, empati ataupun pikiran) kepada keluarga miskin dan panti asuhan saya kira sudah semestinya untuk kita pertimbangkan sebagai alternatif tradisi baru yang perlu dirintis dalam rangka merayakan Idul Kurban.

Ke Arah Pola Pikir Berkurban yang Lebih Rasional

Ketiga, kita perlu mengubah pola pikir berkurban masyarakat dari pola pikir tradisional ke arah pola pikir yang lebih rasional.  Minimal ada dua hal yang mendorong motivasi masyarakat tradisional untuk berkurban, yakni supaya di akhirat nanti mereka bisa masuk surga dan supaya Allah tidak marah sehingga menghukum umat manusia dengan bencana.

Dalam kaitannya dengan motivasi pertama bagi masyarakat tradisional untuk berkurban, menurut mereka, ibadah kurban merupakan kendaraan yang bisa digunakan untuk mengantar mereka menuju pintu surga. Masalahnya, ibadah kurban semacam ini dalam praktek lebih mengedepankan kepentingan individual daripada kepentingan sosial. Ibadah kurban yang mereka lakukan dalam konteks untuk merebut surga menjadi miliknya, dan sama sekali tidak dalam konteks untuk mengubah dunia menjadi surga bagi semua umat manusia.  Untuk mengikis sifat egonya yang berlebihan, dan sekaligus juga mengalihkan fokus perhatiannya pada penyembelihan hewan kurban,  menurut saya mereka perlu diingatkan bahwa masih banyak jenis ibadah lain di luar ibadah kurban yang menjanjikan peluang lebih besar kepada mereka untuk menjadi penghuni surga.  Contohnya, sebagaimana sering dikhutbahkan oleh para ulama, adalah mendidik anak-anak kita menjadi anak yang saleh sehingga di kemudian hari mereka selalu mendoakan yang terbaik (surga) bagi orangtuanya. Contoh lainnya, memberikan sedekah untuk pembangunan sarana ibadah atau sarana umum lainnya yang memberikan manfaat jangka panjang bagi para penggunanya.  Satu hal yang ingin saya tekankan di sini, walaupun nilai uang sedekah yang kita berikan lebih kecil daripada nilai uang seekor sapi yang dikurbankan, namun pahala yang akan kita terima dan juga manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat bukan tidak mungkin akan jauh lebih besar.

Motivasi lain masyarakat tradisional untuk berkurban adalah supaya Allah tidak marah dan menghukum umat manusia dengan bencana. Cara-cara primitif berkurban yang mengurbankan hewan atau bahkan manusia, supaya Alam atau Allah tidak marah, telah kita ketahui melalui berbagai buku sejarah.  Dalam sejarah, kita tahu bahwa ritual manusia sebagai kurban (ingat kisah gadis perawan yang dikurbankan supaya air di sungai Nil tidak menyusut) telah banyak menuai protes karena pada prinsipnya nyawa manusia terlalu berharga untuk dikurbankan demi keselamatan manusia lainnya.  Lalu, ritual kurban manusia pun digantikan dengan ritual kurban hewan, mulai sapi hingga kambing dan ayam.  Bahkan telor ayam, roti dan pisang pun seringkali kita lihat diletakkan di sebuah sudut rumah sebagai sesaji (baca: kurban) yang dipersembahkan kepada Sang Bahurekso (penguasa ghaib setempat) demi keselamatan semua anggota keluarga penghuni rumah.

Berbeda dengan masyarakat tradisional, masyarakat modern yang rasional cenderung melihat bencana yang menimpa manusia disebabkan oleh ketidakmampuan manusia itu sendiri.  Oleh karena itu, upaya untuk mencegah atau meminimalisir dampak buruk bencana bukan dengan cara melakukan ritual kurban hewan supaya Allah tidak marah, melainkan dengan cara bekerja keras dan melakukan cara-cara inovatif dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.  Dengan kata lain, pola pikir berkurban secara rasional menuntut manusia untuk selalu mengurbankan tenaga dan pikirannya dalam upaya mencegah dan mengatasi bencana, yang menimpa dirinya dan juga manusia lainnya. 

Sekali lagi, saya sangat mendukung perubahan pola pikir berkurban dari pola pikir yang tradisional ke arah pola pikir yang rasional.  Walaupun sejujurnya harus saya akui bahwa ketika kita sama sekali tidak berdaya menghadapi suatu bencana alam yang maha dahsyat seperti bencana tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, saya melihat bencana tersebut sebagai tanda kebesaran Allah dan sekaligus juga tanda keterbatasan kemampuan kita sebagai manusia. Meskipun demikian, saya tidak ingin berhenti untuk selalu menyeru terutama kepada masyarakat tradisional untuk mengadopsi pola pikir berkurban yang lebih rasional. Tidak perlu mengadopsinya secara drastis.  Seperti yang sering diucapkan oleh Aa Gym, berkurbanlah mulai dari yang kecil-kecil. Misalnya “telor ayam”, lalu “ayam”, dan berikutnya “kambing”. 
    
Sekali lagi, mengubah pandangan dan kepercayaan suatu masyarakat tidaklah mudah. Diperlukan kesabaran dan juga kewaspadaan yang terus menerus agar ibadah kurban tidak direduksi sekadar menjadi kendaraan pribadi menuju surga.  Lebih celaka lagi kalau ia digunakan untuk menutupi aib-diri atau sekadar mencari popularitas. Bila itu terjadi, barangkali kita perlu menyimak kembali puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini.

PARA MUNAFIK ISMAIL

para ismail yang munafik
bergegas menyodorkan leher
- sembelihlah kami!

Ibrahim yang hanif bilang
- tak, kalian tak boleh mati!
agar menjadi pertanda biar umat waspada


Senin, 03 Juli 2006

Pelangi Dalam Bencana


Tulisan Riswandha Imawan di harian ini “Itu Pun Saya Pikirkan” (Kompas, 2 Juni 2006) sungguh luar biasa.  Lihatlah beberapa cuplikan dari tulisannya tentang musibah gempa di Yogya dan sekitarnya.  “..koordinasi penanganan korban..kacau balau…Kehadiran banyak pejabat negara seolah hanya rombongan manusia yang memberi hiburan, bukan solusi terhadap penderitaan warga…Warga Yogyakarta..disuguhi politik "Tebar Pesona" dengan janji-janji ala kampanye..keputusan pemerintah menyediakan jatah hidup 60 kg beras dan uang tunai Rp 1 juta per bulan untuk tiap kepala keluarga korban bencana…berbaur dengan korban sambil berdendang..hanya mengingatkan rakyat pada legenda Kaisar Nero yang memainkan biola sambil melihat Roma dibakar…mengapa Presiden berkantor di Yogyakarta?..Manfaatnya..dipertanyakan..Kecuali menjaga citra popularitas pribadi juga untuk kepentingan menjaga kekuasaan politik”.

Nampak jelas sekali isi tulisan Riswandha tersebut memperlihatkan kekecewaan yang luar biasa kepada pemerintah, terutama kepada Presiden SBY. Kekecewaan yang luar biasa tersebut menyiratkan keyakinannya bahwa semestinya penderitaan warga Yogya dapat jauh lebih diringankan apabila Presiden memahami dan melakukan sejumlah langkah tanggap darurat sebagaimana yang seharusnya dilakukan dalam menangani bencana.

Namun sayang sekali kekecewaan tersebut juga dinyatakan dalam suatu ungkapan politis, yang memandang semua bantuan dan perhatian yang diberikan oleh Presiden dan Pemerintah hanyalah untuk tujuan politis (baca: citra dan kekuasaan) dan bukan untuk tujuan kemanusiaan. Barangkali cara pandang politis inilah yang menyebabkan kekecewaan Riswandha juga diungkapkan dalam gaya teatrikal Romawi, dan pandangannya secara keseluruhan pada pelaksanaan penanganan bencana gempa di Yogya bernada sangat pesimistis.   

Perbedaan Gaya dan Cara Pandang

Yang menarik adalah kita juga mencatat adanya pendapat dengan nada dan gaya yang berbeda dari Riswandha, sebagaimana telah dikemukakan oleh Baskara T Wardaya dalam “Solidaritas di Tengah Bencana” (Kompas, 29 Mei 2006).  Di tengah bencana gempa yang terjadi di Yogya, Baskara menyaksikan betapa besar solidaritas dari berbagai pihak dalam menangani korban gempa, tanpa melihat pandangan politik dan agama yang dianut oleh warga yang mengalami bencana.  Bahkan ia juga memuji Presiden SBY yang pada hari terjadinya gempa bersedia datang menjenguk para korban dan rela tidur di tenda seperti mereka.       

Keseriusan pemerintah dalam upaya mengatasi bencana gempa di Yogya juga dikemukakan oleh St Sunardi (“Dari Mana Bangkit?”, Kompas 3 Juni 2006), “Kalau melihat derasnya bantuan, ketersediaan manusia, dan banyaknya lembaga, serta keseriusan pemerintah, penderitaan masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya bisa akan lekas teratasi”.  Selain itu, ia juga menambahkan bahwa “lambatnya bantuan ke tangan korban bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga lembaga-lembaga yang sudah sanggup menjadi penyalur bantuan”.

Tentu saja bukan hanya Riswandha yang kecewa terhadap negara.  Afnan Malay, aktivis mahasiswa tahun 1980-an, bahkan tidak habis pikir mengapa bantuan pemerintah tak kunjung datang, padahal Bantul dan Klaten hanya “beberapa senti” saja dari pusat kekuasaan yang sudah pindah di Gedung Agung, dan menurutnya “medannya tanpa rintangan sama sekali, tidak ada yang terisolasi” (Kompas 4 Juni 2006).  Kenyataan yang pahit tersebut membuat Afnan cemas hal tersebut akan berujung pada robohnya Rumah Kita (baca: Republik Indonesia).

Kalau Afnan Malay tidak habis pikir mengapa bantuan pemerintah lamban, Imam Prasodjo yang dikenal sebagai sosiolog merasa yakin bahwa masalah utama pemerintah adalah karena penanganan bencana yang diatur dalam Perpres No.83/2005 tidak diserahkan kepada mereka yang ahli di bidangnya seperti Tim SAR atau anggota TNI yang sudah berpengalaman dalam penanganan bencana (Kompas 4 Juni 2006).

Modal Sosial dan Bantuan yang Tidak Merata

Imam Prasodjo benar bahwa penanganan bencana harus diserahkan kepada ahlinya.  Untuk penanganan bencana tersebut diperlukan beberapa kelompok tim ahli dan petugas lapangan, antara lain untuk melakukan pendataan korban dan lokasi bencana, mengevakuasi korban tewas atau luka, mendistribusikan bantuan makanan dan obat-obatan, merawat korban yang luka berat dan luka ringan, dan melaksanakan pembangunan kembali infrastruktur publik dan  rumah-rumah penduduk yang tertimpa bencana. Sarana dan peralatan yang memadai dan kerjasama antar tim ahli dan petugas di lapangan sangat diperlukan, khususnya pada saat pelaksanaan operasi tanggap darurat. Selain itu, semangat solidaritas masyarakat yang notabene sebagian besar tidak memiliki keahlian khusus juga telah terbukti merupakan modal sosial yang tak ternilai dan dapat kita banggakan dalam menangani berbagai peristiwa bencana yang terjadi di negeri ini.

Pengalaman peristiwa tsunami di Aceh dan gempa di Yogya telah memperlihatkan kepada kita bahwa masa tanggap darurat adalah masa yang sangat kritis, lebih banyak diperlukan respon bantuan yang spontan, dan rawan terhadap konflik kepentingan. Masalah bantuan yang tak kunjung tiba sudah merupakan hal biasa yang terjadi di hampir setiap peristiwa bencana alam yang sangat besar.

Hal lain yang perlu dicatat bahwa solidaritas masyarakat di sekitar lokasi bencana yang sangat besar dan bantuan yang mengalir deras dari berbagai pihak belum tentu dapat menjamin terlaksananya distribusi bantuan ke seluruh titik lokasi korban dalam waktu yang relatif singkat.  Situasi panik dan kondisi yang serba darurat seringkali memaksa kita untuk mengabaikan kenyataan bahwa target korban atau lokasi korban yang kita beri bantuan sebenarnya telah menerima bantuan dari pihak lain.  Akibatnya, seringkali kita dengar  korban di sejumlah lokasi telah menerima bantuan yang berlimpah.  Sementara itu, pada saat yang sama kita juga menemukan sejumlah korban di lokasi lain yang hanya menerima bantuan yang sangat minim atau bahkan mungkin belum menerimanya sama sekali.
Peran Media

Satu hal yang perlu kita ingatkan di sini adalah belum dilibatkannya secara penuh peran media cetak dan elektronik dalam membantu penyampaian informasi kepada masyarakat dan para relawan yang sedang melaksanakan tugas di lapangan.  Dalam hal ini kerjasama antara media cetak dan elektronik dengan pemerintah dan semua posko-posko bantuan dari berbagai kelompok masyarakat sebenarnya dapat dirintis dan dimanfaatkan agar informasi yang akurat dapat diterima oleh masyarakat. Pendistribusian media cetak khusus informasi tentang bencana secara gratis kepada masyarakat dan para relawan di sekitar lokasi bencana akan membantu kelancaran proses penanganan bencana secara keseluruhan.

Melihat penanganan bencana gempa di Yogya dan berbagai peristiwa bencana nasional sebelumnya, peran media sebagai sumber data dan informasi tentang peta lokasi dan korban gempa, terutama yang belum terjangkau oleh bantuan masyarakat maupun pemerintah, masih sangat minim.  Sebagian besar peran media kita masih sebatas sebagai pengumpul sumbangan dari berbagai kelompok masyarakat.  Bahkan yang lebih menyedihkan, beberapa media telah memberikan informasi yang bukan saja tidak akurat, tetapi justru dapat membingungkan dan menyesatkan masyarakat di sekitar Yogya yang sedang membutuhkan bantuan dan mencari perlindungan.

Belajar Dari Bencana

Terlepas dari duka mendalam yang dialami oleh para korban dan rasa kecewa kita pada upaya penanganan bencana, kita masih bisa memperoleh beberapa pelajaran penting dari peristiwa bencana gempa di Yogya dan sekitarnya yang seharusnya membuat kita semakin bijak dan dewasa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa bencana yang pasti akan terjadi di masa mendatang.

Pertama, solidaritas berbagai kelompok masyarakat yang sangat besar dalam membantu para korban bencana gempa tanpa memandang suku, agama dan pandangan politiknya merupakan modal sosial yang tak ternilai yang dapat digunakan untuk membantu mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran yang sangat memprihatinkan di negeri ini.   Kedua, pemerintah harus belajar dari pengalaman penanganan bencana selama ini dan harus mampu mengatasi semua kelemahan dalam masalah koordinasi penanganan bencana secara keseluruhan dan masalah distribusi bantuan pemerintah kepada para korban bencana yang membutuhkannya, khususnya pada hari-hari pertama terjadinya bencana.  Ketiga, kita tidak perlu berdebat lagi  tentang apakah peristiwa bencana tersebut merupakan hukuman, peringatan atau ujian dari Tuhan yang Maha Kuasa.  Karena apapun niat Tuhan di balik bencana yang kita alami, kita harus selalu memanfaatkannya sebagai momentum untuk memperbaiki diri dengan tujuan agar hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Apabila di suatu saat nanti bangsa kita berhasil mengubah musibah menjadi berkah, seperti halnya Bencana Tsunami menjadi Damai di Aceh, mungkin setiap terjadi bencana di negeri ini nanti, kita akan selalu melihat pelangi di atas langit Indonesia yang mungkin merupakan senyuman Tuhan yang merasa bangga karena manusia ciptaanNya telah berhasil belajar dari berbagai peristiwa bencana sebelumnya, yang notabene merupakan sebagian dari ayat-ayat yang Ia turunkan ke dunia.

Namun, pertanyaan kita adalah mungkinkah itu akan terjadi?

Minggu, 19 Maret 2006

Dari Komunikasi Hingga ke Dewan Revolusi


Menarik sekali menonton sebuah drama politik yang belum lama ini ramai dibicarakan orang.  Bermula dari macetnya saluran komunikasi politik sejumlah tokoh bangsa dengan Presiden Yudhoyono, isu kemudian berkembang menjadi “cabut mandat” ketika 19 Desember 2006 lalu Try Sutrisno dan sejumlah tokoh Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR) lainnya yang getol mengkritik kepemimpinan Presiden Yudhoyono mendatangi DPR untuk menyampaikan pesan peringatan kepada pemerintah tentang memburuknya situasi di semua bidang kehidupan di negeri ini.  Aroma “makar” semakin menyebar ketika  Hariman Siregar, sejumlah jenderal purnawirawan dan para aktivis pendukung reformasi (termasuk penasehat presiden, Sjahrir) turun ke jalan bergabung dalam barisan “Pawai Rakyat Cabut Mandat”. 

Adegan drama politik mencapai puncak yang menegangkan ketika Presiden Yudhoyono mencium adanya gerakan Dewan Revolusi yang diketuai oleh Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto dan bertujuan  menjatuhkan pemerintah. Walaupun masih menyisakan ketegangan, drama politik akhirnya ditutup dengan perasaan ‘plong’ setelah ada klarifikasi dari Tyasno Sudarto bahwa yang ia ketuai adalah Gerakan Revolusi Nurani, dan istilah Dewan Revolusi sebenarnya masih merupakan wacana. Zulkifli, fasilitator dalam dialog Kongres Rakyat Indonesia 7 Januari 2006 lalu yang melahirkan ide Dewan Revolusi, menambahkan bahwa istilah yang lebih tepat sebenarnya bukanlah “Dewan Revolusi”, melainkan “Dewan Penyelamat Revolusi 1945”.


Ketidakpuasan Mantan Atasan yang Berbeda Haluan

Ada beberapa hal yang layak kita simak dari sejumlah adegan yang ditampilkan dalam drama politik tersebut di atas. Pertama, ketidakpuasan dari sebagian mantan atasan Presiden Yudhoyono yang berbeda haluan. Saya katakan berbeda haluan dalam konteks pengertian bahwa, berbeda dengan pendapat Presiden Yudhoyono,  Try Sutrisno dan sejumlah mantan pejabat negara lainnya menghendaki agar UUD 1945 tetap dipertahankan (tidak diubah/ diamandemen) dan pemilihan presiden dilaksanakan melalui sistem perwakilan (tidak secara langsung). Sebagai mantan atasan, semestinya saran dan pendapat mereka diperhatikan, dan mereka tentunya akan lebih suka apabila saran mereka juga dilaksanakan.  Namun jangankan diperhatikan, minta ijin untuk bertemu dengan Presiden Yudhoyono saja ditolak oleh lingkaran dalam istana dengan berbagai macam alasan.  Yang membuat mereka sakit hati, penolakan terhadap ijin bertemu dengan presiden tersebut sudah terjadi berkali-kali. Apakah mantan pejabat terhormat sekelas Try Sutrisno harus juga tunduk pada prosedur protokoler istana dan diperlakukan sama dengan warga biasa lainnya?

Di sisi lain, orang-orang di lingkaran dalam istana nampaknya juga berkepentingan agar Presiden Yudhoyono tidak dipengaruhi atau ditekan oleh para mantan atasannya yang berbeda haluan.  Masalahnya, yang dikehendaki mantan atasan dan berkali-kali   disampaikan kepada presiden tersebut menyangkut hal-hal prinsip seperti kembali ke UUD45 dan penolakan terhadap MOU Aceh yang tidak mungkin bisa mereka penuhi.  Selain itu, menurut mereka, kalau hanya ingin menyampaikan saran atau gagasan untuk menyelesaikan permasalahan memburuknya situasi di semua bidang kehidupan saat ini, bukankah itu bisa disampaikan secara tertulis dalam bentuk makalah atau buku? Biar masyarakat juga ikut menilai apakah gagasan tersebut memang layak untuk dilaksanakan dan apakah mereka juga akan menyetujuinya.  Silakan sampaikan kritik, argumen dan solusi secara terbuka melalui berbagai media.  Semoga, bagi masyarakat, itu akan merupakan  proses pendidikan politik yang sangat berharga.

Ketidakpuasan terhadap Permainan Senayan   

Kedua, ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap mereka yang berada di dalam gerbong politik Senayan yang dinilai telah menyandera lokomotif ekonomi Pemerintah yang sedang diupayakan untuk berjalan.  Hariman Siregar dan sejumlah tokoh LSM lainnya pasti sangat concern (baca: mengkritisi) terhadap permainan “tawar-menawar” senayan.  Sebagai penasehat presiden, Sjahrir pasti pernah merasakan bagaimana sulitnya menjalankan roda ekonomi dengan beban yang sengaja dibuat oleh sebagian politisi senayan. “Tawar-menawar” produk hukum dan kebijakan sudah lama menjadi tradisi di senayan.  Celakanya, pemerintah seringkali merasa tidak berdaya dan terpaksa ikut arus dalam permainan di senayan.  Kalau orang-orang cerdas dan idealis dalam senayan dan pemerintahan (yang notabene jumlahnya sangat banyak) saja selama ini tidak mampu mengubah tradisi “tawar-menawar” di senayan, lalu sekarang apa semestinya yang bisa kita lakukan?

Hariman, Sjahrir dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya memilih melakukan tekanan kepada pemerintah dan juga senayan melalui aksi parlemen jalanan.  Tujuan utamanya adalah agar pemerintah dan juga senayan dapat berfungsi sebagai lokomotif pembangunan.  Isu “cabut mandat” sebenarnya hanyalah kiasan yang bertujuan untuk menekan (baca: menakut-nakuti) pemerintah. Mereka bilang, kalau sebagian besar orang senayan dan pejabat pemerintah telah memenuhi ruang di dalam gerbong penumpang, dan hanya sebagian kecil saja dari mereka yang bersedia mengendalikan lokomotif pembangunan kita, lalu dimana harus kita tempatkan nasib sebagian besar rakyat kita?

Satu hal yang perlu kita cermati, kalaupun Hariman dan para pendukung aksi cabut mandat lainnya saat ini telah mencabut mandat  yang dulu pernah mereka berikan kepada Presiden Yudhoyono, saya kira mereka pun kini masih ragu kepada siapa mandat yang telah mereka cabut tersebut nanti akan diberikan.  Untung Hariman dengan tegas telah menyatakan (meralat?) bahwa aksi cabut mandat SBY-Kalla-nya sama sekali tidak dimaksudkan untuk impeachment di senayan.  Dengan demikian, para politisi di senayan tidak lagi harus pusing memikirkan siapa calon penggantinya dan merancang bagaimana skenario politiknya.  Sementara kita yang menonton hanya bisa terheran-heran, memikirkan ulah Hariman.  

Revolusi di Alam Demokrasi

Ketiga, suatu fenomena yang barangkali kedengarannya agak aneh bahwa suara revolusi ternyata masih terdengar bunyinya di tengah hiruk pikuk wacana demokrasi yang hingga kini masih mencari bentuknya yang pas untuk kebutuhan bangsa kita. “Revolusi belum selesai”, kata Zulkifli. Alasannya, karena hingga kini belum ada perubahan yang mendasar dari sistem kolonial ke sistem republik.  Lalu, revolusi macam apa yang harus kita lakukan supaya perubahan mendasar tersebut dapat segera kita wujudkan?  Revolusi Industri di Eropa Barat?  Revolusi Perancis yang identik dengan pemenggalan kepala raja dan para pendukungnya?  Revolusi Nurani-nya Tyas Sudarto yang mempunyai misi mempertahankan UUD45?  Atau barangkali Revolusi 1945 yang merupakan nostalgia bagi para pejuang kemerdekaan kita?

Dalam pengertian politik, kata “revolusi” identik dengan pengambil-alihan kekuasaan secara paksa atau kudeta.  Dalam masa peralihan kekuasaan dari Suharto ke Habibie, “kudeta” berdarah ala G30S-1965 diharamkan tetapi “kudeta” parlemen jalanan diperbolehkan.  Sementara dalam masa transisi dari Gus Dur ke Megawati, “kudeta” justru dilakukan oleh para wakil rakyat di senayan.  Setelah itu, kita sadar dan lalu berseru: “Kudeta No! Demokrasi Yes”.

Revolusi dalam pengertian kudeta jelas merupakan musuh besar  demokrasi.  Namun, ada sejumlah revolusi yang cukup ramah dan dapat diterima di alam demokrasi. Revolusi  teknologi informasi, revolusi biru (nutrisi) ciptaan Saputra, dan revolusi hukum atau revolusi konstitusi adalah beberapa diantaranya.  Pertanyaan saya, revolusi manakah yang sebenarnya kita inginkan?

Yang jelas, sebagaimana telah saya sebut dimuka, Try Sutrisno dan sejumlah mantan pejabat negara lainnya memang tidak menyetujui adanya revolusi konstitusi.  Kecuali barangkali kalau yang dimaksud dengan revolusi konstitusi tersebut adalah menghapus kembali amandemen UUD 1945. Lalu pertanyaan kita, sejauhmana sebenarnya hubungan antara perubahan konstitusi dan kinerja pemerintah yang memburuk di segala bidang saat ini? 

Try Sutrisno dan sejumlah tokoh kita lainnya mengatakan bahwa  selain tatanan kenegaraan yang tidak benar, kepemimpinan nasional kita juga sangat lemah. Menurut saya, ada dua pilihan solusi yang bisa kita lakukan.  Memperkuat kepemimpinan nasional yang ada sekarang ini, atau menggantinya dengan kepemimpinan nasional yang baru.

Masalah pilihan pertama adalah bagaimana cara memperkuat kepemimpinan nasional yang ada sekarang ini?  Apakah dengan cara memberikan kewenangan (kekuasaan) yang lebih besar lagi?  Atau dengan cara memperkuat Tim Dewan Penasehat?  Atau barangkali dengan cara memberikan tekanan (pressure) kepadanya melalui aksi-aksi demo jalanan?

Sedangkan masalah pilihan kedua adalah siapa pemimpin nasional kita saat ini yang layak untuk menggantikan kepemimpinan SBY-Kalla, agar situasi yang memburuk di segala bidang kehidupan saat ini dapat segera diatasi?  Masalah lainnya, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan pemimpin nasional kita yang lemah, yang harus kita perkuat atau kita ganti?  Apakah Presiden Yudhoyono, SBY-Kalla, tim Kabinet Indonesia Bersatu, atau semua pemimpin di lembaga-lembaga negara kita?

Bagi saya, berhasil atau gagalnya suatu negara ditentukan bukan hanya oleh kinerja kepemimpinannya (leadership) tetapi juga oleh kelembagaannya (institution).  Seorang Lee Kuan Yew yang diimpor ke Indonesia untuk dijadikan Presiden R.I. mungkin akan frustrasi kalau sebagian besar anggota kabinetnya dan para pejabat yang melaksanakan kebijakan negara di sebagian besar daerah tidak mau diatur.  Sebaliknya, Presiden Amerika boleh saja seharian tidur atau bahkan sama sekali tidak ada, tetapi kalau wakil presiden dan semua pemimpin di lembaga-lembaga negaranya (dipaksa oleh suatu sistem yang mengaturnya untuk) selalu kompak dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan negara, keberhasilan negara hanyalah masalah waktu.  Tentu saja saat ini kita menghendaki kedua-duanya efektif, kepemimpinan dan juga kelembagaan. 

Transisi menuju demokrasi memang merupakan pilihan ketatanegaraan yang seringkali melelahkan dan menuntut banyak kesabaran.  Seandainya saya tahu bahwa jalan demokrasi yang kita lalui sekarang ini adalah jalan menuju kegagalan dan kehancuran, barangkali saya pun akan lantang berseru, “Berlakukan Dekrit Presiden!”.  Bukankah begitu Bang Buyung?