Kecemasan dalam Pendidikan
Sidharta Susila ;
Pendidik di Muntilan
|
KOMPAS, 20 Mei
2016
Adakah dinamika
pendidikan kita layaknya dinamika liga antarklub sepak bola? Seperti liga antarklub sepak bola, dinamika
itu diwarnai perebutan posisi puncak, pemeringkatan kasta, juga perjuangan
menghindari terdegradasi. Adakah dinamika pendidikan seperti itu
menyenangkan?
Kita memimpikan pendidikan
menyenangkan dengan bocah-bocah yang girang belajar di kelas, penuh gairah
berangkat ke sekolah. Juga para guru yang beraktivitas bersama para murid
dengan penuh sukacita, syukur, ikhlas, dan penuh kreativitas. Mungkinkah
mimpi itu diwujudkan?
Seharusnya penulis
bangga dan bersyukur punya keponakan yang kini duduk di kelas VI keranjingan
belajar. Namun, orangtuanya justru gelisah. Pasalnya, keponakan penulis
tersebut dianggap terlalu berlebihan dalam memaksa diri untuk belajar.
Dalam sebulan terakhir
ia setidaknya harus mengikuti tiga kegiatan latihan ujian. Latihan ujian itu
diselenggarakan oleh sekolah, dinas pendidikan tingkat kecamatan, dan tingkat
kota.
Apakah target dan
intensi setiap lembaga penyelenggara latihan ujian? Apakah banyaknya latihan
ujian itu demi mengejar posisi puncak atau pemeringkatan, menghindari
degradasi posisi sekolah, atau prestasi kerja pemerintahan di bidang
pendidikan?
Sepertinya dinamika
pendidikan masih diorkestrasi oleh nilai atau angka. Nilai atau angka capaian
anak didik menentukan posisi puncak, kasta, pemeringkatan, dan potensi
terdegradasi dari kasta/level tertentu. Karena itu, tiap lembaga pengelola
pendidikan berlomba dengan berbagai cara agar mencapai nilai tertinggi dalam
ujian akhir.
Latihan ujian adalah
salah satu cara untuk memastikan anak didik terus memacu diri untuk mencapai
nilai tertinggi. Latihan ujian diikhtiarkan untuk menjaga konsistensi
kesiapan anak menjalani ujian akhir.
Pemeringkatan
berdasarkan nilai hasil ujian akhir sengaja diseruakkan demi menciptakan
iklim persaingan. Kecemasan dinamika pendidikan pun tak terhindarkan.
Kecemasan ini menggenangi kesadaran para guru dan tumpah kepada anak didik.
Ujung rangkaian
kecemasan dalam pendidikan ini adalah memacu anak didik untuk terus belajar.
Kalau perlu dengan memaksa. Prestasi yang ditandakan dengan nilai ujian akhir
memproyeksikan kasta, peringkat sekolah, dan prestasi pejabat pemerintahan
dalam mengelola area kerja pendidikan.
Adakah hakikat
anak-anak kita sedang dimerosotkan menjadi hanya instrumen untuk melumerkan
kecemasan pengelola dunia pendidikan dari sekolah sampai pejabat
pemerintahan?
Menyelamatkan generasi
Rasanya kita masih
harus berjuang keras untuk menghadirkan dinamika pendidikan yang menyenangkan
bagi anak-anak kita. Adakah inti masalahnya justru pada penguasa pendidikan,
mulai tingkat sekolah sampai pejabat pemerintahan? Sayang apabila ada pejabat
pemerintahan yang dengan sengaja memanfaatkan dunia pendidikan demi
mengamankan posisinya. Itu sebentuk penindasan yang senyap.
Pengelola lembaga
pendidikan bersama media yang dengan sengaja membangun citra sekolah
berprestasi, ditandai nilai ujian akhir, juga ikut memburamkan nasib
anak-anak kita. Secara tak langsung mereka menciptakan iklim pendidikan yang
jadi abdi angka. Pendidikan pun menjadi pragmatis. Anak-anak kita menjadi
tubuh tak berjiwa yang terampil menjawab soal.
Adakah yang bisa
dibuat jika penyebab dinamika pendidikan pragmatis yang jadi abdi angka ini
adalah kecemasan sistematis pengelola pendidikan, apalagi para pejabat
pemerintahan? Masing-masing berkepentingan mengamankan hidupnya meski untuk
itu harus mengorbankan hak asasi anak-anak.
Bagaimanapun,
anak-anak harus diselamatkan. Harapan akhir pada orangtua, yang sesungguhnya
juga korban dinamika pendidikan pragmatis membudak nilai itu. Ciptakanlah
waktu rileks agar anak berjarak dengan pragmatisme pendidikan. Jangan justru
ikut-ikutan menekan anak yang telah terenggut hakikatnya.
Pengelola pendidikan
yang sudah terjebak dinamika pendidikan yangcemas akut dan sistematis
ditantang jadi pejuang bagi anak didiknya. Perjuangkanlah napas bocah yang
adalah hak mereka. Bagaimanapun, saat murid dilecut demi mencapai nilai
tertinggi ujian akhir, sesungguhnya mereka praktis sedang melumerkan
kecemasan dan memperjuangkan nasib Anda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar