Menanti Transformasi Industri Gula
Adig Suwandi ;
Praktisi Agribisnis;
Alumnus Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya
|
KOMPAS, 23 Mei
2016
Masa depan industri
gula nasional dan kompetensi untuk memenangi persaingan global menjadi fokus Ikatan
Ahli Gula Indonesia pada seminar dan kongres nasional ke-11 di Surabaya, 4
Mei lalu.
Sudah lama kita
mendengar peran industri gula dalam konstelasi ekonomi-politik Indonesia. Gula
menjadi bagian penting pertumbuhan masyarakat. Ini sejalan keberadaan gula
sebagai pemanis berkalori sekaligus bahan baku industri pangan. Sayangnya
pertumbuhan permintaan pesat belum diimbangi eskalasi produksi domestik,
khususnya dari pabrik gula (PG) berbasis tebu.
PG pengolah tebu hanya
mampu menutup kebutuhan konsumsi langsung berjumlah 2,7 juta ton. Ada pun
bahan baku industri gula rafinasi yang menghasilkan gula segmen industri
pangandengan total kebutuhan 2,8 juta ton masih harus diimpor dalam bentuk
gula kristal mentah (raw sugar). Kondisi
tersebut tentu berlawanan dengan komitmen politik kita menjaga gawang
ketahanan pangan. Persoalan klasik berupa tidak mudahnya mendapatkan lahan
bagi industri gula rafinasi yang berkeinginan membangun kebun tebu pun
mencuat ke permukaan.
Secara kasatmata
perkembangan industri gula di Jawa kian mencemaskan. Memang sebagian PG
berhasil melampaui masa kritis menyusul keberhasilan revitalisasi. Namun,
kita tak bisa menutup mata atas fakta obyektif adanya sejumlah PG terus
terengah-engah mempertahankan hak hidup. PG dalam kondisi kritis umumnya
selalu defisit tebu pada tingkatan serius. Tebu harus didatangkan dari tempat
jauh dengan biaya tidak murah akibat rendahnya daya saing di kawasan sekitar,
setidaknya dibandingkan komoditas agribisnis lain.
Pertanyaannya, apakah
Jawa masih akan tetap sebagai lumbung gula di masa depan? Keputusan
mempertahankan Jawa sebagai basis produksi gula, berada di tangan petani dan
pemerintah. Petani berperan memasoktebu yang pasti dengan pertimbangan hanya
melakukan aksi budi daya sejauh memberikan keuntungan memadai. Pemerintah
berkepentingan terkait posisinya selaku pemilik PG-BUMN. Solusi atas masalah
PG-BUMN di Jawa menjadi instrumen pengawal kebangkitan industri gula dan
transformasinya ke ekonomi berbasis tebu (sugarcane
based economics).
Transformasi pabrik gula
Langkah awal yang
mutlak dilakukan adalah pemetaan potensi dan arah transformasi PG, diikuti
tahapan pemilihan strategi dan eksekusi. Tendensi makin mahalnya nilai sewa
lahan di Jawa yang membuat biaya pokok produksi (unit cost) semakin mahal di saat harga gula sudah diserahkan ke
mekanime pasar, harus menjadi pertimbangan utama.
Integrasi ekonomi
Indonesia ke dalam jaringan kapitalisme global setidaknya juga telah memaksa
setiap kesepakatan multilateral terkait perdagangan komoditas tidak bisa lagi
ditentukan secara sepihak. Perlakuan khusus terhadap komoditas dan pelaku
ekonomi tertentu bisa berakibat tindakan balasan yang berdampak lebih masif.
Akan sulit membedakan
kepentingan dagang dan implementasi liberalisasi negara-negara peserta di
dunia. Diplomasi ekonomi pun menjadi penting. Kita memerlukan negosiator
ulung agar kepentingan nasional terakomodasi. Bukan sekadar turut latah
menyosialisasikan kesepakatan global kepada pelaku ekonomi domestik.
Pada saat bersamaan,
perlu kesadaran kolektif bahwa daya saing satu-satunya pilar penahan jebolnya
ketahanan ekonomi. Perlakuan apa pun yang datang dari negara lain tidaklah
menggoyahkan fundamental ekonomi dan perdagangan komoditas selama daya saing
kuat, bercirikan kualitas prima dan harga murah.
Terkait gula,
Indonesia sudah dikepung Thailand dan Australia yang kini mampu menghasilkan
produk berbiaya murah melalui adopsi teknologi. Dengan jumlah penduduk tak
sebanyak kita, surplus gula harus dilempar ke pasar global. Indonesia menjadi
sasaran empuk mengingat harga dalam negeri masih relatif tinggi.
Meski dalam konteks
Zona Perdagangan Bebas ASEAN, Indonesia masih dapat memberikan proteksi
melalui pemberlakuan bea masuk dengan besaran tertentu. Namun, bila kuota
impor dihapus begitu saja karena kita terpaksa mengikuti kesepakatan
multilateral, sebuah guncangan besar dalam industri gula pun dimulai. Selama
ini pemerintah masih menerapkan basis proteksi melalui dua cara, baik tarif
maupun kuota yang diberlakukan secara bersamaan. Implikasi penghapusan kuota,
berapa pun gula yang masuk ke dalam negeri, selama membayar bea masuk tak
menjadi masalah.
Tindakan ini sudah
barang tentu harus dikaji secara cermat agar upaya mewujudkan kedaulatan
pangan, khususnya swasembada gula, dapat diputuskan tanpa meninggalkan residu
persoalan. Bentuk konkretnya, selain memainkan diplomasi ekonomi, PG harus
ditata ulang.Hanya PG berdaya saing kuat dan punya prospek ketersediaan bahan
baku memadai yang dapat dipertahankan diikuti transformasinya untuk menghasilkan
produk derivat dari pengolahan tebu secara paripurna dalam skema industri
hilir.
PG lain
dialihfungsikan menjadi kegiatan ekonomi produktif bernilai tambah tinggi
sesuai potensi setempat. Tanpa perubahan dan inovasi terstruktur, industri
gula hanya akan terus meminta proteksi tanpa batasan waktu jelas. Pemerintah
sendiri harus tegas memiliki peta jalan berikut komitmen mengupayakan
pembangunan PG baru secara terintegrasi dengan menghilangkan sejumlah
hambatan melekat.
Agenda perubahan
menjadi lebih mudah mengingat setidaknya sekitar 15-30 persen tenaga kerja di
lingkungan PG adalah generasi Android berusia kurang dari 35 tahun yang melek
teknologi informasi dengan kecenderunganan bisa mengerjakan 2-3 pekerjaan
pada saat bersamaan. Pemanfaatan teknologi informasi akan sangat membantu
upaya transformasi industri gula, baik untuk pekerjaan precision farming di kebun, kegiatan manufaktur di pabrik,
pengendalian manajemen pada semua lini, maupun administrasi layanan bagi petani
yang jauh lebih akuntabel dan transparan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar