Nasionalisme Versus Transnasionalisme
Biyanto ;
Dosen UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris PW
Muhammadiyah Jawa Timur
|
KORAN SINDO, 24
Mei 2016
Warga bangsa Indonesia
hingga kini masih dalam suasana memperingati Hari Kebangkitan Nasional
(Harkitnas). Peringatan Harkitnas merujuk pada pendirian gerakan Budi Utomo
pada 20 Mei 1908 di Jakarta oleh Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar
sekolah dokter.
Meski pada awalnya
lebih menunjukkan sifat eksklusif karena anggotanya Jawa sentris, sejak 1930
Budi Utomo membuka diri bagi orang luar Jawa. Tanggal pendirian Budi Utomo
ditetapkan sebagai permulaan kebangkitan nasional atau gerakan kebangsaan
(nasionalisme). Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Budi Utomo
merupakan permulaan dari siklus 20 tahunan yang sangat menentukan perjalanan
bangsa.
Seperti diketahui,
setelah berdirinya Budi Utomo terjadi beberapa peristiwa yang sangat
melegenda. Sumpah Pemuda pada 1928 merupakan episode kedua yang menunjukkan
semangat kaum muda tatkala berikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.
Selanjutnya pada 1945 lahir angkatan 45 yang berperan dalam perjuangan untuk
meraih kemerdekaan.
Pada 1966 ditandai
dengan munculnya angkatan 66 yang menyelamatkan bangsa dari pemberontakan
Gerakan 30 September. Rezim Orde Baru yang menggantikan Orde Lama juga
dilanda gerakan protes sejak pertengahan 1980-an. Meski demikian, gerakan
protes itu baru menunjukkan hasil spektakuler pada 21 Mei 1998, tatkala
Presiden Soeharto menyatakan mundur.
Sejak Orde Baru
tumbang pada 1998, kita pun mengenal era reformasi. Sayang sekali, spirit
reformasi yang penuh idealita itu harus berjalan tertatih-tatih. Itu karena
ada begitu banyak persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya yang
terus mendera bangsa. Sebagai gerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis-
Jawa, Budi Utomo telah menunjukkan sifat terbuka. Itu dapat diamati melalui
penerimaan anggota Budi Utomo terhadap kelompok dari luar.
Dalam hal ini patut
dikemukakan hubungan baik tokoh-tokoh Budi Utomo dengan KH Ahmad Dahlan,
pendiri dan ideolog Muhammadiyah. Kiai Dahlan bahkan aktif mengajar agama di
kalangan aktivis Budi Utomo. Saat Budi Utomo menyelenggarakan kongres pada
1917, Kiai Dahlan diundang secara khusus untuk memberikan ceramah. Hebatnya,
kongres itu diselenggarakan di rumah Kiai Dahlan. Peserta kongres sangat
tertarik dengan ceramah Kiai Dahlan.
Sebagian anggota Budi
Utomo juga meminta Kiai Dahlan memberikan pengajian sekaligus membuka cabang
Muhammadiyah di daerahnya. Fakta sejarah yang menarik ini penting karena
dapat memberikan pelajaran bahwa telah terjadi sinergi antara pelopor gerakan
nasionalisme dengan tokoh-tokoh Islam.
Sinergi itu dimungkinkan
karena di antara mereka memiliki kesamaan tujuan, yakni mengantar bangsa
menjadi lebih maju, berdaulat, dan terbebas dari segala penindasan. Pertemuan
tokoh-tokoh nasionalis dan agamais juga menunjukkan bahwa cita-cita gerakan
kebangsaan sejalan dengan ajaran agama. Melalui gerakan kebangsaan, tokoh-tokoh
nasionalis-agamais berjuang dengan sepenuh hati untuk mencapai kedaulatan
bangsa.
Apalagi Islam juga
mengajarkan sejumlah nilai yang sejalan dengan nasionalisme, seperti
kemerdekaan (alhurriyah), keadilan (al-adalah), musyawarah (syura), dan
kesamaan derajat (al-musawa). Nilai-nilai keagamaan itu jelas relevan dengan
keinginan tokoh-tokoh pergerakan agar bangsa terbebas dari kolonialisme.
Melalui kesamaan
persepsi inilah tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berlatar belakang
nasionalis maupun agamais, bersatu untuk mewujudkan suatu organisasi politik
yang dalam konteks modern disebut negara bangsa (nation-state). Kesadaran mengenai pentingnya mewujudkan suatu
bangsa jelas membutuhkan pengorbanan. Apalagi jika berkaca pada realitas
kemajemukan bangsa yang multietnik, agama, dan budaya.
Dalam konteks inilah
perlu dipahami pernyataan teoretikus politik asal Prancis, Ernest Renan
(1823-1892). Renan mendefinisikan bangsa sebagai suatu perwujudan solidaritas
tingkat tinggi yang dibangun oleh kesediaan berkorban pada masa lalu berikut
kesiapan menghadapi masa depan. Ungkapan Renan memberikan penegasan bahwa
untuk tetap menjadi suatu bangsa dibutuhkan kemampuan merawat solidaritas dan
semangat rela berkorban.
Untuk merawat
nilai-nilai solidaritas dan pengorbanan yang menjadi ikatan suatu bangsa
ternyata tidak mudah. Apalagi, saat ini keinginan untuk memperkuat gagasan
tentang kebangsaan memperoleh tantangan seiring dengan menguatnya posisi
gerakan keagamaan yang bercorak transnasional.
Gerakan keagamaan
transnasional bisa ditemukan dalam beberapa kelompok Islam yang senantiasa
memperjuangkan simbol-simbol keislaman. Meski gerakan keagamaan transnasional
sangat bervariasi, umumnya mereka memiliki pandangan politik yang sama.
Doktrin politik yang dianut adalah bahwa agama dan negara merupakan satu
kesatuan.
Ajaran Islam dipahami
mencakup persoalan agama dan negara sekaligus (aldin wa al-dawlah). Doktrin ini menekankan Islam sebagai
totalitas sistem yang secara universal bersifat kompatibel sehingga harus
dilaksanakan di segala waktu dan tempat. Bagi gerakan keagamaan yang
fundamentalis, pemisahan agama dan negara adalah sesuatu yang tidak
terbayangkan.
Kelompok fundamentalis
juga berpandangan bahwa praktik politik yang harus dijadikan rujukan adalah
Islam periode awal, yakni pada masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat. Cita-cita
kelompok Islam politik ini kemudian diwujudkan melalui perjuangan yang
berorientasi pada gerakan transnasional. Kelompok ini berpandangan bahwa
sistem khilafah merupakan solusi untuk menegakkan cita-cita politik umat.
Dengan mencitakan
dunia yang dipimpin seorang khalifah berarti tidak ada tempat bagi gagasan
nasionalisme. Itu karena nasionalisme menekankan kesamaan tujuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan nasionalisme juga mengakui
eksistensi keragaman etnik, agama, budaya, dan bahasa, sebagai entitas yang
memiliki tujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Lain dengan itu,
gagasan transnasional bersifat lintas batas dan didasarkan kesamaan agama.
Pandangan ini jelas bertabrakan dengan gagasan nasionalisme dan hukum
internasional yang mengatur batas wilayah suatu bangsa. Kini tugas kita
adalah mengajak kelompok-kelompok fundamentalis untuk terus berdialog.
Kelompok-kelompok fundamentalis harus diyakinkan bahwa nasionalisme sejalan
dengan ajaran agama dan keinginan para pendiri negeri.
Pancasila dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan hasil konsensus tokoh-tokoh
nasionalis-agamais. Kini tugas semua komponen bangsa adalah mengisi negeri tercinta
dengan berbagai capaian yang membanggakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar