Ketika Negara-Bangsa Menjadi "Gila"!
René L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 23 Mei
2016
Dalam sejarah
negara-bangsa Asia, ada tiga negara memiliki kekejaman terhadap bangsa
sendiri yang tidak terbayangkan dan menjadi momok sejarah mengerikan. Ketiga
negara ini adalah Indonesia dengan peristiwa traumatis 1965 menyebabkan
kematian dan kesengsaraan yang melewati batas kemanusiaan, bukan hanya pada
pertikaian ideologi dan politik, melainkan juga melebar menjadi sentimen ras
Tionghoa Indonesia yang dibelenggu dari akar peradabannya.
Negara lain adalah
Tiongkok dengan Revolusi Kebudayaan yang tahun ini berusia 50 tahun, ketika
kegilaan ideologi dan politik merasuk seluruh bangsa, menghancurkan tidak
hanya elemen-elemen kontra-revolusioner, tetapi juga menghilangkan peradaban
lama merusak hubungan antarkeluarga, antarguru, antardesa, dan semua yang
berbau kapitalis. Seluruh Tiongkok terhenti, Revolusi Kebudayaan yang
"memakan anak sendiri" mereda sampai meninggalnya Mao Zedong, pemimpin
karismatik campuran komunis, dewa, dan revolusioner.
Kekejaman Asia lainnya
adalah "ladang pembantaian" di Kamboja ketika rezim Khmer Merah
membantai seperlima bangsa Khmer dengan korban tewas lebih dari dua juta
orang. Kediktatoran Kamboja di bawah Pol Pot ingin membangun komunis Kamboja,
bercita-cita membangun dari "masyarakat titik nol" bangsa Khmer
dengan membantai rakyat, elite, dan cendekiawan di penjara Tuol Sleng di ibu
kota Phnom Penh atau di kawasan Choueung Ek yang tidak jauh dari ibu kota.
Apa hasil pembantaian,
pembunuhan, penyiksaan, kelaparan, kesengsaraan di Indonesia, Tiongkok, dan
Kamboja dalam peristiwa sekitar 50 tahun lalu itu? Di Indonesia, muncul
kekuasaan militer otoriter berkuasa selama tiga dekade, memenjarakan semua
lawan ideologi dan politik tanpa proses peradilan. Walaupun kekuasaan ini
secara perlahan meredam kemiskinan dan bekerja keras meningkatkan
kesejahteraan, kekuasaan militer otoriter mengancam kebebasan intelektual,
menekan kebebasan ilmiah, dan mengancam hak asasi siapa pun.
Revolusi Kebudayaan di
Tiongkok berhenti dengan wafatnya Mao Zedong pada tahun 1976 dan diadilinya
Empat Sekawan pimpinan istri Mao, Jiang Qing. Kaum "elite mandarin"
Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang ditawan, disiksa, dan disengsarakan melalui
kerja paksa, pelan-pelan bangkit dan kembali berkuasa di bawah Deng Xiaoping
merancang modernisasi ekonomi yang tidak pernah terjadi dalam sejarah modern
Tiongkok.
Khmer Merah di bawah
Pol Pot digulingkan dalam perang saudara dukungan Vietnam yang menyerang
Kamboja tahun 1979. Para pemimpin Khmer Merah mulai dari Pol Pot, Khieu
Samphan, dan lainnya dihukum mati atau seumur hidup melalui peradilan
internasional di bawah PBB. Kepala penjara Tuol Sleng, Kaing Guek Eav, yang
bertanggung jawab atas pembantaian 14.000 orang, dihukum mati pada tahun
2010.
Di Kamboja, pertikaian
Khmer Merah menghasilkan aristokrasi politik baru, mengembalikan kejayaan
kerajaan Champa. Hun Sen yang nama aslinya Hun Bunal sebelum menjadi Khmer
Merah pada tahun 1972, menjadi politisi Asia Tenggara yang paling berkuasa
dan memiliki gelar "Samdech Akka Moha Sena Padei Techo", gelar
aristokrasi dan supremasi militer.
Pertikaian ideologi
politik di Indonesia menghadirkan konglomerasi kerja sama kelompok militer
dan pengusaha. Di Tiongkok muncul kelas kapitalis baru menjadi anggota PKT.
Baik di Tiongkok maupun Indonesia, pertikaian ideologi politik menghasilkan
korupsi sebagai momok baru masyarakat. Di Indonesia, komunisme menjadi
"hantu merah," di Tiongkok komunisme menjadi "Chinaisme"
menguasai ekonomi dan perdagangan dunia.
Benedict Anderson,
Indonesianis terkenal dalam bukunya, Imagined Communities (London, 1983),
mungkin benar menyiratkan bentuk yang disebut reduksionisme ideologi dalam
menentang kompleksitas fenomena nasional negara-bangsa.
Menurut Anderson, rasa
memiliki dan sentimen solidaritas nasional tidak dengan sendirinya membentuk
komunitas nasional. Kapasitas materialisme historis ternyata tidak mampu
mengatasi fenomena nasional dalam menghadapi modernisasi ekonomi dan globalisasi
teknologi. Gila! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar