Berharap (p)ada Golkar Baru
Saidiman Ahmad ;
Peneliti Saiful Mujani Research
and Consulting
|
KOMPAS, 16 Mei
2016
Di sela kampanye
pemilihan Ketua Umum Partai Golkar di Bali, salah satu kandidat terkuat, Ade
Komaruddin, menyatakan perlunya memunculkan nama Soeharto sebagai ikon
partai. Pernyataan ini sebetulnya tidak benar-benar baru. Pada pemilihan umum
legislatif 2014, ikon Soeharto sudah dipakai di beberapa daerah. Gambar sang
jenderal besar dengan kalimat ‘Piye kabare? Penak jamanku toh?’ sudah ada di
banyak lokasi kampanye.
Selain angkatan
bersenjata dan birokrasi, Golkar adalah penyangga utama rezim Orde Baru
Soeharto. Karena itu, pernyataan bahwa Soeharto layak jadi ikon partai Golkar
juga sangat sah. Yang menarik adalah jika pernyataan itu ditempatkan dalam
konteks dinamika partai Golkar pasca-Orde Baru yang justru memiliki semangat
mengakomodir perubahan.
Ketika gerakan
reformasi pecah di hampir semua kota di Indonesia, secara matematis mestinya
Golkar ikut tumbang bersama tumbangnya Soeharto. Di luar dugaan, partai ini
justru tampil kokoh sebagai salah satu kekuatan politik utama di masa
reformasi. Pada Pemilu pertama era reformasi, Golkar menjadi pemenang kedua.
Hanya butuh satu periode untuk kemudian menjadikan Golkar sebagai pemenang
pertama di tahun 2004. Penjelasan utama dari kedigdayaan partai berlambang
pohon ini tak lain adalah kemampuannya melakukan adaptasi pada setiap
perubahan politik yang ada. Sebagai kekuatan politik dominan, Golkar bahkan
bisa disebut sebagai salah satu penggerak perubahan itu sendiri.
Euforia reformasi
sesungguhnya menempatkan Golkar terancam. Pada masa-masa yang sangat genting
dan krusial itu, muncul Akbar Tanjung mengambil-alih kepemimpinan dan segera
melakukan re-branding partai.
Akbar saat itu mengusung
slogal ‘Golkar baru’ sebagai penanda bergabungnya partai ini bersama arus
besar perubahan di era reformasi.
Tulang punggung
perubahan Golkar ada pada semangat desentralisasi. Golkar yang selama puluhan
tahun merupakan partai paternalistik, di mana kekuasaan sentral partai ada
pada figur Soeharto, sejak Reformasi secara tegas bergerak menjadi partai
dengan kekuasaan yang lebih plural dan tersebar.
Pada saat yang sama,
partai-partai baru yang lahir di masa reformasi justru kental dengan semangat
patronase: ada Abdurrahman Wahid di Partai Kebangkitan Bangsa, Amin Rais di
Partai Amanat Nasional, Megawati Soekarno Putri di Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan.
Demikian pula yang
terjadi pada partai-partai yang lebih baru, misalnya ada figur utama Susilo
Bambang-Yudhoyono di Partai Demokrat, Prabowo Subianto di Partai Gerindra,
Surya Paloh di Partai Nasional Demokrat, dan Wiranto di Partai Hati Nurani
Rakyat. Sementara Partai Keadilan Sejahtera didominasi dan terhegemoni oleh
keputusan Dewan Syuro yang nyaris tak bisa digugat oleh kader partai.
Dinamis dan egaliter
Dalam artikelnya,
"The defeat of centralized paternalism" (2006), Dirk Tomsa
menyatakan:
“As many Indonesian parties continue to be
dominated by charismatic leaders… But it is a very different story with
Indonesia’s biggest and longest serving party, Golkar…. Golkar today is
actually the exact opposite of a paternalistic party... Golkar more than any
other Indonesian parties, relies primarily on its armada of local officials
at the grassroots level”
Ketika partai-partai
baru yang lahir di era reformasi terkungkung dalam kuasa patron, Partai
Golkar justru bergerak dinamis dan lebih egaliter.
Golkar berhasil
mengadopsi semangat desentralisasi di mana kekuataan-kekuatan politik daerah
mengambil peran signifikan. Mereka tidak mudah ditaklukkan.
Menjelang Pemilu 2004,
Golkar memunculkan gagasan Konvensi untuk menjaring calon presiden. Ini
adalah gagasan baru yang justru diprakarsai oleh partai dari kekuatan lama
Orde Baru. Dari konvensi inilah muncul nama-nama baru yang kemudian menjadi
pemain-pemain utama politik nasional. Mereka adalah Wiranto, Prabowo
Subianto, Surya Paloh, dan Akbar Tanjung sendiri. Bahkan intelektual
penggerak reformasi, Nurcholish Madjid, juga ikut dalam konvensi, walaupun kemudian
mundur di tengah jalan. Besar dugaan waktu itu bahwa konvensi Golkar hanyalah
akal-akalan Akbar Tanjung untuk maju sebagai calon presiden. Mereka
menganggap Akbar akan memenangkan konvensi dengan mudah.
Namun di luar dugaan,
Akbar Tanjung tumbang. Elit-elit partai daerah seolah-olah melakukan
pembangkangan pada sang ketua umum yang juga ikut dalam konvensi. Yang
memenangkan konvensi justru Jenderal Wiranto.
Semangat pembaruan yang didengungkan oleh partai ini berbuah manis.
Pada Pemilu kedua era-Reformasi, 2004, Golkar keluar sebagai pemenang
pertama.
Namun begitu, calon
hasil konvensi yang diusung oleh Golkar, Wiranto, kandas dalam Pemilu
Presiden langsung kala itu dikalahkan oleh Susilo Bambang-Yudhoyono yang
berpasangan dengan tokoh Golkar lainnya, Jusuf Kalla. Pada tahun yang sama,
Golkar menggelar suksesi kepemimpinan dengan terpilihnya Jusuf Kalla sebagai
Ketua Umum. Golkar kemudian secara resmi menjadi partai pendukung pemerintah.
Golkar memiliki
aparatus organisasi yang mendukungnya mampu beradaptasi dengan cepat pada
perubahan. Kemampuan ini mendorong partai lebih fleksibel dan dinamis. Hampir
tidak mungkin lagi mengembalikan partai ini pada model kekuasaan sentralistik
seperti pada era Soeharto.
Akbar Tanjung, arsitek
perubahan partai, bahkan merasakan sendiri ketika ia ditumbangkan oleh
gerakan Iramasuka, suatu koalisi elit-elit partai daerah. Demikian pula yang
dialami oleh Abu Rizal Bakrie. Walaupun Bakrie begitu digdaya dengan dukungan
finansial besar, tapi itu tidak menghalangi gerakan pembangkangan yang
dimotori oleh para aktivis muda partai.
Melihat transformasi
besar yang terjadi di tubuh partai Golkar sejak reformasi bergulir, gagasan
memunculkan Soeharto sebagai ikon partai menjadi kurang relevan, bahkan bisa
jadi kontra-produktif. Mengembalikan kejayaan Golkar bukan dengan mundur ke
belakang, tapi menatap jauh ke depan, mencari semua kemungkinan perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar