Senin, 28 Agustus 2023

 

Kesepian Kita

Qaris Tajudin :  Wartawan Tempo, Sarjana Hadis dari Universitas Al Azhar Kairo

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

PADA sebuah senja bertahun lalu, saya duduk di atap biara di Lembah Natrun, Mesir, bersama seorang rohaniwan Kristen Koptik. Saya memanggilnya Abuna Shedraq. Abuna adalah panggilan semacam romo dalam tradisi Katolik.

 

Jubah Abuna hitam, juga penutup kepalanya. Ada tato salib di atas urat nadi kirinya. Sudah beberapa tahun ia tinggal di sana: terisolasi, terkurung padang pasir, tanpa televisi, koran, radio, apalagi telepon seluler dan Internet.

 

Abuna dan belasan rekannya meneruskan tradisi menyepi yang sudah berlangsung selama hampir dua milenial. Sejak abad pertama Masehi, pendahulu Shedraq mendirikan beberapa biara di lembah itu untuk menghindari kejaran tentara Romawi dan penguasa zalim lain.

Mereka membangun tembok lima meter dengan pintu kayu kokoh berlapis. Sebuah bel digantung di atas gerbang untuk dibunyikan para tamu sebagai tanda mengetuk. “Pendahulu kami hanya membuka pintu untuk para kafilah yang kehabisan air dan ingin menimba dari sumur biara,” kata Abuna. Ancaman itu sudah lama hilang, tapi dinding tinggi itu tetap berdiri, sebagai pengingat bahaya dunia luar.

 

Senja itu, di atas biara, kami menatap cakrawala. Yang terlihat hanya padang pasir kecokelatan juga sejumput pohon zaitun.

 

Terkepung kekosongan padang pasir, tiba-tiba saya disergap kehampaan. Beberapa jam yang lalu saya masih terjebak lalu lintas Kairo yang bising, dan kini berada di tengah kehampaan yang menyerap semua suara.

 

“Apakah Abuna tidak takut kesepian?” tanya saya. Saya tak ingat benar jawabannya, tapi dia tersenyum dan menggeleng. Sebentar lagi gelap dan para pengunjung biara harus keluar. Pintu berat kembali ditutup dan kesunyian datang menyergap.

 

Pertanyaan saya mungkin terdengar konyol. Saya tidak bisa membedakan kesepian (loneliness) dan kesendirian (solitude). Dalam bahasa Indonesia, kesepian dan menyepi punya arti yang berbeda, meski keduanya dibentuk dari kata asal yang sama.

 

Mendefinisikan kesepian memang bukan perkara mudah. Daniel Russell, peneliti di Iowa State University, Amerika Serikat, mencoba membuat definisi. Katanya, “Kesepian ada saat hubungan yang kita miliki—jaringan sosial kita—tidak sesuai dengan harapan kita.” Di sana terasa ada keterasingan yang akut.

 

Namun kesepian tidak selalu hadir sebagai keterasingan seperti yang digambarkan oleh William Wordsworth dalam puisinya, “I wandered lonely as a cloud.” Kadang ia juga datang sebagai ketakutan luar biasa seperti dalam catatan Virginia Woolf dalam A Writer’s Diary. “Often down here I have entered into a sanctuary…; and always some terror; so afraid one is of loneliness.”

 

Belakangan, kesepian bukan hanya milik satu-dua orang. “Kesepian telah menjadi epidemi,” kata Fay Bound Alberti dalam bukunya, A Biography of Loneliness: The History of an Emotion. Alberti memulai bukunya tentang kesepian itu dengan mengutip cuitan The Economist di Twitter, “Loneliness is the leprosy of the 21st century.” Kesepian adalah wabah di abad ke-21.

 

Ini bukan hal baru, tentu saja. Lima puluh tahun sebelumnya, Paul McCartney sudah menulis lagu “Eleanor Rigby”. “All the lonely people. Where do they all come from?”

 

Mereka yang kesepian tidak hanya berada di Eropa dan Amerika Utara. Pada 2021, sebuah survei di Indonesia menunjukkan bahwa 98 persen responden merasa kesepian. Tentu ini berhubungan dengan pandemi Covid-19 yang membuat orang terkurung. Tapi sejumlah survei sebelum dan sesudahnya menunjukkan meningkatnya kesepian di Indonesia, meski angkanya tak setinggi itu.

 

“Neoliberalisme, tentu saja, bisa disalahkan atas kesepian,” kata Alberti. Kapitalisme melahirkan industrialisasi yang memicu urbanisasi. Ada yang tercabut dari akarnya, ada nilai-nilai komunal yang menipis karena hak pribadi menebal. Itulah yang melahirkan orang-orang kesepian seperti Eleanor Rigby di negara-negara maju, tapi tidak di negara berkembang seperti Indonesia.

 

Di Indonesia, kita mungkin bisa bersembunyi dari kesepian akibat perubahan ekonomi, tapi tidak dari kesepian yang muncul dari teknologi. Dalam gelombang digital, sekarang semua bisa tertular kesepian. Wabah kesepian yang ditulis oleh The Economist dan Alberti bisa dilihat di mana-mana.

 

Digitalisasi memberikan ilusi tentang kebersamaan. Kita sibuk menyapa, mengomentari, saling colek, menangis dan tertawa bersama, di dunia maya. Itu semua memberi ilusi terpenuhinya kebutuhan akan kebersamaan. Seolah-olah dengan semua kesibukan itu kita merasa bersama. Tapi ternyata ada rasa suwung yang muncul karena tak ada kebersamaan yang nyata.

 

Kesepian bukan sekadar reaksi kimia di dalam otak. Itulah kenapa Stephanie Cacioppo—neurosaintis dari University of Chicago, Amerika—berhenti memberikan obat kepada penderita kesepian, meski sempat berhasil mengusir kegundahan dalam otak mereka di awal eksperimennya. Satu-satunya cara untuk mengatasinya, menurut dia, adalah memiliki hubungan nyata. Pada akhirnya, kesendirian dan kesepian tidak jauh berbeda, meski tetap tak sama.

 

Tak jauh dari biara Abuna Shedraq, masih di Lembah Natrun, ada danau asin, tempat orang-orang di masa lalu memanen garam. Konon, kata natrium (garam) diambil dari nama lembah ini.

 

Salah satu fungsi utama garam Natrun adalah sebagai zat pengawet jenazah para firaun. Bukan hanya penguasa yang dimumikan, tapi juga anggota keluarga, pembantu, bahkan binatang peliharaan mereka. Bagi keluarga yang ditinggalkan, mendiang tak boleh kesepian saat bangkit dari kematian. Kelak. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/marginalia/169578/kesepian-kita

 

 

Watak Paternalisme Dalam Istilah Senior

Dhoni Zustiyantoro :  Dosen Universitas Negeri Semarang dan Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

SEORANG rektor yang baru dilantik mengucapkan terima kasih kepada rektor terdahulu dengan menyebutnya sebagai “rektor senior”. Dalam kesempatan lain, sebutan itu ditirukan oleh pejabat di bawahnya: ada “wakil rektor senior”, “dekan senior”, “wakil dekan senior”, hingga “ketua jurusan senior”. Bahkan ada pula sebutan “sangat, sangat senior” untuk seseorang yang sudah lama lengser dari jabatannya.

 

Sebutan-sebutan tersebut menunjukkan bekerjanya bahasa di dalam konteks kekuasaan, patronase, dan paternalisme yang telah mendarah daging dalam struktur birokrasi Indonesia. Situasi sosial tertentu memang bisa mempengaruhi pola kebahasaan. Sebutan “senior” juga memposisikan orang yang menjadi atasan sebagai bapak dan orang yang menyebutnya demikian sebagai anak.

 

Watak paternalisme yang feodalistis ini sesungguhnya tak relevan dengan semangat reformasi birokrasi. Di samping menjadi penghalang terbesar untuk menyampaikan kritik dan menyuarakan ketidaksetujuan, sebutan itu menunjukkan bahwa pejabat dan mantan pejabat menjadi patron yang mesti diteladankan.

 

Untuk memahami beroperasinya bahasa dalam struktur kekuasaan, kita mendapat penjelasan dari Pierre Bourdieu (1930-2002). Dalam Language and Symbolic Power (1991), sosiolog Prancis tersebut menyatakan bahwa bahasa bukan sekadar sarana transmisi pesan, tapi, lebih dari itu, bahasa berfungsi sebagai instrumen atau mekanisme simbolik untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan dominasi. Dalam konteks itu, kata-kata mendapatkan kekuasaan dari penuturnya, yang secara sosiologis menggambarkan cara hidup sebuah komunitas dan secara esensial memberikan pelayanan bagi tercapainya tujuan-tujuan praktis dan pragmatis.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan secara gamblang memaknakan senior sebagai, salah satunya, “orang yang lebih dahulu dalam hal pekerjaan, pengalaman, dan sebagainya”.

 

Di Indonesia, di samping doktrin birokratis yang mempengaruhi pola kebahasaan, senior juga paralel dengan ungkapan khas militeristik. Dari tradisi militer pula kita acap mendengar jawaban “siap” ketika seseorang menyampaikan perintah atau permintaan tertentu. Ungkapan tersebut juga acap ditirukan dalam percakapan sehari-hari di tengah masyarakat. Tak ayal jika kita acap mendengar ucapan “siap, senior!” dalam percakapan sehari-hari.

 

Dalam bahasa Jawa, senior disebut juga sesepuh, yang dalam Kamus Bausastra antara lain dimaknakan sebagai “wis mateng”, “kang dianggep tuwa, dituwani”, sudah matang, dianggap sudah tua, dituakan. Dalam konteks kebudayaan Jawa, sesepuh tak selalu menandakan umur yang lebih tua. Jikalau ada orang yang relatif muda secara umur tapi memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu dan lebih mumpuni, ia layak disebut sesepuh atau yang dituakan.

 

Dalam perspektif Bourdieu, kata senior juga terkait dengan gagasan kapital sosial. Kapital sosial merujuk pada jaringan hubungan sosial yang dimiliki seseorang dan senior dapat menyiratkan adanya akses ke jaringan yang lebih luas dan berpengaruh. Misalnya, seseorang yang dianggap sebagai senior dalam suatu profesi atau komunitas mungkin memiliki akses yang lebih mudah ke peluang kerja atau sumber daya lain. Penggunaan kata senior dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial dan privilese yang melekat pada mereka yang dianggap senior.

 

Michel Foucault dalam The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language (1972) menjelaskan bahwa bahasa juga alat kekuasaan yang digunakan untuk membentuk realitas sosial. Penggunaan kata senior dapat dilihat sebagai bagian dari permainan kekuasaan dan konstruksi sosial.

 

Foucault menekankan pentingnya peran bahasa dalam membangun dan mempertahankan sistem kekuasaan. Dengan demikian, penggunaan kata senior membantu memperkuat struktur hierarkis di masyarakat. Kata itu menciptakan perbedaan dan hierarki antara mereka yang dianggap senior dan yang bukan. Dalam konteks ini, senior menghasilkan representasi kuasa dan mempengaruhi cara individu memahami dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.

 

Di sisi lain, Foucault menggariskan bahwa bahasa juga tempat perlawanan dan transformasi. Individu dapat menggunakan bahasa untuk menantang atau meruntuhkan struktur kekuasaan yang ada. Dalam hal ini, ada potensi bahwa penggunaan kata senior juga dapat menjadi subyek perdebatan dan perubahan sosial. Misalnya, melalui gerakan kesetaraan atau advokasi, istilah senior dapat digantikan atau dikritik untuk menghadirkan pendekatan yang lebih inklusif atau egaliter. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/bahasa/169572/makna-kata-senior

 

 

Obituari Marga T : Makna Karyanya Dalam Sastra Indonesia

Seno Gumira Ajidarma :  Penulis Cerita Pendek dan Kritik Seni

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

MARGA T.—yang bernama resmi Margaret Caecilia Lee dan dikenal juga sebagai Intan Margaretha Harjamulia—adalah perempuan penulis yang namanya begitu terkenal, sekaligus begitu konsisten menutupi kehidupan pribadinya. Dengan setengah bercanda, Marga T bilang tidak ingin terganggu ketika naik bus kota atau jalan-jalan di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

 

Namun, bagai menempatkan surprise pada akhir fiksi, Marga melakukan hal yang sama bagi riwayat hidupnya sendiri. Pada 2021, terbitlah If Only: A Memoir, yang dengan terbuka mengungkap trauma hidupnya sebagai anak perempuan yang selalu dipukuli.

 

Dengan kata lain, kesuksesan yang tidak pernah memudar semenjak istri Antonius Lee ini dikenal mulai 1970, melalui roman Karmila dan Badai Pasti Berlalu, bagaikan ironi bila terandaikan berjalan paralel dengan masa lalunya yang traumatik.

 

Saat Marga terdeteksi mengidap kanker pada 1992, dokternya bertanya perihal masa kecilnya. Apa hubungannya? Kanker bukanlah penyakit primer, melainkan reaksi atas bencana yang telah lama menyiksa jiwa ataupun raga, sehingga kemarahan dan perasaan tertekan mesti disapu dari sistem. Kata dokter di buku itu, menuliskan kenangan buruk adalah caranya.

 

Betapapun, dengan capaian 128 cerita pendek dan 67 buku, termasuk setidaknya 39 roman, ironi lain masih pula membayangi Marga di balik popularitasnya: selalu perlu dinyatakan betapa roman gubahannya itu bukanlah tergolong sastra, dengan konotasi yang patut disesali sebagai merendahkan. Namanya juga lebih sering tidak tercatat dalam berbagai katalog mapan kesusastraan Indonesia.

 

Prasangka seperti ini bagaikan kanker sosial yang baru bisa dibersihkan oleh pemahaman bahwa perbedaan roman populer dengan berbagai spesifikasinya: ringan, lancar, melodramatik, tapi berakhir bahagia, dan karena itu menghibur dibanding sastra sungguhan, adalah sekadar perbedaan genre alias jenis dalam sastra. Bukan perbedaan harkat. Jadi yang mana pun tetaplah sastra.

 

Namun perbedaan harkat inilah yang secara sosial, bukan tekstual, mencuat dalam komunitas sastra setengah awam yang mengakibatkan para penulis yang pembacanya luas luput diperhitungkan. Seolah-olah dilupakan bahwa dengan kemampuan mengikat pembaca, menggiringnya mengikuti alur, mempertemukan berbagai karakter, melibatkan pembaca untuk berpikir, berempati, teraduk emosinya dalam suasana yang hidup dengan bahasa tanpa kesalahan, dapat tercapai dimensi estetik teruji.

 

Kontribusi genre ini, justru karena popularitasnya, terhadap perkembangan wacana sosial politik pun sama sekali tidak nihil. Marga dan penulis semasa dan "senasib" dengannya, Ashadi Siregar, sering membuktikan yang sebaliknya.                   

 

Istilah seperti "bacaan hiburan", "novel pop", atau "roman picisan" yang ditimpakan kepada prosa produk industri ini sering menjadi bias yang mengganggu kejernihan menangkap makna tersirat dalam pembacaan. Penelitian akademikus di luar Indonesia bahwa semasa Orde Baru sebagian besar sastrawan hanya diam dan membisu dalam konteks 1965, atau hanya menyalahkan "komunis" jika menuliskannya, sudah lama ditepis oleh Marga.

 

Dalam Gema Sebuah Hati (1976) dikisahkan situasi di kalangan peranakan Tionghoa semasa 1965-1966 tentang tokoh bernama Martin yang menganggap keberpihakan kepada kaum proletar itu perlu, tapi bukan kepada Partai Komunis di Indonesia ataupun Cina Daratan. Begitu kuat niatnya sampai ia menuju Cina hanya untuk dikecewakan Revolusi Kebudayaan (1966-1976) sehingga mencari jalan untuk keluar dan tak jelas nasibnya.

 

Alur Martin berkait dengan alur Monik, pacarnya di Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica (sekarang Trisakti) dalam latar politik di kampus, tempat terdapatnya konflik antarmahasiswa yang "merah", seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, dan non-"merah", seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, ataupun yang plin-plan (oportunis). Marga menggambarkan kehidupan mahasiswa, yang anak kos ataupun elitis, dengan keakraban terhadap berbagai aspek peradaban dalam kebudayaan peranakan Tionghoa.

 

Dalam pemerintahan Orde Baru, ketika Gema Sebuah Hati terbit hanya dua tahun setelah peristiwa Malapetaka 15 Januari atau Malari (1974), roman ini merambah dua wilayah yang biasanya saat itu dihindari: situasi politik kemahasiswaan semasa Orde Lama dan kehidupan sehari-hari keluarga peranakan Tionghoa, notabene kebudayaannya, yang terlarang.

 

Marga adalah seorang dokter dan lingkup kedokteran menjadi semesta penceritaannya. Bukan hanya penyakit-penyakit dan diagnosis, penguasaan kejiwaan pun mengundang kajian akademik tersendiri. Hal ini, misalnya, terlihat dalam peran Lydia pada roman Sekuntum Nozomi jilid ketiga dari lima jilid yang terbit berturut-turut sepanjang 2002-2006.

 

Peneliti David T. Hill, dalam pengantar If Only, menyebutkan pentalogi ini bagaikan magnum opus (adikarya) yang tak pernah dicapai Marga sebelumnya dengan kanvas luas dan periode waktu panjang, tempat segenap peran yang pernah digubahnya berinteraksi. Komentator sosial, mendiang Wimar Witoelar, mengungkapkan rasa syukur bahwa Marga telah menuliskan roman yang menjadi penting berkat penggambaran korban tragedi Mei 1998 dalam jilid ketiga pentalogi tersebut.

 

Pengakuan seperti ini kontras dengan komentar seorang pengamat yang menganggap dunia roman Marga berada di antah-berantah karena nama-nama peran "tanpa akar", seperti Tesa, Kishi, dan Oteba. Namun nama-nama seperti ini, jika memang tanpa akar (tradisi), betapapun lahir dari suatu konstruksi sosial (baru), merupakan kombinasi berbagai varian dalam pertumbuhan urban yang melahirkan tren nama "asing". Ini pun seperti menjawab kesulitan Marga jika ingin menggunakan nama-nama asal peranakan Tionghoa saat Orde Baru masih berkuasa.

 

Bukan hanya roman yang ditulis Marga. Genre lain yang digarapnya adalah cerita pendek dan karya satire atau cerita sindiran. Cerita pendek bahkan adalah tulisannya yang pertama kali dimuat media massa, yakni di Harian Warta Bhakti tahun 1964, berjudul “Kamar 27”.

 

Kecenderungan ke arah satire tampak dalam “Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah” yang dimuat harian Kompas tahun 1970. Seorang mahasiswa kedokteran, yang hanya memikirkan baju dan sepatu baru untuk pesta, dihadapkan kepada warga miskin yang sangat bahagia ibunya sembuh, walau uang Rp 5 pun tak punya.

 

Marga adalah seorang penulis cerdas, penuh bakat, dengan humor yang mampu menertawakan dirinya sendiri, dan nyatanya kritis, yang berjuang untuk selalu menulis dalam tekanan personal, sosial, ataupun dalam gerogotan kanker. Pada 2015, pemerintah menganugerahinya Penghargaan Kebudayaan sebagai Pelopor Penulisan Sastra Populer Indonesia, bagaikan akhir yang manis bukan saja bagi Marga, tapi juga bagi genre "bacaan hiburan", "novel pop", dan "roman picisan" yang sebelumnya dipandang sebelah mata sebagai bukan sastra.

 

Marga T., nama ini selalu dihubungkan dengan Marga Tjoa, tapi Marga sendiri tidak bermaksud begitu. Marga T. disingkat M.T., dibaca empty (kosong), karena Marga beranggapan bukan dirinya yang menulis, melainkan Roh Kudus. “The Holy Spirit is my Ghost Writer,” katanya.

 

Lahir di Jakarta pada 1943, Marga meninggal di Malvern, Australia, dalam usia 80 tahun, pada Kamis Kliwon, 17 Agustus lalu. Kepergiannya pada Hari Kemerdekaan di Tanah Air bagai penanda yang tidak bisa lebih tepat lagi: Marga—yang bernama asal Tjoa Liang Tjoe—telah memberikan segala yang bisa dicurahkannya bagi Indonesia. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/obituari/169562/obituari-marga-t

 

 

Cara Pengikut Ahmadiyah Mencegah Krisis Iklim

Yandhrie Arvian :  Redaktur Eksekutif Koran Tempo sejak Juli 2021

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

Rizwan Ahmad Sahib tak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat tiba di Masjid Baitul Futuh di Morden, barat daya London, Inggris. Bersama 10 rekannya, ia baru saja menuntaskan salah satu misi penting dalam hidupnya: bersepeda dari Dublin, Irlandia, menuju London demi menghadiri Jalsah Salanah Britania Raya 2023. Jaraknya sekitar 650 kilometer dengan elevasi di atas 5.000 meter.

 

Di Baitul Futuh, mereka mendapat sambutan. Pekik "Nara-e-takbeer… Allahu Akbar" bersahutan tatkala para pesepeda memasuki halaman masjid. Jarum jam menunjukkan pukul 16.24. Gerimis mulai jatuh di musim panas yang basah. Langit sedikit abu-abu. Suhu mentok di angka 20 derajat Celsius. Sore itu, Rabu, 26 Juli lalu, Amir Ahmadiyah Britania Raya Rafiq Ahmad Hayat bersama puluhan anggota jemaah dan tamu internasional Jalsah Salanah menyambut para pesepeda.

 

“Ini pengalaman tak terlupakan karena pertama kalinya kami datang ke Jalsah Salanah dengan bersepeda,” ujar Rizwan Sahib, Presiden Ahmadiyya Muslim Youth Association Irlandia, kepada Tempo.

 

Biasanya mereka naik pesawat atau mengendarai kendaraan pribadi dari Irlandia. Kebiasaan bersepeda selama masa pandemi Covid-19 membulatkan tekad Sahib dan kawan-kawannya hadir ke pertemuan tahunan itu dengan cara berbeda. Di Jalsah Salanah, Sahib ingin bertemu dengan khalifah kelima Ahmadiyah Hazrat Mirza Masroor Ahmad dan anggota jemaah Ahmadiyah lain dari seluruh dunia.

 

Misi ini terbilang berat karena setengah dari pengendara kereta angin adalah pesepeda pemula. Lima hari mengayuh sepeda, mereka setidaknya berhenti di lima kota. Pada hari pertama, mereka mengayuh sepeda menyusuri Sungai Liffey menuju Pelabuhan Dublin, lalu menyeberang naik feri ke Holyhead, Wales. Dari situ, para pesepeda menuju Rhyl, kota pesisir di timur laut Wales, untuk bermalam di Masjid Sadiq.

 

Menembus hujan dan panas, Sahib dan teman-temannya bermalam di Birmingham dan Oxford, sebelum akhirnya tiba di Baitul Futuh, London. Esoknya, rombongan pesepeda menuju Hadeeqatul Mahdi di Oakland Farm, Alton—tempat Jalsah Salanah berlangsung selama tiga hari. Pria 24 tahun ini bercerita, sebelum datang ke Jalsah Salanah, mereka sempat berlatih gowes jarak jauh. Salah satunya membelah Irlandia dari Dublin ke Galway sepanjang 207 kilometer dalam dua hari.

 

Sahib dan kawan-kawannya memperoleh inspirasi dari jemaah Ahmadiyah Jerman. Dipimpin oleh Amir Ahmadiyah Jerman Abdullah Uwe Hans Peter Wagishauser, mereka bersepeda 570 kilometer dari Aachen menuju London untuk menghadiri Jalsah Salanah. Tradisi bersepeda ke Jalsah Salanah ini mereka lakoni lebih dari 10 tahun.

 

Di mata Sahib, Abdullah Wagishauser adalah pesepeda yang tangguh dan berpengalaman. Di usianya yang tak lagi muda, pria 69 tahun itu selalu berada di rombongan paling depan. “Kami beruntung sempat bergabung dengan jemaah dari Jerman,” ucap Sahib. Kedua rombongan bertemu di Country Market, Bordon, sebelum gowes bersama-sama menuju Hadeeqatul Mahdi di Oakland Farm.

 

Salah satu yang mendorong jemaah Ahmadiyah bersepeda adalah isu perubahan iklim. Pemimpin Ahmadiyah saat ini, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, berulang kali mengajak jemaah berperan dalam penyelamatan lingkungan. Sebagai upaya kolektif, perubahan kecil itu dapat dimulai dengan memilih bersepeda ke supermarket lokal ketimbang mengendarai mobil. “Itu juga yang ada di pikiran kami saat memulai gerakan ini,” tutur Sahib yang sehari-hari bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit St. James di Dublin. Sahib kini memperoleh banyak permintaan dari anggota jemaah Ahmadiyah lain untuk gowes bersama-sama ke Jalsah Salanah. “Satu anggota jemaah dari Islandia ingin bergabung tahun depan,” kata Sahib.

 

Isu lingkungan menjadi salah satu perhatian Ahmadiyah, selain isu perdamaian dan keadilan. Sahib menjelaskan, semua itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat mereka mengenalkan Ahmadiyah kepada komunitas yang lebih luas. Itu pula yang Hazrat Mirza Masroor Ahmad sampaikan saat bertemu dengan sejumlah pemimpin dunia. Termasuk tema-tema yang berkaitan dengan isu global saat ini, seperti krisis air, energi, dan pangan.

 

Untuk urusan air, energi, dan pangan, Ahmadiyah punya International Association of Ahmadi Architects and Engineers (IAAAE). Organisasi ini memberikan bantuan teknis dan kemanusiaan bagi jemaah Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah di seluruh dunia. Kebanyakan proyeknya dikerjakan di negara-negara Afrika, seperti Tanzania, Mali, Burkina Faso, dan Sierra Leone.

 

Di sana, mereka mendesain dan membangun masjid, sekolah, dan desa percontohan. Semuanya dengan konsep ramah lingkungan dan berkelanjutan. Efek pemanasan global menjadi salah satu pertimbangan dalam menciptakan desain. “Kami berusaha mengurangi dampak kerusakan lingkungan,” ucap Chairman IAAAE Eropa Akram Ahmedi kepada Tempo, Rabu, 2 Agustus lalu. Selain menyediakan fasilitas air bersih, para insinyur memanfaatkan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, untuk membangkitkan listrik.

 

Di Burkina Faso, mereka membangun desa percontohan. Lokasinya di wilayah terpencil bernama Dori. Dikenal dengan nama Mehdi Abad, desa percontohan itu dilengkapi fasilitas air bersih yang mengalir hingga rumah penduduk. Air yang dihasilkan juga bisa digunakan untuk irigasi dan bercocok tanam. Dengan fasilitas ini, penduduk lokal tidak perlu lagi berjalan kaki 7-8 kilometer demi mencari sumber air. Tak hanya menerangi rumah dan jalan, listrik yang dihasilkan dari puluhan panel surya memompa air ke tangki berkapasitas 25 ribu liter. Dari tangki, pipa mengalir ke rumah penduduk.

 

Semua riset, studi kelayakan, dan desain proyek dikerjakan oleh para insinyur yang tinggal di Eropa. Jumlah tenaga yang tergabung dalam IAAAE cabang Eropa sekitar 200 orang. Pada umumnya mereka adalah insinyur profesional yang bekerja di sektor privat. Ada juga yang menjalankan usaha sendiri. Para insinyur ditawari mengerjakan proyek sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Ada kalanya Akram Ahmedi menawarkan pekerjaan kepada insinyur yang bermukim di luar Eropa.

 

Salah satunya kepada Zeeshan Ahmed, water engineer dari Pakistan yang kini bermukim di Kanada. Ahmedi menghubungi Zeeshan Ahmed untuk mencari solusi krisis air minum di Niger. Atas undangan Ahmedi, dia datang ke sana. Ia lalu mengusulkan pemerintah Niger membangun bendungan kecil dengan teknologi terbaru yang dapat menghemat air, sekaligus mendaur ulang air kembali ke muka air tanah.

 

Semua insinyur bekerja sukarela tanpa menerima honor sepeser pun, dari mendesain hingga mensupervisi pekerjaan konstruksi. “Mereka bahkan mesti merogoh kocek sendiri saat harus pergi ke lokasi proyek,” ujar Ahmedi, yang pernah menetap berbulan-bulan di Bamako, Mali, saat proses konstruksi Masjid Mubarak berlangsung. Semua bekerja sukarela, kecuali para pekerja lokal di bagian konstruksi yang menerima gaji sesuai dengan masa kontrak kerja. Seluruh biaya pembangunan proyek berasal dari donasi jemaah Ahmadiyah di seluruh dunia.

 

Untuk mengatasi krisis pangan, organisasi insinyur Ahmadiyah ini mulai bereksperimen menerapkan pola pertanian berkelanjutan bagi petani di Afrika. Tujuannya adalah meningkatkan produktivitas pertanian dan akses ke pasar serta memutus siklus kemiskinan.

 

Saat ini ketersediaan gandum dunia terancam gara-gara Rusia memblokade jalur ekspor Ukraina. Perang Rusia-Ukraina memicu para insinyur Ahmadiyah mencari sumber pangan alternatif, termasuk dari Afrika. “Sehingga tidak bergantung pada satu negara tertentu,” kata Ahmedi. Dengan peduli pada krisis iklim, energi, dan pangan, Ahmadiyah berikhtiar mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi mendatang. ●

 

Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/169564/ahmadiyah-krisis-iklim

 

 

Geliat Pengikut Ahmadiyah di Inggris Raya

Yandhrie Arvian :  Redaktur Eksekutif Koran Tempo sejak Juli 2021

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

SUDAH empat kali Aboubacarr Drammeh datang ke Jalsah Salanah di Britania Raya. Empat kali pula penganut Ahmadiyah asal Gambia ini menghirup atmosfer yang berbeda. Bukan hanya bertemu dengan pengikut Ahmadiyah dari pelbagai penjuru dunia, Drammeh merasakan pengalaman spiritual yang unik setiap kali berkunjung ke sana.

 

“Setiap pulang dari Jalsah Salanah, saya memetik pelajaran,” ujar ilmuwan biomedis yang bekerja di Champlain, Minnesota, Amerika Serikat, ini kepada Tempo, Sabtu, 29 Juli lalu.

 

Pengetahuan baru itu, antara lain, ia peroleh dari khalifah kelima Ahmadiyah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad. Di Jalsah Salanah, Drammeh dapat mendengarkan langsung nasihat-nasihat Masroor Ahmad. Pengalaman dari Jalsah Salanah, Drammeh menambahkan, memberi pengetahuan yang dapat mengangkat akhlak dan spiritualitasnya.

 

Sama seperti sebelumnya, pertemuan tahunan komunitas Ahmadiyah ini juga mengundang berbagai pembicara dari berbagai negara. Ada anggota parlemen, akademikus, aktivis buruh, tokoh agama, dokter, dan perwakilan komunitas adat. Topik yang dibicarakan beragam, dari kebebasan beragama, kekerasan dan persekusi, hingga pentingnya kampanye damai Ahmadiyah.

 

Daya pikat itulah yang membawa Drammeh kembali ke Jalsah Salanah. Dari Amerika Serikat, pria 40 tahun ini terbang ke tanah kelahirannya, Gambia, sebelum memboyong ibunya ke Inggris demi menghadiri Jalsah Salanah. Bersama ribuan anggota jemaah lain, Drammeh bermalam di tenda pria. Sementara itu, ibunya menginap di tenda perempuan.

 

Menyemut di lapangan rumput yang basah, tenda-tenda itu bertebaran di sekujur Hadeeqatul Mahdi, Oakland Farm, Alton—satu setengah jam perjalanan naik mobil dari London. Di area seluas 87 hektare itulah Jalsah Salanah berlangsung pada 28-30 Juli 2023.

 

Hujan hampir tiap hari mengguyur Hadeeqatul Mahdi. Dari siaran radio lokal saya mendengar: inilah musim panas paling lembap dalam beberapa tahun terakhir. Di lokasi Jalsah Salanah, tanah berlumpur melapisi jalanan di antara tenda-tenda, menghambat laju kerumunan manusia. Tapi kendala itu tidak menyurutkan tekad mereka antre menuju tenda utama.

 

Di dalam tenda utama, pekik "Nara-e-takbeer…Allahu Akbar...Islam Ahmadiyah…." terus bergema. Setiap hari ada sesi pembacaan Al-Quran. Doa dan salawat memuja Nabi Muhammad dilantunkan.

 

Panitia mencatat setidaknya 41.654 orang memadati Jalsah Salanah di Britania Raya 2023. Mereka berasal dari 118 negara. Menurut Mirza Masroor Ahmad, jumlah peserta Jalsah Salanah tahun ini naik dari tahun sebelumnya, yang mencapai 39.829 orang. Boleh jadi inilah pertemuan terbesar komunitas Ahmadiyah di seluruh dunia sejak mereka memindahkan pusat operasional dari Pakistan ke Inggris pada 1984.

 

Pengikut Ahmadiyah pada dasarnya punya Jalsah Salanah di negara masing-masing. Di Amerika Serikat, Jalsah Salanah berlangsung beberapa pekan sebelum pertemuan di Britania Raya. “Tapi Jalsah Salanah di Inggris adalah pusatnya. Induk dari semua Jalsah,” kata Faheem Younus Qureshi, ahli penyakit menular dari University of Maryland, Amerika Serikat.

 

Dibanding Jalsah Salanah pertama, perhelatan di Hadeeqatul Mahdi telah menjadi pertemuan raksasa. Jalsah Salanah pertama digelar pada 1891, tak lama setelah Mirza Ghulam Ahmad mendirikan Ahmadiyah di Qadian, India. Pengikut yang hadir hanya 75 orang. Jalsah Salanah terus berkembang dan menarik perhatian. Sebelum Ahmadiyah memindahkan pusatnya ke Rabwah, Pakistan, pada 1947, Jalsah Salanah 1946 di Qadian pernah dihadiri 40 ribu anggota jemaah.

 

Di Inggris, Jalsah Salanah pertama berlangsung di Masjid Fazl, London, pada Agustus 1964. Menteri Negara Inggris untuk Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa Lord Tariq Ahmad punya sepotong cerita. Dia mengungkapkan, ide penyelenggaraan Jalsah Salanah muncul ketika ayahnya, Mansoor Ahmad BT, bertemu dengan Bashir Ahmad Rafiq Khan, Imam Masjid Fazl. Keduanya teman lama di India sebelum Mansoor Ahmad pindah ke Skotlandia. “Mereka berpikir, kenapa tidak menyelenggarakan Jalsah Salanah di Inggris,” ucap Tariq Ahmad. Gayung bersambut. Pertemuan digelar di halaman masjid.

 

Dalam Jalsah pertama itu ada sebuah foto yang menunjukkan Bashir Ahmad Rafiq Khan duduk di sebelah Abdul Aziz Deen, Amir Ahmadiyah Britania Raya. Di sebelahnya, Menteri Luar Negeri Pakistan (1947-1954) Muhammad Zafrullah Khan menyampaikan pidato. Sementara itu, Mansoor Ahmad berdiri di belakang mereka, bertugas menjaga keamanan. “Pertemuan itu sungguh simbolis,” tutur Tariq Ahmad kepada Tempo.

 

Sejak saat itu, Jalsah Salanah di Inggris makin ramai. Tempat pertemuan pun berpindah-pindah, dari balai kota Wandsworth ke bundaran Robin Hood di Roehampton hingga ke aula Tolworth. Rata-rata jumlah anggota jemaah yang hadir 2.500-3.000 orang.

 

Memanasnya situasi politik di Pakistan mendorong khalifah keempat Ahmadiyah, Hazrat Mirza Tahir Ahmad, hijrah ke London pada April 1984. Ketika itu rezim militer Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq melarang jemaah Ahmadiyah beribadah. Amendemen kedua konstitusi Pakistan menyatakan Ahmadiyah bukan Islam. Pemerintah Pakistan juga melarang penyelenggaraan Jalsah Salanah. Padahal pada tahun sebelumnya pertemuan akbar di Rabwah dihadiri 250 ribu Ahmadi—sebutan bagi pengikut Ahmadiyah. Sejak saat itu, pusat Ahmadiyah berpindah ke Masjid Fazl.

 

•••

 

MASJID putih dengan kubah hijau itu terletak di Gressenhall Road, Southfields, London. Didesain oleh firma arsitek TH Mawsons and Sons, bangunan itu menggabungkan gaya Mughal klasik dan kontemporer Inggris. Di salah satu sudut tembok terpahat tulisan: “Masjid London dibangun pada 1924 oleh gerakan Islam Ahmadiyah”. Inilah Masjid Fazl, masjid pertama di London dan masjid kedua di Britania Raya.

 

Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah kedua Ahmadiyah, meletakkan batu pertama pada 19 Oktober 1924. Pembelian lahan dan biaya pembangunan bersumber dari donasi umat, terutama dari Lajnah Imaillah (perempuan hamba Allah), organisasi perempuan Ahmadiyah. Biaya akuisisi tanah dan konstruksi saat itu 6.233 pound sterling. Mampu menampung 150 anggota jemaah, masjid ini resmi dibuka pada 23 Oktober 1926.

 

Tidak hanya membangun masjid, jemaah Ahmadiyah membeli properti di sepanjang Gressenhall Road dan Melrose Road. “Beberapa rumah di jalan ini milik warga Ahmadiyah,” ucap Kandali Ahmad Lubis, juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sambil menunjuk deretan rumah di depan Masjid Fazl. Jejeran rumah putih itu kini menjadi guest house. Ada juga yang menjadi kantor sekaligus tempat tinggal.

 

Bangunan yang banyak menyimpan sejarah adalah Melrose Road 61 dan 63. Mereka menyebutnya Rumah Misi. Lokasinya persis di pertigaan antara Melrose Road dan Gressenhall Road. Dalam catatan hariannya, Bashir Ahmad Rafiq Khan menulis: “Awal-awal tiba di London pada 1959, saya tinggal di sebuah flat dua kamar. Letaknya di lantai empat Melrose Road 61.” Setelah diangkat menjadi imam masjid pada 1964, Rafiq Khan pindah ke Melrose Road 63.

 

Salah satu satu tetangga jauh Rafiq Khan adalah Abdus Salam. Ia tinggal 2,4 kilometer dari Masjid Fazl. Masih menurut catatan Rafiq Khan, Abdus Salam rajin menunaikan salat di Masjid Fazl. Profesor fisika teoretis di Imperial College London ini juga acap mengundang Rafiq Khan bersantap sarapan di rumahnya. Belakangan, Abdus Salam dianugerahi Nobel Fisika pada 1974.

 

Empat tahun setelah Jalsah Salanah digelar pada 1964, Melrose Road 61 dan 63 dibongkar. Bangunan ini bersalin rupa menjadi Mahmood Hall, bersebelahan dengan Masjid Fazl. Di situ ada aula, kantor, dan apartemen kecil di lantai atas.

 

Menurut Amir JAI Maulana Mirajuddin Shahid, apartemen inilah yang kemudian ditempati Mirza Tahir Ahmad setelah hijrah pada 1984. Sejak saat itu pula Masjid Fazl menjadi pusat koordinasi Ahmadiyah internasional.

 

Sejak hijrah dari Pakistan, komunitas Ahmadiyah di Inggris makin membesar. Setahun kemudian mereka membeli lahan seluas 10,3 hektare di Tilford, Surrey, pada April 1985. Saat itu nilainya 80 ribu pound sterling. Di lahan ini mereka membangun sebuah kompleks bernama Islamabad. Untuk mempertahankan sabuk hijau kawasan Tilford, Ahmadiyah hanya boleh memanfaatkan lahan seluas 4 hektare sebagai area pembangunan.

 

Pada 26 Juli 2023, saya berkeliling di dalam Islamabad. Salah satunya ke Masjid Mubarak. Masjid ini punya satu kubah yang dikelilingi 32 sirip. Pada siang hari, cahaya matahari menembus kaca yang menempel di setiap sirip. Dua menara setinggi 13 meter menancap di kedua sisi. Setiap menara memiliki finial berlapis emas. Atap kubahnya dirancang khusus oleh firma arsitek Sutton Griffin—salah satu firma arsitek tertua di Inggris yang didirikan pada 1910.

 

Adalah Osman Chou yang meletakkan batu pertama masjid itu pada 2016. Ia adalah cendekiawan Ahmadiyah asal Cina. Mirajuddin menerangkan, Osman Chou banyak menerjemahkan ayat Al-Quran ke bahasa Cina. Ia belajar dan mengenal Islam di Rabwah, Pakistan. Pembangunan masjid rampung tiga tahun kemudian.

 

Sejak 2019, Mirza Masroor Ahmad pindah ke sebuah rumah di samping Masjid Mubarak. Sejak saat itu pula pusat koordinasi Ahmadiyah global bergeser ke Masjid Mubarak di Islamabad, setelah 35 tahun bermarkas di Fazl. Sebelumnya, Mirza Masroor Ahmad tinggal di kompleks Fazl. Ia menjadi khalifah kelima menggantikan Mirza Tahir Ahmad yang wafat pada 2003.

 

Sebenarnya Ahmadiyah pernah menyelenggarakan Jalsah Salanah di lapangan rumput Islamabad pada 1985-2004. Bagai cendawan di musim hujan, jumlah penganut Ahmadiyah terus berkembang. Tak hanya di Inggris, tapi juga di negara-negara Eropa, Asia, Afrika, dan Benua Amerika. Membeludaknya jumlah pengikut membuat mereka mesti mencari lahan baru. Pada pertengahan 2005, Ahmadiyah mengakuisisi area pertanian yang kemudian dinamai Hadeeqatul Mahdi, lokasi Jalsah Salanah sampai hari ini.

 

•••

 

BERKEMBANGNYA komunitas Ahmadiyah setelah hijrah dari Rabwah ke London membetot banyak perhatian. Sejumlah peneliti berusaha mencari jawaban. Salah satunya Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional, Ahmad Najib Burhani. Najib menuturkan, setidaknya ada tiga faktor yang membuat makin banyak orang bergabung dengan Ahmadiyah.

 

Pertama, ikatan yang erat antar-anggota Ahmadiyah. Ini ditunjukkan dengan sikap saling membantu dalam pembangunan ekonomi. Faktor kedua adalah keyakinan spiritual dan mistik, seperti keyakinan mesianik dan keterlibatan Tuhan dalam membantu Ahmadiyah dalam urusan duniawi. Yang ketiga adalah etika dan moralitas pengikut Ahmadiyah. “Terlihat dari perilaku para mubalignya, terutama ketika mereka dihina oleh lawan-lawannya,” ujar Najib yang menulis disertasi mengenai Ahmadiyah saat menempuh studi doktoral di University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat.

 

Untuk yang pertama, komunitas Ahmadiyah punya konsep pengorbanan harta yang disebut candah, di luar zakat dan fitrah. Besarnya bisa 1/16, 1/10, dan 1/3 dari penghasilan rutin Ahmadi. Pengelolaan candah dimanfaatkan untuk pembangunan masjid serta kegiatan kemanusiaan lain.

 

Dari pengorbanan harta ini pula aset Ahmadiyah bertebaran di mana-mana. Tak hanya di sekitar London, aset properti Ahmadiyah menyebar di seantero Britania Raya. Totalnya ada 49 aset berupa tanah dan bangunan.

 

Secara teologis, pengikut Ahmadiyah juga merasa punya pengalaman yang sama seperti yang dialami Nabi Muhammad, terutama menyangkut diskriminasi atau persekusi di masa-masa awal kenabian. “Pengikut Ahmadiyah merasakan pengalaman serupa,” kata Najib. “Untuk menegakkan kebenaran, mereka memiliki suka-duka seperti yang dialami oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.”

 

Penjelasan Najib senada dengan Faheem Younus Qureshi. Menurut Qureshi, persekusi telah membuat banyak pengikut Ahmadiyah di Pakistan memilih bermigrasi dengan damai, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan pengikutnya ketika hijrah dari Mekah menuju Madinah. Kala itu orang-orang Mekah berusaha menghabisi Muhammad. “Apa yang terjadi setelah itu?” ucap Qureshi. “Islam makin menyebar.”

 

Di Inggris, mereka hidup nyaris tanpa persekusi. Menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan, kata Lord Tariq Ahmad, merupakan prioritas mendasar bagi pemerintah Inggris. “Hukum ada di tangan warga negara untuk melindungi hak-hak mereka, terlepas dari komunitas atau keyakinan yang mereka anut,” tuturnya.

 

Tanpa ada persekusi di perantauan, Ahmadiyah lebih mudah mengirim para mubalig sebagai misionaris ke berbagai sudut belahan dunia. “Misi ini menjadi salah satu kegiatan penting di Ahmadiyah,” ujar Najib.

 

Untuk menyiapkan mubalig, Ahmadiyah punya institusi pendidikan, namanya Jamia Ahmadiyah. Sekolah mubalig ini tersebar di banyak negara, antara lain Inggris, Indonesia, Jerman, Kanada, dan Tanzania. Ribuan mubalig lahir dari sekolah ini. Di Inggris, Jamia Ahmadiyah berdiri pada 2005 di Colliers Wood, sebelum pindah ke Haslemere, Surrey, pada 2012. Di Jamia, calon mubalig menempuh pendidikan selama empat-tujuh tahun untuk menjadi misionaris.

 

Sebastijan Ernst, Ahmadi asal Slovenia, mengaku mendalami Islam setelah bertemu dengan komunitas Ahmadiyah di London pada sekitar 2019. Kemudian, seorang mubalig di Slovenia mengirimkan sejumlah literatur. Beberapa buku bahkan sudah diterjemahkan ke bahasa Slovenia. Rupanya mubalig ini alumnus Jamia Ahmadiyah Inggris. Dia dikirim ke Slovenia untuk menyebarkan Islam Ahmadiyah di sana, sekaligus membangun komunitas.

 

“Ia membimbing dan menjawab setiap pertanyaan yang ada di kepala saya,” ujar Ernst. Makin banyak Ernst memperoleh jawaban, makin dekat ia dengan Islam. Pada usia 24 tahun, Ernst beralih menjadi muslim Ahmadiyah pada Desember 2022. Sebelumnya, mahasiswa University of Primorska ini beragama Kristen.

 

Ahmadiyah bukan tanpa kritik. Sejumlah kalangan menyoroti kebiasaan Ahmadi yang hanya menikah dengan sesama Ahmadi serta tidak bersedia menjadi makmum bagi komunitas lain. Menurut seorang anggota jemaah Ahmadiyah, persoalan persekusi dan fatwa yang menyebutkan Ahmadiyah bukan Islam adalah alasan Ahmadi hanya menunaikan salat di masjid mereka sendiri.

 

Kritik lain yang paling krusial adalah persoalan kenabian: apakah Mirza Ghulam Ahmad adalah imam mahdi dan Almasih yang dijanjikan? Anggapan bahwa Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Muhammad, kata Najib, paling sering dijadikan alat menyerang Ahmadiyah. Perihal kontroversi tersebut, Miradjuddin menjelaskan, Mirza Ghulam Ahmad adalah pembantu dan bayangan Muhammad. Dari ceramah selama Jalsah Salanah, lebih dari 90 persen referensinya adalah Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad.

 

Di hari terakhir Jalsah Salanah 2023, jemaah di dalam tenda dan luar tenda bersama-sama mengucapkan baiat internasional. Inilah acara yang paling ditunggu-tunggu jemaah Ahmadiyah. “Telepon seluler terbaik pun baterainya perlu diisi ulang. Pada akhirnya jiwa kita perlu diisi ulang, tidak peduli seberapa baik diri kita,” ujar Qureshi. Penyegaran spiritual inilah yang menjadi alasan sebagian besar anggota jemaah Ahmadiyah datang ke Jalsah Salanah.  

 

Di ujung pertemuan, “Nara-e-takbeer...Allahu Akbar...Islam Ahmadiyah….” kembali bergema di Hadeeqatul Mahdi. ●

 

Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/169575/ahmadiyah-inggris