Senin, 30 September 2013

Azab Politik Ruhut

Azab Politik Ruhut
Bisma Yadhi Putra  ;  Alumnus Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal), Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara
OKEZONENEWS, 30 September 2013


MUNGKIN tak pernah disadari Ruhut Sitompul bahwa wibawa begitu mudah dibangun. Yang sulit adalah membangun wibawa asli. Yang mudah membangun wibawa palsu. Namun, keduanya sama-sama memukau publik.

Hanya saja, wibawa palsu tak permanen. Suatu saat akan lekang. Wibawa asli sebaliknya. Wibawa asli dibangun dengan kebaikan hati, bukan semata karena ingin disanjung. Ruhut tak pernah memikirkan kedua jenis wibawa itu. Wataknya yang keras, tak coba ditutupi seperti “guru politik” yang selalu ia puji. Ruhut terlalu banyak memuji SBY, tapi tak belajar darinya. Tak belajar bagaimana membangun wibawa palsu.

Ruhut lebih sering membangun relasi antagonis dengan siapa saja yang tak sepaham. Ruhut jarang bertutur dengan adab. Yang kerap dikedepankan adalah sarkasme. Maka kemudian tercipta kebencian, permusuhan, saling hujat dengan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Ruhut tak bisa dijadikan politikus panutan dari segi komunikasinya. Maka jadi aneh ketika Ruhut meminta Ahok tak berbahasa kasar, sedangkan ia sendiri lebih banyak mengumbar ucapan-ucapan yang tak enak didengar.

Cara bertuturnya yang tak beradab kemudian menjadi terpal yang menutup aneka status prestise yang dibangga-banggakannya. Ruhut lebih dikenal sebagai seorang politikus penghasut ketimbang seorang ahli hukum, lulusan salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, dan seorang advokat kondang. Semakin sering perilaku buruk seorang ditonjolkan, semakin ia dipandang tak berwibawa.

Ruhut jelas tak disukai. Sebab itulah ia ditolak jadi Ketua Fraksi III DPR. Seorang tanpa wibawa tak pantas memimpin, meskipun yang akan dipimpinnya ternyata berwibawa palsu. Inilah yang luput dari pemahaman Ruhut. Bahkan Ruhut pernah ditolak di internal Demokrat sendiri. Dia diusir dari Silatnas Partai Demokrat pada 14 Desember 2012 lalu.

Ruhut lebih sering dihujat. Karena cara bicaranya jarang mengandung kebaikan pada orang-orang, maka mustahil pula bicara orang-orang terhadapnya mengandung kebaikan. Meski Ruhut memanggil Jusuf Kalla (JK) dengan sebutan “daeng”, tetapi dianggap sebagai ejekan. Ruhut juga pernah dengan sombong menyebut JK sebagai tokoh kadaluarsa yang tak mungkin diusung Demokrat sebagai capres 2014. Nyatanya, kemudian Demokrat mengundang JK ikut Konvensi. JK menolak tawaran itu.

Jika ejekan saja menyakitkan hati, apalagi ceplas-ceplos Ruhut yang menghujat. Pada 2011, Ruhut pernah digugat Rp 63 miliar karena menyebut orang-orang yang menolak pemberian gelar pahlawan pada Soeharto sebagai “anak PKI”. Ruhut lebih seiring memproduksi bahasa-bahasa yang berpotensi membangkitkan luka lama. Ruhut juga pernah nyaris baku hantam karena mengejek jenggot politikus PPP Ahmad Yanis.

Bedil Manusia

Ruhut ibarat sebuah bedil tanpa teropong. Mulut manusia adalah moncong bedil. Mulut tak bersalah jika peluru yang keluar melukai orang. Maka, peribahasa “mulutmu adalah harimaumu” jelas keliru. Sementara otak manusia adalah tempat amunisi. Di sana tersimpan berbagai rencana, pemahaman, pengetahuan, penilaian, dan sebagainya. Seseorang bebas mengeluarkan yang disimpan di otaknya. Yang acap kali digunakan adalah mulut dan otak.

Yang justru jarang digunakan adalah komponen terpenting, yakni hati. Hati adalah teropong yang sebenarnya menyatu dengan bedil manusia. Fungsinya untuk menyaring mana amunisi yang harus dikeluarkan dan mana yang harus dilenyapkan karena berpotensi merusak pemilik bedil itu sendiri.

Hati, sebagai teropong, juga membantu manusia mengeluarkan pernyataan dengan tepat, tidak melenceng, apalagi malah mengenai sasaran yang seharusnya tidak ditembak. Jadi, jika ada yang terlukai dengan suatu perkataan, bukan mulut yang harus disalahkan, tapi hati. Kita pun bisa mengubah peribahasanya menjadi: “Hatimu adalah harimaumu”. Tanpa menggunakan hati, seorang penutur sama saja seperti meminta seekor harimau kelaparan menerkamnya.

Namun, tak pernah juga Ruhut menyadari. Dia menganggap penolakannya sebagai sebuah kekeliruan. Mestinya Ruhut sadar setiap manusia akan menuai apa yang ditanam semasa hidupnya. Kini, dia merasakan sendiri penolakan terhadapnya. Ruhut tampaknya tak berpikir: mengapa dari sejumlah pos jabatan di DPR yang dirotasi Partai Demokrat, hanya pengangkatan dirinya yang dipermasalahkan? Pencopotan Pasek berjalan mulus. Tak ada protes. Namun, pengangkatan Ruhut tak mulus, muncul resistensi.

Dulu, saat Anas masih menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, Ruhut dicopot dari Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi. Pernyataan-pernyataan kotroversialnya punya andil semakin merusak citra Demokrat. Komunikasinya buruk. Namun, Ruhut tampak tak mempermasalahkan. Barangkali ia punya incaran jabatan yang lebih menggoda: Ketua Komisi III, atau bahkan posisi menteri. Ini artinya kehendak Ruhut sudah ada jauh-jauh hari.

Azab Ruhut

Kalau memang sudah lama mengincar jabatan Ketua Komisi III, mengapa Ruhut tak membangun kewibawaan saja, meski itu kewibawaan palsu. Yang dibangun justru bahasa-bahasa permusuhan, nada bicara yang membangkitkan kemarahan, kata-kata pemantik kebencian yang tak menghargai sesama. Seorang politikus yang terlibat dalam strategi tingkat tinggi dalam pendongkelan musuh politiknya, kadangkala lupa menerapkan strategi tingkat rendah untuk meraih simpati rekan-rekannya.

Sebab itulah Ruhut dipandang tidak layak memimpin. Rekan-rekan Ruhut di DPR tahu bahwa rakyat sering mencemooh mereka. Tentu akan lebih buruk jika Ruhut jadi ketua. Maka cemoohan rakyat makin menjadi-jadi. Saling “hantam” pun bisa lebih sering terjadi di Komisi III. Sebuah organisasi tidak dapat berjalan baik bila yang memimpin adalah orang yang tidak diterima oleh orang-orang yang dipimpin.

Setiap politikus dituntut punya kecakapan komunikasi politik. Setiap ucapan yang dilontarkan sebagai politikus adalah pesan-pesan politik. Segenap tanggapan terhadap pesan-pesan politik itu direspons dengan baik dan santun pula. Jika disindir sedikit saja cepat marah dan meledak-ledak, apalagi sampai memaki, itu komunikasi politik yang buruk.

Citra negatif seseorang yang muncul karena komunikasi politik yang buruk, lantas menjadi azab politik di kemudian hari. Kini Ruhut mendapat azab itu. Ruhut ibarat jasad yang ditolak Bumi. Ruhut, anggota Komisi III yang ditolak anggota Komisi III.

Ruhut memang keras. Mudah marah. Namun Ruhut tak membuat orang ketakutan. Justru ia tampak lucu. Kecuali kalau Ruhut bisa berubah jadi RuHulk. Sekujur tubuhnya berwarna hijau. Jika ada politikus yang menentangnya, RuHulk tinggal bilang: “Kau membuatku marah. Kau tidak akan suka kalau aku marah”. Ini hanya lelucon. Namun, bisa saja Ruhut mengambil inspirasi dari paragraf ini.

Ngomong-ngomong, Partai Demokrat punya usulan lain, tidak? 

Sashimi Prinus setelah Lama Mampus

Sashimi Prinus setelah Lama Mampus
Dahlan Iskan  ;  Menteri BUMN
JAWA POS, 30 September 2013



Inilah mayat hidup berikutnya di BUMN: PT Perikanan Nusantara (Prinus). Perusahaan ini sebenarnya praktis sudah mati. Tidak ada aktivitas berarti di dalamnya. Karyawannya pun sudah tiga tahun tidak bergaji. 

Ini sangat ironis. Di negara yang luas lautnya 2/3 dan daratnya hanya 1/3, perusahaan negara yang bergerak di bidang kelautan malah tidak bisa berkembang. Membuatnya hidup kembali juga tidak mudah. Kepercayaan dari stakeholder sudah hilang. Bahkan, kepercayaan kepada diri sendiri pun sudah lenyap. Utangnya menumpuk. Sampai lebih Rp 50 miliar. Termasuk utang pajak Rp 12 miliar.

Ibarat orang mau merangkak, dia harus bisa keluar dulu dari lubang yang dalam.

Tidak masuk akal perusahaan perikanan mati di kolam ikan. "Tidak ada modal." Begitu selalu kilah yang terucapkan. "Minta PMN." Itu ujung-ujungnya. Minta penambahan modal negara.

Saya tidak mau dua-duanya. Modal hanya bisa diberikan kepada yang biasa kerja, kerja, kerja. Modal tidak boleh diberikan kepada yang tidak mau bekerja. Yang biasanya juga tidak mau berpikir. Yang biasanya juga mudah mengeluh. Yang biasanya juga mudah menyerah. Yang biasanya juga mudah menyalahkan orang lain.

Karena itu, saya tidak mau menjanjikan modal. Saya minta mereka bekerja dulu. Kerja. Kerja. Kerja. Apa yang bisa dikerjakan? "Apa saja," jawab saya. Maka dicarilah apa yang bisa dikerjakan.

Muncullah gagasan ini. Datangnya dari Direktur Keuangan (waktu itu) Abdussalam Konstituanto. Cari upah dari memperbaiki kapal orang lain. Menjual jasa. Tanpa modal. Kecuali tenaga. 

Toh, PT Prinus punya galangan kapal. Bahkan di lima lokasi: Pekalongan, Surabaya, Bitung, Ambon, dan Sorong. Kelimanya berada di pusat-pusat kekayaan perikanan Indonesia.

Dulunya, zaman dulu, galangan kapal itu dimaksudkan untuk dipakai sendiri. Ketika PT Prinus masih jaya. Masih memiliki banyak kapal. Kalau ada kapal yang rusak, tinggal diperbaiki di galangan sendiri.

Belakangan lima perusahaan perikanan di lima kota itu bermasalah. Semuanya. Mismanagement. Secara berjamaah. Sakit. Sempoyongan. Semaput. Sekarat.

Tahun 2004 muncul ide menyehatkannya: digabung menjadi satu perusahaan dengan nama PT Perikanan Nusantara (Persero). Menyatukan lima perusahaan sekarat ternyata ibarat orang lumpuh menggendong orang pingsan. Tidak jalan.

Sampai tiga tahun kemudian tidak bergerak. Penyatuan itu ibarat hanya mengumpulkan lima orang sekarat dalam satu kamar pengap. Tidak ada obat dan tidak ada dokter. 

Baru pada 2007 statusnya diperjelas: diberi direksi dan diberi injeksi. Bayangkan apa yang bisa diperbuat gabungan lima perusahaan lumpuh itu. Lima perusahaan yang secara spiritual sudah rusak bertahun-tahun.

Tentu, saat diangkat sebagai menteri, saya tidak bisa membiarkannya. Mayat itu harus diurus. Dikubur. Atau dihidupkan. Saya mencoba memilih yang kedua. Rasanya tidak akan sesulit pabrik kertas Leces. Dunia kian tidak memerlukan kertas. Dunia kian memerlukan ikan.

Untuk langkah pertama, saya minta utang-utang PT Prinus diselesaikan. Beres. Lalu muncul ide dari Abdussalam untuk mendayagunakan galangan kapal itu. Kerjakan. Kerja. Jalan. Bernapas.

Tahun berikutnya Abdussalam saya naikkan jadi direktur utama. Berkibar. Lima galangan kapal di lima kota itu kian sibuk. Uang mengalir masuk. Tidak ada lagi yang bocor. Dulu galangannya sibuk, tapi uangnya entah ke mana.

Jumat lalu saya ke Ambon. Meninjau PT Prinus Cabang Ambon. Tanda-tanda kehidupan tampak dengan nyata di situ. Galangan kapalnya sibuk. "Sampai Desember nanti sudah penuh. Kami sudah menolak-nolak order," ujar Ferdinand Wenno, kepala PT Prinus Cabang Ambon. 

"Banyak sekali kapal ikan yang antre perbaikan," tambahnya. "Bahkan, kapal ikan Taiwan pun diperbaiki di sini," ungkap dia. Terlihat ada kebanggaan di sorot matanya.

Demikian juga di Surabaya, Bitung, dan Sorong. Semua sibuk bekerja. Bangga. Hope itu cepat menjalar. Merambat. Menular. Mewabah. Setelah galangan kapalnya bergairah, Abdussalam mengayunkan langkah baru. Menghidupkan pabrik es di lima kota.

Kapal ikan perlu es. Dalam jumlah besar. Nelayan mulai mendatangi PT Prinus. Untuk mendapatkan es.

Abdussalam pandai memanfaatkan hope dan optimisme. Dia jadikan itu mesiu untuk melesatkan cita-cita. Galangan dan pabrik es bukanlah cita-cita yang sebenarnya. PT Prinus bukan perusahaan es. Dia perusahaan perikanan. Galangan dan es hanyalah sasaran antara. Jembatan. 

Awal 2013 Abdussalam menyeberangi jembatan itu. Masuk ke jantung perusahaan: membangun pusat pengolahan ikan. Di lima kota.

Di Ambon saya kaget. Ada tiga orang Korea dan satu orang Amerika. Pagi itu mereka lagi menyeleksi hasil pengolahan ikan Prinus. Agar layak diekspor. Tidak ditolak di negara tujuan. Tidak diklaim.

Itu langkah yang cerdas sekaligus prudent. Perusahaan yang baru hidup seperti Prinus masih menghadapi banyak kerawanan. Belum memiliki keahlian. Kalau ekspor ikannya sampai ditolak, Prinus akan kembali mampus.

Saya sungguh bangga dengan Prinus. Mayat itu kini sudah hidup. Bahkan sudah mampu berjalan. Cukup jauh. Hanya perlu waktu dua tahun. Tanpa suntikan modal sama sekali.

Sorenya saya ke Sorong, Papua Barat. Di sini tanda-tanda kehidupan itu lebih nyata. Galangannya, pabrik esnya, dan pengolahan ikannya sangat istimewa. Tentu semua itu baru awal kebangkitan. Abdussalam masih menyimpan dendam yang sangat dalam: menjadikan Prinus benar-benar perusahaan perikanan kelas dunia. 

Dia lahir di Bangkalan, Madura. Dia alumnus Akuntansi Unair. Dia doktor ekonomi IPB. Dia mencintai laut. Dan isinya.

Sore itu dia sudah menyiapkan sashimi fresh untuk saya. Tapi, heli yang akan membawa saya ke Kais tidak bisa menunggu. Di Kais, pedalaman Sorong Selatan itu, Perum Perhutani sudah siap membangun pabrik sagu pertama.

Saat menuju Kais, saya minta heli terbang rendah di 80 km selatan Kota Sorong. Di sinilah konsorsium PT Pelindo akan membangun pelabuhan laut internasional sebesar yang di Makassar.

Dua proyek itu lebih menggiurkan untuk dilihat. Saya tinggalkan sashimi. Saya telan kembali liur yang sudah telanjur mengucur.
 ●

Jokowi dan Mobil Murah

Jokowi dan Mobil Murah
Leak Kustiya  ;  Pemimpin Redaksi Jawa Pos
JAWA POS, 30 September 2013



Pada 2014 kita dibanjiri pilihan. Pilih partai apa dan wakil yang mana? Pilih presiden siapa? Pilih nyoblos apa golput? Pilih beli mobil murah ramah lingkungan (LCGC) yang harga Rp 90 jutaan atau yang Rp 50 jutaan? Semua akan menjadi pilihan tahun depan.

Memilih secara bebas dan beramai-ramai pada dasarnya selalu menyenangkan. Begitulah pesta, seperti itulah alamiahnya demokrasi. Pesta memilih presiden -seru atau tidak- mari kita tunggu seperti apa model capres-capresnya. 

Menyambut kehadiran mobil-mobil murah ramah lingkungan jelas sangat menghebohkan industri otomotif dan pesta jalan raya. Semua pabrikan mobil menawarkan jagoan masing-masing dengan desain, fitur, warna, dan keunggulan yang berbeda. 

Yang kurang menyenangkan adalah ketika kita ingat problem kemacetan. Semakin absurd gambaran masa depan jalan raya. Di Jakarta, misalnya, program untuk mengatasi kemacetan selalu mangkrak ketika jabatan seorang gubernur berakhir. Lalu siapa sebenarnya yang harus betul-betul peduli untuk mengatasi problem kemacetan? 

Gubernur Jokowi kelihatannya sangat peduli. Tapi, sungguh-sungguh pedulikah dia? Kurang tahu. Kita masih harus menunggu agak lama karena tahun depan pasti belum bisa membuktikannya. Kemacetan Jakarta sudah stadium empat! 

Pertanyaannya, bukankah gubernur DKI asal Solo itu juga harus berpikir keras untuk menghadapi pesta pemilihan presiden tahun depan? 

Hingga hari ini Jokowi memang tak menunjukkan minat untuk mencalonkan diri sebagai presiden 2014. Tapi, ketidakminatan itu bisa jadi hanya strategi politik dan soal gaya. Orang Solo dan sekitarnya: Klaten, Sragen, Purwodadi, Sumberlawang, Wonogiri, Karanganyar, Boyolali, rata-rata punya bakat bergaya seperti Jokowi. Kelihatannya mengalah, tapi maju terus. Kurang berminat dengan logika yang rumit, kalau diserang dengan argumen yang muluk-muluk akan cenderung pasrah. Sak karepmu wis... Lha wis piye... Ojo ngono to... Ora dadi presiden yo ora opo-opo. Ah, tenane? 

Kemacetan Jakarta lama-lama menjadi hal biasa. Ketika kian hari kemacetan kian parah, para pengguna jalan di ibu kota juga kian tabah. Bila sedang naik taksi dan diburu waktu, sementara taksinya terjebak kemacetan parah, penumpang akan turun dari taksi lalu berlari mencari tukang ojek tanpa menggerutu. 

Suara klakson di jalanan Jakarta juga sudah tak seberingas kira-kira 4 atau 5 tahun lalu. Diimpit kemacetan terus-menerus, grade kesabaran warga Jakarta jadi membaik secara kultural. Pengemudi tak lagi sering-sering memencet klakson bila mobil di depannya tak kunjung bergerak. Mereka sadar: emosi sudah tak ada gunanya. 

Tahun depan mobil murah yang bagus-bagus modelnya pasti membanjiri jalanan. Tentu ini akan makin menambah kemacetan. Siapa yang sanggup menahan keinginan seseorang untuk memiliki mobil baru bila kemampuan ekonomi ada? 

Kalau Anda belum pernah memiliki mobil dan sekarang terbuka kesempatan untuk membelinya, rasanya tak mungkin bisa ditahan. Memiliki mobil pertama -mobil baru, jok masih terbungkus plastik- sulit dicarikan padanan kebahagiaannya. 

Mobil pertama akan disayang seperti halnya pacar pertama. Karena itu, akan dicintai dengan segala cara. Kalau catnya tergores, goresan itu juga seperti menggores kening kepala. Luka di bodi mobil itu akan terbawa terus ke mana pun, bahkan dalam mimpi. Kalau si mobil sedang kotor karena jalanan becek, dia akan dicuci hingga rongga tersulit di sela-sela roda, seolah tak akan dikendarai di jalan yang becek lagi. 

Belum lagi bila yang mengidamkan mobil baru itu pasangan keluarga muda. Belum lama menikah, punya anak satu yang masih dalam gendongan istri. Membahagiakan keluarga dengan mengajak anak istri berjalan-jalan dengan mobil pribadi yang baru adalah keindahan dan kebanggaan tiada tara sebagai suami. 

Dalam konteks ini dalil pejabat untuk menolak mobil murah pasti diabaikan pasar. Menghalau konsumen dengan paparan efek buruk LCGC penyebab kemacetan, pembengkakan subsidi BBM, pencemaran, merusak lapisan ozone, dan lain-lain akan kurang manjur. 

Dalam kebingungan mencari solusi kemacetan, masyarakat sebenarnya punya hak bertanya: mampu atau tidak sebenarnya pemerintah daerah di kota-kota besar itu menyediakan sarana transportasi umum yang memadai secepatnya? 

Sebenarnya masyarakat akan sangat senang bila setiap hari bisa pergi ke tempat kerja dengan nyaman dan tepat waktu dengan menggunakan transportasi umum. Dengan begitu, mobil murah ramah lingkungan yang segera booming tahun depan nanti hanya dikendarai bersama anak-istri di saat-saat tertentu. 

Paradoks Transparansi v Korupsi

Paradoks Transparansi v Korupsi
Abdul Rahman Ma’mun  ;  Direktur Paramadina Public Policy Institute, dan Mantan Ketua Komisi Informasi Pusat (2011-2013), serta Pakar JPIP 
JAWA POS, 30 September 2013



SEJAK diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada 2010, dari waktu ke waktu Indonesia kian keluar dari kegelapan informasi. Kementerian dan lembaga pemerintah di tingkat pusat serta sebagian pemerintah daerah mulai menjalankan kewajiban membuka informasi yang terkait anggaran dan kinerja mereka. Memang, ada sanksi atas penolakan terhadap pembukaan informasi publik.

Indonesia pun percaya diri menjadi salah satu inisiator gerakan Open Government Partnership (OGP) yang dideklarasikan pada 20 September 2011 di sela-sela Sidang Umum PBB di New York. Bahkan, setahun kemudian Presiden SBY memimpin gerakan ini bersama PM Inggris David Cameron dengan dikukuhkan sebagai ketua bersama Open Government Partnership (Co-chair OGP) 2012-2014.

Masyarakat internasional pun mengapresiasi. Center of Law and Democracy (CLD) dari Kanada yang pada akhir 2011 memberikan penilaian terbaik (120 poin) bagi Indonesia di Asia Tenggara dalam mengadakan regulasi yang menjamin hak warga negara dalam akses terhadap informasi publik.

Kedua, Open Budget Survey dua tahun sekali mengadakan survei. Open Budget Index (OBI) pada 2012 menunjukkan keterbukaan informasi anggaran untuk menyediakan info anggaran substansial di Indonesia mendapat nilai 62, naik dari 51 (2010). Kita terbaik di Asia Tenggara dan terbaik kedua di Asia (setelah Korea Selatan). 

Yang dinilai OBI adalah delapan informasi kunci anggaran, meliputi pre-budget statement (pokok-pokok kebijakan fiskal), executive budget proposal (nota keuangan RAPBN), enacted budget (UU dan nota keuangan APBN), citizen budget (ringkasan anggaran di media dan web), in year report (realisasi anggaran tiga bulan), mid year review (laporan tengah semester), end year report (laporan keuangan pemerintah pusat), sampaiaudit report (laporan audit BPK).

Lain indeks transparansi lain pula indeks persepsi korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2012 menempati peringkat 118 dunia berdasar survei Transparency International Indonesia (TII). Skornya 32 dari 100. Kita sekelas Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan Madagaskar. 

Padahal, IPK Indonesia dua tahun sebelumnya (2010) di peringkat 110. Bahkan, untuk kawasan Asia Tenggara Indonesia menempati peringkat 6, lebih rendah daripada Timor Leste. Peringkat teratas Singapura (87), lalu Brunei Darussalam (55), Malaysia (49), Thailand (37), Filipina (34), dan Timor Leste (33), dan Indonesia (32). 

Bagaimana menjelaskan dua data yang seolah kotradiktif ini? Di satu sisi indeks transparansi (OBI) Indonesia membaik, sementara peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) justru merosot. Apakah tidak ada kaitan langsung antara praktik transparansi dengan pencegahan korupsi?

Pertama, praktik transparansi untuk pelaksanaan UU KIP boleh jadi masih bersifat normatif. Misalnya, dari aspek supply, kementerian atau penyelenggara negara yang lain membuka atau memublikasikan informasi wajib yang diperintahkan oleh UU KIP untuk diumumkan: informasi identitas dan visi-misi badan publik, kinerja dan anggaran (RKA - rencana kerja anggaran dan DIPA), laporan keuangan, serta regulasi yang dimiliki badan publik. 

Namun, dari sisi demand, informasi yang dipublikasikan mungkin saja bukan merupakan informasi yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Akibatnya, anggapan bahwa transparansi akan membuka partisipasi, pengawasan dari masyarakat dan berbuah akuntabilitas penyelenggara negara, serta mencegah korupsi tampaknya belum terjadi. 

Kedua, antara OBI dan IPK tentu berbeda metode meski sama-sama ilmiah. Objek survei OBI adalah data konkret ketersediaan, keterbukaan, atau publikasi informasi anggaran negara di Kementerian Keuangan. Sementara objek survei IPK adalah "persepsi" masyarakat dengan responden yang memberikan nilai 0-100 (makin tinggi makin bersih). 

Mudahnya, makin banyak pemberitaan korupsi yang berarti makin banyak praktik korupsi terbongkar, persepsi publik mengatakan "korupsi makin banyak, penyelenggara negara makin korup". Padahal, boleh jadi kian terbongkarnya praktik korupsi juga karena semakin terbukanya penyelenggaraan negara dan semakin kuatnya penegakan hukum.

Ketiga, transparansi dalam penye­lenggaraan negara baru saja dimulai, yang tentu saja masih jauh dari hasil ideal: transparansi membuahkan partisipasi, menumbukan akuntabilitas penyelenggaraan negara. Di lain sisi, korupsi di Indonesia adalah sebuah praktik yang sudah sangat matang kelicikannya. Karena itu, transparansi versus korupsi bukanlah apple to apple yang bisa diberhadapkan. 

Bagaimanapun sinar matahari (keterbukaan) tetaplah pembunuh kuman terbaik, kata hakim agung AS Louis Brandeis. Selamat merenungi Hari Hak untuk Tahu (The Right to Know Day) 28 September yang baru lalu. 

Saat Jalan Raya Jadi “Sekolah”

Saat Jalan Raya Jadi “Sekolah”
Fathur Rozi  ;  Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 30 September 2013



PENDIDIKAN lalu lintas kerap hanya diingat untuk kembali dilupakan. AQJ, putra musisi Ahmad Dhani, akhirnya pulang dari rumah sakit. Akan ditentukan apakah bocah 13 tahun itu kena vonis pidana karena menewaskan tujuh orang atau ada ''mukjizat'' sehingga dia tidak harus menjadi pesakitan di meja hijau. 

Kecelakaan lalu lintas (laka lantas) dengan korban atau pelaku pelajar sesungguhnya bukanlah problem hukum semata. Selain sanksi damai, tilang, atau vonis pidana, telah banyak hukuman diterapkan. Disuruh menghafalkan Pancasila atau dijemur sambil menghormat bendera. Toh, kasus laka lantas kian membubung. Penegakan hukum masih berorientasi pada penindakan. Belum benar-benar pada pencegahan agar tidak semakin banyak pelajar yang terlibat laka lantas. 

Tingginya laka lantas pelajar tetap menjadi keprihatinan saat peringatan Hari Korps Lalu Lintas pada 22 September. Pada Januari hingga Juni 2013, laka lantas yang melibatkan pelajar dan mahasiswa telah mencapai 200 ribu kasus. Dalam semester yang sama, tercatat 290 ribu atau lebih dari 1.600 pelajar per hari ditilang polisi. Kondisi tersebut bisa mengindikasikan begitu besarnya jumlah pelajar di jalanan sekaligus betapa banyaknya pelanggar. 

Dalam sebuah lomba debat tentang kelalulintasan di Polres Sidoarjo, Jawa Timur, ada peserta yang mengusulkan dispensasi persyaratan usia kepemilikan surat izin mengemudi (SIM). Mereka adalah pelajar SMP yang rata-rata masih berusia 13 tahun. Seusia AQJ. Siswa-siswi itu berharap ada SIM khusus pelajar. Batas usia kepemilikan SIM tidak perlu 17 tahun, tetapi cukup 13 tahun. Syaratnya pun bukan KTP, melainkan hanya kartu pelajar. 

Mereka beragumentasi, membawa motor sendiri meringankan beban orang tua. Biaya transpor irit. Mereka juga merasa telah mahir berkendara. Malahan, orang tua sendiri yang melatih. Sayangnya, mereka belum paham benar bahwa spirit syarat pemegang SIM sebenarnya bukan melulu soal keterampilan berkendara, tetapi juga kemampuan berlalu lintas serta kematangan psikis. 

Berlalu lintas menyangkut sikap disiplin, tertib, peduli, dan tanggung jawab. Berlalu lintas meliputi aspek hukum seperti mengetahui pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta memahami dan menaati rambu serta isyarat lampu lalu lintas sampai markah jalan. Kemudian, kematangan sikap sosial seperti memberikan kesempatan kepada penyeberang jalan dan tidak menyalahgunakan trotoar. Juga, aspek psikologis. Yaitu, mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi diri sendiri. Termasuk, kenyamanan orang lain seperti tidak main klakson atau gas serta tidak memotong jalan atau kebut-kebutan. 

Di jalanan, anak-anak berinteraksi dengan macam-macam karakter, usia, dan profesi. Jalan raya menjadi semacam laboratorium belajar. Semacam sekolah dengan para pengendara sebagai gurunya. Ketika sering melihat orang dewasa melanggar aturan lalu lintas, anak-anak berkesimpulan bahwa melanggar aturan itu adalah hal biasa. 

Apalagi, ketika di boncengan motor atau di dalam mobil, anak-anak menyaksikan sendiri ayah, ibu, atau kakak mereka melanggar lalu lintas. Lalu, lolos dari polisi lalu lintas dengan bangganya. Dalam teori belajar behaviorisme, peng­alaman yang menimbulkan efek senang akan cenderung diulangi. Jalanan adalah pembentuk karakter. Orang dewasa merupakan model terdekat. Anak-anak adalah imitator terbaik. 

Pada 2010, Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Pendidikan Nasional telah menjalin kerja sama dalam MoU tentang pendidikan lalu lintas dalam pendidikan nasional. Pendidikan kelalulintasan bisa berintegrasi dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn). Bahkan, modul integrasi antara materi kelalulintasan dan PKn sudah terealisasi untuk jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA. Namun, masih sangat kecil sekolah-sekolah yang telah melaksanakannya. 

Sekolah-sekolah sebenarnya telah mendukung mulusnya pencapaian tersebut. Secara intrakurikuler, pendidikan kelalulintasan bisa terintegrasi dalam mata pelajaran. Bahkan bukan hanya PKn. Pendidikan kelalulintasan bisa menjadi pendidikan karakter yang termuat secara tematis-integratif de­ngan beragam mata pelajaran. Misalnya, penggunaan helm dihubungkan dengan anatomi tubuh dalam pelajaran biologi. Materi sains dan teknologi informasi disisipi bahaya berponsel ketika berkendara. Itu klop dengan bidikan Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter. 

Memang pertambahan jumlah kendaraan sangat jomplang dengan penambahan kapasitas jalan. Kepemilikan kendaraan semakin mudah dan murah. Menyerahkan sepenuhnya kepada polisi lalu lintas? Terlalu berat. Seberapa pun polantas berguru ilmu traffic engineering, mereka tetap kewalahan jika pertumbuhan jumlah kendaraan tidak terkendali. 

Karena itu, perilaku pengendara wajib dipersiapkan sejak dini. Pendidikan kelalulintasan bisa menjadi salah satu kecakapan hidup (life skills) bagi gaya hidup (lifestyle) mereka. 

Mobil Murah? Ramah Lingkungan?

Mobil Murah? Ramah Lingkungan?
Jalal  ;  Aktivis Lingkar Studi Corporate Social Responsibility (CSR)
TEMPO.CO, 30 September 2013


Ketika Kementerian Perindustrian RI mengeluarkan peraturan mengenai low cost green car (LCGC), banyak sambutan positif yang muncul. Meski demikian, ketika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap program nasional tersebut, banyak pihak kemudian memikirkan ulang pendirian mereka. Beberapa kepala daerah memberikan pernyataan senada dengan Jokowi. Yang menarik, Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta pada 26 September 2013 juga melayangkan kritik atas program itu. "LCGC yang beredar saat ini belum sepenuhnya ramah lingkungan. Yang ada itu murah saja," kata Menteri Hatta (Tempo.co, 27 September 2013).

Di antara aktivis pembangunan berkelanjutan-khususnya yang mengurusi kota berkelanjutan (sustainable cities) dan transportasi berkelanjutan (sustainable transport)-kebijakan LCGC memang tidak populer. Menurut mereka, kalau kota hendak dibuat berkelanjutan, transportasi harus dibuat lancar, dan untuk itu segala sumber kemacetan harus direduksi, kalau bukan disingkirkan sepenuhnya. Secara lebih luas, kota juga harus dibuat fungsional dan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Karena itu, segala sumber masalah dalam ketiga aspek tersebut harus diketahui dan dikelola dengan tepat agar kota memang menjadi layak huni dalam jangka panjang.

Schiller, Brunn, dan Kenworthy menulis salah satu kitab terkenal dalam isu ini, An Introduction to Sustainable Transportation: Policy, Planning, and Implementation (2010). Dalam bab-bab awal buku tersebut dinyatakan bahwa sumber masalah perkotaan dan transportasi adalah ketergantungan kepada mobil pribadi. Masalah yang timbul dari ketergantungan itu bukan hanya kemacetan.Mereka menguraikan bahwa di antara masalah ekonomi yang timbul selain biaya kemacetan adalah biaya yang berkaitan dengan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, biaya transit, penciutan lahan produktif, biaya yang timbul dari kecelakaan lalu lintas, serta biaya kesehatan karena polusi dan obesitas.

Sementara itu, masalah sosial yang ditimbulkan termasuk menurunnya kehidupan kolektif, menurunnya keamanan, isolasi daerah yang relatif miskin, kesulitan kaum difabel untuk melakukan mobilitas, perilaku anti-sosial akibat stres di jalan, keterpaksaan memiliki kendaraan pribadi pada mereka yang sebetulnya tak cukup mampu, serta berbagai masalah fisik dan mental akibat isolasi. Di sisi lingkungan, buku tersebut juga mendaftar berbagai masalah, seperti ketergantungan pada bahan bakar fosil, polusi, perubahan iklim, dan dampak ikutannya.

Karena itu, Schiller, Brunn, dan Kenworthy menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada yang murah bila kita memilih untuk terus-menerus menggantungkan diri pada bentuk-bentuk transportasi pribadi. Biaya murah hanya ada di angan-angan individu yang mampu membeli kendaraan pribadi dan tidak berhitung soal segala biaya yang timbul akibat pelestarian ketergantungan itu. Sementara kalau perhitungan secara menyeluruh kita lakukan, ketergantungan itu telah menelan biaya yang sangat besar, yang harus ditanggung oleh seluruh warga kota. Harga mobil yang dibayarkan oleh pembelinya kepada industri otomotif sesungguhnya menyembunyikan berbagai eksternalitas negatif. Tampaknya Menristek melupakan soal eksternalitas itu, sehingga ia berpikir bahwa LCGC memang murah. Padahal, kalau seluruh dampak negatif yang timbul dari ketergantungan kita pada kendaraan pribadi dihitung dengan cermat melalui metode full cost accounting dan life cycle assessment, sudah pasti kita semua akan terbelalak membaca deretan angka yang harus kita tanggung itu.

Adapun soal "belum sepenuhnya ramah lingkungan" itu memang benar. Kini, kata seperti "berkelanjutan" dan "hijau" kerap diobral, tanpa kita benar-benar memastikan bahwa kenyataannya memang demikian. Benar bahwa mobil yang bisa dimasukkan ke dalam kategori LCGC memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi, dan tingkat emisi yang lebih rendah. Masalahnya adalah bahwa itu sebenarnya jauh dari memadai untuk dikatakan sebagai kendaraan ramah lingkungan.

Ramah lingkungan adalah sebuah konsep yang terus berkembang sejak pertama kali muncul, dan kini sudah sampai pada titik ideal yang sangat tinggi. Konsep seperti netral karbon, atau bahkan yang lebih baik lagi, sudah dipergunakan sebagai ukuran untuk ramah lingkungan. Pun, itu harus dibuktikan sepanjang daur hidup, bukan sekadar sepenggal di antaranya. Karena ekspektasi yang demikian, banyak pakar menyatakan bahwa kebanyakan produk bisa dinyatakan "lebih hijau" tapi tidak bisa diklaim "hijau". 
Sementara itu, untuk menggunakan kata "berkelanjutan" lebih problematik lagi. Klaim "berkelanjutan" haruslah dibuktikan dengan banyak sekali indikator proses dan kinerja dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. "Lebih berkelanjutan" atau more sustainable saja sesungguhnya sudah sangat sulit diraih, dan para pakar melihat bahwa yang banyak dicapai adalah less unsustainable. Sayangnya, sebagian besar orang tetap mengobral penggunaan kata-kata itu, dan menimbulkan situasi yang oleh The Worldwatch Institute dalam Is Sustainability Still possible? (2013) sebagai sustainababble alias sekadar ocehan soal keberlanjutan.

Permenperin soal LCGC mungkin akan dicap sebagai sustainababble oleh para aktivis, lantaran menerapkan standar kelewat rendah untuk sebutan hijau. Jelas, regulasi itu tidak bicara soal pembatasan emisi yang ditimbulkan karena pembuatan mobil, selain tidak ada keharusan pengungkapan dan tindakan carbon offset-nya. Seperti yang dicatat oleh banyak pakar, pembuatan mobil ukuran sedang biasanya menghasilkan emisi sebanyak 17 ton, sementara mobil-mobil ukuran besar bisa mencapai 35 ton (Berners-Lee dan Clark, 2010). Ini tentu saja perlu dibuka dengan transparan, lalu dikompensasikan dengan berbagai tindakan carbon offset, agar dampak negatifnya terhadap lingkungan bisa diminimumkan. Tapi, sekali lagi, regulasi LCGC tidak mengaturnya.

Sebetulnya sangat jelas berbagai literatur soal kota dan transportasi berkelanjutan memberikan resep yang sama: perbaikan transportasi umum. Penekanannya selalu pada aksesibilitas dan kualitas layanan. Moda transportasinya harus beragam, namun terkoneksi satu sama lain. Alih-alih mengakomodasikan kecenderungan yang ada (ketergantungan pada kendaraan pribadi), pendekatan yang diambil haruslah memutus dan membalik kecenderungan itu. Perhitungan harus dilakukan secara menyeluruh, bukan dengan mengabaikan biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk mencapai itu semua, para pakar sangat menekankan pentingnya visi soal keberlanjutan kota dan transportasi, lalu bekerja membuat dan menegakkan kebijakan untuk mencapai visi tersebut. Tampaknya memang visi tersebut yang tak cukup jelas di negeri ini, sehingga kita masih terus akan membayar mahal dampak dari kesemrawutan kota dan transportasinya.

Pemberantasan Korupsi di Cina

Pemberantasan Korupsi di Cina
Michael J Boskin  ;  Guru Besar Ekonomi pada Stanford University,
Senior Fellow pada Hoover Institution
TEMPO.CO, 30 September 2013


Hong Kong berhasil mengurangi angka kasus korupsi serta me­ningkatkan administrasi dengan amnesti, kenaikan gaji, dan keharusan melaporkan kekayaan bagi para pejabat. Diadilinya Bo Xilai baru-baru ini mengungkapkan tantangan paling besar yang dihadapi Cina masa kini: korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh sementara pejabat partai dan pemerintah. Sampai kejatuhannya, Bo, mantan anggota Politbiro dan ketua partai di Chongqing-sebuah megacity berpenduduk 30 juta orang-merupakan calon kuat dalam Komite Tetap Politbiro beranggotakan tujuh orang dalam partai komunis Cina.

Peradilan Bo terjadi pada momen yang kritis di Cina. Setiap tahun jutaan warga pedesaan di Cina membanjir ke kota-kota di negeri itu untuk mencari pekerjaan. Tapi pertumbuhan Cina yang berbasis ekspor-yang sebelumnya menutupi ongkos makroekonomi yang harus dibayar akibat korupsi dan ekses intervensi negara-sekarang mengalami perlambatan. Cina memasuki era pertumbuhan yang lebih lambat di tengah meningkatnya persaingan dari negara-negara biaya buruh murah lainnya. Akibat perlambatan ini bakal menjadi lebih tampak-dan makin destruktif.

Cina yang berhasil secara ekonomi kemungkinan besar bakal lebih stabil, dan geopolitis lebih konstruktif. Tapi Cina yang dilanda masalah ekonomi yang serius dan sebagai negara dengan ekonomi berkembang pertama yang menjadi kekuatan global bahkan bisa menjadi sumber risiko yang sistemik. Industri perakitan Cina merupakan bagian integral dari mata rantai suplai global bagi banyak produk. Lagi pula, Cina merupakan pemegang terbesar obligasi pemerintah AS (di samping bank sentral Amerika sendiri), punya simpanan euro yang berarti-mungkin akan segera menjadi mitra dagang terbesar Amerika-serta menonjol dalam perdagangan dengan banyak negara Eropa dan Asia.

Penelitian mengungkapkan bahwa penegakan dengan tegas hak kepemilikan serta rezim pajak dan regulasi yang stabil, terprediksi tidak menyita secara esensial bagi kemakmuran ekonomi jangka panjang. Kunci reformasi Cina, dan apa yang paling diinginkan rakyat Cina, adalah seperti dikatakan John Adam, "Pemerintah berbasis hukum, bukan manusia, administrasi hukum yang adil, bukan layanan khusus bagi segelintir orang yang punya koneksi." 

Sesungguhnya Menteri Keuangan Lou Jiwei menggemakan pikiran Adams (dan Adam Smith) ketika memproklamasikan, "… sumber daya harus dialokasikan oleh harga dan pasar, bukan oleh pejabat pemerintah." Presiden Xi Jinping telah mengatakan pemberantasan korupsi merupakan prioritas utama, dan bahwa kecuali ia menjangkau baik "macan" (orang-orang di atas) maupun "lalat" (pejabat-pejabat tingkat bawah), mungkin tidak akan ada lagi transisi kepemimpinan yang tertib semacam yang membawanya ke puncak pimpinan awal tahun ini. Sesungguhnya mengurangi korupsi penting jika Cina hendak termasuk dalam daftar kecil ekonomi-ekonomi berkembang-Jepang, Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan-yang telah berhasil melepaskan diri dari perangkap negara-negara berpenghasilan menengah yang membelenggu sebagian besar negara-negara berkembang dan membuat mereka tidak mampu mencapai status ekonomi maju. Lebih dari sekadar ketidakpantasan dan ketidakkonsistenan dalam perilaku banyak pejabat, inilah apa yang sebenarnya menjadi taruhan dalam gerakan antikorupsi Xi.

Masa depan kemakmuran Cina memerlukan langkah yang merestriksi wewenang administratif yang memberi kebebasan kepada para pejabat untuk memutuskan sesuatu atas kebijakannya sendiri, mengurangi kekuasaan dan subsidi kepada badan usaha milik negara, serta memperkuat peran hukum dengan mengembangkan lembaga-lembaga kehakiman yang independen. Tapi reformasi ini memerlukan perubahan dalam budaya dan insentif. 

Beberapa pejabat memanfaatkan kebebasan mengambil keputusan atas kebijaksanaannya ini dalam memberikan lisensi, izin, serta kontrak dengan imbalan dan bayaran sampingan harta yang dikumpulkan istri Bo (menggantungkan kepercayaan pada orang-orang tertentu, terutama kerabat, merupakan taktik yang umum digunakan pejabat-pejabat yang korup di mana-mana) untuk menunjukkan peluang yang terbuka buat orang-orang yang punya koneksi mencapai tujuannya. Banyak rakyat Cina, yang menganggap semua ini sudah biasa, berbuat serupa.

Yang jelas, korupsi dalam beberapa hal ada di mana-mana, tapi ia lebih marak di negara-negara berkembang daripada di negara-negara maju, dan di negara kaya sumber alam dan atau yang ekonominya diatur pusat daripada di negara-negara demokrasi kapitalis. Waktu dan sumber daya yang dicurahkan individu dan perusahan untuk mencari kemudahan dari pemerintah lebih bermanfaat bila dicurahkan pada produksi barang dan jasa.

Beberapa ide antikorupsi pernah berhasil dilaksanakan dalam sejarah Cina, dari zaman Dinasti Ming sampai Hong Kong modern. Di bawah Dinasti Ming, para pejabat kaisar datang dari provinsi lainnya dan sering dirotasi. Untuk melindungi bank sentral Cina dari tekanan politik setempat, Perdana Menteri Zhu Rongji yang reformis, atas saran saya dan pihak-pihak lainnya, pada 1990-an, mereorganisasi Bank Rakyat Cina untuk mengikuti pola serupa, seperti yang dilakukan bank-bank daerah di bawah naungan bank sentral Amerika.

Di Hong Kong, korupsi begitu marak pada akhir 1970-an-jika rumah Anda terbakar, petugas pemadam kebakaran akan meminta pembayaran sebelum menyemprotkan airnya!-sehingga dibentuk suatu komisi untuk menyelidiki dan menindak, baik korupsi publik maupun korupsi swasta. Hong Kong berhasil mengurangi angka kasus korupsi serta meningkatkan administrasi dengan amnesti, kenaikan gaji, dan keharusan melaporkan kekayaan bagi para pejabat.

Para pemimpin Cina saat ini harus belajar dari pengalaman tersebut. Bakal memakan waktu lama untuk membentuk suatu lembaga kehakiman yang benar-benar independen, tapi beberapa hakim bisa ditunjuk dan digaji oleh-dan melapor kepada-pemerintah pusat, bukan oleh dan kepada pejabat-pejabat setempat. Dan, seperti pada zaman Dinasti Ming, hakim dan pejabat-pejabat lainnya bisa dirotasi setiap beberapa tahun.

Begitu juga, seperti di Hong Kong, amnesti bisa diberikan dengan syarat dilaporkannya kekayaan dan dikenakannya denda bagi "kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya". Pada titik ini, gaji hakim dan pejabat pemerintah bisa dinaikkan sampai tingkat bersaing yang akan melemahkan insentif untuk terus berbuat korup-terutama jika para pejabat diharuskan secara reguler menyampaikan laporan harta kekayaannya dan didenda karena menyembunyikan informasi.

Selamatkan Wilfrida Soik

Selamatkan Wilfrida Soik
Benny Susetyo  ;  Sekretaris Dewan Nasional Setara
KORAN JAKARTA, 30 September 2013


Jika tetap berkukuh melaksanakan sesuai rencana, hari ini, Malaysia mengekseskusi tenaga kerja wanita asal Indonesia (TKI), Wilfrida Soik. Hukuman mati pekerja asal NTT tersebut mencerminkan kelemahan perlindungan negara terhadap warga negara sendiri yang berada di luar negeri. Sikap ini sangat memprihatinkan. 

Sudah begitu banyak TKW atau TKI yang mengalami nasib buruk, bahkan sampai dihukum mati, di negeri orang. Meski demikian, pemerintah belum juga tergugah untuk tancut taliwondo, membenahi sistem seputar pengiriman dan perlindungan TKI atu TKW.

Para pekerja di luar negeri masih banyak yang dibiarkan berjuang sendiri untuk menghadapi masalah hukum. Ketidakmampuan berkomunikasi dan pendidikan yang minim jelas menjadi kendala bagi mereka.

Wilfrida adalah korban sistem berbangsa yang tidak berpihak pada kaum lemah. Ia bekerja di negeri orang untuk mengubah hidup karena di negeri sendiri sudah tipis harapan untuk dapat berubah. TKW ini menjadi salah satu dari ratusan ribu orang yang berkontribusi menyumbang devisa negara. Namun, pemerintah tampak lamban. Begitu banyak kasus, tapi sampai kini belum dilihat solusi yang benar-benar riil. Kenyataan itu akan terus berlangsung tanpa ada usaha serius penguasa memutus tali derita TKW.

Penderitaan mereka tak pernah mendapat respons positif dari elite bangsa. Mereka hanya dijadikan tumbal penguasa tanpa mau memahami bahwa "terusir" dari negeri subur ini untuk menjadi buruh migran. Mereka menjadi alat produksi belaka. Problem ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri memang sangat krusial.

Tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri telah membantu memperingan beban pemerintah memperbaiki perekonomian. Namun, perlindungan hukum pada TKW atau TKI sangat kurang. Jaminan keamanan dan kesejahteraan para TKI di tempat kerja belum memadai. Hubungan bilateral Pemerintah Indonesia dan negara tempat TKI mencari nafkah terkait perlindungan sangat minim. Situasi demikian membuat banyak TKI atau TKW memilih jalur ilegal agar dapat bekerja di luar negeri. Sudah begitu banyak kasus, namun tak ada solusi.

Tak Berpihak

Nilai kehidupan dan rasa aman bagi mereka tak pernah pasti. Hukum tak berpihak pada mereka. Malahan hukum kerap kali membuat mereka menderita karena diperas jaringan mafia yang terang-terangan bertindak tidak manusiawi. Para mafia pekerja itulah yang berpesta memperoleh keuntungan begitu besar di tengah jeritan tangis dan rintihan TKW karena perlakuan kejam para majikan.

Kemanusiaan belum menjadi prioritas bangsa ini untuk tidak menjadikan rakyat sebagai budak bangsa sendiri. Kemanusiaan telah direduksi hanya demi mencari keuntungan dengan tega menjual anak negeri ini menjadi budak di negeri orang. Pengiriman TKI secara legal dan ilegal dianggap sebuah prestasi rezim sehingga terus berlangsung tanpa memperbaiki sistem agar lebih manusiawi.

Pemerintah harus memanusiakan warganya di depan bangsa lain. Indonesia harus malu di depan bangsa lain kalau terus-menerus mengirimkan TKW. Negara harus sadar bahwa setiap warga negara, meski bekerja di luar negeri, juga anak kandung negeri. Mereka harus dilindungi secara hukum. Pekerja seharusnya diperlakukan secara adil untuk mendapat upah sesuai dengan kontrak kerja.

Kelemahan perlindungan TKI seharusnya bisa diatasi bila penguasa mau sungguh-sungguh membenahi ketenagakerjaan. Para calolah yang sebenarnya memiliki kekuasaan tak terbatas. Persoalan tak pernah diselesaikan serius karena penguasa tidak memiliki hati bagi kaum lemah. Apa pun caranya, Wilfrida harus diselamatkan dari hukuman mati. Dia tidak layak menerima vonis tersebut.

Banyak di antara tenaga kerja menjadi ilegal karena kebijakan pembangunan tidak memperhitungkan kaum paling lemah. Daya tawar mereka dibuat seolah-olah tak memiliki akses pada kekuasaan yang selalu berpihak para pemodal dan calo. Rakyat selama ini menjadi tumbal pembangunan. Kondisi tersebut juga dirasakan para para pekerja imigran. Mereka seperti sapi perahan.

Jasa mereka begitu besar bagi bangsa. Di tengah-tengah kegagalan penguasa menyediakan lapangan kerja, mereka mencari dan menciptakan peluang tersebut. Para elite politik harus sadar, tanpa TKI, mereka tidak akan memperoleh kursi kendati mereka kerap kali menjadi alat mobilitas kekuasaan belaka. Kekuasan tidak pernah ramah terhadap mereka. 

Pemerintah harus menjamin keselamatan dan hak TKW. Pemerintah harus mendampingi mereka yang bermasalah sampai tuntas. Pemerintah harus dapat menunda eksekusi mati Wilfrida yang dilaksanakan hari ini. Wilfrida yang dipalsukan kelahirannya oleh agen seharusnya menjadi pertimbangan untuk pemerintah bekerja sekuat tenaga. Calo harus dikejar untuk mempertanggungjawabkannya.

Malaysia harus didesak untuk menunda sampai terungkap motif pembunuhannya yang belum terbuka di persidangan. Suara-suara para elite politik harus terus diteriakkan agar Malaysia terbuka dan setidaknya menunda eksekusi.

Merawat Kesaktian Pancasila

Merawat Kesaktian Pancasila
Janedjri M Gaffar  ;  Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang
KORAN SINDO, 30 September 2013


Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ini merujuk pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang mencoba menggulingkan kekuasaan dan mengubah dasar negara Pancasila. 

Selain itu, peristiwa lain yang menunjukkan kesaktian Pancasila adalah upaya pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Terlepas dari kontroversi sejarah yang masih tersisa, peristiwa tersebut juga telah memperteguh keyakinan bangsa IndonesiaterhadapPancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara. Kendati demikian, tentu sudah bukan saatnya lagi memosisikan Pancasila sebagai makhluk hidup ataupunspirityangberbeda dan terpisah dari masyarakat dan bangsa. 

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara, bukan makhluk hidup yang memiliki kesaktian dan menjadi sandaran untuk melindungi bangsa dan negara. Sebaliknya, kesaktian Pancasila terletak pada penerimaan masyarakat dan bangsa terhadap kebenaran dan kesesuaian nilai-nilaiPancasila sebagai dasar dan bintang pemandu dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Ancaman terhadap posisi dan keberlakuan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara akan senantiasa muncul. Jika pada 30 September 1965 Pancasila menghadapi ancaman nyata berupa penggantian pandangan hidup bangsa dan dasar negara melalui kekuatan bersenjata dengan menggulingkan kekuasaan yang sah, ancaman saat ini dan ke depan lebih halus bahkan tidak terlihat, namun dengan tingkat dan daya rusak yang tidak kalah berbahayanya dengan ancaman melalui penggulingan kekuasaan. 

Dalam konteks bernegara, ancaman yang paling kuat dan berbahaya adalah peminggiran dan pengesampingan nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan negara. Akibat itu, negara dijalankan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ancaman nyata yang sudah dirasakan berbagai pihak adalah ada kepentingan-kepentingan asing, baik dari negara lain maupun korporasi internasional. Perkembangan global memacu kompetisi antarnegara dan korporasi internasional. 

Mereka berupaya membuka jalan untuk mengambil keuntungan dengan memengaruhi hukum dan kebijakan negara dengan berbagai cara dan instrumen, mulai dari introduksi sistem asing sampai proteksi dari negara. Dalam kehidupan ekonomi, ini dapat dirasakan dari kuatnya sistem ekonomi liberal yang didesakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Ini secara yuridis sudah dapat dilihat dari pembatalan UU Ketenagalistrikan, pengujian UU Migas, dan pembatalan keberadaan BP Migas oleh MK. 

Tentu saja pengaruh luar yang patut dipertanyakan kesesuaiannya dengan Pancasila tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, tapi juga terjadi di bidang politik dan sosial budaya. Sistem dan budaya politik yang berkembang pesat saat ini sudah saatnya dievaluasi untuk dikembalikan ke dalam kerangka demokrasi Pancasila yang mengedepankan “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. 

Ancaman terhadap Pancasila tentu saja tidak hanya berasal dari luar bangsa Indonesia atau dari ideologi lain. Ancaman terbesar justru ada dari dalam bangsa Indonesia. Keberagaman masyarakat yang saling berinteraksi melahirkan persepsi dan keyakinan terhadap tata nilai tertentu yang memengaruhi pemaknaan terhadap nilainilai Pancasila yang secara tidak sadar telah mengingkari nilai-nilai Pancasila. Nilai persatuan Indonesia yang semula dimaknai sebagai pengutamaan identitas satu bangsa di atas bangsa lain sehingga lahir sikap hidup toleran terhadap perbedaan di dalam kehidupan bersama bergeser pemaknaannya menjadi toleransi untuk hidup dalam satu negara Indonesia, tetapi di lokasi yang berbeda. 

Dalam konteks ini Pancasila menghadapi ancaman internal yang tidak secara nyata mengganti pandangan hidup bangsa dan dasar negara, namun secara jelas telah membajak dan memanipulasi pemaknaan nilai-nilai Pancasila, baik dalam aturan maupun penyelenggaraan negara. Ancaman internal juga muncul dari sikap permisif masyarakat dan segenap penyelenggara negara.

Walaupun beberapa kalangan telah kembali memiliki antusiasme untuk melakukan studi dan mendorong elaborasi relevansi nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara, itu belum menjangkau masyarakat luas. Contoh paling mudah dilihat adalah masih maraknya politik uang dalam berbagai hajatan pemilu. Halyang sama juga terjadi pada penyelenggara negara, belum banyak yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan acuan dalam pembentukan hukum dan pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan.

Ancaman di atas lebih berbahaya karena tidak mudah dikenali. Tidak ada satu kelompok pun yang dapat diberi label anti-Pancasila atau berupaya mengganti Pancasila. Lebih sulit lagi karena sangat mungkin semua kelompok dan pandangan akan mengklaim diri sebagai paling sesuai dengan Pancasila. Akibat itu, suatu saat kita mungkin akan dikejutkan dengan kesadaran yang terlambat bahwa Pancasila memang masih diakui dalam berbagai seremoni kenegaraan, namun telah hilang dari substansi hukum dan kebijakan negara. 

Untuk menghadapi ancaman tersebut, dibutuhkan kesaktian dengan level lebih tinggi. Yang dibutuhkan bukan kesaktian berupa kekuatan sipil bersenjata atau bahkan satu pasukan khusus. Yang dibutuhkan adalah kepedulian dan komitmen setiap lapisan masyarakat dan segenap penyelenggara negara terhadap Pancasila. Baik ancaman dari luar maupun dari dalam hanya dapat dihadapi dengan cara merawat kesaktian Pancasila yang bersumber pada kepedulian dan komitmen masyarakat dan penyelenggara negara terhadap Pancasila. 

Sebesar apa pun kekuatan asing yang hendak mengendalikan hukum dan kebijakan nasional akan mudah diinsyafi dan dikembalikan ke dalam kerangka dasar Pancasila. Demikian pula dengan dinamika internal akan senantiasa dipandu oleh nilai-nilai dasar Pancasila sehingga tidak mungkin berkembang hingga terjadi pertentangan yang saling meniadakan. ●

Era Kepemimpinan Muda

Era Kepemimpinan Muda
Rakhmat Hidayat  ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi Université Lumière Lyon 2 Prancis
KORAN SINDO, 30 September 2013


Bima Arya (41 tahun) sudah dinyatakan secara resmi memenangkan Pilkada Kota Bogor. Kemenangan Bima sekaligus menambah deretan panjang figur-figur muda yang memenangkan pilkada di sejumlah daerah. Sebelum Bima, Ridwan Kamil (41 tahun) juga memenangkan Pilkada Kota Bandung. 

Sebelumnya Ganjar Pranowo (44 tahun) bisa menduduki kursi gubernur Jawa Tengah. Figur-figur muda itu hadir dalam ruang politik yang membawa optimisme di tengah karut-marut politik yang defisit moral kepemimpinan. Ada semangat dan perspektif baru yang diusung mereka dalam kontestasi politik. Semangat mereka berpijak pada isu perubahan yang ditawarkan dalam kebijakan publik. Muda, perubahan, dan optimisme adalah benang merah dari tokoh-tokoh muda tersebut. 

Kemunculan figur muda juga akibat kejenuhan masyarakat dalam kepemimpinan yang stagnan, tidak menawarkan warna baru dalam kebijakan publik di daerahnya. Ada kegairahan dari masyarakat untuk bergerak lebih dinamis sesuai tuntutan zaman. Struktur kognisi masyarakat tentu tak sama ketika pemimpin sebelumnya memenangkan pilkada. Ada perubahan, kemajuan, dan pergerakan dalam kognisi masyarakat ketika merespons berbagai isu yang berkembang di masyarakatnya. Mulai dari ekonomi, sosial, kesejahteraan, pendidikan, hukum, budaya, dan sebagainya. 

Masyarakat sudah cerdas dalam menentukan pilihan politiknya. Mereka sama-sama berharap, inilah saatnya melakukan perubahan melalui tokoh yang mereka titipkan mandatnya untuk membawa arah baru bagi kehidupannya. Pada tataran ini sebenarnya kekuatan figur dan dorongan dan ekspektasi publik terhadap perubahan saling bersahutan dalam melahirkan tokoh-tokoh muda di daerah. 

Kepemimpinan Nasional 

Dalam konteks nasional, kelahiran figur-figur muda tersebut menjadi sebuah ekspektasi publik yang harus kita dorong sebagai agenda publik. Menjelang suksesi kepemimpinan 2014, muncul pemikiran kuat untuk memberikan kesempatan kepada kalangan muda untuk meneruskan kepemimpinan nasional. Sudah saatnya generasi tua yang terlibat dalam pentas politik nasional memberikan ruang politik bagi kalangan muda yang lebih visioner, segar, dan progresif memimpin republik ini. 

Ekspektasi politik ini suatu keniscayaan dalam konteks demokratisasi kepemimpinan nasional. Kita perlu mengajukan proposal kepada partai politik untuk mengusung tokoh muda dalam Pemilu 2014. Meskipun harus diakui bahwa kita masih gagap dalam mendefinisikan ‘’kepemimpinan muda’’ sebagai aktor penting dalam kontinuitas demokrasi Indonesia pasca- Orde Baru. 

Kita harus menerima kritik bahwa kepemimpinan muda masih dihadapkan dengan masalah pelik. Seringkali kita masih terjebak pada resistensi pihak-pihak yang menolak keras pemimpin muda dalam panggung politik nasional. Kritik lain muncul karena terjebak pada dikotomi pemimpin muda dan pemimpin tua dalam pentas politik nasional. Saya kira kritik ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi politisi muda khususnya dan publik umumnya untuk melakukan dekonstruksi terhadap cara berpikir dalam merespons tantangan demokratisasi di Indonesia. 

Pasca-Orde Baru Indonesia sudah menghelat Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Tapi, kita belum juga menemukan tipologi pemimpin muda yang autentik dalam meneruskan proyek demokrasi Indonesia yang masih berlangsung. Tanpa berpikir untuk melakukan dekonstruksi kultural di level publik, kita akan kembali dengan wajah kepemimpinan produk-produk lama. 

Gerontokrasi Politik 

Isu ini menjadi penting dalam menyongsong regenerasi kepemimpinan 2014. Jika kita tak bisa menata ulang basis berpikir generasi muda, jangan salahkan jika 2014 kita masih berada dalam era gerontokrasi yaitu era kepemimpinan kaum tua. Gerontokrasi adalah bentuk pemerintahan oligarkis di mana suatu entitas diperintah oleh pemimpin yang secara signifikan lebih tua dari sebagian besar populasi orang dewasa. 

Seringkali struktur politik adalah sedemikian rupa sehingga kekuasaan politik dalam kelas penguasa terakumulasi dengan usia sehingga tertua memegang kekuasaan yang paling besar. Ada kekhawatiran menjelang Pemilu 2014 kita dihadapkan pada gejala gerontokrasi. Jika kita masih berkutat dengan stok pemimpin lama tersebut tanpa mendorong lahir pemimpin muda yang lebih menjanjikan, kita akan mengalami apa yang disebut Craig Berry (2010) sebagai intergenerational democratic deficit. 

Penjelasan ini tertuang dalam publikasinya berjudul “The Rise of Gerontocracy? Addressing the Intergenerational Democratic Deficit”. Gejala intergenerational democratic deficit lahir sejalan dengan kemunculan gerontokrasi karena termarginalisasi politisi muda dalam kontestasi politik. Marginalisasi politisi muda itu dalam pandangan Berry kemudian direspons dengan mendorong terjadi intergenerational equity dalam konteks demokrasi. Dalam konteks Indonesia, ancaman ini sudah di depan mata dan hanya menghitung hari. Akan menjadi kecelakaan sejarah jika kita tak berani keluar dari jebakan gerontokrasi tersebut. Fakta empiris di masyarakat, gejala perubahan mulai menggelinding sejalan dengan kelahiran pemimpin-pemimpin muda. 

Dalam konteks nasional, perjuangan melawan gerontokrasi memang sangat terjal dan berliku. Paling tidak kita punya dua ekspektasi dalam Pemilu 2014. Kita berharap Pemilu 2014 akan lebih berkualitas dalam melahirkan cetak biru politik nasional lima tahun ke depan. Pemilu 2014 akan semakin berkualitas jika menghasilkan pemimpin muda sebagai pemenang kontestasi politiknya. 

Dengan cara ini, pemilu akan lebih bermakna dan memperkuat kontinuitas demokrasi Indonesia yang diinisiasi sejak 1998. Dua ekspektasi ini kelak akan menjadi kredit penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia yang harus kita lanjutkan bersama. ●

KPU dan Pendewasaan Demokrasi

KPU dan Pendewasaan Demokrasi
M Sobary  ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 30 September 2013


KPU dan demokrasi memiliki hubungan fungsional yang sangat kuat. Hubungan itu ditetapkan, atau dibuat, sebagai corak aspirasi kultural. 

Di sini hadir kekuatan kemasyarakatan yang disebut civil society. Dia yang merumuskan mandat KPU. Kita tahu KPU sudah lama ada yaitu sejak zaman Orde Baru. Tapi, di zaman itu fungsinya hanya pelengkap, kekuatan pemantas bagi demokrasi. Logika zaman itu, gagasan demokrasi diterima, tapi tidak dilaksanakan sesuai gagasan dasar demokrasi. Dia diterima oleh penguasa militer yang tak terbiasa berdemokrasi. Penguasa itu datang dari latar belakang kebudayaan Jawa, yang—dalam kebudayaan itu—menata hidup dengan kepantasan, dan serba merujuk pada gagasan tentang harmoni, sangat kuat. 

Segala hal harus pantas, segala hal harus terjalin dalam corak relasi-relasi—kebudayaan maupun politik— yang serbapantas, serbaharmonis. Dengan begitu, tak mengherankan pembentukan KPU di zaman itu tak lepas sama sekali dari cara pandang dan kesadaran akan kosmologi politik seperti itu. Pendeknya, KPU itu “ornamen” pemanis, unsur pantas-pantasan, dan penjaga harmoni kultural yang bermain di wilayah politik. 

Tidak mencengangkan kalau KPU sebagai lembaga, dan segenap aparat penting di dalamnya, diberi kekuasaan sebebas- bebasnya, tetapi dikendalikan seketat-ketatnya. Kebebasan dan pengendalian itu tidak pernah seimbang. Pengendaliannya jauh lebih besar dan lebih menentukan. 

Sejarah memilukan macam ini yang memberi inspirasi pada kekuatan kemasyarakatan kita, yang namanya civil society tadi, untuk merumuskan mandat baru bagi KPU sesudah masa reformasi. Mandatnya untuk menjadi KPU yang jelas “people oriented”, dan “operate independently” dari apa yang namanya birokrasi negara—lebih tepat pemerintah—yang dijadikan ”mesin politik” yang memainkan agenda demi agenda politik besar penguasa, yang sangat tertarik melanggengkan kekuasaannya dengan seminimal mungkin kontrol dari kekuatan luar. Ini logika kerajaan. 

Logika republik lain. Maka itu, KPU pun diberi kekuatan kerakyatan lebih besar, dan menjadi lembaga penjamin berfungsinya secara maksimal aspirasi politik rakyat. Demi tujuan itu, pertama, bersihkan diri. Lepaskan ikatan-ikatan birokratik dan loyalitas kepegawaian—pegawai negeri—kepada pemerintah. Kini loyalitas dipersembahkan hanya kepada rakyat. Segenap gerak-gerik dan tingkah laku KPU hanya “socially— dan mungkin juga politicallyaccountable” jika segalanya mengabdi kepentingan keindonesiaan yang jelas. KPU bagian dari “abdi” masyarakat, yang bekerja, dan ”exist”, untuk negara. 

KPU itu besar sekali, agung, dan anggun. Urusan dan tanggung jawabnya pada negara, bukan pada pemerintah, bukan untuk penguasa, bukan untuk partai, bukan untuk partai penguasa. Aspirasi civil society bahwa demokrasi berkembang sehat, memelihara rohani politik bangsa, dan memberi kelegaan pada seluruh bangsa dengan tindakan-tindakan tidak memihak ke sana ke mari. KPU itu kiblat politik dan demokrasi. Semua kekuatan politik dan masyarakat mengarahkan pandangan ke KPU, dan bukan sebaliknya.

 Media memandang, dan hanya mendengar suara benar, paling “reliable” secara politik, dari KPU. LSM, organisasi sosial keagamaan, kaum intelektual, dosen, peneliti, pengamat, rohaniwan, semua mengarahkan pandangan, harapan, dan memberi “trust” yang sangat tinggi, kepada KPU. Tapi, apakah KPU, seluruh sejarah KPU sejak masa reformasi— jadi bukan hanya KPU saat ini—memiliki kemerdekaan, dan merasa dirinya semulia ini? 

Apakah KPU tidak disusupi suatu kepentingan politik, yang bermain dari dalam, dan mengatur strategi dari dalam, untuk suatu agenda, atau sesuatu yang bisa disebut “short sighted”, dan “short term agenda” yang menerabas dan menghancur luluhkan aspirasi kultural yang dibangun untuk Indonesia? Jika hal seperti ini ada, setidaknya diakui pernah ada, apa jawaban yang bisa diberikan KPU sekarang ini? Bagaimana para elite KPU memandang dan menyikapi persoalan ini? Mencoreng dan menggores “independency”? Dibiarkan saja berlalu hanya karena itu terjadi pada masa lalu dan bukan urusan KPU sekarang?

 Secara kebudayaan, KPU diminta berperan lebih besar. Banyak agenda besar yang selama ini terabaikan. Pertama, melakukan apa yang namanya “voters education” dalam arti sebenarnya, yang selama ini terbengkelai. Dalam program ini, KPU mengajarkan rasa tanggung jawab politik lebih besar kepada publik, sebagai bentuk moral politik yang membuat wawasan dan sikap politik bangsa lebih sehat. 

Di sini, perlu dicatat, bukan sekadar urusan memilih seorang tokoh. Tapi, moral politik itu menegaskan, boleh juga ”menggariskan” langkah-langkah politik yang bertanggung jawab. Isinya, sesudah memilih, mereka mengikuti, terus mengamati, dengan seksama, segenap sepak terjang tokoh yang dipilihnya. Jika yang bersangkutan menyimpang, selingkuh, atau mengecewakan, susun segera petisi dan ajukan ke DPR. Jika DPR—seperti lazimnya— tidak responsif, tidak bertanggung jawab, tidak berani, dan seterusnya, rakyat terus menyuarakan kekecewaan itu. 

Media dan semua kekuatan civil society akan mendukung. KPU, di dalam situasi itu, juga bersuara jelas, dengan semangat dan isi yang mencerminkan suara civil society. Kedua, menyadarkan seluruh bangsa, terutama para tokoh yang terpilih bahwa menang pemilu bukan seperti orang “menang lotre”. Dalam menang pemilu ada tanggung jawab menuntaskan agenda politik, menjawab aspirasi seluruh bangsa, dan bukan hanya seluruh kekuatan “constituent”, dan para pemilih, melainkan aspirasi seluruh bangsa. 

Orang harus sadar, yang dilayaninya bukan hanya para pemilih, melainkan juga mereka yang menang dengan juta lainnya yang tidak memilih. Kalau menang 50% lebih se-dikit, berarti yang tidak memilihnya masih merupakan kekuatan raksasa yang mengerikan. Mereka ini yang akan terus menerus menjadi “the angry people” yang tak henti-hentinya mengamati pemimpin bersangkutan. Boleh jadi mereka tidak suka sejak lama. Boleh jadi mereka memang musuh politik sejak lama. Jadi, KPU wajib mengajarkan kesadaran ini pada para pemilih, para terpilih, dan seluruh bangsa kita. 

Menang lotre itu proses sekali jadi. Menang dan nikmati. Menang politik lain. Di sana ada tanggung jawab politik, yang lahir dari suatu moralitas politik yang jelas. Ketiga, menang dengan jujur dinilai sebagai kredo hidup, dan wujud nyata dari ethoskehidupan bangsa. Mohon maaf, ethos jangan dipersempit menjadi sekadar disiplin dan semangat kerja. Ethos bangsa, dalam kebudayaan dan dalam politik, merupakan—secara teknis— “driving force”—dalam hidup bernegara. 

Lebih fundamental lagi, dalam kehidupan bermasyarakat. Menipu, dan menang pemilu karena penipuan, dengan cara apa pun, “terkutuk”. Dia dan segenap orang sekitarnya, dan partainya, dan para pendukungnya, harus disebut perusak demokrasi. Mereka merusak cara hidup, semangat hidup, kiblat hidup dan nilainilai agung kehidupan. Keempat, ”nation building” dan “character building”, dalam bidang politik dan untuk ihwal yang bersifat teknis kepemiluan, merupakan tugas dan tanggung jawab KPU. 

KPU itu tempat jiwa dan semangat bangsa ditempa, dilebur di dalam kawah candradimuka, dengan penggemblengan sikap dan wawasan para pemimpin dan calon pemimpin untuk mengembangkan watak kepemimpinan yang mengabdi bangsa. Idiom dan konsep dasarnya serbabesar. Kita bicara keindonesiaan. Tanggung jawab kerakyatan. Mengabdi kehidupan bangsa dan menyemai gagasan mengenai pemimpin yang besar, adil, dan memberi rakyat kedamaian. 

Adapun mengenai “character building” tadi, harus ditempuh KPU melalui berbagai kursus atau pendidikan politik yang menanamkan kepemimpinan sosial yang jelas. Orang harus bergulat dalam hidup riil di tengah masyarakat, dan memahami denyut kehidupan rakyat. Melalui agenda macam ini— yang belum tersentuh KPU— kita mendidik bangsa, orang per orang, untuk memiliki militansi yang jelas. 

Pemimpin harus militan. Kader harus militan. Pengabdian orang militan, hidup-matinya, untuk bangsa. Bukan bangsa asing seperti kebanyakan tokoh sekarang. Tapi, hidup-mati kita untuk bangsa Indonesia, untuk seluruh negeri, tempat tumpah darah kita. Silakan KPU merancang sendiri secara merdeka, strategi pendewasaan dan pematangan politik bangsa kita. ●