Jalan Terjal Menuju Layak Investasi
Desmon Silitonga ;
Analis PT Capital Asset Management;
Alumnus Pascasarjana FE UI
|
KOMPAS, 25 Mei
2016
Belum lama ini,
delegasi dari lembaga pemeringkat global Standard&Poor’s atau S&P
bertemu Presiden Joko Widodo. Mereka datang untuk mendengar dan menilai
perkembangan perekonomian Indonesia satu tahun terakhir.
Pada 2015, S&P
telah menaikkan prospek (outlook) peringkat (sovereign ratings) Indonesia
dari stabil menjadi positif dengan level di BB+ (speculative level) atau satu
notch di bawah peringkat layak investasi (investment grade).
Indonesia memperoleh
peringkat layak investasi terakhir kali dari S&P pada 1997. Namun, krisis
moneter dan perbankan 1997/’98 melenyapkannya. Bahkan, pada 1999 dan 2002, S&P
memasukkan Indonesia dalam peringkat selective default (SD).
Sebelumnya, tiga
lembaga pemeringkat global: Moody’s Investor Services, Fitch Ratings, dan
Japan Credit Rating Agency (JCRA) menyematkan peringkat layak investasi bagi
Indonesia.
Makna peringkat
Secara sederhana,
negara yang berperingkat layak investasi dipersepsikan memiliki risiko rendah
sehingga kepercayaan investor meningkat. Dampaknya akan mendorong aliran
investasi, baik ke sektor keuangan maupun sektor riil. Akumulasi aliran
investasi akan mendorong turunnya biaya dana (cost of fund).
Beberapa studi juga
menunjukkan bahwa peringkat layak investasi berdampak positif menurunkan
yield spread obligasi pemerintah (SUN) dan korporasi (Canton&Parker,
1996; Kaminsky&Scmukler, 2002; Sy, 2002; dan Hertellius et al, 2008;
Borensztein el al, 1997).
Penurunan biaya dana
akan membuat dana murah terjangkau. Ini bisa dimanfaatkan untuk membiayai
perekonomian, khususnya infrastruktur. Sepanjang 2014-2019, dibutuhkan
investasi Rp 5.500 triliun untuk membangun berbagai infrastruktur di
Indonesia. Maka, pemerintah sangat berharap S&P menyematkan peringkat
layak investasi.
Jika ditimbang,
peluang Indonesia sangat terbuka. Pertama, pemerintah cukup berhasil
mereformasi subsidi sektor energi yang menjadi concern S&P. Besarnya
alokasi subsidi energi sepanjang 2009-2014 telah menumpulkan kemampuan APBN
menstimulasi perekonomian.
Presiden Joko Widodo
menyadari hal ini. Subsidi energi yang terus bengkak tidak sehat bagi APBN
dan ekonomi jangka panjang. Dalam APBN 2016, subsidi energi dipangkas menjadi
Rp 102,1 triliun. Nilai subsidi ini susut signifikan, dari Rp 306,5 triliun
(2012), Rp 310 triliun (2013), Rp 341,8 triliun (2014), dan Rp 137,8 triliun
(2015).
Alokasi ke infrastruktur
Pemangkasan membuat pemerintah
memiliki ruang untuk meningkatkan alokasi belanja infrastruktur. Dua tahun
terakhir, nilainya naik cukup signifikan.
Kedua, kebijakan
pemerintah dalam memitigasi dampak kelesuan ekonomi global dengan berbagai
insentif. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi pada 2015 bisa mencapai 4,79 persen.
Meskipun melambat dan di bawah potensinya, hasil ini sudah relatif baik
dibandingkan negara di kawasan emerging lainnya.
Rusia dan Brasil yang
menjadi dua kekuatan ekonomi besar di poros BRIC terpukul kelesuan ekonomi
global ini. Pertumbuhan ekonomi kedua negara terkontraksi sepanjang 2015.
Bukan itu saja,
anjloknya harga minyak dunia lebih dari 50 persen pada 2015 menghantam
perekonomian negara-negara produsen minyak. Fondasi ekonomi mereka hampir
oleng. Awal 2016, S&P memangkas peringkat lima negara produsen minyak:
Arab Saudi, Oman, Bahrain, Brasil, dan Kazakhstan.
Meskipun peluang
Indonesia untuk mendapatkan peringkat layak investasi terbuka, masih terdapat
beberapa titik lemah yang butuh kerja keras untuk memperbaikinya. Inilah yang
jadi dasar pertimbangan S&P untuk menyematkan peringkat layak investasi.
Pertama,
infrastruktur. Meskipun saat ini pemerintah terus fokus menggenjot
pembangunan infrastruktur, tantangan untuk merealisasikan besar. Pembebasan
lahan dan penyerapan anggaran dapat menghambat akselerasi pembangunan
infrastruktur. Apalagi, jangkauan pembangunan infrastruktur semakin luas dan
beragam.
Kedua, hambatan
investasi, yang membuat investasi sulit berkembang. Ini tecermin dari
kemudahan menjalankan bisnis yang dirilis Bank Dunia (2016). Indonesia di
posisi ke-109. Jauh di bawah Malaysia (18), Tiongkok (84), dan Filipina
(103).
Paket ekonomi
Memang, pemerintah
telah memiliki arsenal untuk membongkar hambatan investasi melalui seri paket
ekonomi. Total sudah 12 yang dirilis. Sayangnya, sebagian besar seri paket
ekonomi ini tidak mudah dieksekusi di lapangan. Jika tidak segera dibenahi,
khususnya koordinasi, sinkronisasi, eksekusi, dan evaluasi, akan mengancam
kredibilitas paket ekonomi selanjutnya.
Akhirnya, semua itu
akan menggerus kepercayaan investor yang selama ini berharap banyak pada paket
ekonomi. Bagaimana pun, kepastian jadi hal utama yang selalu dituntut
investor.
Ketiga, hambatan
birokrasi. Ini masalah klasik yang sulit terpecahkan. Hambatan birokrasi
adalah salah satu kontributor rendahnya pencapaian target pembangunan
ekonomi. Pemerintah pusat dan daerah masih sering tidak sevisi menjalankan
kebijakan perekonomian.
Contoh sederhana dari
hambatan birokrasi ialah terkait alokasi transfer daerah. Pemerintah pusat
mendorong agar daerah segera membelanjakan alokasi transfer daerah, khususnya
untuk sektor produktif.
Namun, pemerintah
daerah lebih senang memarkir alokasi transfer daerah di perbankan daerah.
Akhir April 2016, nilainya mencapai Rp 220 triliun.
Selain itu, masih
banyak regulasi yang dirilis pemerintah daerah yang justru jadi penghambat
investasi, padahal pemerintah pusat berupaya merampingkan. Jika titik lemah
ini tidak segera diatasi, jalan menuju peringkat layak investasi masih
terjal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar