Permintaan Maaf
Imron Cotan ;
Duta Besar Republik Indonesia untuk Tiongkok
|
KOMPAS, 26 Mei
2016
Akhir-akhir ini
terjadi diskursus marak di kalangan elite politik nasional serta telah pula
menjalar ke seantero negeri tentang perlu-tidaknya Pemerintah Republik
Indonesia, yang saat ini dipenjurui Presiden Joko Widodo, menyampaikan
permintaan maaf kepada yang disebut sebagai para korban peristiwa Gerakan 30
September 1965 (G30S).
Kalau tidak semua,
hampir sebagian besar media arus utama dan media sosial dibanjiri opini baik
yang mendukung maupun yang menentang permintaan maaf itu. Hal tersebut telah
memicu munculnya gejala perpecahan rakyat pada tataran akar rumput yang, jika
tidak diantisipasi dengan tepat dan cepat, berpotensi mencabik-cabik rasa
persatuan dan kesatuan bangsa.
Sebelum menyentuh
perdebatan di atas, layak sepenuhnya disadari bahwa sebagai negara-bangsa
yang usianya masih relatif muda (71 tahun), Indonesia memang terbebani
serangkaian beban sejarah yang mengancam eksistensi Pancasila sebagai
ideologi negara dan UUD 1945 yang memagari berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Tidak tuntas
Serangkaian beban
sejarah tersebut pada hakikatnya berpusar pada pergulatan atau peristiwa
politik ketika para pihak saling berupaya merebut kekuasaan dengan
menggunakan ideologi-ideologi yang tak kompatibel dengan Pancasila dan UUD
1945, seperti yang terjadi, antara lain pada pemberontakan PKI Madiun (1948),
DI/TII (1949-1962), PRRI/Permesta (1958-1961).
Pada tataran tertentu,
jatuhnya Presiden Soeharto dan munculnya era Reformasi (1998) yang juga
merenggut sejumlah nyawa rakyat yang tidak berdosa dapat ditelaah dari
perspektif pergulatan politik kekuasaan tersebut, dipicu krisis ekonomi yang
melanda dunia ketika itu.
Seluruh rangkaian peristiwa
politik itu memang tak terselesaikan secara tuntas, sehingga sampai saat ini
mereka masih tetap membebani perjalanan bangsa menuju tercapainya masyarakat
yang bersatu, adil, makmur, sejahtera, serta mampu memberi kontribusi kepada
upaya-upaya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, seperti yang
dicita-citakan para pendiri bangsa terdahulu.
Sudah tiba saatnya
serangkaian beban sejarah itu diselesaikan agar Indonesia mampu mengembangkan
segenap potensi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan nasional tersebut, di
tengah-tengah berkelanjutannya gelombang perubahan dunia yang ditandai dengan
semakin ketatnya persaingan antarbangsa untuk mendapat akses serta merebut
dan menguasai sumber-sumber daya dunia yang keberadaannya terus semakin
terbatas.
Jika tidak, patut
diprediksi bahwa suatu saat pembangunan dan kemajuan Indonesia akan
tertinggal jauh negara-negara kekuatan menengah lainnya, seperti Thailand,
Malaysia, Turki, Mesir, Afrika Selatan, Meksiko serta Brasil.
Tidak mustahil
pemunculan diskursus permintaan maaf Pemerintah Republik Indonesia kepada
para korban peristiwa G30S tersebut memang dirancang sebagian kalangan untuk
berperan sebagai kotak pandora untuk memunculkan diskursus yang jauh lebih
luas serta mencakup seluruh beban sejarah di atas dengan tujuan agar energi
nasional sepenuhnya terserap sehingga kapal NKRI terpaksa tetap tertambat di
pelabuhan, tidak mampu mengembangkan layarnya untuk berlayar mencapai
cita-cita nasional, seperti termaktub pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945
atau bahkan lebih berbahaya lagi sebagai pemicu balkanisasi Indonesia.
Sebagian pihak, jika
bukan entitas negara, memang diketahui memiliki pendapat bahwa potensi
ancaman yang berasal dari Indonesia akan melemah jika negara terbesar keempat
di dunia ini lemah dan terpecah-belah.
Akan tetapi, pada sisi
lain, pemunculan diskursus tersebut sebenarnya juga dapat dijadikan sebagai
momentum baru oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk berupaya mencari
penyelesaian yang bermartabat bagi serangkaian beban sejarah tersebut, seraya
mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa di atas segalanya.
Satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa seluruh beban sejarah itu esensinya adalah
peristiwa politik walaupun memiliki dimensi pidana. Karena itu, peristiwa
politik sudah seyogianya pula diselesaikan secara politik, sementara dimensi
pidananya tidak selalu harus diselesaikan melalui proses litigasi, berkaca
pada pengalaman-pengalaman bangsa lain ketika menyelesaikan peristiwa yang
berhakikat sama. Kasus Afrika Selatan dan Australia, misalnya dapat dijadikan
rujukan.
Pendekatan ligitasi
Pendekatan litigasi,
apalagi yang mengedepankan secara berlebihan rasa viktimisasi diri sendiri,
bisa dipastikan akan mencabik-cabik keutuhan dan persatuan bangsa, mengingat
definisi korban selalu dapat ditafsirkan berlaku bagi setiap pihak yang
saling bertentangan di dalam suatu pertikaian. Jika hal ini dibiarkan
terjadi, akan muncul suatu lingkaran setan yang tiada berujung.
Seperti yang juga
sudah dikemukakan para pemimpin dan cendekiawan bangsa, memang sangat ideal
jika sebagai anak bangsa, semua pihak yang terlibat dapat saling memaafkan,
layaknya ketika Lebaran tiba.
Akan tetapi, akan
lebih bermartabat jika kita mampu melihat permasalahan tersebut dari konsep
dan perspektif yang berbeda, yaitu permintaan maaf yang akan dikeluarkan
Pemerintah Republik Indonesia dimaksud dirancang untuk dan ditujukan kepada
seluruh bangsa Indonesia sebagai bentuk ungkapan rasa tanggung jawabnya
karena telah gagal menjalankan kewajiban konstitusi melindungi hak hidup
rakyatnya di dalam serangkaian peristiwa politik tersebut.
Permintaan maaf
Perdana Menteri Australia Kevin Rudd yang ditujukan kepada seluruh rakyat
Australia, terutama bangsa Aborigin, misalnya telah menciptakan lembaran
sejarah baru bagi negara kontinental tersebut.
Secara sosio-kultural,
sejak saat itu seluruh rakyat Australia merasa menjadi satu, meninggalkan
beban sejarah kelam masa lalu, demi menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Tidak terdeteksi ada nuansa litigasi di dalam pernyataan Kevin Rudd tersebut.
Hal senada juga terjadi di Afrika Selatan.
Bangsa Indonesia yang
memiliki budaya luhur ini pasti mampu melakukan hal yang sama, meninggalkan
stigma lama, bersatu-padu dan bergotong royong menciptakan NKRI yang utuh,
berdaulat, cerdas, dan sejahtera serta mampu memberikan kontribusi bagi
upaya-upaya menciptakan perdamaian dunia dan mempertahankan keamanan
internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar