Apa atau Siapa yang Dikebiri
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
KOMPAS, 23 Mei
2016
Sejak lama saya
mengatakan, dan kini mungkin jadi pengetahuan (baca: permisivitas) umum:
mayoritas mainan anak-anak Indonesia, bahkan di usia awal pengembangan
pendidikannya, 3-6 tahun, bukan lagi dalam bentuk tradisional (tak lari,
petak umpet, engklek, congklak, dan sebagainya), yang bisa dikatakan lenyap
dalam peradaban modern kita.
Setelah era
"gimbot" (game watch)
atau Tetris hingga 1980-an, kini anak-anak itu memiliki perangkat gawai (gadget) yang menciptakan atau
mewujudkan bukan hanya semua jenis permainan tradisional dan modern dunia
(dalam bentuk yang mengejutkan), melainkan keluasan ruang imajinasi tak
terperi.
Fenomena itu bukan
saja mulai jadi keumuman hingga di tepi kota, melainkan juga desa-desa yang
mulai meng-"kota". Apa yang mengesankan, sebenarnya menggiriskan,
permisivitas dan aksesibilitas anak-anak pada tab kian meninggi seiring
merendahnya status atau kelas sosial, ekonomi, politik di mana keluarga sang
anak berada. Artinya, apa yang sudah mulai Anda bayangkan sebagai dampak
(negatif, destruktif) pada generasi awal bangsa ini justru terjadi makin kuat
dan masif di kalangan menengah dan terutama kalangan bawah.
Kesadaran yang terkondisi
Begitukah? Tidak perlu
terlalu sinikal. Ini memang baru fenomena. Tapi, kita tahu, gejala yang
terjadi tanpa kita lihat dan sadari dengan baik, dalam waktu singkat ia
menjadi sesuatu yang "terterima" (taken for granted) dan seiring jumlah waktu yang terus bergerak
ia kemudian menjadi nasib atau hal yang secara sosiologis disebut given.
Bukankah begitu? Para orangtua yang sudah pasrah, tidak mampu, atau bingung,
bahkan sebagian menerima kehadiran gawai-cerdas itu bukan hanya sebuah norma
atau hal yang normal, melainkan juga sebagai bagian zaman yang tak
terhindarkan. Lebih jauh lagi, sebagian kecil bahkan menjadikannya simbol
dari kemodernan atau tingkat keadaban seseorang.
Apa yang kemudian
terjadi? Pada tingkat pribadi, misalnya, saya masih belum mengerti bagaimana
ada anak umur 10 tahun menukarkan uang asing yang ia curi dari laci
orangtuanya hanya untuk main games di warnet selama seminggu, sementara untuk
mendapatkan tempat penukaran uang terdekat, ia harus pergi hampir 20
kilometer dari kawasan rumah/warnetnya. Atau, jangan kaget jika sekali waktu
di history desktop Anda terdapat beberapa situs porno dewasa di antara
puluhan situs Manga, kartun Hongkong, Disney, dan sebagainya, yang patut
diduga hal itu dilakukan anak Anda. Apa yang telah terjadi itu secara
otomatis membentuk ruang imaji anak, dan kemudian memberi pengaruh pada cara
berpikir, merasa, atau bertindaknya di kehidupan sosial.
Apa yang disadari oleh
mereka, para wakil pendidik atau transmitor nilai dalam kehidupan sosial dan
spiritual kita (pemimpin informal/adat, guru/pemuka agama, dan sebagainya)
ketika mereka masih dengan begitu percaya mengajarkan hal-hal yang bukan saja
tradisional, klasik, bahkan arkaik-tak hanya dalam makna, simbolisasi hingga
ekspresinya-pada anak didik mereka yang ruang imajinernya sudah diisi dengan
padat, intens dan masif oleh data dari sebuah tablet/ipad?
Pada tingkat sosial
yang masif, anak-anak (remaja) tadi bisa saja berbentuk tubuh dengan realitas
biologis lebih dewasa, bahkan puluhan tahun di atasnya. Para remaja itu
mungkin memiliki kematangan faali, tetapi pikiran dan imajinasinya di tingkat
dependensi, keterikatan acuan, hingga penciptaan obsesi yang tinggi pada
dunia virtual serta ilusif yang dihadirkan lewat perangkat gawai. Jika
kemudian muncul remaja dengan senapan api membunuh 14 teman sekolahnya; anak
13 tahun di Surabaya diperkosa 13 anak seusia bahkan 4 tahun lebih muda; bayi
usia dua tahun diperkosa lalu dibunuh; seorang ibu melempar anaknya dari
ketinggian mal di Bekasi, dan sederet peristiwa semacam itu terjadi di negeri
ini, negeri tetangga, negeri-negeri seluruh dunia? Tak terbayangkan, dunia
macam apa dalam sejarah (peradaban) umat manusia.
Lalu, mengapa pikiran
kita begitu cupet dan pendeknya: kebiri saja pelakunya! Termasuk anak 9 tahun
yang terlibat dalam pemerkosaan di Surabaya di atas! Siapa yang gila
sebenarnya?
Dengan apalagi akal
sehat kita, jika satu bangsa ini mengenal dengan baik kata majemuk kuno itu,
"akal sehat", harus diberi penjelasan dan argumen: dalam zaman
mutakhir saat ini sesungguhnya kita bersama adalah korban. Sekali lagi,
korban!
Kalau Anda dengan cara
berpikir yang optimistis, progresif, positivistik serta materialistik masih
memiliki semacam alasan, bahkan keyakinan bahwa kita adalah juga aktor,
pelaku bahkan (turut) membentuk zaman mutakhir itu-katakanlah dengan menjadi
programer, pembuat animasi untuk film terakhir Dreamworks, pebisnis start up,
hingga pelaku media daring atau perekayasa perangkat kerasnya-renungkanlah
dengan sebaiknya: apa sebenarnya peran yang sungguh-sungguh telah Anda
mainkan?
Kita pun korban
Baik, mari kita
membuka mata. Bukan mata fisik yang terbatas dan mulai lamur dan silau oleh
cahaya peradaban yang kian menusuk. Tapi, dengan "mata" lain, baik
di pikiran, hati, maupun batin. Dapatkah kita menyadari, hampir 100 persen
dari cara hidup kita saat ini sesungguhnya tidak (pernah) kita tentukan
sendiri. Bahkan, sebelum kita menyadari, memasuki ruang pendidikan anak usia
dini (PAUD) saja para orangtua kita membuat pilihan yang opsi-opsinya sudah
disediakan. Jangankan untuk konten atau metode pendidikannya, bahkan dari
tagline alias jargon, mimpi, hingga harga yang ditawarkan. Biaya masuk PAUD
saat ini banyak yang lebih mahal daripada masuk perguruan tinggi. Tapi kenapa
tidak ada yayasan atau pemerintah yang menawarkan beasiswa untuk taman
bermain atau PAUD?
Apa sesungguhnya arti
dari semua jelujuran fakta, yang notabene belum komprehensif untuk
menggambarkan keseluruhan persoalan kita saat ini? Anda sudah dapat menduga,
walau mungkin agak kabur. Sejak usia dini, anak-anak bangsa ini yang akan
mengambil oper tongkat republik ini sesungguhnya sudah dikondisikan untuk
menerima dengan baik kenyataan-kenyataan mutakhir yang pahit dan mengenaskan
yang kita lihat, baca, dan rasakan belakangan ini.
Lalu, dengan
menggunakan logika tradisional paling awam, melihat sebab dari sebuah
peristiwa degil itu lalu dengan enteng kita menyatakan, "terjadi
dekadensi moral"; "kebejatan tidak beragama"; "pendidikan
yang tidak tepat"; "pelaku yang telengas"; dan seterusnya.
Lalu, dengan logika yuridis dan polisional kuno itu kita pun menangkap pelaku
dan menumpahkan semua kesalahan kepadanya. Memenjara lama, mengancam hukuman
mati, bahkan hendak membunuh kapasitas seksualnya (yang ilahiah itu) alias
dikebiri.
Padahal, kita tahu,
para pelaku itu sesungguhnya secara esensial juga korban yang sama akutnya.
Bukan hanya mereka, melainkan juga kita: orangtua, pemuka, guru, jaksa,
polisi, dan seterusnya. Jangan-jangan kita pun sebagai korban juga pernah
melakukan satu tindak destruktif atau kriminal karena dorongan yang tidak dikenali
dan ia berlangsung begitu saja? Lalu apa dan siapa yang mestinya dikebiri?
Jawaban dari
pertanyaan itu sebenarnya Anda sudah tahu. Retorika semacam inilah yang
antara lain membuat buntu akal sehat yang saya sitir di atas. Ketika kita
tahu atau sadar menjadi bagian dari sebuah penyimpangan (bias/deviasi) hingga
tindak yang anormatif, kriminal hingga biadab, kita tidak memiliki kekuatan
bahkan kapasitas intelektual hingga spiritual hanya untuk menegaskan,
"aku turut bersalah".
Yang utama: hidup
Dengan semua alasan di
atas, kita mendapat imperasi untuk berhenti menjadikan negara dan bangsa ini
sebagai panggung teater dari kebodohan di atas. Dungu boleh, tapi jangan satu
bangsa, apalagi pemerintahnya. Itu kesialan paling utama sebuah negara,
pemerintah dungu, tapi selalu sok tahu. Sok menganggap dirinya paling tahu,
pemberi solusi terbaik, dengan menggunakan hukum murahan untuk merepresi
orang (rakyat)-bahkan secara koersif-agar menuruti atau meyakini peran
(dungu) pemerintah itu.
Negara adalah
penanggung jawab dan mesti paham ini semua. Paham bagaimana ini semua terjadi
dan berproses dalam sejarah bangsa ini. Tapi mereka buta. Mata mereka tidak
bekerja karena sudah terhijab, sudah dilamurkan oleh tujuan-tujuan sangat
pragmatis, bahkan dengan taktik yang sangat oportunistis. Ini bukan sepak
bola ala Mourinho atau Simeone, "tidak penting dengan cara, hasil adalah
dewanya". Dan, kehidupan-termasuk keindahan dan kebudayaan-pun lenyap di
dalamnya.
Negara tidak bisa
berdiam diri. Tidak bisa! Mereka harus berbuat, mencoba menghentikan semua
ini: dari akarnya, dari fondasi terdasarnya; dari buku sejarah misalnya, yang
harus dirombak hampir total; dari kurikulum pandir, bahkan sejak PAUD.
Terlebih gerakan heboh yang seolah heroistik hendak mem-PAUD-kan semua desa, men-daring-kan
seluruh bangsa, menyadar-asuransikan seluruh elemen masyarakat. Tidak! Tak
semua bentuk dan sifat kemajuan adalah sebuah kewajiban sosial, bahkan
nasional, untuk diterapkan. Tak seluruh pencapaian teknologi adalah "hal
yang tak terhindarkan".
Kita tahu, yang utama
itu adalah hidup itu sendiri, yang memang harus kita perjuangkan bersama agar
terus berlangsung, sebagaimana ia menjadi "amanah" kemanusiaan
ilahiah itu. Di akhir kalimat itulah kuncinya: hidup semata untuk
meng-ilahiah-kan manusia pada akhirnya, memanunggalkan jagat kecilnya dengan
yang gede. Jadi, apa pun yang ada di sekitarnya, tak ada yang tak bisa
ditawar, tak ada yang harus diterima atau ditolak habis-habisan. Kita punya
mekanisme bahari yang superhebat untuk melakukan itu semua. Maka, apabila
terjadi pembiaran sistemik dari kondisi mengenaskan bangsa kita hari ini,
bahkan sejak anak-anak kita "melek budaya", tidak lain kita tahu
siapa yang harus bertanggung jawab, dan siapa pula yang harus dikebiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar