Warisan untuk Anak dan Cucu
Bambang Hidayat ;
Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 24 Mei
2016
Untuk kesekian kali
penulis beruntung memperoleh kesempatan pergi-pulang Bandung-Jakarta melalui
jalan bebas hambatan. Perjalanan ditempuh dengan kendaraan umum yang nyaman.
Mobilnya fungsional,
kabin penumpang sejuk, dan pengemudinya tampak profesional. Ia tersenyum
membantu penumpang naik-turun, termasuk memenuhi permintaan berhenti di
tempat istirahat yang menyediakan toilet. Keramahan sederhana, tetapi
bermartabat.
Pengamatan selama
beberapa puluh kali perjalanan, adalah pilihan pengemudi menggunakan jalur
tengah. Pengalaman rupanya mengajarkan untuk sesedikit mungkin melintas jalur
paling kiri karena hampir selalu bergelombang gara-gara dilewati kendaraan
berat dan besar.
Pengalaman itu
menyembulkan pertanyaan tentang teknologi pembuatan jalan raya dan peraturan
yang bertautan dengan pemanfaatan jalan. Setahu penulis ada bobot maksimum
yang diperbolehkan bagi kendaraan melewati ruas jalan umum.
Demi keamanan,
pengguna jalan raya dituntun oleh sopan santun berlalu lintas. Pengaturannya
mensyaratkan agar pengemudi menyalip kendaraan dari sebelah kanan. Namun,
banyak yang menyalip dari sisi kiri, termasuk ”travel” yang saya naiki.
Peraturan penggunaan jalan raya tersingkir oleh gagas kepraktisan. Penulis
kurang tahu apakah ada rasa bersalah pada para pengemudi yang melanggar,
tetapi sebaiknya para pendidik lebih gigih lagi menanamkan asas taat etika
penggunaan jalan umum.
Renjul jalan yang
menyebabkan mobil berayun sebenarnya hanya noktah kecil dalam spektrum
perlalulintasan negeri kita. Etika pemanfaatan jalan tak dapat diabaikan.
Selain itu, dulu membangun jalan dan jembatan melintas ngarai dan bukit harus
mengedepankan teknologi kefungsian infrastruktur di samping estetika. Ini
menjadi jiwa pengajaran siswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung, cikal-bakal
jurusan sipil ITB.
Rekayasa pembuatan
jalan raya terentang dari pengaspalan sampai pengetahuan struktur geologi
lingkungan dan medan gerak tektonik wilayah untuk mendukung kemantapan dan
kualitas jalan. Kekekaran jalan dalam jangka panjang adalah keinginan kita
semua.
Jalan Bandung-Jakarta
Pada awal penggunaan
jalan di Bandung-Jakarta, 25 tahun lampau, ada kenikmatan rasa dan fisik
karena sentuhan bentang alam Jawa Barat yang tersaji sepanjang perjalanan.
Lanskap panoramik bak lukisan realis menampilkan rangkaian pegunungan biru
muda menjulang di atas kaki langit, ditingkah bukit-bukit berwarna biru tua
dan tanaman hias bintaro (Cerbera manghas) berdaun gembil hijau tua
bermahkotakan bunga majemuk putih indah di pinggir jalan. Di sana-sini tumbuh
ruellia berbunga corak ungu cerah.
Hamparan kebun teh dan
pohon karet di lahan bekas perkebunan antara Kilometer 90 dan 120 menjadi
latar belakang yang memesona. Jasmina, keluarga melati, menghias alur jalanan
melatarmukai perbukitan dan sawah tani. Kata seorang turis, itu adalah jalan
raya terindah yang pernah dia lalui. Dia merasa terumbar di taman firdusia.
Di lahan tempat
beristirahat, hadir gugus bangunan fungsional dengan warna pastel hangat
cerah, dari masjid sampai gerai makanan. Kala itu, pengaturan jarak
peristirahatan memenuhi tuntutan akal suatu perjalanan. Sayang, 25 tahun
post-dato, pemandangan itu berubah.
Anno 2016, median
jalan telah berubah menjadi penyekat berbeton. Tempat persinggahan yang
dahulu memegahkan warna-warni penarik pandangan sekarang luruh. Beberapa
relik tampak kusam. Jumlah sasana istirahat terus berlangsung sehingga bukan
menumbuhkan kesan persaingan sehat, melainkan semata penguasaan wilayah.
Dulu, di antara gugus
tempat istirahat terdapat banyak zona yang menghadirkan perspektif keluasan
bentang alam. Kini, banyak zona terhapus, tergantikan cuatan gedung yang
menghadang garis pandang, menyembunyikan aset turistik yang mewarnai
keindahan Tanah Air kita.
Pertanyaannya
kemudian, mengapa dalam selang jarak pendek dibuat papan jajan dan istirahat
begitu banyak. Penggoda lain ialah apakah hamparan tak terkendali SPBU pada
jarak 120 kilometer antara Bandung dan Jakarta mutlak harus ada? Semua itu
adalah hasil alih lahan dan alih guna lahan yang mengubah situs ekologi
lingkungan.
Maka, pertanyaan
berikutnya adalah kesahihan izinnya. Tidakkah sebaiknya ada batas maksimum
dan jarak minimum antarfasilitas (publik)? Apalagi, lahan yang digunakan
sebagian besar adalah wilayah pertanian dan ruang yang selama ini dikenal
sebagai situs keanekaan hayati. Pengaturan yang menghayati ekologi lingkungan
dan masa depan spesies baik manusia, flora, maupun fauna adalah salah satu
upaya untuk turut membentuk masa depan yang berkesinambungan (Sonny Keraf,
Falsafat Lingkungan Hidup, 2014).
Membangun jalan raya
bertujuan menyediakan sarana penghubung antarkota sekaligus menyediakan ruang
publik agar warga dapat mengembangkan pelestarian alam dan cita rasa
keindahan. Lingkungan terjaga dan keamanan selimut hijau permukaan Bumi bisa
berkelanjutan. Kompas, 25/4/2013, menabuh canang bahaya agar kita tidak lalai
merawat lingkungan. Ajakannya adalah membangun konsensus nasional berbingkai
keadilan agraria, di samping pemulihan ekologis dengan daya dukung tanah dan
hutan. Kompas (20/3/2016) mengingatkan untuk menjaga kelestarian ekologis.
Tidak hanya demi ilmu pengetahuan dan budaya, tetapi juga mendukung ekonomi
suatu bangsa.
Ekologi lingkungan
Sangat terhormat jika
bangsa kita dapat memelihara potensi kekayaannya dengan kaidah ekologi
lingkungan. Tautan ekologi lingkungan dengan kekayaan sumber daya alam dan
hayati menghadirkan kemaslahatan budaya dan berbangsa. Tiap jengkal lahan adalah
pemelihara tekanan dan tegangan biologis. Gangguan pada elemen keragaman
dapat merambat ke elemen lain.
Pertumbuhan dan
produktivitas suatu wilayah bertalian dengan tekanan dan tegangan biotik
ataupun abiotik. Ubahan abiotik, seperti berubahnya muatan kimiawi udara atau
banjir lokal, merusak tatanan sistem ekologi. Akan tetapi, sejarah panjang
kehidupan di Bumi telah memperlihatkan ketangguhan sistem kehidupan sebagai
permainan interaktif antara evolusi dan keragaman hayati.
Dukungan lokal kepada
kemaslahatan adalah daya hidup berupa kekuatan berkembang. Maka, kalau kurang
cermat dalam pengalihan tata guna lahan di sekitar jalan adi, akan terjadi
awal pemerkosaan lingkungan yang melahirkan tekanan pada sistem ekologi
lokal.
Memasuki wilayah
Purwakarta terasa segmen jalan adi menjadi sebuah lorong di Amerika atau di
Jepang karena papan-papan restoran cepat saji dari kedua negara itu. Melihat
suasana seperti itu terpijah nostalgia zaman Gubernur DKI Ali Sadikin, yang
menganjurkan agar nama toko dan hotel di pinggir jalan raya beridentitas
Indonesia.
Kini, selimut
keindonesiaan hilang ketika menyaksikan di kawasan Cikampek, sepanjang lima
kilometer di kiri jalan, memamerkan gedung bertahtakan nama-nama nirpribumi.
Rasa berada di luar lingkup Indonesia diperkuat dengan toponimi kawasan
industri Cibatu (Km 35). Nama wilayah itu tertulis ”Orange County”. Gagah,
seperti Indonesia tidak punya padanannya.
Tautan antara ekologi
lingkungan dan nilai kekayaan sumber daya alam dan hayati, di satu sisi tidak
hanya mengangkat kemaslahatan suatu kehidupan budaya, tetapi juga ikut
mengikis rasa kebangsaan di sisi lain. Tidakkah ini perlu diwaspadai?
Dalam buku ajar
ekologi sederhana dapat ditemui bahwa ilmu itu adalah pengetahuan mengenai
hubungan timbal balik antara serba hidup dan lingkungannya di mana serba
hidup itu tumbuh dan berkembang. Makna yang dapat kita tuai adalah pemekaran
benih adab untuk mengecambahkan kualitas luhur kemanusiaan. Ini bukan upaya
transformasi massal agar semua orang menjadi ahli lingkungan, melainkan
pengimbang tanggung jawab kepada sesama agar ada warisan untuk anak dan cucu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar