Politik Kerawanan Sosial
Yudi Latif ;
Anggota Asosiasi Ilmuwan
Politik Indonesia
|
KOMPAS, 24 Mei
2016
Bangsa ini seakan
hidup di sisir pantai, menghadap samudra krisis tak bertepi. Gelombang
datang, susul-menyusul, mendamparkan lapisan-lapisan masalah tak
berkesudahan. Ke mana pun berpaling, yang ditemukan wajah kerawanan.
Politik berkembang
secara teknik, tetapi mundur secara etik; demokrasi melahirkan perluasan
korupsi, kebebasan informasi membawa luberan sensasi dan pornografi.
Perekonomian berkembang tanpa moralitas; memberikan kekayaan tanpa kerja
keras, memperluas kesenjangan dan konsumerisme, kesenangan tanpa nurani.
Pendidikan berkembang tanpa karakter dan budi pekerti; melahirkan generasi
robot penghafal yang miskin hati, sains tanpa humanitas. Agama berkembang
tanpa kedalaman spiritual; melambungkan fanatisme keagamaan tanpa kepekaan
etis dan estetis, memperluas penganut tanpa kepedulian pada kekhusyukan
perenungan, kehangatan kasih-sayang, dan keteladanan akhlakul karimah.
Akar tunjang dari semua kerawanan sosial itu adalah
politik pembangunan yang terlalu menekankan kemajuan fisik, mengabaikan
kemajuan jiwa. Padahal, membangun badan tanpa jiwa laksana membangun istana
pasir yang mudah diempas gelombang. Usaha ”penyembuhan sosial” harus dilakukan
dengan memahami secara sosiologis mengapa krisis multidimensional itu
terjadi.
Menurut teori patologi sosial, penyebab pokok masalah
sosial adalah kegagalan sosialisasi norma-norma moralitas. Banyak individu
melakukan pelanggaran terhadap ekspektasi kepatutan moral. Penegak hukum
melindungi penjahat, murid membunuh guru, guru mencabuli murid, elite politik
membela yang bayar. Erosi moralitas ini disebabkan kegagalan proses belajar
sosial akibat kerapuhan sistem pendidikan dan pranata sosial. Sementara itu,
institusi pendidikan dan pranata masyarakat tak mampu mengantisipasi
perkembangan. Dalam perspektif ini, solusinya adalah penyempurnaan proses
belajar sosial dan pendidikan moral.
Menurut teori disorganisasi sosial, masalah sosial
terjadi karena kemacetan sistem peraturan. Hal itu disebabkan bubrahnya
tradisi, konflik antarperaturan, serta kealpaan dan kelemahan sistem hukum. Dalam pada itu,
kelompok-kelompok dominan terus mempertahankan status quo; sedangkan
penegakan hukum lemah, tak memberikan kepastian hukum. Dalam perspektif ini,
solusinya adalah membangun kembali keseimbangan sistem sosial dengan
mereformasi sistem peraturan dan penegakan hukum.
Menurut teori konflik nilai, masalah sosial terjadi
karena benturan nilai. Kompetisi budaya dan ideologi serta tipe-tipe kontak
antarkelompok dalam masyarakat menyulut ketegangan sosial. Perebutan pengaruh
antarpendukung liberalisme dan fundamentalisme, antarpemeluk agama, antara
nilai-nilai asing dan lokal menimbulkan polarisasi sosial dan pengerasan
identitas kelompok. Dalam perspektif ini, solusinya adalah ketegasan otoritas
terhadap aturan, peneguhan loyalitas pada nilai dasar kewargaan, disertai
upaya tawar-menawar (bargaining), dan penyediaan mekanisme konsensus.
Menurut teori penyimpangan perilaku, masalah sosial
terjadi karena kegagalan institusi keluarga (primary group) serta rusaknya keteladanan yang mendorong individu
memilih sosialisasi menyimpang. Konsentrasi perhatian orangtua pada hal-hal
di luar rumah, apresiasi berlebihan terhadap nilai-nilai lahiriah ketimbang
keharmonisan, serta rapuhnya keteladanan tokoh-tokoh masyarakat dan politik,
memalingkan anak lebih mengidolakan tokoh-tokoh fiksional atau anti sosial.
Solusinya adalah membangun kembali pranata keluarga, membatasi kontak anak
terhadap lingkungan pergaulan dan idola-idola menyimpang, seraya memulihkan
kredibilitas moral tokoh publik.
Menurut teori sosial kritis, masalah sosial harus
dipandang sebagai masalah endemik dan bagian inheren dari masyarakat kapitalis.
Sebab, pokok masalah sosial adalah dominasi dan konflik kelas: kalangan
berada terus-menerus mempertahankan dan memperluas apa yang dimilikinya
dengan pengorbanan mereka yang tak punya. Konflik kelas dipicu oleh sistem dominasi
sosial yang melanggengkan ketidakadilan. Dalam perspektif ini, munculnya
gejala fundamentalisme, terorisme, separatisme, serta bentuk radikalisme lain
tak bisa dilepaskan dari struktur-struktur ketidakadilan. Solusi terhadap
masalah sosial adalah penghancuran struktur-struktur dominasi itu lewat
berbagai bentuk perlawanan sosial.
Menurut teori pemberian label (labeling) dan
konstruksionis, masalah sosial pada akhirnya harus dipandang dari reaksi dan
definisi orang terhadap realitas sosial. Banyak masalah sepele, tetapi karena
dipersepsi dan diberi label yang ampuh, jadilah problem sosial serius.
Sebaliknya, banyak masalah serius karena diberi label yang muluk tiba-tiba
menjadi masalah yang wajar.
Mencuri ayam diganjar
keroyokan massa dan hukuman berat karena diberi label ”maling”. Sebaliknya,
pembobol keuangan negara triliunan rupiah dianggap lumrah, bahkan dilihat
kewajaran budaya karena cuma diberi label ”koruptor” yang terkesan elitis.
Menurut teori
labeling, solusi terhadap masalah sosial bisa dilakukan dengan mengubah
definisi, mengganti label, atau mengeliminasi keuntungan politik dari
pelabelan. Sementara itu, menurut konstruksionisme, usaha penyelesaian
masalah sosial mengharuskan pelibatan diri dalam proses definisi situasi (claims-making process). Perjuangan
simbolis menjadi bagian penting dalam penanganan masalah sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar