Seandainya Bersekolah Itu Berwisata
Iwan Pranoto ;
Guru Besar ITB;
Atase Pendidikan dan Kebudayaan
di KBRI New Delhi, India
|
KOMPAS, 20 Mei
2016
Seandainya sekolah
dianggap sebagai sebuah agen wisata, guru sebagai pemandu wisata, dan murid
belajar sebagai berwisata, sejumlah hakikat luhur pendidikan akan muncul
dengan sendirinya.
Saat pertama pelanggan
mengunjungi sebuah agen wisata, pelanggan akan dilayani oleh petugas di sana
dan mendiskusikan beberapa pilihan program wisata. Pelanggan memperoleh jasa
layanan konsultasi dalam memilih program wisata yang paling sesuai dengan
harapan dan karakteristik dirinya.
Jika dianalogikan
dengan sistem persekolahan, pada awal semester murid berinteraksi dengan guru
wali guna mendiskusikan apa saja yang mau dipelajari murid dan bagaimana
rencana mempelajarinya. Dijabarkan dan disepakati bersama rencana belajar
untuk semester itu: cara belajar yang direncanakan dan sumber ajar yang akan
digunakan.
Sistem agen wisata
Seperti tak mungkin
memaksakan satu program yang sama persis bagi tiap wisatawan, demikian pula
tak mungkin memaksakan satu program belajar yang sama bagi tiap murid. Tiap
murid perlu memiliki kesempatan, dalam batasan tertentu, memodifikasi program
belajar sesuai minat dan keunikan dirinya. Taraf modifikasi program belajar
ini tentu bergantung keluwesan masing-masing sekolah.
Masukan dalam sistem
agen wisata berupa berbagai program wisata dan keluarannya ialah jasa layanan
konsultasi serta pemanduan wisata. Analoginya, dalam sistem persekolahan,
masukannya ialah kurikulum yang ditawarkan, sedangkan keluarannya ialah jasa
konsultasi serta pemanduan belajar. Implikasinya, makna ”masukan yang baik”
bagi sistem sekolah ialah kurikulum serta semua fasilitas yang ditawarkan
sekolah memang relevan dengan harapan murid dan cara belajar-mengajar sesuai
dengan karakteristik murid serta zamannya.
Perlu digarisbawahi,
salah kaprah memodelkan institusi pendidikan sebagai sistem dengan calon
murid sebagai masukan, dan lulusan sebagai keluaran, akan memunculkan
kontradiksi terhadap keluhuran pendidikan. Anggapan sekolah sebagai pabrik
ini mengakibatkan ”masukan yang baik” diartikan sebagai sekolah memilih
”bahan mentah” calon murid yang baik saja. Anggapan keliru ini mungkin yang
membenarkan tindakan sekolah umum menerima calon murid ideal dan
mengesampingkan murid yang di luar standar.
Beberapa sekolah dasar
mensyaratkan calon murid dari taman kanak-kanak yang sudah cakap
membaca-menulis dan enggan menerima calon murid yang belum mampu, apalagi
yang berkemampuan berbeda. Jika salah kaprah ini diteruskan, anak pengidap
autisme dan berkebutuhan khusus lainnya akan dianggap ”bahan mentah” tak
ideal.
Sementara sekolah
sebagai pabrik menganggap lulusan sebagai keluaran, pada sekolah sebagai agen
wisata, keluarannya berbentuk layanan. Dampaknya, keluaran sekolah yang
bermutu diartikan sebagai layanan konsultasi, fasilitas perpustakaan,
kebersihan lingkungan sekolah, dan seterusnya, yang terjamin dan andal. Ini
amat berbeda dengan salah kaprah sekolah sebagai pabrik, yang mana
keluarannya ialah lulusan yang harus dicetak dengan seragam.
Sekolah perlu
senantiasa menyediakan dukungan dan peluang bagi tiap pelajar agar dapat
seoptimal mungkin mengembangkan diri sesuai keunikannya. Hasrat menyeragamkan
lulusan merupakan virus yang mengganggu hakikat luhur pendidikan. Institusi
pendidikan perlu berkawan dengan keanekaragaman, ketimbang keseragaman.
Memandu wisata
Setelah menetapkan
pilihan program wisatanya, wisatawan melakukan perjalanan wisata ke daerah tertentu
dengan didampingi pemandu. Analoginya, murid berwisata ke ”alam ilmu
pengetahuan” dengan guru yang mendampingi.
Selanjutnya, dalam
berwisata, setiap wisatawan merasakan sendiri keindahan dan petualangannya
dibumbui kesulitan sesuai kemampuannya. Analoginya, murid sendiri juga perlu
mengalami, merasakan, dan menikmati keindahan ilmu pengetahuan lengkap dengan
merasakan kesulitan belajar sebagai bumbu pengalamannya.
Sebagai ilustrasi
dalam pembelajaran Matematika SD, misalnya, murid diajak berwisata menjelajah
ke alam gagasan bilangan nol dengan netra nalar. Dalam memandu, guru sesekali
memprovokasi murid dengan mengajukan pertanyaan penting, seperti bagaimana
kehidupan ini jika tidak ada bilangan nol. Bagaimana bentuk buku tabungan
hari ini, jika tak ada bilangan nol? Bagaimana mengalikan dua bilangan dalam
bentuk angka Romawi, misalnya XXXVII x XVI? Murid akan terlibat aktif
berpikir dan tentunya menghargai dahsyatnya peran bilangan nol. Kegiatan
seperti ini membuat kelas menjadi komunitas pemikir sekaligus penjelajah
peradaban manusia yang akan mencecap keradikalan Matematika dan ilmu
pengetahuan.
Pengalaman murid
menjelajah alam gagasan dan merasakan sendiri agungnya semesta ilmu
pengetahuan ini akan membangkitkan kasmaran belajar. Dari situ, murid akan
mengembangkan kebijaksanaan sekaligus memperhalus karakternya sendiri sebagai
manusia bersahaja yang haus belajar.
Pengalaman bermakna
seperti ini yang mungkin hanya sesekali akan menjadi satu catatan penting
dalam sejarah perkembangan intelektualitas murid. Pengalaman merasakan awe
atau ketakjuban pada kegiatan bernalar ini akan menjadi bibit belajar
sepanjang hayat, sekaligus meningkatkan kepercayaan diri.
Selanjutnya, pemandu
wisata tak pernah berkata ke wisatawan, ”Jalan ke danau itu susah, biar saya
saja yang melihat danaunya, nanti saya potretkan dan ceritakan indahnya ke
Anda sekalian.” Namun, menyedihkannya, praktik ini justru kerap diterapkan di
kelas, yakni pengetahuan dan gagasan dikunyahkan, dirangkumkan, lalu dipotret
menjadi ringkasan atau rumus cepat dan murid cukup mengingatnya. Gagasan
seperti bilangan nol tadi, boleh jadi hari ini diceramahkan ke pelajar hanya
dalam tempo tak lebih dari satu menit. Kedahsyatan Matematika sebagai karya
peradaban manusia menjadi sebutir debu dalam pengajaran yang mendewakan
prosedur.
Gambaran wisata yang
melibatkan petualangan seperti naik sampan, memanjat tebing, memasuki gua,
dan lainnya, tentu menyulitkan, tetapi mengasyikkan. Kesulitan dan pengalaman
menjalani kesulitan tadi membuat penasaran dan ingin berwisata lagi. Ini
mengingatkan bahwa guru tak dapat menjanjikan belajar sebagai kegiatan yang
mudah, tetapi guru harus meyakinkan bahwa belajar itu senantiasa
mengasyikkan.
Sebagai catatan akhir,
semua analogi tentu saja tak pernah tepat mutlak, termasuk analogi sekolah
sebagai agen wisata ini. Namun, setidaknya analogi ini mengingatkan kembali
hakikat luhur pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar