Politik Generasi Y
Wasisto Raharjo Jati ;
Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P);
Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI)
|
KOMPAS, 28 Mei
2016
Grafik penduduk
Indonesia pada rentang tahun 2010-2020 ditandai dengan pertumbuhan generasi
muda yang cukup signifikan. Komparasi penduduk usia muda kini sudah mencapai
64 juta atau 28 persen dari populasi Indonesia dibandingkan dengan jumlah
penduduk usia lanjut yang menunjukkan gejala penurunan (BKKBN, 2013).
Adanya kenaikan jumlah
penduduk usia muda tersebut merupakan bagian dari fenomena bonus demografi
yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2025-2030. Besarnya jumlah
penduduk usia muda tersebut sangat berpotensi menuntun ke melimpahnya jumlah
tenaga kerja di Indonesia. Namun, bagaimana dengan urusan politik?
Besarnya jumlah
penduduk usia muda tersebut juga menandai adanya transformasi berpolitik dari
generasi baby boom menuju generasi Y. Generasi baby boom merupakan generasi yang terlahir setelah perang dunia
dan hidup pada era dunia bipolar mulai tahun 1945 hingga 1979.
Karena itu, cara
pandang politik yang ditangkap generasi baby
boom ini adalah melihat politik sebagai media mengamankan materi dan
kedudukan. Mereka terbiasa melihat mana kawan dan lawan secara gamblang. Hal
itulah yang berimplikasi pada konteks politik kekinian bahwa politik
didominasi kepentingan dan melebarnya jurang antara publik maupun elite.
Platform politik bebas
Menurut Strauss
(2000), politik generasi Y ditandai dengan keterikatan pada digitalisasi
media. Mereka terbiasa menghadapi orang dengan beranekaragam dan bermacam
latar belakang.
Namun, dibandingkan
dengan generasi baby boom, kesadaran politik yang ditampilkan generasi Y
hanya berlaku di permukaan, tidak sampai mendalam. Hal ini dikarenakan adanya
pengaruh media yang begitu masif telah memengaruhi secara signifikan arah
perilaku politik generasi Y.
Peta politik Indonesia
hari ini diwarnai dengan dua kecenderungan penting, yakni menurunnya
kekuasaan oligarkis di tingkatan elite dan juga semakin meningkatnya kekuatan
populis yang digalang di akar rumput melalui internet sehingga mampu menjadi
alat penekan politik penting. Generasi Y yang semula bersifat apolitis
kemudian berkembang menjadi generasi politis dikarenakan adanya ”panggilan”
untuk membenahi kondisi negara.
Daripada membentuk
partai politik, generasi Y lebih menyukai platform politik yang bebas, tanpa
sekat, inklusif, dan juga independen secara afiliasi politik. Karena itu,
pendefinisian bahasa politik yang disampaikan generasi Y lebih egaliter dan
dinamis dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Pada intinya, politik
yang digambarkan generasi Y ini ingin menampilkan tampilan demokrasi
substantif, yakni politik yang melayani, politik yang lebih banyak mendengar,
dan juga politik yang lebih melindungi. Berbagai hal itulah yang bisa
terlihat dari berbagai macam jargon yang ditampilkan berbagai kelompok anak
muda terjun dalam aksi politik jalanan.
Tanda-tanda semakin
menguatnya politik generasi Y bisa dilihat dalam pemerintahan SBY jilid
kedua. Indikasi yang paling utama adalah semakin intensifnya media sosial
sebagai media pergerakan. Hal tersebut juga menandai adanya wajah baru dalam
parlemen jalanan di Indonesia yang tidak mesti harus turun ke jalan dan
rapatkan barisan, tetapi cukup dengan menyebar pesan politik melalui
internet, kemudian membentuk adanya gerakan.
Hal menarik dari
membaca politik generasi Y periode awal (2009-2013) adalah pembentukan ”musuh
bersama” (common enemy) sebagai bentuk ikatan solidaritas kolektif, yakni
dengan menempatkan korupsi dan partai politik sebagai musuh. Keduanya
kemudian diolah menjadi berbagai macam pesan politik yang ditangkap kelas
menengah sebagai penyebab negara tidak berjalan pada semestinya.
Kampanye ampuh
tersebut memberikan pengaruh signifikan terhadap stigmatisasi populis versus
elitis yang menyimbolkan rivalitas Prabowo dan Jokowi pada Pemilu 2014 lalu
yang kemudian dimunculkan sebagai musuh bersama.
Berbagai macam wacana
dimunculkan, seperti halnya lahirnya otoritarianisme baru, pemimpin
alternatif, maupun juga harapan baru. Meskipun dalam kancah politik
Indonesia, generasi Y ini masih dikatakan sebagai generasi anak bawang karena
mereka hidup dan besar dalam era transisi menuju demokrasi. Artinya mereka
mengalami diskontinuitas sejarah dalam membaca secara riil sejarah politik
Indonesia.
Militan dan atraktif
Meski demikian,
politik yang ditampilkan generasi Y ini merupakan generasi politik militan
dan atraktif. Politik tidak lagi ditampilkan secara kaku, tetapi dinamis dan
atraktif. Hal itulah yang menjadi alasan volunterisme politik menjadi alat
baru dalam kampanye politik Indonesia kekinian.
Bagi generasi Y, sosok
Jokowi merupakan personifikasi hidup dari nilai, norma, dan juga prinsip
demokrasi substantif yang ingin dijabarkan dan disampaikan. Pasca Jokowi,
generasi Y juga mulai mencari personifikasi hidup lainnya yang menggambarkan
gambaran ideal politik itu harus dijalankan.
Sekarang ini di era
kedua generasi Y (2014-kini) sudah muncul berbagai macam gerakan generasi Y
lainnya yang muncul di berbagai macam kota, seperti halnya ”Vote Cerdas BDG”,
”Orang Baik, Bersih 2014”, dan lain sebagainya.
Berbagai macam gerakan
tersebut disebut sebagai connective action (Sinarmata, 2015). Adapun connective action sendiri merupakan
tindak lanjut dari proses keterikatan panjang antara generasi Y dengan upaya
memperbaiki demokrasi kekinian.
Ke depan, generasi Y
ini lambat laun akan menjadi pemain politik penting di Indonesia, baik
sebagai aktor politik aktif maupun aktor politik pasif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar