Memilih Model Sistem Pemilu Serentak
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor Riset LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
23 Mei 2016
EFEKTIVITAS suatu
pemerintahan (governability) dalam
satu negara setidaknya ditentukan tiga hal; pertama, pilihan atas sistem pemerintahan
yang digunakan; kedua, pilihan atas sistem pemilu; serta ketiga; pengaturan
waktu penyelenggaraan pemilu. Namun, dalam kasus Indonesia, semua bergantung
pada apakah praktik politik yang berkembang sejalan dengan teori atau
pengalaman positif di berbagai negara demokrasi. Sejak era kemerdekaan, kita
terus mencari sistem pemerintahan yang bagaimana yang paling tepat kita
terapkan. Selain itu, hingga kini kita juga masih terus mencari sistem
pemilihan umum yang bagaimana yang dapat menciptakan efektivitas
pemerintahan, bukan saja pada tingkatan pusat, melainkan juga pada tingkatan
daerah.
Dalam sejarah, kita
pernah menerapkan berbagai bentuk pemerintahan di Indonesia, yaitu pertama,
sistem presidensial sesuai dengan UUD 1945 antara Agustus-November 1945;
kedua, sistem parlementer antara November 1945 sampai dikeluarkannya Dekret 5
Juli 1959; ketiga, sistem presidensial era Orde Lama dengan banyak partai;
keempat, sistem presidensial era Orde Baru dengan 10 partai politik yang
sejak 1973 menjadi Tiga Partai; kelima, sistem presidensial era Reformasi
dengan banyak partai sejak Mei 1998 hingga sekarang.
Bila kita amati secara
saksama, tampak jelas betapa ada perbedaan dari satu era ke era yang lain. Meskipun
menurut konstitusi negara kita menganut sistem presidensial, antara November
1945 sampai 27 Desember 1949, kita menggunakan sistem parlementer demi
perjuangan diplomasi kemerdekaan kita. Kemudian disusul dengan pemerintahan
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang hanya berlangsung hingga 17 Agustus 1950
dan berlanjut dengan sistem parlementer kembali sampai 5 Juli 1959. Selama
masa itu, hanya sekali kita melaksanakan pemilu, yaitu pada 1955.
Pemerintahan dan
sistem politik yang dihasilkan juga tidak bertahan lama, hanya dua tahun,
yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang dibubarkan Bung Karno dan digantikan
Kabinet Djuanda yang disebut Zaken Kabinet.
Sampai 1959, kita
menggunakan tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, UUD RIS, dan UUDS 1950.
Kediktatoran sipil
Di era demokrasi
terpimpin atau era Orde Lama di masa Presiden Soekarno tidak ada pemilu. Kabinet
juga paling sering berganti dengan usia yang amat pendek. Era ini dikenal
dengan era kediktatoran sipil.
Di era Orde Baru, kita
juga menggunakan sistem presidensial. Pemerintah melaksanakan pemilu sebanyak
enam kali. Presiden dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) walau tanpa
tandingan karena selalu bercalon tunggal, yaitu Jenderal Soeharto. Ini era
kediktatoran militer terpanjang dalam sejarah Indonesia. Pemerintahan
bertahan lama karena adanya politik ketakutan yang digunakan penguasa Orde
Baru.
Stabilitas politik dan
stabilitas pemerintahan memang terjadi karena diterapkannya sistem dwifungsi
ABRI yang merasuk ke segala sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tak ada
kebebasan pers, tak ada kebebasan berbicara dan berkumpul. Era Orde Lama dan
Orde Baru ialah era yang dikenal dengan sistem presidensial dengan executive heavy atau berat ke
eksekutif karena legislatif dan yudikatif benar-benar tak berdaya menghadapi
kekuasaan eksekutif.
Sejak lengsernya Presiden
Soeharto pada 21 Mei 1998, kita masuk pada era reformasi politik. Pemilu
legislatif pertama dilaksanakan pada 1999, disusul pemilihan presiden oleh
MPR. Pemilihan presiden langsung pertama dilangsungkan pada 2004 di era
Presiden Megawati Soekarnoputri dan pemilihan kepala daerah langsung
(pilkada) mulai dilaksanakan pada 2005 di era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Era reformasi ialah
era yang dikenal dengan legislative heavy karena DPR amat kuat ketimbang
eksekutif. Era ini juga menunjukkan betapa penerapan sistem presidensial amat
berbau parlementer karena parlemen begitu kuat menentukan perjalanan politik
Indonesia.
Dengan kata lain,
praktik politik di era reformasi ditandai sistem presidensial dengan banyak
partai yang menimbulkan dinamika politik yang mengesampingkan kepentingan
rakyat banyak sehingga efektivitas pemerintahan terganggu, sistem
presidensial dengan praktik politik parlementer, presiden yang berasal dari
koalisi minoritas menjadi tersandera, bargaining politik lebih ditentukan kepentingan
jangka pendek ketimbang jangka panjang, dan praktik politik amat eliteis.
Di era Jokowi-JK,
terjadi dikotomi antara dukungan partai dan dukungan rakyat. Artinya,
dukungan rakyat begitu besar pada pilpres 2014, tetapi berbanding terbalik
dengan dukungan partai yang hanya didukung minoritas partai di parlemen
sebelum PAN dan Partai Golkar menyeberang dari Koalisi Merah Putih (KMP) pada
Mei 2016 ini.
Penting pemilu serentak
Ada beberapa alasan
pemilu serentak menjadi penting dilaksanakan.
Pertama, ini bisa
mengurangi praktik politik di parlemen yang penuh cita rasa parlementer. Padahal,
kita menganut sistem presidensial. Kedua, meminimalkan terjadinya 'presiden
minoritas' atau minority government.
Ketiga, basis
legitimasi presiden seirama dengan dukungan politik di DPR karena akan
terjadi suatu orkestra politik yang apik antara pilihan rakyat terhadap
partai dan pilihan rakyat pada presiden.
Keempat, mengurangi
politik dagang sapi (horse trading
politics) antara Presiden dan DPR dalam setiap proses politik di
parlemen, baik itu pada proses legislasi, rapat kerja antara komisi-komisi di
DPR dan mitra kerja di pemerintah, proses budgeting
pembuatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maupun pada proses
pengawasan DPR terhadap pemerintah melalui hak bertanya, hak angket, atau hak
interplasi.
Pemilu serentak dapat
menimbulkan beberapa keuntungan, antara lain; pertama, meningkatkan
efektivitas pemerintahan karena terjadi cocktail
effects (efek ekor jas) antara tingkat keterpilihan kandidat presiden dan
keterpilihan anggota DPR dari partai/gabungan partai pendukung calon
presiden/wakil presiden. Kedua, dapat menimbulkan koalisi politik terbentuk
sebelum pemilu atas dasar kesamaan ideologi, visi, dan platform yang sama. Ketiga,
menyederhanakan jumlah partai politik.
Keempat, membangun
koalisi politik yang permanen. Kelima, mengurangi politik transaksional.
Namun, harus
dipisahkan antara pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal karena
pemisahan pemilu nasional serentak dan pemilu lokal serentak berdampak
positif pada pembangunan politik di tingkat lokal sehingga kualitas politik
nasional dan lokal makin baik dan meningkatkan partisipasi politik rakyat.
Ada beberapa bentuk
pemilu serentak; 1) pemilu serentak eksekutif-legislatif tingkat pusat dan
lokal (pemilu borongan); 2) pemilu serentak legislatif dari pusat sampai
daerah disusul pemilu serentak eksekutif pusat dan daerah (clustered concurrent elections); 3)
pemilu serentak yang setiap pertengahan masa jabatan legislatif dan eksekutif
ada pemilu lagi (concurrent election
with mid-term election) apakah pada tingkatan legislatif pusat atau
antara pemilu eksekutif pusat dan eksekutif daerah; 4) pemilu serentak
nasional yang diberi jeda dengan pemilu serentak lokal (concurrent election with regional-based concurrent elections);
dan 5) pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu
serentak di tiap-tiap provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus
pemilu lokal di tiap-tiap provinsi itu.
Dengan model concurrent election with flexible
concurrent local elections ini, pemilihan Presiden dibarengkan dengan
pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD. Sementara itu, pemilihan legislatif
lokal dan eksekutif di tingkat provinsi, kabupaten, kota dilakukan setelah
selang waktu tertentu, bersamaan untuk satu provinsi.
Model pemilu serentak
lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten dan kota)
ialah yang dikenal saat ini. Pemilu eksekutif di tingkat provinsi, kabupaten,
dan kota pada satu provinsi juga mudah dilaksanakan. Namun, akan terjadi
kesenjangan waktu pemilihan eksekutif dan legislatif lokal.
Pilihan terbaik
Kita sulit
melaksanakan pemilu serentak bersifat borongan untuk memilih legislatif dan
eksekutif pusat sampai ke daerah dalam waktu yang bersamaan. Ini akan
menyulitkan para pemilih karena banyaknya pejabat dari pasangan
presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau
wali kota/wakil wali kota yang harus mereka pilih.
Pembuatan surat
suaranya juga amat rumit, berlembar-lembar dan banyak tanda gambar partai dan
nama orang.
Karena itu, pilihan
terbaik ialah model pemilu serentak terpisah antara legislatif dan eksekutif
tingkat pusat (DPR, DPD, presiden/wakil presiden) dilakukan dulu, lalu ada
jeda, misalnya, dua setengah tahun dilakukan pemilu serentak legislatif dan
eksekutif di tingkat daerah (DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur,
bupati dan wali kota) di tiap-tiap provinsi secara bersamaan.
Gagasan pelaksanaan
pemilu serentak borongan asalnya dari Wakil Presiden Jusuf Kalla pada era
SBY-JK. Awalnya, itu dilakukan karena alasan penyederhanaan waktu dan biaya. Namun,
efisiensi biaya bukan karena dilaksanakannya pemilu serentak. Walaupun
dilakukan secara serentak, tetap saja biaya bisa mahal, bergantung pada
jumlah tempat pemungutan suara, jumlah pelaksana pemilu dari pusat ke daerah,
dan percetakan surat suara.
Hal terpenting dalam
pemilu serentak terpisah antara pusat dan daerah ialah akan ada jeda bagi
rakyat dalam memilih eksekutif/legislatif antara pusat dan daerah sehingga
mereka bisa menilai efektivitas pemerintahan antara pusat dan daerah. Kedua,
akan ada keterkaitan antara legislatif/ eksekutif antara pusat dan daerah
sehingga pelaksanaan program-program pembangunan dari pusat ke daerah akan
berjalan baik.
Mudah-mudahan DPR akan
memilih yang terbaik dari sistem-sistem pemilu serentak tersebut agar pada
2017 kita sudah memiliki rezim UU Pemilu yang menyatu, lengkap, jelas, dan
efisien. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar