Sabtu, 31 Mei 2014

Reformasi Kebijakan Fiskal

Reformasi Kebijakan Fiskal

Sabaruddin Siagian  ;   Dosen Institut Perbanas Jakarta
HALUAN,  31 Mei 2014

                          Artikel ini telah dimuat di KORAN JAKARTA 30 Mei 2014                                http://budisansblog.blogspot.com/2014/05/reformasi-kebijakan-fiskal.html 

                      
                                                      
Guna menciptakan stabilitas ekonomi yang kuat dan per­tum­buhan ekonomi yang berkelanjutan, anggaran keuangan negara harus dikelola dengan baik, khususnya defisit ang­garan, agar tidak mendo­rong instabilitas perekonomian.

Maka, dibuatlah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Keu­angan Negara. Dalam UU itu, defisit APBN tidak boleh melampaui 3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Terkait penurunan pertumbuhan ekonomi, harga minyak, dan depresiasi rupiah saat ini, dipastikan terjadi defisit APBN 2014 di atas 3 persen jika tidak diambil kebijakan merevisi asumsi APBN 2014 dengan menye­suaikan kondisi perekonomian saat ini.

Pada APBN 2014, terdapat asumsi pertumbuhan ekonomi 6 persen, lifting minyak 870.000 barel per hari (bph), dan rupiah 10.500 per dollar AS. Dengan melihat kondisi perkembangan sekarang, pemerintah terpaksa merevisi asumsi APBN 2014 untuk diajukan ke DPR menjadi UU APBNP 2014. Dalam APBNP 2014, diasum­sikan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, lifting 818.000 bph, dan rupiah 11.700 per dollar AS.

Dengan menurunnya lifting minyak dan depresiasi rupiah tahun 2014, subsidi energi membengkak Rp110 triliun (dari Rp282,1 triliun menjadi Rp392,1 triliun). Anggaran subsidi energi telah mengambil porsi sangat besar pembelanjaan negara, 30 persen dari APBNP 2014.

Subsidi energi tidak lagi menyehatkan keuangan negara dan meningkatkan risiko perekonomian. Selain itu, subsidi energi salah sasaran, tidak berkeadilan, menyedot pendanaan negara sangat besar, serta mempercepat pertum­buhan kendaraan tanpa diim­bangi pembangunan infrastruk­tur jalan sehingga menga­kibatkan kemacetan dan meningkatkan biaya logistik. Satu dekade lebih Indonesia sudah defisit minyak.

Padahal sebelumnya pernah surplus, mencapai lifting 1,6 juta bph. Untuk memenuhi defisit minyak itu , pemerintah mengimpor 150 juta–200 juta dollar AS perhari. Ini menga­kibatkan tekanan besar pada rupiah. Tahun 2014, lifting minyak hanya 818.000 bph, padahal kebutuhan 1,5 juta bph. Defisit minyak juga telah sangat menekan APBN 2014. Subsidi energi lebih besar lagi ke depan bila pemerintah tidak mengambil kebijakan funda­mental menguranginya.

Tahun ini, tidak mungkin pemerintah mengurangi subsidi energi dengan menyesuaikan harga BBM karena masa kerja tinggal sampai Oktober. Maka, tambahan subsidi energi sebesar 110 triliun itu harus didanai dengan memangkas anggaran kementerian dan lembaga serta tambahan utang pemerintah. Subsidi bisa dikurangi karena sudah ada isu tidak menjual BBM bersub­sidi pada Sabtu dan Minggu.

Tetapi ini bisa menimbulkan gejolak sosial. Menaikkan Kebijakan fiskal ideal untuk mengurangi subsidi energi besar tersebut dilakukan dengan menaikkan harga BBM. Jika kenaikan terlalu besar, ada risiko terhadap pere­konomian, sosial, dan politik. Pemerintah baru dapat memo­difikasi dengan memberi subsidi tetap untuk kendaraan roda dua dan memberlakukan harga pasar untuk mobil.

Kenaikan harga BBM akan memperkuat daya tahan rupiah dan perekonomian, serta mening­katkan ruang fiskal (fiscal space) sangat besar guna membiayai pembangunan infrastruktur atau pengem­bangan pertanian. Untuk mengejar defisit APBN di bawah 3 persen, pemerintah perlu memangkas anggaran kemen­terian dan lembaga 100 triliun rupiah (dari Rp637,8 triliun menjadi Rp539,3 triliun). Jadi, anggaran belanja pada RAPBN-P 2014 menjadi Rp1.849,4 triliun, semula Rp1.843.5 triliun pada APBN 2014.

Dengan berubahnya asumsi pertumbuhan ekonomi 2014 menjadi 5,5 persen dari 6 persen pada asumsi APBN 2014, pemerintah juga mengo­reksi pendapatan negara tahun 2014 sebesar Rp69,4 triliun menjadi Rp1.597,7 triliun dari Rp1.667,1 triliun pada APBN 2014. Dengan koreksi penda­patan dan penambahan belanja negara karena kenaikan subsidi BBM, defisit APBN meningkat menjadi Rp251,7 triliun atau menjadi 2,5 persen dari PDB (dari 175,4 atau 1,69 persen).

Dengan target defisit angga­ran hanya 2,5 persen, peme­rintah menambah utang baru lagi Rp 76,3 triliun. Dengan koreksi pajak sebesar Rp 69,4 triliun, penerimaan pajak pada ABPNP 2014 menjadi Rp1.041 triliun dari target awal Rp1.110,19 triliun. Tahun 2013, shortfall penerimaan pajak sebesar Rp93 triliun, dan tahun 2014 shortfall penerimaan itu diharapkan maksimal Rp150 triliun. Dengan demikian, realisasi penerimaan pajak tahun 2014 masih di atas tahun 2013.

Tahun 2013, realisasi pajak sebesar Rp828 triliun. Diha­rapkan tahun 2014 realisasi pajak mencapai minimal Rp891 triliun. Jika realisasi pene­rimaan pajak 2014 sebesar realisasi 2013, yakni Rp828 triliun, dan shortfall penerimaan pajak tahun 2014 mencapai Rp212 triliun, perkiraan pertumbuhan ekonomi 2014 menurun cukup tajam maksi­mal 5 persen. Dan, jika realisasi penerimaan pajak Rp891 triliun dengan shortfall penerimaan pajak Rp150 triliun, pertumbuhan ekonomi masih bisa dicapai 5,3–5,5 persen.

Tahun 2008–2009, pere­konomian RI mengalami tekanan yang sangat besar dan rupiah terdepresiasi tajam akibat tekanan global. Tahun 2009, kenaikan pajak nol persen tetap Rp494 triliun. Direktorat Jenderal Pajak harus bekerja ekstrakeras guna memenuhi target APBNP 2014. Rasio pajak terhadap PDB hanya 12 persen. Maka, pajak masih berpeluang besar meng­genjot penerimaan. Inter­national Monetary Fund mem­perkirakan potensi rasio pajak Indonesia dapat mencapai 21 persen. Ini mencerminkan Ditjen Pajak belum maksimal bekerja.

Pemerintah baru nanti diharapkan menaikkan rasio pajak agar mencapai 16 persen sehingga ada tambahan peneri­maan pajak minimal Rp400 triliun. Ini membuat pemerintah dapat mempercepat pemba­ngunan. Alhasil, sekarang ini, sangat mendesak melakukan reformasi fiskal untuk mening­katkan penerimaan pajak dan mengurangi subsidi energi.

Melanjutkan Gagasan Melanjutkan Gagasan Prof Sarjadi

Melanjutkan Gagasan Prof Sarjadi

Rosidi  ;   Pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Cabang Kudus,
Staf Humas Universitas Muria Kudus (UMK)
SUARA MERDEKA,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
"Universitas Muria Kudus dan  beberapa perguruan tinggi lain  di Kudus kini telah menjadi  tujuan belajar"

KEPERGIAN Rektor Universitas Muria Kudus (UMK) Prof Dr dokter Sarjadi Sp PA pada Senin (19/5/14) malam, mengejutkan banyak pihak, termasuk civitas academica Universitas Diponegoro, dan dunia kedokteran di Tanah Air. Senin pagi, ia masih terlihat bugar, mendampingi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah Nur Hadi Amiyanto, mewakili Wagub Heru Sudjatmoko, membuka ’’Expo dan Kreativitas Universitas Muria Kudus 2014’’.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip itu sepertinya ingin menitipkan ’’dua pesan’’ terakhirnya, yang dia sampaikan sewaktu membuka pameran tersebut. Pertama; ia kembali mengingatkan pentingnya mewujudkan Kudus sebagai kota pendidikan, dan kedua; perlunya menginternalisasi pemahaman secara fair tentang keretek.

Dia berpendapat bila Kudus ingin mewujudkan diri sebagai kota pendidikan, selain sebagai Kota Keretek dan Kota Jenang maka profil kota pendidikan harus dimunculkan. Hal itu mensyaratkan kerja sama erat antara pemkab dan berbagai elemen masyarakat. Menggagas Kudus sebagai kota pendidikan, sebenarnya pernah dimunculkan Bupati HM Tamzil.

Gagasan Prof Sarjadi dan HM Tamzil mewujudkan Kudus sebagai kota pendidikan di Jateng masih butuh perjuangan panjang dan penyadaran masyarakat, kendati dukungan pengusaha lokal sangat positif. Keterlibatan pengusaha bisa dilihat dari partisipasinya melalui beragam kegiatan, antara lain seperti dilakukan PT Djarum, PT Nojorono, PT Pura, PR Sukun, dan PT Mubarokfood Cipta Delicia.

Di tengah pro dan kontra mengenai isu keretek, Prof Sarjadi yang notabene dokter, mengapresiasi penemuan Dr Gretha Zahar tentang peluruhan radikal bebas, yang bersama Prof Dr Sutiman B Sumitro dikembangkan menghasilkan divine yang dianggap menyehatkan. Prof Sarjadi menuturkan, radikal bebas merupakan penyebab utama hampir semua penyakit. Prosesnya, radikal bebas masuk ke dalam tubuh melalui polusi udara, makanan, tambalan gigi amalgam, kosmetik dan sebagainya.

Dalam kondisi itu, radikal bebas menjadi racun yang menyebabkan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri tidak berjalan maksimal. ’’Anehnya’’, yang dituduh sebagai penyebab utama penyakit adalah rokok. Padahal, nikotin justru sebagai zat peluruh radikal bebas. Stigmatisasi itu menggelitik Prof Sarjadi untuk membedahnya. Ia mengagendakan simposium internasional tentang keretek pada Oktober mendatang di Semarang, mengundang pembicara dari negara-negara Asia Pasifik, khususnya yang memiliki tembakau dan industri hasil tembakau.

Bagi Pemkab Kudus dan sekitarnya, dua pesan tersebut bisa menjadi garapan menarik. Pembangunan pendidikan harus ditingkatkan karena UMK sudah menjadi kiblat pendidikan tinggi di pantura timur Jateng. Adapun industri hasil tembakau (IHT) merupakan bagian penting penopang ekonomi masyarakat.

Peningkatan Kualitas

Lebih dari 10 tahun memimpin UMK, dukungan Prof Sarjadi terhadap pengembangan dunia pendidikan tentu bukan tanpa pertimbangan. Karena itu pula, perlu terus menggulirkan dukungan untuk menjadikan Kudus sebagai kota pendidikan. Pertama; tujuan belajar. Universitas Muria Kudus, dan beberapa perguruan tinggi lain di Kudus, kini telah menjadi tujuan belajar warga pantura timur Jateng, khususnya Eks Karesidenan Pati plus sebagian Demak. Sebagai tujuan belajar, tentu harus selalu meningkatkan kualitas.

Kedua; pembelajaran santri. Selain perkembangan pendidikan tinggi, tak dapat dimungkiri  bahwa Kudus merupakan salah satu kabupaten yang banyak memiliki lembaga pendidikan berbasis pesantren (santri). Kolaborasi pemikiran antara lembaga pendidikan modern (perguruan tinggi) dan pendidikan pesantren, akan menghasilkan corak pemikiran khas yang memiliki karakter tersendiri.

Sejarah mencatat Kudus melahirkan banyak kader yang diperhitungkan. Kita bisa menyebut KH Raden Asnawi (pendiri NU), H Subhan ZE (tokoh NU), KH Arwani Amin (mursyid thariqah dan pendiri Pesantren Yanbu’ul Qur’an), dan KH Turaikhan Adjhuri (pakar falak/astronomi). Selain itu, Prof Dr Abdurrahman Masíud (pakar pendidikan), Prof Dr Abdul Djamil (pakar filsafat), Prof A Rofiq (pakar Hukum Islam), Dr Noor Ahmad (ketua umum perguruan tinggi NU), Dr M Syafiíi Anwar (tokoh pluralisme), dan Dr A Muíti (tokoh muda Muhammadiyah).

Dari fakta itu, Kudus memiliki modal sosial lebih dari cukup untuk memajukan dunia pendidikan. Terlebih bila dapat mempertemukan para tokoh dan cendekiawan yang dimiliki, supaya menyumbangkan pemikirannya bagi kemajuan daerahnya. Dalam konteks itu, pesan terakhir Prof Sarjadi menemukan gayutnya, yakni pemunculan ikon pendidikan yang dimiliki, dan tentu menggali lebih dalam berbagai potensi lain.

Mengenai keretek, Prof Sarjadi hingga menjelang kepergiannya tetap mengajak masyarakat melihatnya dalam bingkai yang lebih netral, tidak dengan stigma negatif lebih dulu. Perjuangannya mengembangkan UMK dan dunia pendidikan di pantura timur Jateng tak boleh mandek. Akademisi di Kudus punya kewajiban meneruskan berbagai pemikirannya. Pemkab pun semestinya cerdas menerjemahkan berbagai pemikiran tokoh itu demi kemajuan Kudus.

Otda Laksana Kanker

Otda Laksana Kanker

Joko Tri Haryanto  ;   Bekerja di Kementerian Keuangan, Associate Lecturer ST PPM
KORAN JAKARTA,  31 Mei 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
Tahun ini, praktik otonomi daerah (otda) telah memasuki usia ke-18 dan diperingati lewat slogan, “Dengan otonomi daerah kita sukseskan Pemilu 2014 dalam upaya memperkuat tata kelola pemerintahan daerah”.

Menteri Dalam Negeri, Gamawan, mengingatkan pentingnya prinsip penyelenggaran pemerintahan untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.

Terkait otda perlu dicermati sinergi Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), serta revisi UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan RUU Pemilihan Kepala Daerah.

Jika mau jujur, pelaksanaan otda justru menyisakan banyak persoalan. Kemandirian tak kunjung ada. Korupsi malah marak oleh kepala daerah. Beban belanja pegawai daerah terus meningkat. Ini harus segera dicarikan solusi. Otda bertujuan menjadi obat mujarab, tapi lambat laun malah bertransformasi laksana penyakit kanker yang terus saja menggerogoti APBN.

Tengok berapa beban transfer ke daerah yang harus digelontorkan pemerintah setiap tahun. Jika 2005 saja sudah mencapai 150,5 triliun, dalam APBN tahun ini 2014 di kisaran 580 triliun rupiah dan diperkirakan menjadi 594 triliun dalam usulan APBN-P 2014.

Ini tentu menjadi PR besar pemerintah, apalagi pemekaran daerah terus berlangsung. Indonesia sekarang terdiri dari 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota. Ini tentu tidak menguntungkan penganggaran. Praktik otda justru memekarkan luas wilayah. Ini tidak terjadi di India, China, Jerman, dan Rusia yang lebih dulu melaksanakan. Di negara-negara tersebut otda justru menciptakan motivasi daerah untuk “merjer” demi meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Untuk mengerem pemekaran, perlu memperpanjang moratorium. Mendagri dan Menkeu akan memperketat syarat fiskal pemekaran yang akan dimasukkan ke dalam draf revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemekaran semula dianggap sebagai salah satu opsi daerah untuk mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dengan memperpendek rentang birokrasi. Sayang, dari hasil evaluasi beberapa lembaga independen dan pemerintah, pemekaran malah bertransformasi bak gurita yang mengancam eksistensi negara. Pemekaran tak ubahnya ajang bagi-bagi jabatan serta memperkaya diri dan kelompok serta melupakan kepentingan masyarakat.

Sebuah survei menyatakan pemekaran belum mampu menyejahterakan masyarakat. Janji-janji manis usulan pemekaran ternyata sekadar basa basi demi kepentingan memperkaya diri sendiri, kelompok, dan partai. Laju pemekaran bukannya menjadikan daerah semakin mandiri, semakin bergantung pada pemerintah. UNDP juga menyebutkan ada persepsi berbeda antara pemerintah dan daerah dalam menyikapi pemekaran. Pemerintah menganggap sebagai peluang membuat daerah lebih mandiri dan otonom, sementara daerah justru melihat pemekaran sebagai upaya cepat keluar dari keterpurukan ekonomi.

Studi UNDP juga menyebutkan banyak daerah baru hasil pemekaran tidak efektif dalam menggerakkan perekonomian, baik untuk konsumsi maupun investasi. Inefektivitas penggunaan dana juga menyebabkan pelayanan publik tidak optimal karena tidak ada sumber daya memadai.

Beban

Dari sisi APBN, pemekaran menimbulkan beban, khususnya peningkatan alokasi anggaran transfer ke daerah yang terus meningkat. Mekanisme transfer ke daerah ini digunakan sebagai dukungan berjalannya otonomi daerah, terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH secara filosofis untuk mengurangi kesenjangan vertikal antara pemerintah dan daerah.

Sementara itu, DAU merupakan alokasi dana block grant untuk memenuhi seluruh kebutuhan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah. Untuk kebutuhan yang tidak mampu dibiayai DAU serta menjadi prioritas nasional, pemerintah mengalokasikan dana tambahan dalam bentuk DAK.

Secara umum, besaran transfer ke daerah terus meningkat setiap tahun. Misalnya, tahun 2008 pemerintah transfer 292,4 triliun atau sekitar 29,7 persen dari belanja negara dalam APBN. Sementara itu, tahun 2012 naik jadi 478,7 triliun atau 30,9 persen dari belanja negara. Ini menimbulkan ketergantungan baru daerah ke pemerintah. Kondisi ini jelas bertentangan dengan tujuan otda.

Pemekaran secara khusus juga menimbulkan beban alokasi DAK prasarana pemerintah untuk modal awal pembangunan berbagai instansi vertikal di daerah seperti BPS, kepolisian, militer, peradilan, dan agama. Alokasinya tahun 2008 sebesar 362 miliar jadi 481,3 miliar tahun lalu.

Kemandirian daerah, dilihat dari pendapatan asli daerah (PAD), makin jauh dari harapan. PAD seluruh daerah tahun 2002 hingga 2013 rata-rata hanya 15–20 persen, meskipun di beberapa daerah seperti Provinsi DKI Jakarta, Kota Surabaya, dan Kota Sidoarjo, secara historical memiliki sumbangan PAD di atas 50 persen APBD.

Secara regulasi, aturan mengenai pemekaran daerah dijelaskan dalam bagian Pertama UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 4 mengenai Pembentukan Daerah. Dalam Ayat 3 Pasal 4 disebutkan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah. Dalam Pasal 5, pemekaran harus memenuhi syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan.

Namun perlu juga dipertimbangkan bahwa Pasal 6 mengamanatkan penghapusan serta penggabungan daerah jika tidak mampu menyelenggarakan otda. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah juga ditambahkan perlunya aspirasi masyarakat dari tingkat kelurahan dan desa dalam setiap usulan pemekaran. Persyaratan ini dirasa penting mengingat aturan lebih bersifat aspirasi politik dibanding memenuhi kepentingan masyarakat.

Jika memang hasil evaluasi menemukan ketidakmampuan daerah mengelola otonomi maka Pasal 6 UU Nomor 32 Tahun 2004 harus ditegakkan agar Republik tidak terus mekar.

Suratan Abimanyu dan Anggito

Suratan Abimanyu dan Anggito

Rohman Budijanto  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS,  31 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
KETIKA persaingan di pilpres kian hangat dan politisi mulai menyebut perhelatan itu mirip Baratayuda, ada kabar menyeruak: Anggito Abimanyu mengundurkan diri dari posisi Dirjen. Mengejutkan. Ini bak kisah Abimanyu gugur di medan Kurukshetra, palagan Baratayuda. Dan, bukan sekali Anggito mengalami situasi seperti Abimanyu.

Banyak yang masih ingat ketika Anggito Abimanyu sudah dinyatakan sebagai wakil menteri keuangan, kemudian batal dilantik. Padahal, dia sudah mengurus kepangkatannya sebagai pegawai negeri sipil untuk penyesuaian jabatan Wamen. Dia pun lalu mundur dari jabatan kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Seperti Abimanyu, Anggito mulus masuk ke Kemenkeu, tapi tidak keluar dalam keadaan mulus.

Kemudian, dia ”masuk” lagi, menerima jabatan sebagai Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama. Tak heran kalau ada yang menafsirkan jabatan itu sebagai pelipur lara batalnya Anggito jadi Wamenkeu. Pengangkatan Anggito sebagai Dirjen tersebut juga memberikan banyak harapan. Pengurusan haji, tamu Allah, selama ini masih dikepung aneka penyelewengan. Perbaikan layak diharapkan. Dia bisa tandem dengan Inspektur Jenderal Kemenag M. Jasin, mantan pimpinan KPK.

Di sela kesibukannya sebagai Dirjen, Anggito dipersoalkan karena dituduh plagiat. Tulisannya soal Gagasan Asuransi Bencana di Kompas dianggap menjiplak tulisan orang lain. Tanpa bantahan berlarut-larut, Anggito memilih mundur dari Universitas Gadjah Mada, tempatnya sebagai dosen FE. Lagi-lagi Anggito bisa masuk dengan mulus ke UGM, keluar dalam keadaan cedera citra.

Dalam pengunduran diri sebagai direktur jenderal kali ini, Anggito masih menuai pujian. Dia dianggap kesatria. Ketika bosnya, Menteri Agama Suryadharma Ali jadi tersangka KPK dan nama Anggito mulai terciprat tuduhan, dia memilih mundur. Bagaimanapun, ini sebuah tragedi. Akademikus cum pejabat yang sosoknya langsing mirip kesatria serta tak pernah dikenal hidup semrawut tiba-tiba, sekali lagi, keluar dari tempatnya ”berperang” dalam keadaan tidak ”utuh”.

Kesatria Pandawa, Abimanyu, di medan Kurukshetra, mengalami nasib serupa. Alkisah, dalam Mahabharata, semasa di kandungan Abimanyu mendengar ibunya, Subadra, menyimak cerita Kresna tentang menghancurkan formasi-kepungan-maut-melingkar dalam perang bernama Cakrawyuha. Saat cerita menginjak bagian keluar dari formasi maut itu, sang ibu tertidur. Kresna berhenti bercerita. Si bayi supercerdas itu tak bisa menerima pelajaran tersebut dengan utuh.

Itu menjadi suratan bagi Abimanyu. Di keriuhan perang Baratayuda, Pandawa menerima tantangan Kurawa untuk menembus Cakrawyuha para tentara Kurawa. Pandawa pantang menolak tantangan meski para pemuka sakti Pandawa yang punya keahlian menembus Cakrawyuha, yakni Arjuna dan Kresna, sedang meladeni perang tanding dengan jagoan Kurawa.

Maka, Abimanyu, sang Arjuna junior, yang menerima tantangan masuk ke Cakrawyuha. Para bala Pandawa pun berjanji mengeluarkannya seusai dia mengobrak-abrik kepungan itu. Dan, ternyata keberhasilan Abimanyu membongkar kekuatan setani itu tak berakhir sempurna. Para kesatria Pandawa tak mampu mengeluarkannya dari kepungan maut itu. Abimanyu menjemput takdir. Gugur.

Dalam pentas wayang kulit, setelah Abimanyu tumbang dengan luka di sekujur tubuh, dalang akan memberi aba-aba melantunkan musik hening. Gamelan gangsaran dan sampak yang riuh mengiringi perang berhenti. Berganti gesekan rebab mengalun mengiris-iris. Seperti tangisan di tengah malam sunyi. Menangisi sang kesatria yang tak gentar menerima tantangan, yang gugur di usia muda.

Saya tak tahu apakah Anggito akan mengalunkan gesekan biola dengan nada sedih setelah pengunduran dirinya itu. Biola memang biasa jadi tempat berekspresi batin Anggito. Dalam sebuah seminar di Surabaya, dia menampilkan video yang diiringi gesekan biolanya. Video itu berisi gambar-gambar penderitaan pengungsi korban letusan Merapi. Anggito memang terkesan berperasaan halus. Tak heran, daripada ngeyel dan berbantah-bantahan sehingga membuat geram publik, dia memilih mundur ketika muncul ujian serius terhadap kredibilitasnya.

Tentu Anggito masih akan menghadapi konsekuensi pertanggungjawaban semasa menjabat Dirjen. Proses kasus di KPK yang menersangkakan Suryadharma Ali masih akan membuntuhkan dirinya untuk memperjelas duduk perkara. Anggito masih bisa berperan sebagai kesatria untuk membuka seterang-terangnya segala masalah yang mengepung persoalan haji dan umrah.

Anggito pernah berada di dalam ”kepungan” itu dan berupaya membongkar segala malapraktik birokrasi, terutama menyangkut duit bertriliun rupiah milik tamu Allah. Meski belum berhasil keluar dari kepungan itu dengan sentosa, Anggito bisa menceritakan kepada pengadilan agar ”kepungan masalah” serupa tak terjadi pada masa mendatang. Sesuai dengan namanya, anggito Abimanyu (berimajinasilah seperti Abimanyu). Cukup sudah dua menteri agama terjerat perkara seperti itu.

Untuk urusan keluar dan masuk ”kepungan” kekuasaan dengan baik, ada contoh dari Mohammad Mahfud M.D. Dia disebut sebagai satu-satunya tokoh yang pernah menjabat di lembaga trias politica, yakni legislatif (anggota Fraksi PKB DPR), eksekutif (menteri pertahanan), dan yudisial (ketua Mahkamah Konstitusi). Dan, Mahfud sampai sekarang bisa ”keluar” dari lembaga-lembaga strategis itu dengan relatif mulus.

Sudah banyak disebut, Mahfud selalu mengimani dan mengamalkan doa dalam Alquran surah Al Isra ayat 80: ”Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara benar dan keluarkanlah secara benar pula. Dan berikanlah kepadaku kekuasaan untuk menolong.” Ini pantas diingat karena saat ini banyak orang yang berebut masuk ke kekuasaan dan ketika keluar disambut penyidik atau mobil tahanan.

Cukai Rokok v Biaya Kesehatan

Memperingati Hari Bebas Tembakau Sedunia, 31 Mei 2014

Cukai Rokok v Biaya Kesehatan

Sugiharto  ;   Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
JAWA POS,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
’’Rokok itu menguntungkan, bisa membuat awet muda,’’ ucap teman sejawat saya.

Saya mengernyitkan dahi. Mulut ini sudah ingin cepat-cepat membantah yang dia katakan itu.

‘’Banyak perokok aktif maupun pasif yang meninggal di usia muda, kan?’’ sambungnya.

Duer….

Menurut Global Adult Tobacco Survey Report (2011), Indonesia menempati urutan pertama di dunia yang memiliki persentase tertinggi laki-laki perokok, 67 persen. Sedangkan dari jumlahnya, Indonesia masuk peringkat ketiga setelah Tiongkok dan India.

Data profil tembakau Indonesia 2008 menunjukkan, belanja rokok rumah tangga perokok di Indonesia menempati urutan nomor dua (10,4 persen) setelah makanan pokok padi-padian (11,3 persen). Sementara itu, pengeluaran untuk daging, telur, dan susu rata-rata 2 persen. Pengeluaran untuk rokok adalah lebih dari lima kali (!!!) pengeluaran untuk makanan bergizi. Dilihat dari proporsi total pengeluaran bulanan, belanja rokok lebih dari tiga kali (!) pengeluaran untuk pendidikan (3,2 persen) dan hampir empat kali (!!) pengeluaran untuk kesehatan (2,7 persen).

Diperkirakan, rakyat Indonesia setiap tahun membakar uang Rp 120 triliun untuk rokok dan pemerintah bisa meraup penghasilan cukai dari rokok sekitar Rp 44 triliun (Thabrany, 2008).

Penelitian Soewarta Kosen dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan pada 2010 menyebutkan, kerugian makroekonomi total terkait dengan konsumsi rokok Rp 245,4 triliun, sedangkan pemerintah mendapat penghasilan cukai dari rokok Rp 56 triliun.

Masalah cukai itulah yang diangkat dalam peringatan Hari tanpa Tembakau Dunia’’ tahun ini. Diharapkan, tingginya pajak rokok akan dapat mengurangi konsumsi tembakau –selain pendapatan negara bertambah. Menurut World Health Organization (WHO), kenaikan cukai yang akan menaikkan harga rokok 10 persen bakal menurunkan konsumsi rokok sekitar 4 persen di negara berpenghasilan tinggi dan sampai 8 persen di banyak negara berpenghasilan rendah dan sedang.

Saya teringat, ekonom Faisal Bahri pernah mengungkapkan bahwa sejatinya tidak ada lagi perdebatan mengenai manfaat dan mudaratnya rokok. Sudah sangat jelas merugikan. Hampir semua orang meyakini buruknya dampak rokok. Dari berbagai aspek, rokok sudah diketahui sebagai kenikmatan yang membawa sengsara, terutama bagi kesehatan dan ketahanan tubuh perokok itu sendiri dan orang di sekitarnya. Rata-rata diperlukan sekitar 15 tahun untuk melihat hasil nyata ’’investasi’’ rokok itu: berbagai penyakit mematikan.

Menurut World Cancer Research Fund International (2012), dari semua kanker yang ada, kanker paru adalah yang terbanyak di dunia dan merokok merupakan penyebab mendasar dari kanker paru. Diperkirakan, hingga 85 persen semua jenis kanker paru ada hubungannya dengan merokok (aktif/pasif).

Biaya Kesehatan

Pemerintah seharusnya lebih lagi memahami, biaya kesehatan yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi berbagai penyakit akibat rokok jauh lebih besar dibandingkan dengan penerimaan dari cukai rokok. Apalagi, di era Jaminan Kesehatan Nasional ini, beban biaya kesehatan akan semakin terasa berat akibat kondisi kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok, baik langsung maupun tidak langsung, yang berkontribusi bagi 10 persen kematian orang dewasa di dunia.

Dampak buruk yang memprihatinkan adalah pengalihan alokasi uang untuk membeli rokok dari yang seharusnya untuk pengeluaran lain yang lebih penting. Misalnya, peningkatan gizi/ kesehatan dan pendidikan. Hal itu terbukti dari salah satu hasil penelitian saya bersama empat dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya di suatu daerah Sidoarjo pada 2012. Sebanyak 73,68 persen anak balita yang menderita gizi buruk hidup dengan orang tua yang perokok. Dari hasil uji analisis, didapat adanya hubungan bermakna antara status gizi buruk anak balita dan kebiasaan merokok orang tuanya –selain beberapa faktor lain yang memengaruhi status gizi tersebut. Anak balita yang orang tuanya perokok mengalami gizi buruk, tersering disebabkan kurangnya bahkan tidak adanya biaya yang cukup untuk membeli makanan bergizi bagi anak balita tersebut karena uang yang ada diprioritaskan untuk membeli rokok. Sangat memprihatinkan!

Tampaknya, sebagian masyarakat kita harus dicuci otak agar generasi mendatang dapat terselamatkan dari bahaya rokok ini! Namun, upayanya tidaklah mudah. Lihat saja perubahan iklan rokok terbaru sejak awal 2014 (atau akhir 2013) yang sangat mencolok! Saya mengamati, ada pesan tersembunyi yang sangat menyesatkan, terutama bagi anak muda, yakni dengan kehadiran gambar yang diletakkan di bawah iklan tersebut: seorang laki-laki gagah memegang sebatang rokok sedang mengembuskan asap. Meskipun ada gambar tengkorak yang membayangi dan tulisan ’’Merokok Membunuhmu’’, sangat sulit menghapus kesan gagah saat merokok –pesan tersembunyi yang memang diinginkan pihak tertentu. Sebenarnya masyarakat kita tidak bodoh dengan hidden agenda itu. Tapi, seberapa banyak yang peduli dan berani mempermasalahkan itu?

Pemerintah kita bahkan hingga kini tidak ’’berani’’ meratifikasi –sekarang disebut mengaksesi– Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control –FCTC) yang dibuat WHO pada 2003. Padahal, Indonesia ikut merancang FCTC. Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC meski sudah ditandatangani 168 negara dan resmi mengikat total 178 di antara 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

FCTC yang terdiri atas sebelas bagian itu, antara lain, mengatur kebijakan harga dan pajak rokok, perlindungan terhadap paparan asap rokok, kandungan rokok, kemasan rokok, edukasi, komunikasi, pelatihan dan perhatian publik, promosi atau iklan rokok, serta perlindungan bagi lingkungan. Tujuannya, melindungi generasi masa kini dan mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi.

Mencari Solusi

Banyak pendekatan yang bisa digunakan dalam mencari solusi tentang rokok ini. Salah satu yang cukup ampuh dalam bidang kesehatan/ kedokteran adalah ’’five levels of prevention – lima tingkatan pencegahan’’. Yakni, (1) health promotion (promosi kesehatan), (2) specific protection (perlindungan khusus), (3) early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan pengobatan yang tepat), (4) disability limitation (pembatasan kecacatan), dan (5) rehabilitation (rehabilitasi/pemulihan).

FCTC sudah memasukkan edukasi yang merupakan bagian health promotion. Kita harus lebih gencar lagi melaksanakan itu. Pemerintah sudah mengeluarkan regulasi untuk melindungi masyarakat sebagai bagian specific protection. Tinggal bagaimana mengawasi pelaksanaannya di lingkungan kita.

Tiga bagian terakhir merupakan upaya kita bagi mereka yang sudah terperangkap jeratan rokok. Bila perlu, bawalah ke dokter karena sekarang ini telah ada obat yang bisa membantu untuk berhenti merokok –selain tekad kuat si perokok itu sendiri. Diharapkan, tidak terjadi (banyak) kecacatan dalam organ tubuh perokok itu dan bisa sesegera mungkin dipulihkan secara holistik.

Mari bertindak aktif agar tidak dijumpai lagi banyak asap rokok di sekitar kita sehingga negeri kita terselamatkan dari penyebab kematian yang dapat dicegah ini! Semoga.

Jalan Menuju Perubahan

Jalan Menuju Perubahan

Makmur Keliat  ;   Pengajar FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MASIH adakah jalan menuju perubahan? Perubahan untuk apa? Perubahan untuk siapa? Dan, tak kalah pentingnya pula, bagaimanakah kita akan melakukannya?

Perubahan, karena itu, memuat pedoman nilai dan keharusan untuk keberpihakan. Dalam pemahaman seperti ini, proses politik pemilu presiden kerap disebut menjadi momen menentukan untuk menjawab pertanyaan besar terkait jalan menuju perubahan itu. Melalui pemilu, semua partai, gabungan koalisi partai, dan setiap calon presiden dan wakil presiden tengah berusaha keras meyakinkan dan menjanjikan kepada publik adanya perubahan di masa depan.

Kerja politik untuk perubahan

Namun, dalam banyak kasus di negeri berkembang, jalan perubahan melalui kerja politik demokratik tidak semudah membalik tangan. Kehadiran figur besar dan niat baik juga sepertinya tidaklah cukup. Lihat misalnya kasus Afrika Selatan. Negeri ini melahirkan Nelson Mandela. Namun, kemerdekaan pada 1994 dan penghapusan apartheid serta proses pemilu demokratik yang kemudian terbentang tidak lalu serta-merta menghilangkan berbagai masalah sosial dan kemiskinan.

Hal mirip terjadi di India, negeri tempat kelahiran Mahatma Gandhi. Siapakah yang dapat membantah keagungan integritas pribadi Gandhi sebagai pemberi inspirasi bagi bangsa India? Ia pemimpin besar dan immortal, bukan hanya bagi India. Nilai-nilai pengorbanan dan integritas moralnya telah memberi pengaruh besar melintasi batas geografis India. Namun, berbagai masalah sosial dan ekonomi yang serius hingga kini masih membelit negeri berpenduduk 1,2 miliar ini.

Kini Indonesia juga tengah melakukan kerja politik untuk perubahan itu. Tebaran janji dilakukan beberapa bulan terakhir. Janji untuk melakukan perubahan pasti semakin intensif dalam beberapa bulan ke depan. Melalui liputan media, kita seperti melihat lahirnya ”figur-figur” besar dalam diri sosok capres dan cawapres dalam pentas politik kita. Tentu saja dengan janji dan komitmen melakukan perubahan. Suka atau tidak suka, konstruksi yang tengah dibangun sangat nyata. Setiap pasangan capres/cawapres adalah sama dengan jalan perubahan itu sendiri.

Tentu saja tak ada yang salah dengan keseluruhan proses ini. Penyelenggaraan pemilu di mana pun pasti menjadi arena kompetisi gagasan untuk melakukan perubahan. Kampanye hanya akan jadi masalah jika gagasan perubahan itu tidak memijak bumi dan tidak menyentuh substansi pemutusan dengan hal-hal buruk dan negatif dari masa pemerintahan sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, jalan menuju perubahan ini kemungkinan akan menjadi jalan berbatu dan tak berujung ketika dihadapkan dengan tiga isu strategis. Ketiga isu ini kesemuanya lahir dari kebutuhan untuk penguatan negara.

Tiga isu perubahan

Pertama, terkait isu penegakan hukum. Negara adalah kumpulan aturan hukum. Negara disebut lemah jika kumpulan aturan hukum hanya dipahami sekadar dokumen belaka. Negara juga disebut tak berdaya jika aturan hukum tunduk pada mekanisme jual-beli transaksional. Dalam sistem presidensial, peran kepala negara seharusnya sangat vital dalam penegakan hukum. Secara konstitusional, jabatan presiden dalam sistem presidensial harus dikonstruksi dalam gagasan sebagai penegak hukum utama (chief law enforcer). Presiden sebagai penegak hukum utama itu tersirat dari adanya wewenang memberikan rehabilitasi, grasi, amnesti, dan abolisi. Wewenang seperti ini adalah operasionalisasi dari otoritas dirinya sebagai penegak hukum utama itu. Ringkasnya presiden bukan sekadar kepala pemerintahan, melainkan sekaligus kepala negara.

Karena itu, tidak benar sepenuhnya jika seorang presiden tak diizinkan melakukan intervensi dalam proses penegakan hukum. Dalam makna yang sangat substansial, presiden sebagai penegak hukum utama tak boleh ragu-ragu menjalankan perannya. Jika memang dibutuhkan, ia harus dapat mendorong negara menjadi aktif, terutama dengan menggerakkan institusi Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dilihat dari sudut pandang ini, penilaian terhadap prestasi dan pengalaman setiap capres dan cawapres dalam penegakan hukum tentu saja akan sangat membantu dalam merekonstitusikan peran kepala negara sebagai penegak hukum utama itu di masa depan. Ringkasnya agenda penegakan hukum pada dasarnya agenda penguatan kedaulatan negara di sisi domestik.   

Kedua, terkait kebutuhan membangun budaya politik. Asumsinya, penguatan negara sukar dilakukan jika masih mengandalkan budaya politik lama. Dua karakter utama budaya politik lama adalah terkait proses bangunan karier politik dan mata rantai kekuatan modal dari setiap pasangan capres/cawapres dalam pemilu. Indikatornya misalnya apakah sosok capres/cawapres menyandarkan basis dukungan politik atas dari garis keluarga di partai. Apakah pasangan capres/cawapres telah membangun karier politiknya dari tataran lokal hingga tataran nasional? Apakah pasangan capres dan cawapres itu akan menjadi tawanan kalangan pemodal untuk mendanai kampanye pemilunya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini penting untuk dijawab. Tujuannya menciptakan harapan bahwa masih ada jalan  luas keluar dari apa yang disebut ”hukum besi oligarki” di institusi kepartaian Indonesia. Proses demokrasi yang telah berlangsung lebih dari 15 tahun seharusnya masih memberikan ruang bagi proses seleksi dan sirkulasi elite yang egaliter. Idealnya pasangan capres/cawapres dapat jadi ”bukti hidup” untuk membantah pandangan sebagian pengamat politik yang menyatakan demokrasi kita hanya memberikan manfaat bagi oligarki elite di tingkat partai dan pemodal besar di kalangan bisnis.

Ketiga, terkait isu pemerataan dan kesejahteraan. Tak ada yang meragukan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di tahun-tahun mendatang. ADB memproyeksikan pertumbuhan tahun ini masih akan mencapai 6 persen. Bank Dunia dan IMF memproyeksikan angka 5,3 persen.

Namun, di tengah-tengah optimisme pertumbuhan itu terdapat fakta menyedihkan yang harus dijawab tiap capres/cawapres. Misalnya, rasio gini yang terus meningkat 10 tahun terakhir, melewati angka 0,4, sehingga sangat rawan memicu konflik sosial. Pada saat yang sama, kapasitas dan struktur anggaran negara sangat terbatas untuk mengatasi melebarnya ketimpangan itu. Struktur anggaran tersedot untuk subsidi energi yang pada 2014 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 328,7 triliun. Ini berarti hampir 25 persen dari total APBN Rp 1.849,8 triliun.

Asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam APBN 2014 adalah 105 dollar AS per barrel. Mengingat penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar dan kesulitan besar Indonesia meningkatkan produksi minyak dalam jangka pendek, subsidi energi kemungkinan jauh lebih besar dihitung dalam rupiah. Hitungan Menkeu sendiri menyebutkan setiap pelemahan seribu rupiah per dollar akan mengakibatkan subsidi BBM naik Rp 20 triliun.

Kebijakan penghapusan subsidi energi mungkin dapat jadi solusi untuk konsolidasi fiskal. Tetapi, liberalisasi harga satuan energi pasti akan meningkatkan inflasi dan membawa dampak berat bagi masyarakat bawah. Memperkuat rasio pajak terhadap PDB juga tidak mudah untuk mengatasi keterbatasan kemampuan APBN ini. Sepuluh tahun terakhir rasio itu tak pernah melebihi angka 12 persen. Keseluruhan isu strategis ini harus diperhatikan dan dikawal para pemilih. Tujuannya sederhana: untuk membuat ”jalan perubahan” tak menjadi ”perubahan jalan” setelah pemilu berakhir.