Golkar dan Partai Presiden
Aditya Perdana ; Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 26
Mei 2016
Kemenangan Setya
Novanto dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar minggu
lalu di Bali telah menorehkan satu posisi yang penting bagi partai ini, yaitu
sebagai partai presiden yang selalu mendukung pemerintahan.
Tendensi dukungan Golkar
kepada pemerintah sudah terlihat dalam beberapa bulan belakangan ini manakala
dua kubu yang berseteru telah bersepakat tentang dukungan politik pemerintah.
Namun, hal yang menarik untuk didiskusikan adalah atas dasar apa dua kubu
elite Golkar ingin menjadi bagian tidak terpisahkan dari partai pemerintah.
Jawabannya, tentu bukan semata-mata ada sumber daya material yang melimpah di
pemerintahan, melainkan karakter presidentialized party (partai presiden)
yang melekat di partai ini.
Partai Presiden
Dalam literatur ilmu
politik kekinian, ada dua studi yang menekankan pada presidentialized party
atau presidentialization party. Studi pertama menjelaskan bahwa
presidensialisasi partai merupakan proses yang menunjukkan dominasi kekuatan
presiden atau pemimpin politik di sebuah rezim tanpa ada perubahan struktur
politik di rezim tersebut (Poguntke dan Webb, 2005).
Untuk itu, studi ini
melihat presidensialisasi dapat terjadi di negara yang menerapkan sistem
presidensial ataupun parlementer seperti di Prancis ataupun Inggris. Aspek
penting dalam presidensialisasi partai adalah kemampuan personal seorang
presiden ataupun perdana menteri dalam mengelola sumber daya politik yang ada
di dalam ataupun di luar lingkaran kekuasaannya.
Karena itu, seorang
pemimpin politik dalam studi ini menganggap bahwa makin banyak dukungan
politik terhadap kepemimpinannya, makin mudah baginya untuk mencapai tujuan
kemenangan politiknya secara personal.
Sementara itu, partai
politik dianggap sebagai kendaraan bagi sang pemimpin untuk memudahkan jalan
kemenangan itu semua. Studi kedua merujuk pada partai presiden
(presidentialized party) ini dapat mengakomodasi mekanisme sistem
semipresidensial seperti Prancis dalam model agent-principal (Samuels dan
Shugart, 2010).
Agent adalah presiden
ataupun perdana menteri yang melayani keinginan dari para principal-nya yaitu
partai politik, koalisi partai politik, ataupun para pemilihnya dalam
pemilihan umum secara langsung. Pandangan Samuels dan Shugart ini menegaskan
partai presiden ini haruslah berkaitan dengan organisasi partainya.
Partai politik yang
berhasil dalam memenangkan kursi di parlemen dapat sepenuhnya bekerja dalam
pemenangan seorang kandidat presiden manakala pemilihannya dilakukan secara
berbeda seperti yang dilakukan Indonesia.
Dalam pemilu presiden,
koalisi partai mudah terbentuk dan kurang terjaga soliditas di antara elite
politik yang disebabkan karena berdasarkan faktor popularitas dari kandidat
tersebut dan mengabaikan aspek kampanye program dari kandidat. Karena dominasi
aspek popularitas tersebut, ada kecenderungan muncul tokoh-tokoh populer di
luar kader partai politik yang dilirik oleh partai-partai.
Dari dua studi ini,
hal yang menarik dapat diperhatikan adalah, pertama, fenomena partai politik
sebagai kendaraan politik seorang kandidat presiden yang bisa kita lihat
dalam pengalaman Partai Demokrat, Partai Gerindra, ataupun Partai Hanura.
Kedua, dinamika
hubungan eksekutif dan legislatif sebenarnya berpusat pada bagaimana peran
presiden ataupun perdana menteri dalam mengelola koalisi partai politik,
termasuk perilaku para elite politiknya. Lalu, bagaimana studi-studi ini
relevan dengan Golkar hari ini?
Golkar
Adalah Koichi Kawamura
(2013) yang mengungkapkan bahwa hanya Golkarlah partai politik di Indonesia
yang masuk dalam contoh dari presidensialisasi partai. Adapun pandangan
Kawamura tentang Golkar ini melihat dua hal yaitu kekuatan organisasi partai
dan bagaimana peluang partai tersebut dalam memenangkan pemilu presiden.
Perkembangan Golkar
yang signifikan setelah reformasi adalah dalam masa kepemimpinan Akbar
Tandjung. Akbar menginisiasi ada konvensi presiden dalam internal partai
sebelum mengajukan calon secara resmi di Pemilu 2004. Kala itu Golkar
mencalonkan Wiranto yang mendapatkan dukungan signifikan dari mesin-mesin
politik di Golkar untuk maju sebagai kandidat bersama Sholahudin Wahid.
Meskipun Akbar kalah
dalam pertarungan, Golkar solid mendukung Wiranto sebagai kandidat Pilpres
2004. Momen berikutnya yang menarik adalah bagaimana Golkar yang kalah dalam
pilpres dan sempat membentuk koalisi oposisi bersama PDIP, tapi dalam waktu
singkat partai ini berubah dukungan kepada pemerintahan Yudhoyono-Kalla di
periode 2004-2009.
Hal ini disebabkan
oleh kemenangan Jusuf Kalla dalam pertarungan pimpinan Partai Golkar di akhir
2004 yang serta-merta membawa gerbang Golkar dalam pemerintahan. Sebelum
Pilpres 2009 digelar, Golkar memutuskan tidak lanjut dalam pemerintahan
Yudhoyono karena ada keinginan dari anggota serta elite partai untuk
mencalonkan kandidat secara sendiri yaitu melalui JK.
Pertarungan Munas
Golkar berikutnya yang menarik adalah manakala JK tidak mampu meneruskan
kepemimpinannya di Golkar dan digantikan oleh Aburizal Bakrie pada 2009.
Bakrie pun memutuskan untuk bergabung dengan pemerintahan SBY jilid kedua.
Repotnya, Bakrie tidak mampu mengulang kesuksesan JK sebagai kandidat
presiden di pemilu sebelumnya.
Bakrie memiliki
potensi keterpilihannya rendah daripada Prabowo dan Jokowi dalam Pemilu
Presiden 2014 sehingga Golkar memutuskan untuk bergabung dengan Prabowo.
Sementara Jokowi mampu mengajak JK untuk merebut potensi suara pendukung
Golkar lainnya. Inilah titik kritis terakhir yang berulang pascapilpres yaitu
dilema Golkar untuk berada di dalam atau di luar pemerintahan.
Sayangnya, titik
kritis tidaklah dapat diselesaikan segera seperti yang terjadi sebelumnya.
Karena itu, kemenangan Setya Novanto dan pernyataan Golkar yang menjadi bagian
dari pemerintahan Jokowi-JK adalah sebuah pengulangan event yang terjadi di
partai ini. Hal inilah yang mempertegas pernyataan Kawamura tentang Golkar
memiliki kesolidan yang utuh dalam karakter presidensialisasi partai.
Indikasi ini tidaklah
perlu merujuk pada menang atau tidak kandidat dari Golkar dalam setiap
pilpres, melainkan sikap dan posisi partai ini yang jelas selalu mendukung
presiden dari kelompok mana pun. Sementara itu, mengikuti pandangan Samuels
dan Shugart tentang dinamika eksekutif dan legislatif, dukungan politik
Golkar ke pemerintah makin menegaskan dominasi koalisi pemerintahan di DPR.
Dominasi dukungan
tersebut, lanjut Samuels dan Shugart, bukan berdasarkan komitmen program yang
dapat dikerjakan secara bersama. Namun, lebih banyak disebabkan popularitas
pemerintahan Jokowi- JK yang masih terbilang baik dan berpotensi untuk saling
melemahkan di antara mitra koalisi pemerintah.
Ini pula yang
menegaskan pandangan Poguntke dan Webb tentang makin menguatnya personalisasi
seorang presiden seperti Jokowi yang mampu memperluas dukungan dan sumber
daya politiknya seperti Golkar. Dan, Golkar pun tidak pernah ada keinginan
lepas dari lingkaran kekuasaan presiden selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar