Transformasi Status Informal
Haryo Kuncoro ; Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 28 Mei
2016
Data situasi
ketenagakerjaan Februari 2016 yang dirilis BPS awal Mei: penduduk yang
bekerja di sektor formal berkurang dari 42,06 persen menjadi 41,72 persen.
Peran sektor informal masih dominan, naik dari 70,02 juta orang menjadi 70,3
juta orang.
Sejalan dengan kondisi
tersebut, jumlah penganggur turun 430.000 orang, dari 7,45 juta orang jadi
7,02 juta orang. Secara relatif, tingkat penganggur terbuka menurun jadi 5,50
persen.
Fakta di atas membawa
kemafhuman bersama terhadap eksistensi sektor informal dalam peta
ketenagakerjaan di Indonesia. Saat peran sektor formal berkurang, kontribusi
sektor informal dalam menyediakan lapangan kerja meningkat.
Citra ini tak
terhindarkan lantaran kinerja sektor formal, industri manufaktur misalnya,
mengalami pelambatan yang berimbas pada pemutusan hubungan kerja. Korban PHK
ini diperkirakan beralih profesi jadi pelaku usaha di sektor informal. Dalam
situasi yang ekstrem, pengalaman pada krisis ekonomi 1997/1998 menjadi bukti
sahihnya.
Kenyataan semacam ini
potensial ditafsirkan sebagai peningkatan kapasitas sektor informal dalam
menyerap tenaga kerja. Bahkan, kesan yang timbul adalah peningkatan
kapasitasnya melebihi kenaikan angka penganggur itu sendiri.
Secara teori,
penyerapan lapangan kerja mengikuti konsep turunan. Induknya adalah
permintaan terhadap output yang diproduksi. Atas dasar ini, penciptaan
kesempatan kerja senantiasa harus dikaitkan dengan sektor produksinya.
Sektor produksi
mengikuti Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia terbagi ke dalam sembilan
sektor ekonomi atau setidaknya tiga kelompok besar: pertanian, industri, dan
jasa. Tiap sektor memiliki perbedaan kemampuan penyerapan tenaga kerja
terkait dengan prospek produksinya. Indikator yang sering dipakai adalah
elastisitas kesempatan kerja. Indeks ini mengidentifikasi respons penciptaan
lapangan kerja sebagai akibat dari pertumbuhan output. Atas dasar konsep ini,
angka elastisitas yang lebih besar dari 1 (satu) mengindikasikan kemampuan
penyerapan tenaga kerja yang semakin besar.
Dipaksakan
Konsep elastisitas ini
sepertinya dipaksakan ke dalam konteks sektor informal. Sektor
formal-informal dipandang sama kedudukannya dengan ketiga sektor ekonomi di
atas. Padahal, output nasional sebagaimana tersaji dalam PDB tak membedakan
kontribusi formal-informal.
Pembedaan
formal-informal muncul dalam konteks status hubungan kerja. Dari lima
klasifi- kasi status hubungan kerja, hanya majikan dan buruh yang disebut
formal. Sisanya: pekerja mandiri yang dibantu dengan anggota rumah tangga,
dan pekerja keluarga tak dibayar, termasuk kategori informal.
Karena itu, pembedaan
formal-informal—yang salah kaprah selalu diawali dengan kata sektor
—seharusnya dipahami dalam konteks status hubungan kerja. Alhasil, menurunnya
angka penganggur dan meningkatnya status informal dalam penyerapan tenaga
kerja sejatinya bukan kabar baik.
Pemahaman ini lebih
lanjut membawa implikasi yang sangat penting dalam mewawas keberadaan status
informal. Status informal dipandang semata-mata hanya sebagai ekses status
formal. Artinya, status tenaga kerja informal sebatas transisi sambil
menunggu kesempatan kerja di status formal. Akibat berikutnya, status
informal dianggap sebagai residual sehingga keberadaannya perlu direduksi.
Artinya, hubungan antara formal-informal terjalin layaknya superior dan
inferior. Dengan makin majunya status formal, status informal hilang dengan
sendirinya sehingga terjadi semacam monopoli.
Pandangan lain
berasumsi bahwa formal-informal adalah dua sisi mata uang. Mazhab ini
menganggap keberadaan status informal harus ditempatkan secara alami
sebagaimana adanya. Satu kegiatan ekonomi yang tak tergarap oleh status
formal akan diisi status informal. Jika dianalogikan dengan pasar barang,
posisi keduanya mirip dengan struktur duopoli. Masing-masing dari ’duopolis’
memiliki segmen berbeda sehingga tak terjadi persaingan saling merugikan.
Kerja sama keduanya terjalin dalam hubungan saling menguntungkan. Jelasnya,
sektor informal dan formal itu komplementer.
Dalam konteks sektor
informal di Indonesia, kompromi atas kedua pandangan itu layak dilakukan.
Langkah awalnya adalah mentransformasi status informal ke dalam wadah yang lebih
’formal’ setidaknya secara yuridis terlebih dahulu, seperti usaha mikro,
usaha kecil dan menengah, serta koperasi (UMKMK).
Langkah ini pada
awalnya tentu akan mendapat resistensi dari pelaku UMKMK karena fobia
terhadap pajak. Namun, sejalan dengan paket kebijakan deregulasi ekonomi yang
diluncurkan pemerintah, aspek legalitas UMKMK ini akan terfasilitasi dari
sisi fiskal.
Konsekuensinya,
perusahaan besar akan lebih mudah memberikan bantuan lewat program CSR-nya.
Akses terhadap lembaga keuangan pun akan terbuka lantaran ada landasan
yuridisnya. Subkontrak pekerjaan jadi saling membutuhkan dalam rajut
kesepadanan. Dengan demikian, model itu berpotensi mengubah sifat
konvensional status informal, dari yang semula independen dari siklus
perekonomian menjadi stok penyangga yang kontras. Pola pengembangan semacam
ini niscaya mampu menjadikan UMKMK sebagai bidang usaha yang mandiri.
Dalam jangka panjang,
apabila pengembangan sektor formal dapat tercapai bersama-sama dengan
peningkatan status informal, metode ini akan mendukung tercapainya ide
redistribusi dengan pertumbuhan.
Alhasil, desain
kebijakan terhadap status informal hanya akibat alih-alih sebagai sebab.
Esensinya: cara mewawas terhadap masalah yang sedang dihadapi. Apabila esensi
penyebabnya telah diidentifikasi, keefektifan kebijakan akan tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar