Nasionalisme dan Kemandirian Bangsa
Saratri Wilonoyudho ;
Guru Besar di Universitas
Negeri Semarang;
Anggota Dewan Riset Daerah Jawa
Tengah
|
JAWA POS, 20 Mei
2016
HARI Kebangkitan Nasional yang diperingati
setiap 20 Mei menyiratkan satu keinginan kuat untuk "bangkit".
Dalam sejarahnya, kebangkitan itu dipicu oleh fakta belum merdekanya bangsa
Indonesia secara politik, yang tentu saja berada dalam tekanan penjajah.
Kesenjangan sosial sangat lebar, dan jika tidak diperjuangkan kemerdekaan itu,
nasib bangsa ini akan kian parah.
Pada suatu hari di tahun 1907, seorang
pensiunan dokter-Jawa bernama dr Wahidin Soedirohoesodo mengunjungi Stovia
dan menyeru siswa-siswa di sana agar mendirikan satu organisasi. Dokter
Wahidin sangat prihatin akan adanya ketimpangan dalam dunia pendidikan. Saat
itu, jika bisa sekolah, pribumi sangat dibatasi dan kalau lulus harus bekerja
dalam dinas pemerintahan Hindia.
Berdasar pemikiran itulah, pada 20 Mei 1908,
Wahidin dkk berhasil
melahirkan organisasi yang bernama Boedi Oetomo. Yakni,
sebuah pergerakan melalui organisasi modern untuk membentuk identitas
nasional.
Bagaimanakah Masa
Kini?
Setelah lebih dari 100 tahun kita memperingati
Hari Kebangkitan Nasional, pertanyaannya kini, sudahkah secara hakiki
kita"bangkit" dari era penjajahan? Tidakkah kini kita juga masih
berkutat pada penjajahan jenis baru?
Data dari Harry Jusron, kepala bidang evaluasi
riset IPTEK Masyarakat, Kementerian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(2015), menunjukkan bahwa peran iptek dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia
terhadap beberapa negara tetangga masih memprihatinkan. Itu bisa dilihat dari
sejumlah fakta berikut ini.
Pertama, perbandingan ekspor teknologi tinggi
pada tahun 2011, untuk Indonesia adalah USD 5.461, Malaysia USD 60.808 atau
11 kali dari Indonesia. Sedangkan Filipina 2,4 kali, Singapura 23 kali,
Thailand 6 kali, dan Vietnam 1,6 kali.
Untuk hal yang sama pada 2012, Malaysia
memperoleh 13 kali ekspor Indonesia, Filipina 4,5 kali, Singapura 27 kali,
dan Thailand 7,5 kali.
Data dua tahun ini menunjukkan, kita semakin
tertinggal dalam memanfaatkan peran teknologi tinggi untuk menghasilkan
devisa.
Kedua, knowledge
economy index pada 2012, Swedia berada di urutan pertama dari 145 negara
yang dinilai, Singapura urutan ke-23, Malaysia ke-48, Thailand ke-66,
Filipina ke-92, Vietnam ke-104, dan Indonesia di urutan ke-108. Data itu
menujukkan bahwa iptek di Indonesia belum cukup kuat menjadi basis
pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, data perdagangan manufaktur, selisih
antara ekspor terhadap impor, dari 2011 ke 2012, Indonesia tumbuh 6 persen,
Filipina 29 persen, Singapura 11 persen, Thailand 8 persen, dan Vietnam 22
persen.
Penyebab ketertinggalan itu adalah teknologi
produksi yang kita gunakan tidak baru karena sebagian besar perusahaan
mengambil teknologi dari luar negeri.
Data dari Harry itu juga diperkuat data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) per Januari-Agustus 2015 yang menunjukkan tingginya
nilai impor pangan kita. Total dari tujuh komoditas (beras, terigu, gula
pasir, gula tebu, kedelai, jagung, garam), nilai impor kita mencapai USD 3,5
miliar. Banyaknya impor pangan itulah yang disebut Presiden Jokowi menjadi
salah satu pemicu melemahnya nilai rupiah.
Political Will
Sudah pasti, ketergantungan tersebut terjadi
tentu bukan semata-mata karena kita tidak mampu menciptakan teknologi serta
mengolah sumber daya alam ini. Tapi, boleh jadi ada yang salah dalam
kebijakan politik dari pemerintah. Orang boleh berprasangka bahwa banyak
pemegang kebijakan, entah dari eksekutif atau legislatif, yang memang
nalurinya berdagang.
Kasus impor sapi yang melibatkan oknum partai
di masa lalu atau kasus Pelindo yang juga melibatkan oknum birokrat-pedagang
juga makin meyakinkan bahwa ketergantungan kita terhadap asing bukan
semata-mata karena "ketertinggalan" intelektual. Tapi, boleh jadi
akibat proses politik yang salah.
Kalau dugaan itu benar, rakyat juga boleh
menggugat, sebenarnya siapa sih yang tidak nasionalis itu? Kalau para
koruptor jelas, mereka bukan nasionalis. Sebab, mereka merusak tatanan bangsa
dan tidak bersetia kawan terhadap tanah air dan segenap tumpah darah
Indonesia.
Selain pendidikan, tampaknya, kejujuran dan
political will dari kekuasaan harus dibuktikan. Dalam dunia "pasar bebas
ini", pertempuran bukan lagi antarnegara, tapi sudah head-to-head atau
antarindividu.
Kalau globalisasi jilid pertama negara
memegang peran dalam mengekspansi dunia, globalisasi jilid kedua adalah masa
multinational corporation yang memegang kendali, maka pada globalisasi jilid
ketiga sudah men-drive individu. Setiap individu harus mampu mempersiapkan
diri sendiri untuk menghadapi persaingan.
Keasyikan kita menjadi "ladang"
bisnis multinational corporations (MNC), antara lain, menyebabkan keringnya
penelitian bermutu di perguruan tinggi kita. Sebab, pada umumnya, para
pemilik korporasi multinasional itu hanya "mempekerjakan" ilmuwan
kita sebatas "tukang", sedangkan kendali teknologi tetap berada di
Tokyo, New York, Paris, London, atau Berlin.
Hasilnya, kini yang terjadi adalah gejala
penganggur kaum muda terdidik. Angka nasional saat ini menunjukkan bahwa
penganggur pascakrisis terus meningkat. Dari 8,1 persen (2001) menjadi 10,5
persen (2006). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun ini (Februari
2014-Februari 2015) jumlah penganggur di Indonesia meningkat 300 ribu orang
sehingga totalnya mencapai 7,45 juta orang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar