Ekonomi Berbasis Konstitusi dan
Perlunya Haluan Pembangunan Model GBHN
Didin S Damanhuri ; Tenaga Pengajar Ekonomi Lemhannas RI
|
MEDIA INDONESIA,
26 Mei 2016
TUJUAN bernegara
bangsa Indonesia tercantum dalam Sila Kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hal itu diperkukuh secara konstitusional dalam
batang tubuh Konstitusi UUD 1945 sebagai penjabarannya. Menurut banyak studi
(Damanhuri, 1990; Mubyarto, 2001; Swasono, 2005 ), ideologi ekonomi Indonesia
tertuang dalam pasal-pasal ekonomi UUD 1945, terutama Pasal 27 (ayat 2), 33
(ayat 1, 2, dan 3), dan 34 (ayat 1).
Jika dirangkaikan
secara bebas, ketentuan-ketentuan itu berbunyi: Sistem ekonomi Indonesia
(SEI) disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan:
(1) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat
hidup rakyat banyak dikuasai negara, (2) bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, (3) tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan (4) fakir, miskin,
dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara, yang dikembangkan sebagai
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Dengan mazhab ekonomi
berbasis konstitusi seperti tersebut di atas, kita bisa mengevaluasi proses
pembangunan yang berlangsung. Mengapa? Karena pembangunan ekonomi hingga
sekarang di negeri ini secara empiris masih mengandung paradoks; di satu
pihak pernah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara konsisten dari
1970 sampai 1998 (masa Orde Baru) sekitar 7% per tahun, tetapi masih
menghadapi permasalahan pengangguran terbuka sekitar 5% dan setengah
pengangguran lebih dari 40%.
Kemudian, kemiskinan
ekstrem pada 1997 sekitar 13% (sementara penduduk yang berpenghasilan
US$2/hari yang menurut World Bank termasuk kategori miskin masih lebih dari
50%) dan menghadapi problem ketimpangan antargolongan pendapatan; meski rasio
Gini konsumsi sekitar 0,32 (relatif dalam ketimpangan sedang), ketimpangan
antarwilayah (Jawa-Luar Jawa, juga Indonesia Barat-Indonesia Timur) sangat
buruk.
Juga, di era Reformasi
dalam tiga dasawarsa terakhir ini pun keadaannya belum banyak berubah.
Pertumbuhan ekonomi lebih rendah, yakni sekitar 5% rata-rata per tahun.
Pengangguran terbuka sekitar 5%-6% dan setengah pengangguran lebih dari 30%,
dan kemiskinan ekstrem sekitar 12% (sementara penduduk yang berpendapatan
US$2/hari masih sekitar 51%). Akan tetapi, ketimpangan jauh lebih buruk,
yakni dengan rasio Gini konsumsi 2013 berada di angka 0,413 (ketimpangan
buruk, sementara rasio Gini pendapatan bisa di atas 0,5 atau ketimpangan
sangat buruk) dan ketimpangan antarwilayah yang masih tetap juga sangat
buruk.
Dengan rumusan yang
merupakan mazhab pemikiran ekonomi berbasis konstitusi seperti diungkapkan di
atas, seyogianya dapat mengoreksi dan lebih mampu menyelaraskan antara target
pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi di satu pihak dan di saat yang
sama akan lebih mampu menyelesaikan problem kemiskinan, pengangguran, serta
ketimpangan yang merupakan problem ketidakadilan sosial. Mengapa? Karena
dengan ekonomi berbasis UUD 1945 itu, berarti arah pembangunan harus lebih
berorientasi pada penciptaan kesempatan kerja (mengurangi pengangguran
terbuka maupun setengah pengangguran serta kemiskinan), juga pencapaian
sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan kemakmuran orang per orang yang banyak
menimbulkan ketimpangan) seperti diperintahkan Pasal 33 UUD NRI 1945 ayat 3.
Dari perspektif para
pemikir pembangunan ekonomi juga terdapat advokasi yang mendukung pentingnya
negara-negara berkembang tak hanya melulu meraih pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Pembangunan ekonomi untuk negara-negara berkembang, menurut Michael P
Todaro dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Development Economic in Third Word (1986), bukan sekadar mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan juga memecahkan problem
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang sering kali menjadi
pemnghambat kemajuan dan 'pertumbuhan berkelanjutan'. Dengan mengutip
pendapat tokoh pemikir pembangunan ekonomi dunia ketiga itu, bagi Indonesia
menjadi sangat penting mengevaluasi proses pembangunan yang lalu, kini maupun
yang akan datang.
Masalahnya, bagaimana
merevitalisasi ekonomi berbasis konstitusi tersebut masuk ke peraturan
perundang-undangan, RPJM (rencana pembangunan jangka menengah), kebijakan
pemerintah pusat dan daerah, serta melaksanakannya secara konsisten dan
sistematis. Hingga terakhir ini, misalnya, menurut hasil penelitian, ada
lebih 200 UU yang kurang sesuai dengan UUD '45.
Juga ada letter of intent IMF yang kemudian
menjadi White Paper yang masih dipakai dalam perencanaan pembangunan sehingga
terjadi terus divestasi (baca: menjual) BUMN-BUMN potensial seperti bank-bank
BUMN dan lain-lain. Yang mencolok ialah UU BI dan UU Perbankan. Keduanya
absen dari klausul pertimbangan yang mencantumkan Pasal 27 UUD 1945.
Akibatnya, tak ada keharusan bagi BI dan perbankan nasional mendorong
penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya.
Di samping itu,
absennya prinsip financial inclusion
yang memungkinkan kalangan UKM mendapat akses memadai atas perbankan
nasional. Tak kurang pentingnya ialah UU Lalu Lintas Devisa yang kini tengah
menghadapi judicial review di MK
yang diajukan Muhammadiyah. UU ini membebaskan devisa hasil ekspor disimpan
di luar negeri. Akibatnya, sekitar US$150 miliar dana di luar negeri itu
tidak bisa digunakan memperkuat likuiditas perbankan nasional. Maka, di
samping kondisi ini memperlemah posisi rupiah, juga semakin memperkecil
peluang UKM memperoleh akses perbankan.
Di samping itu, UU
Migas juga bermasalah karena memberi peluang divestasi Pertamina hingga di
atas 51%. Suatu saat, sebagai konsekuensinya, harga minyak dan gas (migas)
bisa ditentukan aktor-aktor pasar di luar negeri. Masih banyak yang lain
termasuk yang terjadi di daerah-daerah, misalnya APBD-APBD yang masih sebagian
besar habis untuk anggaran rutin, padahal menurut Pasal 23 ayat 2 UUD '45,
angggaran itu ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kalau upaya koreksi
itu tidak segera dilakukan, akan memperlemah tingkat kemandirian dan
keberdaulatan ekonomi nasional sehingga menyulitkan pencapaian tujuan
nasional untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu, model pembangunan yang diwujudkan ke dalam peraturan
perundang-undangan, RPJM, kebijakan pusat maupun daerah-daerah yang berbasis
konstitusi UUD NRI 1945 serta dilaksanakan secara konsisten dan sistematis
akan menciptakan 'pertumbuhan berkelanjutan' yang pada gilirannya dapat
memperkukuh ketahanan nasional.
Cuma kelemahan
sekarang, RPJMN hanya dikembangkan dari visi dan misi presiden terpilih
sehingga tingkat comprehensiveness,
partisipasi stakeholder, dan
legitimasi mandat rakyat terhadap platform pembangunan menjadi rendah. Dengan
begitu, apabila terjadi penyimpangan dari presiden terhadap RPJMN, tidak
jelas pertanggungjawabannya.
Oleh karena itu,
'model GBHN seperti masa lalu akan jauh lebih mendalam kontennya, jauh lebih
luas partisipasi para elite strategisnya, serta jauh lebih legitimate mandat rakyatnya terhadap
platform pembangunan. Oleh karena itu, dengan model GBHN tersebut,
pertanggungjawaban presiden baik terhadap ketaatan terhadap konstitusi-UUD
'45 maupun terhadap aspirasi rakyat akan jauh lebih jelas. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar