Pantaskah Soeharto Dapat Gelar Pahlawan?
Airlangga Pribadi Kusman ;
Pengajar Departemen Politik
FISIP Universitas Airlangga; Doktor Ilmu Politik Asia Research Centre,
Murdoch University
|
JAWA POS, 26 Mei
2016
TERKAIT dengan judul di
atas, sejak awal tulisan ini mengambil sikap menolak pemberian gelar pahlawan
terhadap Presiden Kedua Indonesia Soeharto. Penolakan atas pemberian gelar
Soeharto itu adalah sebuah sikap untuk menolak belenggu masa lalu yang sampai
saat ini masih menghambat jalan Indonesia sejak 1998 menjadi negara
demokratis, melindungi kemerdekaan warga, dan melawan corak kekuasaan yang
koruptif.
Penulis mendasarkan penolakan atas pemberian gelar pahlawan terhadap H M. Soeharto atas dua pertimbangan. Pertama, tujuan negara yang ditorehkan dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, pemihakan atas masa depan Indonesia yang demokratis, menjamin HAM dari setiap warga negaranya, dan dukungan atas pembangunan partisipatif dan anti-KKN. Tujuan Bernegara
Sehubungan
dengan hubungan antara pahlawan dan tujuan bernegara, alangkah baiknya kita
mengenang apa yang pernah diuraikan sastrawan terhormat Indonesia Pramoedya
Ananta Toer (1964). Menurut Pramoedya, setiap orang yang tidak tahu titik
asalnya, yaitu sejarah, tidak akan pernah tahu pula tempat yang akan
ditujunya.
Setiap
bangsa memberikan respek terhadap tokoh-tokoh negerinya dengan pemberian
gelar pahlawan karena adanya ko¬herensi antara tujuan bernegara secara
normatif dengan pikiran dan tindak laku figur yang telah berjuang sejalan dengan
nilai-nilai tersebut. Abraham Lincoln diakui sebagai pahlawan oleh warga
Amerika Serikat karena perjuangannya menghapus perbudakan sejalan dengan
nilai-nilai historis yang menjadi prinsip bernegara di sana, yakni kebebasan.
Soekarno pantas dikenang menjadi pahlawan oleh rakyat karena selain membawa pada kemerdekaan Indonesia, juga pikiran dan tindakannya terbukti bertujuan melindungi bangsa Indonesia dari ancaman neokolonialisme dan bermaksud untuk merealisasikan kemandirian nasional.
Lalu,
bagaimana kita melihat Soeharto dari tujuan bernegara Indonesia? Titik awal
sejarah untuk memahami tujuan kita bernegara Indonesia adalah Pembukaan UUD
1945 yang di dalamnya tertera tujuan kita dalam bernegara. Di dalam Pembukaan
UUD 1945 tersebut disebutkan bahwa tujuan bernegara dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kali
ini mari kita fokuskan pada tujuan pertama. Tujuan pertama bernegara ini
dapat kita gunakan sebagai alat ukur untuk menimbang bagaimana keadaan
Indonesia pada masa rezim Soeharto sehingga kita dapat memberikan penilaian
yang adil.
Pertama-tama,
dalam mempertimbangkan hal ini, penting kiranya kita menguraikan betapa sejak
zaman Soeharto negara telah berkali-kali menjadi instrumen teror. Sejak
peristiwa 1965, model teror negara menjadi pola yang permanen terhadap setiap
gugatan, kritik, dan ketidaksetujuan masyarakat terhadap aktivitas negara.
Pembantaian Lampung, Tanjung Priok, operasi militer di Aceh, Papua, dan
berbagai peristiwa lain menjadi bukti konkret.
Karena
itu, pantaskah gelar pahlawan diberikan kepada seseorang yang dalam masa
kepemimpinannya telah mengingkari tujuan pertama bernegara Indonesia sehingga
tidak lagi dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia? Namun, meneror
warganya?
Indonesia Negara Demokrasi
Sejak
jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, bangsa Indonesia berikrar untuk memutuskan
hubungan dengan zaman gelap Orde Baru yang ditandai oleh korupsi, pelanggaran
HAM, teror represif terhadap warga, dan tatanan politik antidemokrasi.
Setidaknya, secara ideal, itulah yang pada 1998 berusaha ditegakkan meskipun
dalam perjalanannya ter¬seok-seok.
Kebijakan
pemerintah untuk memutuskan seseorang yang pantas dihormati sebagai pahlawan
dengan pemahaman akan kiprah tindak dan pikirannya mencerminkan nilai-nilai
apakah yang menjadi orientasi utama bernegara dari pemerintahan sekarang.
Ketika
kita menyadari bahwa pada 1998 kita berjuang bersama-sama untuk menyudahi
pemerintahan rezim Soeharto yang ditandai oleh maraknya praktik KKN,
pelanggaran HAM dan kepemimpinan otoriter, pada saat itu pula kita telah
menolak bukan saja corak kekuasaan koruptif dari rezim Soeharto. Namun, juga
pikiran, tindakan, dan kebijakan Soeharto yang bertentangan dengan
nilai-nilai demokrasi dan anti-KKN.
Karena
itu, tidak ada argumen yang solid yang bisa membenarkan Soeharto sebagai role
model, apalagi sebagai pahlawan di era demokrasi.
Tentu
terkait dengan penolakan atas pemberian gelar Soeharto sebagai pahlawan, ada
suara-suara yang berusaha membelanya. Mereka berdalih bukankah era Soeharto
lebih baik daripada era sekarang?
Menjawab
pandangan demikian, hendaknya kita merenung, benarkah selama ini kita telah
berhasil melampaui era Soeharto? Bukankah yang terjadi adalah sebaliknya,
warisan era Soeharto masih kuat membelenggu perjalanan republik kita menjadi
negeri demokrasi? Ibarat tubuh yang terjangkit kanker, bukankah yang terjadi
pada tubuh Indonesia saat ini adalah upaya penyembuhan penyakit yang masih
gagal sehingga sel kanker menjalar ke sel-sel tubuh Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar