Seberapa Gagah Angkatan 1998?
Indra J Piliang ;
Pemimpin Redaksi Jurnal Reformasi
Universitas Indonesia 1998
|
KORAN SINDO, 23
Mei 2016
Sebagaimana halnya
Jurnal Reformasi yang didirikan aktivis-aktivis senior gerakan mahasiswa Universitas
Indonesia (UI), yang sebagian besar sudah sarjana waktu itu, usia gerakan
mahasiswa 1998 pun hanya sebentar. Kami hanya sempat menerbitkan Jurnal
Reformasi selama dua edisi. Kekurangan biaya dan terutama tulisan menyebabkan
jurnal paling serius yang berdiri di tengah gejolak gerakan mahasiswa itu
segera kocar-kacir. Para aktivis mahasiswa yang semula kompak kemudian
bertebaran mengatasi timbangan badan yang sempat menyusut. Urusan mengisi
perut dan–terutama– membalas jasa orang tua yang terkena badai krisis lebih
utama ketimbang terus bersitumpu dengan nostalgia gerakan yang sudah
berakhir.
Ada dua tema yang
diusung dalam dua edisi itu, yakni evaluasi atas gerakan mahasiswa yang
sedang berjalan sebelum Presiden Soeharto menyatakan berhenti dan formulasi
pemerintahan mahasiswa (student
government) ideal pasca-21 Mei 1998. Saya menulis masing-masing satu
artikel terpanjang dalam dua edisi itu.
Untuk tulisan pertama
lebih bersifat analisis dan refleksi pribadi, sementara artikel kedua berisi
sejumlah kajian atas bentuk-bentuk student
government yang pernah ada. Statuta sejumlah dewan mahasiswa saya jadikan
sebagai referensi sembari menyumbangkan gagasan tentang bentuk organisasi
mahasiswa yang paling mewakili semangat zaman. Beberapa pemikiran saya itu
kemudian menjadi referensi bagi pembentukan badan eksekutif mahasiswa di
kampus-kampus.
Hanya saja, setelah
itu, tidak banyak diskusi yang terjadi. Magnet proyek-proyek demokratisasi di
Indonesia menyita waktu para aktivis yang sebelumnya saling adu punggung, pegang
tangan, dan berbagi nasi bungkus di jalanan. Blok-blok kepentingan baru
terbentuk, terutama dalam organisasi pengawasan pemilu yang segera dihelat.
Seperti cendawan di musim hujan, berbagai organisasi lahir dengan gelontoran
dana yang tidak sedikit dari berbagai negara donatur.
Uang seperti tercurah
dari langit, bahkan mampir ke kampus-kampus yang sama sekali tak pernah
bergerak. Para mahasiswa atau sarjana muda itu mulai memegang dolar
pertamanya, pun dengan telepon seluler keluaran terbaru. Bahkan, saking
sinisnya, sebuah kafe di bilangan Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan
disebut sebagai ”kafe orang-orang kaya baru yang sebelumnya gembel”. Kafe itu
dipenuhi para aktivis masyarakat sipil berpakaian perlente dan bekas
mahasiswa radikal yang kemudian jadi ”herder” para jenderal.
Kafe yang kemudian
tutup itu menjadi area menonton tingkah laku orang-orang yang berubah, dengan
gambar-gambar besar ”perjuangan” yang tertata rapi di sudut-sudut kantor
mereka. Sementara yang lain tetap curiga betapa usia kebebasan tidak akan
lama. Studi-studi negara-negara transisi demokrasi dibaca. Peralihan
negaranegara yang sebelumnya dipimpin militer dibicarakan.
Sebagian besar
pimpinan mahasiswa yang betul-betul berlaku seperti koboi langsung
menghilangkan jejak dengan cara masuk ke kampus-kampus utama di luar negeri.
Mereka menghindar dari kongkow-kongkow para aktivis mahasiswa. Dalam
masa-masa seperti itu, saya membantu sejumlah mahasiswa PhD dari
negara-negara lain untuk menemui informan-informan penelitiannya di
Indonesia.
Salah seorang
mahasiswi bernama Paige Johnson Tan yang saya lacak sekarang menjadi
associate professor Department of Public and International Affairs,
University of North Carolina Wilmington, USA.
Sayangnya, hampir
tidak ada forum tahunan yang dijadikan eks aktivis mahasiswa 1998 untuk
melakukan langkahlangkah evaluasi. Ideologi gerakan mahasiswa 1998 yang belum
terbentuk masih berupa visi gerakan yang dinamis, membuat gerakan 1998 baru
bersifat ”pesta jalanan” yang sama sekali kekurangan ide.
Sebagai aktivis
mahasiswa UI 1990-an yang banyak melakukan interaksi dengan
mahasiswa-mahasiswa di kampus lain, saya melihat belum ada keterpaduan antara
pelaku, agenda, dan masa depan gerakan. Dampak NKK-BKK masih terasa, yakni
terpecah-belahnya gerakan mahasiswa ke pelbagai agenda. Ketika ”pesta
jalanan” dihelat, sesungguhnya itu bukan dipimpin aktor-aktor yang
kenal-mengenal, tetapi lebih banyak dipimpin aktor-aktor yang baru saja
memperkenalkan diri.
Sedikitnya ”masa
bakti” mahasiswa membuat aktor-aktor gerakan berganti hampir sepanjang tahun.
Sedikit sekali aktor mahasiswa yang terus berada di depan setiap gerakan
mengingat mahasiswa bukanlah kelompok yang mapan dari sisi apa pun. Mayoritas
mahasiswa hidup dengan tanggung jawab individual keluarga yang kuat. Mereka
dituntut oleh keluarga untuk segera mengambil peran ekonomis, bukan peran
sosial kemasyarakatan yang selama ini menjadi slogan yang diusung.
Karena itu tema-tema
gerakan mahasiswa yang beragam itu berasal dari komunitas epistemis yang
kecil. Untuk menggerakkan komunitas yang lebih besar tentunya membutuhkan
waktu yang lebih lama. Kini, usia gerakan mahasiswa 1998 sudah 18 tahun,
menginjak masa ”pubertas” dalam arti tumbuh-kembang seorang manusia.
Nostalgia kembali terbentuk setelah mengalami masa yang bergemuruh dengan
arus kebebasan pers yang kuat, demokrasi multipartai hingga pemilihan
langsung calon-calon legislatif dan eksekutif.
Gerakan mahasiswa 1998
sudah menjadi ”fosil” sejarah, sementara mahasiswa-mahasiswa yang berkiprah
dalam 18 tahun ini sama sekali masih ”silau” atas gerakan yang dilakukan
seniorseniornya. Upaya sambung rasa sedikit sekali terjadi. Hal ini berbeda
dengan generasi mahasiswa 1990-an yang terus menerus dicurigai ketika
aktor-aktor mahasiswa Angkatan 1966, Angkatan 1974, dan Angkatan 1978
melakukan interaksi di kampus-kampus.
Hampir tidak ada
halangan sama sekali bagi mahasiswa Angkatan 1998 untuk berinteraksi dengan
yunior-yuniornya di kampus-kampus. Kebebasan yang diperjuangkan sudah menjadi
bagian dari napas demokrasi yang dihadirkan. Hanya saja, capaian keberhasilan
bagi aktivis mahasiswa ketika menempuh kehidupan pascamahasiswa tidak berada
di jalanan. Mayoritas memilih untuk menjadi kaum profesional guna menunjukkan
bahwa menjadi aktivis mahasiswa hanyalah tangga sejarah yang tak bisa ditolak
untuk diinjak.
Tapi terus-menerus
menginjak tangga itu sama sekali tidak memberi manfaat besar bagi bangsa,
negara, dan rakyat. Keberhasilan seorang aktivis tidak terletak pada posisi
yang terusmenerus dalam gerakan toa, orasi, puisi ataupun pepsoden yang
diolesi melingkari mata. Jadi, tatkala Angkatan 1998 dievaluasi, ditempatkan
dalam laboratorium ilmu pengetahuan, tak lebih dan tak kurang itu hanyalah
pancawarna kehidupan kampus yang belum menyatu.
Angkatan 1998 adalah
angkatan yang sama sekali baru membentuk diri, membenturkan diri dengan
kekuasaan, lalu menghadapi kenyataan betapa kekuasaan yang ditentang terlalu
cepat jatuh. Pemandangan tanggal 21 Mei 1998 menunjukkan itu, betapa kalangan
yang paling bersemangat hanyalah sebagian kecil mahasiswa yang berada di
Gedung MPR-DPR, sementara ”ideolog-ideolog” gerakan yang sedang merancang
gerakan yang lebih ideologis ternganga di depan layar televisi.
Kertas-kertas yang
baru saja ditulis, disketsa, diarsir guna memunculkan gerakan yang lebih
ideologis kembali disimpan. Selamanya. Dengan deskripsi di atas, sungguh
belum layak Angkatan 1998 disebut sebagai gerakan mahasiswa yang berhasil.
Selama arah kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat belum mampu disetir
menuju pulau harapan yang lebih adil dan makin sejahtera, selama itu pula
tanggung jawab Angkatan 1998 masih berada di bahu para aktivisnya yang kini
sudah berusia 40-an tahun.
Kekokohan dan
kegagahan Angkatan 1998 tidaklah terletak pada sejumlah nama aktivisnya yang
berada di pusaran politik dan puncak piramida ekonomi, melainkan bagaimana
mereka terus-menerus berusaha agar ideologi gerakan mahasiswa betul-betul
terbentuk, bergerak, dan dilarung dalam samudra gerakan yang lebih masif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar