Minggu, 03 Juni 2018

Catatan Kritis atas UU Antiterorisme

Catatan Kritis atas UU Antiterorisme
Al Chaidar ;  Program Studi Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2018



                                                           
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan revisi UU No 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) dalam rapat paripurna yang digelar 25 Mei 2018. UU Antiterorisme yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR ini tetap mengedepankan hak asasi manusia (HAM). Salah satu terobosan dalam UU baru ini adalah semua korban terorisme di masa lalu akan mendapat perlindungan negara, baik dalam ketentuan pemberian santunan, pengobatan, rehabilitasi hingga kompensasi, baik itu warga negara Indonesia atau orang asing.

Revisi UU ini sebenarnya berangkat dari hal sederhana tentang definisi terorisme. Definisi tentang terorisme yang sebenarnya tidak krusial, malah menjadi perdebatan yang alot selama proses dua tahun revisi UU No 15/2003 ini.

“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.”

Definisi ini sebenarnya sudah cukup untuk kebutuhan legislasi, tidak seperti dalam definisi terorisme yang akademis di mana unsur-unsur millenarianisme, fundamentalisme dan radikalisme mesti dielaborasi lebih lanjut dalam kajian dan penelitian teoritik.

Pengesahan revisi UU No 15/2003 mengenai terorisme dinilai mendesak sejak kekalahan Negara Islam Irak Suriah (NIIS/ISIS) di Filipina dan Suriah. Sudah lebih dari 15 tahun UU anti teror ini tidak direvisi, sementara perkembangan terorisme semakin brutal, sadis dan gila. Teror menyeruak hampir di semua sektor kehidupan di banyak negara kebangsaan di berbagai belahan dunia.

Bahkan terorisme NIIS telah hadir di Jalan Thamrin (2016) dan Kampung Melayu (2017), Jakarta, di beranda terdekat di negeri ini. Kehadiran terorisme yang tak terpahami preseden dan motif lainnya di luar motif teologi eskatologis di mana kematian dipandang sebagai cara pintas memasuki surga. Kematian dipakai untuk menakut-nakuti musuh agama yang tak terdeskripsikan, dalam suatu “perang” yang tak pernah terdengar deklarasinya sekalipun.

Terorisme “tamkin”

Ada satu persoalan krusial yang belum terakomodasikan dalam UU Antiterorisme yang baru disahkan ini. UU baru ini tidak menerapkan konsep terorisme tamkin (terorisme teritorial) yang menjadi masalah terorisme penting abad ini. Terorisme tamkin inilah yang kemudian menjadi pangkal perseteruan antara Polri dan TNI dalam hal tugas pokok dan fungsi mereka untuk menangani terorisme.

Kisruh pembagian wewenang di antara Polri dan TNI dianggap menempatkan Indonesia dalam risiko yang tak perlu.  Ada perubahan signifikan terhadap sistematika UU, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan, kemudian soal peran TNI yang itu semua hal baru dibandingkan UU sebelumnya.

Memang harus juga diakui bahwa UU yang sebelum ini menghambat polisi untuk bergerak jika pelaku sudah terbukti sebagai pelaku terorisme. Kewenangan mencegah pelaku dalam aksi sangat lemah. UU yang terbaru dapat memberikan wewenang lebih pada Polri untuk melakukan fungsi pencegahan.

Penanganan terpadu dan efektif butuh payung hukum yang lebih kuat. UU ini malah memberikan peneguhan untuk lembaga yang menjalankan program deradikalisasi yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam UU.

Pemerintah Indonesia melalui DPR sudah berhasil merevisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tertunda akibat perdebatan alot seputar pembagian wewenang antara polisi dan militer.

Secara teoritik, pelibatan militer di dalam menangani terorisme sudah dibahas oleh banyak peneliti tentang kemunculan strategi qital tamkin (perang di daerah pembebasan) yang menjadi ciri khas kelompok teroris teritorial. Sebutlah seperti MIT (Mujahidin Indonesia Timur), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan), OPM (Organisasi Papua Merdeka), Abu Sayyaf Group (ASG).

Menurut saya, terorisme teritorial harus ditangani secara khusus oleh TNI (misalnya, Koopsusgab). Terorisme tamkin (teritorial) ini jika ditangkap maka implikasi yuridisnya adalah akan diadili di sidang pengadilan humaniter atau pengadilan militer.

Kamil Salamah (1994, 181) telah membahas bahwa terorisme teritorial punya basis ideologi agama yang kuat. Teroris yang menerapkan strategi perang teritorial (Djelantik dan Akbar, 2016: 90) harus dihadapi oleh aparat keamanan yang memiliki kemampuan tempur yang memadai.

Thomas Koruth Samuel (2016: 53) dan Al Chiadar (2015: 245) juga sudah membahas betapa penanganan yang salah terhadap teroris tamkin menunjukkan kurangnya kesadaran teritorial dari para pemimpin politik sebagaimana terlihat di Thailand, Filipina dan Suriah.

Sidney Jones (2015) juga sudah mengingatkan kita akan kemunculan qital tamkin  yang dimiliki oleh teroris teritorial yang berbeda dengan qital nikoyah yang hanya melakukan strategi hit and run di berbagai lokasi. Terorisme tanzhim (non- teritorial) cukup ditangani dan dihadapi oleh polisi, dan jika teroris tanzim ditangkap cukup disidangkan di pengadilan negeri atau pengadilan sipil.

Perubahan dari strategi nikoyah ke strategi teritorial inilah yang harusnya diagregasi dan diartikulasikan secara tepat di dalam UU Antiterorisme yang baru ini. Sebab, hal yang saat ini menjadi fokus jihadis adalah nikayah atau melukai, menyerang, dan melumpuhkan orang yang mereka anggap sebagai “kafir” dalam sistem taksonomi hukum mereka yang keliru.

Bagi kelompok teroris yang berideologi Wahabi Takfiri ini, yang paling penting adalah tamkin, yaitu menguasai sebuah wilayah dengan pemimpin yang paham ilmu syar’i (hukum agama) dan fiqhul waqi’ (hukum politik). Para ulama mereka yang dianggap sebagai intelektual organik telah mengeluarkan sejumlah fatwa brutal dan sadis yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. UU Antiterorisme yang baru ini masih jauh dari harapan untuk bisa mengimbangi fatwa-fatwa teror yang semakin hari kian biadab.

Bahaya Laten Intoleransi

Bahaya Laten Intoleransi
Donny Gahral Adian ;  Dosen Filsafat Universitas Indonesia
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2018



                                                           
Intoleransi adalah hulu terorisme. Jarak antara mereka bisa dibilang hanya setarikan napas. Namun, kita sering menganggap enteng intoleransi. Intoleransi kita anggap habitus segelintir orang. Jika kemudian sikap itu menjadi masif, itu hanya karena momentum dan euforia spasio-temporal belaka.

Sementara, kita tersengat begitu menyaksikan dinamika di media sosial. Banyak grup WhatsApp pecah berantakan karena perbedaan pandangan dan keyakinan. Perpecahan dan konflik memang  hakikat politik.
Namun, politik merupakan konflik yang terkelola dengan baik dan terjadwal. Sementara, perpecahan akibat intoleransi bisa menjadi liar dan mengarah pada segregasi yang membahayakan hidup bersama.

Intoleransi

Intoleransi memang tidak bisa serta merta agresif dan merusak. Dia adalah sikap yang bersembunyi dalam keseharian manusia yang banal. Mulai dari penolakan untuk mengucapkan selamat hari raya terhadap mereka yang tak seiman. Protes terhadap terpilihnya ketua RT yang berbeda keyakinan. Keluar dari group WhatsApp hanya karena salah satu anggota posting artikel tentang pluralisme. Dan masih banyak yang lainnya.

Kita hidup di kerimbunan intoleransi tanpa sadar daya rusaknya. Paling banter kita menggerutu dan memberi sederet label konyol pada kaum intoleran. Intoleransi dihadapi dengan canda dan satir. Atau, kita membombardirnya dengan sederet argumentasi rasional.

Padahal intoleransi adalah ideologi yang menggalang afeksi kolektif bukan kognisi. Ini letak persoalan sesungguhnya. Kita sedang menghadapi ideologi afektif yang tidak mempan argumentasi rasional. Intoleransi menggalang dan memobilisasi emosi komunal. Artinya, dia semakin kokoh saat dilukai, dicemooh dan diremehkan.

Jargon-jargon kemajemukan mungkin tercerna masyarakat akal sehat namun daya mobilisasi afektifnya tidak sekuat jargon intoleran. Saya teringat saat Hittler berkampanye anti semitisme. Secara teatrikal dia berpidato di depan gudang milik Yahudi. Hittler berkata lantang, “Siapa selama ini yang mengisap kekayaan bangsa Jerman?”.

Dia tidak perlu menjelaskan panjang lebar soal dominasi Yahudi dalam perekonomian Jerman. Dia cukup menyentuh emosi khalayak yang sedang galau dan butuh biang keladi. Cukup itu saja. Namun, mobilisasi yang terjadi kemudian di luar bayangan mereka yang mengatakan, “Ah, propaganda murahan seperti itu tidak akan mempan”

Intoleransi adalah sikap yang memisahkan kami dan mereka. Kami adalah korban dan mereka adalah biang keladi yang membuat hidup kami berkesusahan. Intoleransi menjadi masif dan solid karena bersembunyi di balik argumen ketidakadilan. Di sini berbagai kekuatan konservatif menemukan titik temunya.

Trump misalnya menolak imigran bukan semata karena perkara ekonomi tetapi juga politik identitas. Bukan cuma keamanan nasional, melainkan juga “kepribadian Amerika” berada dalam bahaya apabila imigran dari Timur Tengah berhamburan masuk. Kita menyaksikan betapa intoleransi memenangkan pemilihan umum di Amerika Serikat. Perasaan tidak aman dikapitalisasi secara elektoral. Kebencian terbukti memiliki dampak elektoral yang dahsyat.

Di kita pun tidak jauh berbeda. Masyarakat yang merasa ekonomi lesu adalah mangsa bagi ideologi afektif intoleransi. Berawal dari sikap anti komunisme yang secara serampangan disamakan dengan ateisme. Kehadiran tenaga kerja asing dari China pun dipersepsi sebagai intrusi komunisme ke jantung Pertiwi. Itu kemudian dibalut dengan argumen ketidakadilan.

Saat pekerja lokal sulit mendapatkan pekerjaan, kita malah membuka keran bagi tenaga kerja dari China. Mobilisasi afeksi semacam ini terjadi di semua ruang sosial. Tanpa sadar, kita diajari membenci dan kebencian adalah keniscayaan sejarah untuk menyelamatkan republik dari malapetaka.

Potensi malapetaka

Intoleransi seperti dikatakan tadi hanya setarikan napas dari terorisme. Terorisme memang bentuk paling brutal karena memuat kekerasan. Namun, intoleransi bisa dengan mudah bertransformasi menjadi terorisme lunak. Terorisme lunak adalah saat intoleransi tidak disimpan dalam hati melainkan diumbar secara agresif di ruang publik.

Agresi publik itu semakin menguat saat politik mesianisme turun tangan. Keselamatan ada di tangan mereka yang membela keyakinan, identitas dan primordialisme. Para intoleran pun berubah menjadi pejuang keselamatan. Militansi ditempa dan mobilisasi terus berjalan secara masif.

Terorisme lunak lebih berbahaya ketimbang yang keras. Mengapa? Terorisme keras mengundang antipati publik. Semua mengutuk. Jalan kekerasan tidak akan menciptakan emosi kolektif. Sementara, terorisme lunak justru memobilisasi emosi kolektif dengan argumentasi ketidakadilan dan kemurnian keyakinan.

Dua bentuk terorisme ini tidak bisa berjalan beriringan. Politik tidak akan memakai terorisme keras. Sebab, itu hanya akan berdampak buruk bagi elektoralitas. Politik membutuhkan simpati. Maka, seperti kita saksikan, berbondong tokoh-tokoh fundamentalis pun turut mengutuk terorisme keras.

Namun, apakah terorisme lunak tidak berbahaya? Justru saya melihat daya rusak terorisme lunak jauh lebih kuat tinimbang yang keras.
Saat politik memanipulasi emosi publik dengan jargon “serba anti”, maka kita bisa menghadapi dua masalah yang cukup fatal. Pertama, politik teror mendapatkan tempat di hati publik dan mengambil alih negara. Jika itu terjadi maka negara akan diselenggarakan berdasarkan politik identitas yang segregatif.

FIS (Front Islamique du Salut) atau Front Keselamatan Islam merupakan partai politik di Aljazair yang didirikan pada tahun 1989.  FIS berkampanye dengan jargon “serba anti”  dan mendapatkan simpati. Pada tahun 1991, FIS yang diakui berideologi kanan ini, ikut pemilihan umum.

Hasilnya, putaran pertama (20 Juni 1991) FIS meraup 54 persen suara dan mendapat 188 kursi (81 persen) di parlemen. Meski akhirnya hasil pemilu dibatalkan penguasa militer, namun itu menunjukkan betapa terorisme lunak mampu menggalang suara dan memenangkan pemilihan umum.

Kedua, di tangan terorisme lunak segregasi sosial  dapat bertransformasi menjadi segregasi politik dan berakhir di segregasi nasional. Eskalasi ini tentu tidak terjadi dalam waktu singkat. Namun, kehadirannya bisa berupa unanticipated shock.

Saat kita tidak mencermati betul evolusi segregasi di ruang publik, maka kita tahu-tahu sudah berada dalam intensitas segregasi yang membahayakan. Perang saudara di Suriah, misalnya. Intoleransi berwujud terorisme lunak sudah mengoyak tubuh sosial masyarakat Suriah sejak lama.

Namun, tidak ada yang menyangka tubuh sosial itu secara tiba-tiba terbelah dua dan berperang. Intoleransi adalah bahaya laten yang bisa sewaktu-waktu meledak. Apabila tidak ditangani sejak subuh, maka malapetaka pasti datang di penghujung hari. Semoga intuisi saya salah. Namun, jika benar harga yang harus dibayar teramat mahal.

Menggali Etos Kerja Pancasila

Menggali Etos Kerja Pancasila
M Alfan Alfian ;  Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional;
Pengurus Pusat HIPIIS
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2018



                                                           
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! … Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan … Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong-royong!      Bung Karno dalam Pidato 1 Juni 1945

Kutipan di atas setidaknya menegaskan bahwa Bung Karno telah memberi pandangan khusus bahwa etos kerja bangsa Indonesia ialah gotong royong. Hakikat gotong royong adalah kerja sama yang dinamis, demi kepentingan bersama. Oleh karena itulah, Bung Karno memaknainya lebih dari sekadar kekeluargaan yang dinilainya statis. Apa yang dikemukakan Bung Karno ini, terkesan jalan tengah atas polemik panjang polemik kebudayaan, yang mencakup pula soal etos kerja bangsa. Polemik kebudayaan itu berkembang pada 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan sejumlah tokoh intelektual yang lain.

STA menawarkan agar etos kerja bangsa Indonesia seperti bangsa Barat. Titik berangkat etos kerja bangsa Barat ialah individualisme, bukan kolektivisme. Semangat berusaha pun berangkat dari etos individu yang dinamis untuk memenangi persaingan. Api bangsa Barat menyala kuat di atas intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme. Bagi STA, jiwa Barat itu harus kita ambil, “jiwa nrimo” harus ditolak.

Di sisi lain, penolak gagasan STA menekankan gagasan pentingnya kolektivisme, gotong royong, dan kekeluargaan sebagai sesuatu yang diyakini sebagai jiwa bangsa yang telah melekat erat sejak zaman nenek moyang. Di antara mereka bahkan mengilustrasikan kebesaran-kebesaran  ragam kerajaan Nusantara tempo dulu. Filosofi nenek moyang lebih diyakini lebih mulia ketimbang bangsa Barat yang terbelenggu materi dan keserakahan menjajah bangsa lain.

Oleh karena, menurut mereka, bangsa Barat bukanlah contoh model yang perlu ditiru. Api atau jiwa bangsa pun harus digali dari akarnya di bangsa sendiri.

Kendati tidak ikut langsung dalam polemik, Bung Karno tampak sangat menghargai gagasan yang kedua, bahwa api Indonesia harus digali dari akarnya di bangsa sendiri. Akan tetapi, di sisi lain ia cenderung tidak menolak perlunya bangsa ini dinamis. Di sini tampak pandangan Bung Karno seolah menjadi jalan tengahnya, hadirlah konsep “gotong royong adalah paham yang dinamis”.

Kolektivisme, karena itu, lebih merupakan dasar pergerakan bangsa yang dinamis.. Dinamisasi kolektif ini tentu berbeda dengan dinamisasi individualisme atau egoisme. Dinamisasi kolektif membutuhkan kebersamaan, yang dalam bahasa Bung Karno sebagai “pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama” dalam bingkai ‘amal semua buat kepentingan semua’ atau ‘kebahagiaan semua’.”

Gotong royong dinamis

Apakah gotong royong yang dinamis itu bukan sesuatu yang kontradiktif? Bukankah gotong royong yang mempersyaratkan kebersamaan antarentitas yang berbeda-beda itu, dalam logika ekonomi liberal lebih susah ketimbang menyelenggarakan kerja yang berbasis individualisme?

Dalam kaitan ini perlu kiranya kita menggali kembali hakikat gotong royong yang dinamis itu, lalu mengaitkan relevansinya untuk zaman kita. Dalam perspektif konstitusi, gagasan Bung Karno itu berimpitan dengan gagasan Bung Hatta, bapak bangsa (the founding fathers) lainnya, yang juga jelas-jelas mengakomodasi prinsip gotong royong dan kebersamaan dalam berekonomi.

Hal itu lantas tercermin pada Pasal 33 UUD 1945. Pada Ayat 1 pasal itu ditegaskan “Perekonomian disusun  sebagai usaha bersama berdasar atas  asas kekeluargaan”.  Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan relevansinya dengan ayat tersebut.

Pembahasan mengenai ekonomi Pancasila yang belakangan ini merebak kembali, tentu tak dapat dilepaskan dari perspektif konstitusi. Berbagai pandangan mengemuka dalam kajian ekonomi Pancasila justru ketika hakikat kegotongroyongan dalam berekonomi diinterpretasi dan reinterpretasikan. Ada yang lebih bertumpu pada semangatnya, ada pula yang menitikberatkan bentuk usaha atau kelembagaannya.

Namun, yang sama-sama disepakati, ekonomi Pancasila merupakan kegiatan ekonomi yang dilandasi etos kerja dalam bingkai nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila. Nilai-nilai itulah yang membedakan dengan semata-mata etos kerja kapitalisme atau liberalisme ekonomi. Etos kerja Pancasila memang sarat nilai, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Etos kerja Pancasila, karena itu, bukanlah etos kerja tanpa arah yang berpotensi menghalalkan segala cara dengan mengabaikan nilai-nilai adiluhung.

Dalam konteks “gotong royong yang dinamis” sebagai etos kerja Pancasila, sinergisitas antarelemen bangsa mutlak adanya. Tentu saja sinergisitas atau kerja sama dimaksud bukanlah sesuatu yang bekerja secara otomatis, kecuali dalam bingkai kebersamaan dan persatuan Indonesia.

Dalam konteks ini, masalah keragaman atau pluralisme bangsa justru menjadi kekuatan, mengingat satu sama lain saling menopang dan melengkapi. Namun, hal tersebut tidak akan tercapai manakala aspek manusia serta sistem kelembagaannya bermasalah, mengingat gerak kegotongroyongan tidak dapat dilepaskan dari keduanya.

Negara dan masyarakat

Aspek manusia jelas terkait dengan konteks manusia Pancasila. Kendati cukup abstrak dalam menggambarkan bagaimana manusia Pancasila, tetapi ia terkait dengan komitmen nilai-nilai dan kualifikasi sumberdaya. Oleh karena itu, tak berlebihan manakala ia dikaitkan dengan disiplin asketis atau spiritual (mesu budi) yang mendorong tindakan kemanusiaan, persatuan dan persaudaraan, musyawarah untuk konsensus atau mufakat, serta ikhtiar perwujudan keadilan sosial. Untuk itu, selain berbudi luhur atau mulia, perlu kompetensi, keunggulan, dan kemampuan yang mumpuni untuk merespons tantangan.

Aspek sistem kelembagaan tidak kalah rumit: bagaimana ia harus mengakomodasi, kalau bukan menjadikan bagian integral prinsip gotong royong dan kebersamaan agar operasional. Dari sini muncul peluang merekonstruksi—bahkan memperbarui—sistem kelembagaan berdasar prinsip-prinsip konstitusi sehingga selaras zaman.

Peran negara sebagai penentu regulasi sangatlah penting. Negara membuat regulasi yang dibingkai nilai-nilai Pancasila, tanpa harus mematikan aspek-aspek dinamis kompetisi dunia usaha. Negara mengatur agar persaingan ekonomi dan bisnis berjalan seimbang dan adil, tidak membiarkan segalanya berjalan secara bebas (free fight liberalism).

Di sisi lain, masyarakat, termasuk golongan pengusaha, mutlak harus memiliki etos kerja dan kerja sama tinggi, jujur, benar-benar bekerja keras dalam suatu iklim persaingan usaha yang kondusif. Tulisan ini bisa dikembangkan lagi, akan tetapi intinya adalah bagaimana etos kerja bangsa justru kita gali dari Pancasila.

Ideologi Anti-sawit di Eropa

Ideologi Anti-sawit di Eropa
Arif Havas Oegroseno ;  Alumnus Harvard Law School 1992
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2018



                                                           
Sikap anti-sawit di seluruh Eropa, tidak sekadar Uni Eropa (UE), adalah ideologi. Ideologi tidak harus selalu terkait pada keanggotaan partai atau sistem kenegaraan. Spektrumnya sangat luas dari ekstrem kiri hingga ekstrem kanan.

Anti-sawit di Eropa adalah ideologi baru yang unik karena tak mengenal spektrum. Mereka datang dari kelompok kiri, tengah, tengah-kanan, petani, dan industrialis, seperti ePure, asosiasi 23 industri raksasa etanol Eropa. ePure mengakui melakukan strategi komprehensif agar Parlemen Eropa (PE) hanya menggunakan produk lokal Eropa.

Gabungan kekuatan politik dari spektrum ideologi Eropa yang berbeda ini menghasilkan Resolusi PE yang melarang sawit sebagai minyak nabati (biofuel) transportasi di Eropa mulai 2021. Sebanyak 485 (60%) dari 751 anggota PE menyetujui resolusi diskriminatif anti-sawit dan menutup mata terhadap tak adanya standar yang sama terhadap produk lokal UE rapeseed, sunflower (bunga matahari) dan soya (kedelai).

Sepuluh fakta

Alasannya adalah deforestasi. EP melihat sawit tidak berkelanjutan dan harus dilarang sebagai bahan minyak nabati di UE. Kita lihat 10 fakta mendasar apakah argumen PE memiliki dasar.

Pertama, laporan UE sendiri menyatakan, penyebab deforestasi tertinggi adalah peternakan, yaitu 24 persen, kedelai (5.4), jagung (3.3), sawit (2.5). Peternakan sapi, kambing, domba dan babi di UE adalah 335 juta ekor. Di Indonesia hanya 59 juta atau 18 persen dari jumlah di UE. Namun tidak ada gerakan anti-peternakan di PE.

Kedua, data industri Eropa dan AS menunjukkan perluasan pertanian kedelai, rapeseed dan bunga matahari lebih masif daripada sawit. Pada 1965, terdapat 25,8 juta hektar (ha) kedelai, 7 juta ha rapeseed, 7,5 juta ha, bunga matahari, dan 3,6 juta ha sawit. Pada 2016 luasan kedelai mencapai 121 juta ha, rapeseed 33,6 juta ha, bunga matahari 24,69 juta ha dan sawit 20,23 juta ha. Namun tidak ada protes dari LSM lingkungan hidup UE, apalagi dari Indonesia.

Ketiga, data NASA menunjukkan pada November 2015, 56 persen hotspots kebakaran hutan terjadi di luar kawasan konsesi pertanian atau kehutanan, 33 persen di kawasan hutan industri kayu, dan 7 persen di kawasan konsesi sawit.

Data UE pada 2016 dan NOAA menunjukkan, dari rentang 2011-2015 luasan kebakaran hutan di Indonesia (64.000 ha) jauh lebih kecil daripada AS (2,2 juta ha), Rusia (2,3 juta ha), Portugal (84.000 ha), Spanyol (107.000 ha) dan Australia (236.000 ha), serta gabungan Italia dan Yunani (106.000 ha). Satelit NOAA menunjukan hotspots seluruh Indonesia pada Januari 2018 adalah 51 lokasi, sementara pada 2017 mencapai 89 lokasi. Pada 2015 adalah 22.000 titik. Tingkat kepercayaan NASA mencapai 80 persen, sebaliknya PE tidak peduli dengan data ini.

Keempat, angka deforestasi di Indonesia menurun hingga 30 persen sejak tiga tahun terakhir dari 1 juta ha pada 2014 menjadi 0,47 juta ha pada 2017. Deforestasi disebabkan oleh berbagai hal, dan laju penurunannya dilakukan dengan sejumlah kebijakan tegas dan nyata.

Kelima, Indonesia dinilai memiliki gambut terluas di dunia sehingga harus dilindungi dan tidak dapat digunakan untuk pertanian. Kenyataannya, sesuai data Wetland International, dari 381 juta hektar gambut global, gambut di Rusia adalah 137.5 juta ha, di Eropa 29 juta ha, 22 juta ha di AS dan di Indonesia 18.5 juta ha.

Dan, bukan rahasia umum lagi bahwa 55,37 persen dan 33 persen gambut di AS, Rusia dan di Eropa menjadi lahan pertanian. Sementara di Indonesia hanya 13 persen. Menjadi tanda tanya apabila tidak ada protes anti-pertanian gambut di Eropa. LSM Indonesia tidak pernah mempertanyakan mengapa bangsa Eropa bercocok tanam di atas gambut.
Keenam, riset ahli gambut Indonesia menunjukkan bahwa stok karbon hutan gambut primer adalah 81 ton per ha, hutan gambut sekunder 57 ton per ha, sawit 9-12 tahun mencapai 54 ton per ha dan sawit 14 tahun lebih mencapai 73 ton per ha.

Ketujuh, data FAO menegaskan bahwa emisi rumah kaca dari sektor pertanian di Indonesia sangat kecil, yaitu 3 persen. UE memegang rekor tertinggi, yaitu 28,8 persen, kemudian China (14), India (13), Brasil (9), dan AS (8 persen).

Kedelapan, pakar Barat menuduh hampir 70 persen sawit di Indonesia merupakan hasil penebangan hutan alamiah secara brutal. Pakar IPB menemukan fakta lain. Pada rentang 1950–2014, perubahan hutan menjadi non-hutan di Indonesia karena berbagai alasan mencapai 99 juta ha.

Pada rentang yang sama, 64 tahun, kebun sawit berkembang dari 597.000 ha menjadi 10 juta ha, suatu proses yang sangat lambat dan membuktikan bahwa sawit bukan penyebab deforestasi. Justru dalam banyak hal, kebun sawit berupa pohon dengan ketinggian 12 meter memberikan peran reforestasi. Total reforestasi sawit mencapai 7,9 juta ha pada 2013. PE tak menghargai ini.

Kesembilan, hasil riset IE Henson dan PPKS menunjukkan data perbandingan serapan karbon dan produksi oksigen antara sawit dan hutan tropis yang penting. Sawit menyerap 64 ton karbon per tahun dan mengeluarkan 18 ton oksigen per tahun, sementara hutan tropis menyerap 42 ton karbon dan mengeluarkan 7 ton karbon per tahun.

Kesepuluh, sawit memerlukan air paling sedikit untuk memproduksi energi per gigajoule, yaitu 85 meter kubik, dibandingkan rapeseed 184 meter kubik, kedelai 100 meter kubik dan bunga matahari 87 meter kubik.

Motif sebenarnya: monopoli!

Biofuels di UE tidak hanya dari sawit tetapi juga dari rapeseed, bunga matahari dan kedelai yang ditanam petani secara masif seluas 11.5 juta hektar. Para petani ini dan juga petani di UE lainnya dapat subsidi yang besar, yaitu 59 miliar euro atau hampir Rp 1.000 triliun.

Kekuatan lobi mereka luar biasa. Catherine Bearder, anggota PE dari Liberal Demokrat, membuka data: 25 dari 45 anggota komite pertanian PE adalah petani, eks petani, atau memiliki bisnis terkait pertanian. Media memberitakan bahwa sejumlah anggota PE menerima dana hingga 5.000 pound atau Rp 93 juta per bulan dari bisnis pertanian. Angka ini jauh di atas upah minimum Inggris 1.300 pound.

Greenpeace sendiri mengakui bahwa masukan lobi petani dalam proses pengambilan keputusan UE sangat kuat. Sementara industri minyak nabati UE memiliki lobi yang kuat, antara lain AVRIL GROUP. Menurut data EU Transparency Register, AVRIL memiliki anggaran hingga 4,8 juta euro atau sekitar Rp 78 miliar per tahun dengan 76 pelobi profesional untuk melakukan lobi kepentingan industri minyak nabati di UE.

Salah satu strategi lobi petani dan industri minyak nabati di UE adalah menciptakan fokus terhadap sawit dengan berbagai tema, tanpa memerhatikan data dan fakta. Mulai dari kesehatan hingga lingkungan hidup guna mencapai satu tujuan: menghilangkan sawit dari pasar minyak nabati UE.

Bas Eickout, Green MEP Belanda menyatakan penggunaan minyak sawit perlu dikurangi hingga nol pada 2021. Sementara Sekjen ePURE Emanuelle Desplechin, produsen ethanol di UE, menyatakan bahwa UE harus berhenti mempromosikan penggunaan minyak sawit dan turunannya dalam biofuel. UE sendiri secara resmi mengajukan anti-dumping terhadap sawit Indonesia sejak November 2013.

Semua data di atas menunjukkan bahwa ideologi anti-sawit di UE bersumber pada persaingan bisnis dari petani dan industri rapeseed, bunga matahari dan kedelai yang ingin menguasai pasar minyak nabati di UE secara penuh.

Argumentasi dan kebijakan apa pun yang dilakukan Indonesia tidak akan pernah diterima oleh mereka. Ibaratnya permainan sepak bola, Indonesia tidak akan pernah menang karena gawangnya selalu dipindahkan. Mereka tidak menghendaki sertifikasi sustainability rapeseed, bunga matahari dan kedelai ataupun analisis mendalam terhadap pertanian di atas gambut Eropa, dampak kebakaran hutan di Eropa.

Permintaan utama Indonesia agar dilakukan dialog yang wajar atas dasar data dan keilmuan secara seimbang pun selalu ditolak. Diskusi secara rasional dengan menggunakan data dikhawatirkan akan merugikan lobi petani dan industri karena hal ini akan membawa pada perlakuan yang sama dan non-diskriminatif terhadap semua produk minyak nabati dalam kesetaraan.

Ideologi anti-sawit ini ternyata juga merambah Indonesia dengan tingkat anomali yang tinggi. Hal ini antara lain terlihat dari Surat Terbuka Kepada Presiden RI dan Dewan UE serta Kepala Negara UE tanggal 22 Mei 2018, yang ditandatangani oleh 236 orang.

Dalam butir 1, surat ini setuju terhadap Resolusi PE yang melarang sawit tetapi memperbolehkan rapeseed, kedelai dan bunga matahari. Artinya, mereka menyetujui perilaku diskriminatif politisi Eropa. Mereka tidak meminta sertifikasi atau kebijakan “eco-friendly” terhadap industri rapeseed, kedelai dan bunga matahari di UE.  Kini terdapat 236 warga Indonesia di Indonesia yang setuju kebijakan untuk menghukum produk Indonesia dari lembaga politisi asing, yang anggotanya termasuk politisi anti-Islam dan anti-Muslim.

Ekspansi ideologi anti-sawit di Indonesia adalah tantangan yang lebih berat daripada di UE karena hal ini berarti bangsa Indonesia berhadapan satu sama lain, di mana banyak LSM Indonesia yang tak menyadari bahwa motivasi petani dan industri UE bukan lingkungan hidup di Indonesia tetapi kepentingan dagang dan subsidi pertanian. Kita menghadapi strategi devide et empera lagi. Ini mengingatkan kita pada pesan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuangan mu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Perjuangannya akan panjang dan kompleks karena ideologi ini harus dilawan dengan perbaikan kebijakan nasional, dengan data dan ilmu, serta hukum internasional. Sulit, tetapi tidak ada pilihan lain. Indonesia harus terus melawan seperti halnya Komisioner UE Malmstroem terhadap ancaman tarif Trump. Beliau menegaskan “Recently we have seen how it is used as a weapon to threaten and intimidate us. But we are not afraid, we will stand up to the bullies,”

Lucu ”Agawe Santosa”

Lucu ”Agawe Santosa”
Indra Tranggono ;  Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
                                                         KOMPAS, 02 Juni 2018



                                                           
Tahun politik 2019 (pemilihan legislatif dan presiden) bakal menguras energi bangsa. Blok-blok politik menguat. Tensi politik meninggi. Ketegangan antarkubu meningkat. Narasi penuh kekerasan bertaburan. Gesekan sosial pun berpotensi meledak. Kemenangan dalam kontestasi itu jadi pertaruhan besar. Peradaban bangsa pun terancam robek.

Seluruh elemen bangsa ini membutuhkan kedewasaan, di antaranya dengan mencipta ruang-ruang dalam pikiran dan jiwa agar kemarahan tidak mudah berkobar. Salah satunya melalui humor.

Jangan sepelekan humor! Humor tak hanya mampu menetralisasi stres dan amarah, tetapi juga membebaskan manusia dari kesempitan cara pandang dan kesumpekan hati sehingga menemukan dunia alternatif dan  nilai-nilai baru. Selain itu,  humor juga mendidik manusia untuk selalu rendah hati. Menertawakan diri sendiri atas berbagai kelemahan, keterbebasan, dan kekonyolan. Tidak jemawa. Tidak semena-mena terhadap manusia lain. Selalu eling (sadar diri secara etik) dan waspada (ketajaman pikiran dan batin dalam menentukan langkah). Tidak gampang terhasut. Selalu menimbang, memilih, dan memilah berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Mampu membedakan antara yang artifisial dan yang substansial.

Hidup membutuhkan sikap semeleh (kelapangan hati dan pikiran yang menciptakan rasa damai) dalam menyikapi kenyataan. Rileks. Kritis. Mampu menertawakan kenyataan. Dalam konteks lebih luas, humor dan segala kelucuannya mampu menjadi perekat bangsa. Wajar jika orang pun bilang, lucu agawe santosa.

Jarak politik

Bangsa-bangsa yang berperadaban tinggi cenderung memiliki selera humor yang baik. Persia melahirkan Abu Nawas (756-814), penyair dan sosok bijak dan kocak. Turki melahirkan Nasrudin Hodja, sufi satririkal yang meninggal pada abad ke-13. Inggris melahirkan Charlie Chaplin (1889-1977). Rusia melahirkan cerita-cerita humor yang getir. Ini menunjukkan, humor merupakan bagian penting dari kebudayaan dan peradaban bangsa.

Bagaimana Indonesia? Sejak reformasi 1998 bergulir, sebagian besar anak bangsa kita kian sulit tersenyum dan tertawa. Seperti harga bahan kebutuhan pokok, darah mereka gampang naik. Mereka sangat sensitif terhadap kata, frasa, ujaran, wacana atau teks yang dianggap memiliki potensi ancaman atas cara pandang, pemahaman, dan penghayatan politik serta primordialnya.

Masyarakat kita cenderung bersumbu pendek. Gampang tersinggung, terprovokasi, dan meledakkan amarah. Kebiasaan itu bukan hanya dimiliki kaum akar rumput, juga kelompok elite politik, antara lain, yang suka pamer amarah di televisi.

Budayawan Umar Kayam pernah bercerita tentang suporter sepak bola Persis Solo dan suporter PSIM Yogyakarta yang sama-sama menyaksikan pertandingan kedua kesebelasan itu. Ini terjadi pada 1950-an.  Kita tahu hubungan Persis Solo dengan PSIM Yogya kurang harmonis, antara lain, karena sisa-sisa sentimen Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi kekuasaan Mataram menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Ketika pemain PSIM berhasil memasukkan gol ke gawang Persis, pendukung Persis tidak marah. Mereka justru diam. Sementara pendukung PSIM bersorak-sorai. Namun, giliran Persis mampu bikin gol ke gawang PSIM, kontan para pendukung Persis  mengeluarkan belangkon ala Yogyakarta yang punya ”mondolan” (bulatan sebesar telur asin yang ada di bagian belakang belangkon). Apa yang dilakukan? Suporter Persis nylenthiki ”mondolan” itu, sambil bilang, ”Kapok ora… kapok ora.” Kontan semua penonton tertawa. Pertandingan pun berlanjut dengan gayeng, ramai, menyenangkan, damai, dan penuh sportivitas.

Kasus di atas jadi indikator betapa masyarakat Solo dan Yogya waktu itu masih memiliki selera humor tinggi. Kepahitan hidup akibat konflik kekuasaan tidak serta-merta merembes menjadi konflik horizontal penuh amuk dan kekerasan. Masyarakat mampu mengambil jarak politik dan melakukan transendesi. Di situ, humor dipilih sebagai jalan pembebasan.

Pada 1950-an- 1980-an, kemampuan masyarakat kita dalam menertawakan diri sendiri dan keadaan masih terasa. Pada rentang waktu itu di Yogyakarta lahir dagelan Mataram (Basiyo dkk), Srimulat pimpinan Teguh Raharjo; kuartet Bing Slamet, Ateng, Iskak, dan Edi Sud; grup lawak Mang Udel dan kawan-kawan di Bandung, hingga Warung Kopi, Dono, Kasino, dan Indro (Warkop DKI). Grup-grup lawak bisa menjadi penanda kebudayaan tentang masyarakat yang memiliki selera humor tinggi.

Kita punya penulis-penulis hebat yang mampu menghadirkan refleksi, kontemplasi dengan cara cerdas dan lucu melalui kolom-kolomnya. Sebut, misalnya, Umar Kayam, Mahbub Djunaidi, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur),  Satjipto Wirosardjono, Arwah Setiawan, dan Emha Ainun Nadjib.

Humor itu subversif

Dalam kebudayaan, humor tidak sebatas banyolan, tetapi sebuah nilai yang lahir dari cara pandang atau cara berpikir yang mampu menciptakan versi lain dari versi besar (umum) atas realitas kehidupan. Karena itu, humor bersifat subversif.

Humor ”menghancurkan” atau mendekonstruksi pikiran yang beku dan mapan untuk melahirkan realitas kemungkinan yang menggedor akal pikiran dan meledakkan tawa. Artinya, kekuatan humor adalah permainan logika, keluasan wawasan, dan keliaran imajinasi. Tinggi-rendahnya selera humor bergantung  mutu kebudayaan, kematangan jiwa, dan  imajinasi bangsa.

Tahun politik membutuhkan kemampuan  mentransendensi melalui humor agar masyarakat menemukan kekayaan cara pandang dan kelapangan hati untuk menyikapi pelbagai banalitas politik. Kelucuan yang diproduksi humor mampu mencairkan ketegangan, bahkan mempererat persaudaraan bangsa menjadi kuat.

Jika ada pameo ”rukun agawe santosa”, maka muncul pula wisdom ”lucu agawe santosa” alias kelucuan melahirkan kekuatan jiwa bangsa, terutama saat menghadapi keadaan kritis, genting seperti tahun politik.