Senin, 31 Oktober 2022

 

Tradisi dan Kesadaran

Jean Couteau

KOMPAS, 30 Oktober 2022

 

                                                

 

Kebudayaan Bali telah lama bermasalah dengan modernitas. Politik tentunya berperan dalam hal ini: sejak awal Orde Baru, pengungkapan ”tradisi yang luhur” yang dikedepankan, sedangkan tematika ”penderitaan rakyat” dibungkam. Kemudian pemilihan pariwisata sebagai landasan pembangunan ekonomi mempertegas lagi pilihan politik ini. Apabila ditambah dengan kenyataan bahwa kebudayaan tradisional Bali sangat visual, dan amat dikagumi karena itu oleh orang luar, tidak mengherankan jika acuan pada kekinian dihindari.

 

Istilah-istilah seperti ”tradisi”, ”budaya”, ”harmoni antara manusia dan alam” terus bermunculan dalam wacana umum. Seolah-olah Bali adalah dunia lain yang ditakdirkan berada di luar ketegangan dan pertarungan dunia real. Seni tentunya disertakan di dalam konstruksi wajah ”ideal” ini. Seni perdesaan didukung pelestariannya sebagai norma, sedangkan ragam seni baru ”wajib” mengacu secara formal dan tematis pada warisan lama, alih-alihnya modernitas seakan-akan belum menyentuh Pulau Bali. Pendeknya, ”ideologi tradisi” sedemikian menguasai benak orang sehingga wacana kritik/transformatif tak diberikan ruang yang berarti!

 

Sementara itu, realitas berbicara senyatanya melalui ekonomi pariwisata yang mentransformasi dunia real. Wajah fisik pulau berubah, urbanisasi merambah jalan-jalan, toko, warung dan ruko menutup sawah; lalu lintas kian liar tanpa menggubris transportasi umum memadati ruas jalan yang mengecil. Kondisi orang pun berubah: kaum perempuan kian otonom, pendatang terus berdatangan, tanah dikuasai pemilik baru… dan seterusnya.

 

Jadi, jeda antara norma yang tradisional dan realitas yang modern semakin meluas. Namun, kuasa ideologi ”tradisi” tak berkurang, hal mana memacetkan setiap langkah adaptatif, setiap upaya untuk memikirkan realitas secara rasional. Orang yang ingin kritik secara mendalam hanya bisa bersuara menjadi betul-betul pengkritik kalau berada di luar Bali. Kalau di Bali, kritiknya tetap harus dirumuskan dalam bahasa tradisi, dengan acuan pada norma ideal lama, yaitu norma tradisi. Jadinya macet, tak terlihat jalan keluar untuk akal sehat. Tak mengherankan, lama-kelamaan sebagian dari kaum pengkritik beralih sasaran. Karena tidak ditunjang kerangka pemikiran yang tepat, tidak pula ditunjang kesenian yang betul-betul terbuka, pendatanglah menjadi sasaran kritikannya. Gejala ini terutama terlihat di pers lokal. Jadi, ujung-ujungnya pemujaan tradisi bergeser menjadi racun.

 

Untunglah tidak semua awan gelap di langit Bali ini. Secara paradoksal, pandemi Covid-19 menjadi shock yang memaksakan orang, semua orang, untuk merenungkan kembali hubungan manusia dengan alam. Dengan sendirinya, terbukalah ruang pemikiran baru dan ruang kritikan baru. Perenungan itu tidak hanya melibatkan orang Bali, tetapi juga orang luar, bahkan orang asing pun diminta pertimbangan. Dibantu oleh media online, gagasan-gagasan anyar berseliweran, menggerogoti wacana kaku ideologi tradisi, dan pada umumnya terhindarilah fokalisasi kesalahan terhadap kaum pendatang.

 

Paling menarik, udara baru tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari pemerintah daerah. Pejabat baru merangkul kebijakan baru. Kata kunci ”tradisi” menghilang atau dilengkapi oleh referensi pada kekinian. Bahkan, salah satu festival yang baru-baru ini merayakan pemulihan situasi normal setelah Covid-19 disebut ”Festival Seni Bali Jani”, artinya ”Seni Bali Masa Kini”.

 

Acuannya pada kekinian bukan hanya formal. Salah satu karya yang paling menarik yang muncul pada Festival Seni Bali Jani itu adalah pementasan teater monolog ”Drupadi”. Nama Drupadi terkenal, kan? Dia adalah tokoh Mahabharata yang menjadi istri kelima Pandawa sekaligus. Namun, apakah pementasan ”Drupadi” merayakan keluhuran nilai-nilai Mahabharata seperti lazim dilakukan selama ini? Tidak!

 

Ia sebaliknya mengajak kita untuk mengkritik landasan patriarki karya besar itu. Versi ”Drupadi” ini merupakan suatu monolog yang melantunkan keluh kesah tokoh Drupadi sebagai perempuan. Dia mengeluhkan ketak-kuasaannya hadir sebagai ”subyek” penuh dari kehidupannya sendiri ”apa karena aku perempuan”.

 

Menarik, kan? Apalagi dipentaskan dengan apik di dalam suasana mistis lintas waktu. Siapa penulis naskah dan sutradaranya? Apakah seorang perempuan? Tidak! Dia seorang lelaki Bali bernama: Putu Fajar Arcana. Sebagai lelaki, dia tidak mengeluh tentang nasib kaumnya, tetapi menyadari nasib kaum lainnya, yaitu kaum perempuan.

 

Putu banyak menyerap sistem nilai dan kedalaman estetika di luar Bali dan oleh sebab itu ia berpikiran dinamis serta lebih terbuka dibandingkan mereka yang menetap di Bali.

 

Perluasan kesadaran memang inti dari kebudayaan dan itu bukanlah tradisi. Semoga jalan kesadaran itu teruslah ditempuh oleh semua lapis masyarakat, hidup fajar tradisi baru!

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/29/tradisi-dan-kesadaran

 

 

Lebih Cerdas dalam Protes Perubahan Iklim

Lynda Ibrahim : Konsultan bisnis dan penulis

KOMPAS, 30 Oktober 2022

 

                                                

 

Akhir-akhir ini, beberapa insiden aksi mengagetkan dunia. Semua mengatasnamakan isu-isu penting sebagai landasannya.

 

Sekelompok aktivis membuangi isi botol susu di sejumlah supermarket di Inggris atas nama hak asasi hewan dan kesinambungan alam. Atas nama gerakan anti-energi fosil, sekelompok aktivis menyiramkan sup tomat ke lukisan Vincent van Gogh di Galeri Nasional di London, kelompok lainnya melempari lukisan Claude Monet di Museum Barberini di Potsdam, sedangkan kelompok yang berbeda lagi mengelem diri lalu menumpahkan sup tomat ke lukisan Johannes Vermeer di Den Haag.

 

Bukan cuma kaget, jujur saya bingung faedahnya di mana.

 

Saya sepakat bahwa perubahan iklim yang terjadi sekarang memerlukan perubahan drastis kebijakan pemerintahan dan perilaku individu. Saya juga sepakat kadang perlu protes keras. Tapi keras beda dengan sia-sia. Ketiga aksi di atas bukan hanya salah sasaran, melainkan juga berpotensi mengalienasi lapisan masyarakat yang harusnya dicerahkan.

 

Contoh, soal menumpahkan isi botol susu di supermarket. Inggris sedang dilanda inflasi tinggi yang menyulitkan rakyat biasa membeli bahan makanan, kenapa malah dibuang-buang? Yang akan mengepel lantai supermarket itu juga adalah pegawai terendah yang biasanya imigran. Sementara itu, apa dampak sensasi ini terhadap elite penguasa sistem peternakan modern yang merusak iklim, atau pejabat pemerintah? Tidak ada. Jadi sudahlah pesan tak sampai, penerima dampak aksi malah rakyat kecil.

 

Serupa dengan aksi vandalisasi karya seni. Betul memang kedua mahakarya dilindungi kotak kaca, tetapi aksi begini akan mendorong museum dunia bersiaga melindungi semua karya yang akhirnya menaikkan biaya asuransi dan operasional—berpotensi membuat museum lebih eksklusif saat arah seni sebenarnya lebih inklusif. Pasal kedua, membuang-buang makanan, saat harganya sedang mahal pula! Lebih konyolnya lagi, karena para aktivis ini mengelem tubuh ke dinding di sekitar lukisan, butuh orang lain untuk repot membebaskan mereka menggunakan cairan solusi yang, ironisnya, terbuat dari minyak.

 

Arogan, konyol, ironis, dan sia-sia

 

Sebenarnya banyak cara yang lebih simpatik, minimal tidak mengalienasi, dalam mengampanyekan cara hidup yang lebih berkesinambungan.

 

Dunia mode adalah salah satu yang dikecam pedas karena merayu konsumen untuk membeli pakaian baru setiap musim, padahal produksinya mengisap sumber daya seperti energi dan air. Beberapa tahun terakhir dunia mode bebenah dan mulai mencari metode produksi yang lebih berkesinambungan. Dalam buku Fashionopolis (2019), jurnalis Dana Thomas menjabarkan beberapa ikhtiar yang dilakukan, mulai dari desainer kelas dunia seperti Stella McCartney sampai industri denim Jepang di Kojima untuk menciptakan pakaian berumur panjang dan bergaya klasik demi meredam keinginan berbelanja pakaian baru tiap saat. Slow fashion, bukan fast fashion yang populer sejak awal 2000-an.

 

Di Indonesia, Toton Januar, satu-satunya desainer mode Indonesia yang pernah menang penghargaan Woolmark Asia, sejak 2017 berupaya mendayagunakan material yang sudah tersedia ketimbang memakai bahan baru.

 

Digelar pada Bazaar Fashion Festival baru-baru ini, 90 persen koleksi terbaru Toton menggunakan sisa material dari koleksi sebelumnya, denim bekas pakai yang direkonstruksi, dan bahkan barang bekas rumah tangga, seperti taplak, karpet, dan tirai jendela. Jenama ini juga berhenti memakai kulit binatang. Kepiawaian desain Toton membuat koleksi terbaru ini tetap berkelas dan bergaya, terlihat dari sambutan meriah para undangan saat di akhir pergelaran para model berdiri statis dan penonton diberi kesempatan mengamati desain dari dekat.

 

Sejauh Mata Memandang (SMM) melebarkan ikhtiar lebih jauh dengan mendukung konservasi Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh sejak akhir 2020 dengan berbagai kegiatan. Pada ArtJog 2022, SMM mendirikan instalasi multimedia dan interaktif menggunakan material bekas produksinya, di mana pengunjung digugah untuk meninggalkan pesan pribadi tentang kelangsungan Bumi. Pesan-pesan pengunjung ini dijahitkan ke busana pembuka pergelaran SMM minggu ini di Jakarta Fashion Week ke-15.

 

Di luar dunia mode, ada beberapa ikhtiar untuk kembali ke gaya hidup yang lebih menghargai proses pembuatan dan kualitas ketimbang kepuasan instan. Di bisnis wastra, ada Sekar Kawung, yang walau sempat terhambat pandemi, bersikukuh mengolah tenun dari benang ramah lingkungan melalui program pemberdayaan perempuan di, salah satunya, Tuban. Untuk Hari Batik kemarin, jenama baru Kelir dan ahli batik Zahir Widadi memperkenalkan kembali teknik pewarnaan alami indigo yang didasarkan dari metode lawas pembatik Pekalongan. Lebih jauh ke hulu ada Asia Pacific Rayon yang menawarkan viscose rayon, serat selulosa yang lebih ramah lingkungan dalam rantai produksinya.

 

Bukan hanya sandang, melainkan juga papan. Untuk lantai rumah, ada Tegel Kunci di Yogyakarta yang melestarikan proses produksi bertahap yang mengandalkan kerja tangan dan sinar matahari sebagai alternatif terhadap keramik modern pabrikan.

 

Tentu mudah menyinisi ini semua sebagai trik berjualan. Saya pun tak buta menjamurnya label eco-friendly yang acap dipakai sebagai dalih harga premium. Di sisi lain saya percaya keniscayaan skala dan momentum—mendukung ikhtiar seperti ini dalam jangka panjang akan menciptakan momentum dan menormalisasi kebiasaan baru, yang ujungnya membangun pasar. Walau tak dalam skala industri massal seperti sekarang, model bisnis berkesinambungan yang tetap terjangkau bagi khalayak ramai memungkinkan dibentuk dalam jangka panjang, semoga sebelum kerusakan Bumi kian parah. Kita bisa sinis dan mengalienasi, atau mendukung ikhtiar yang ada sambil mengubah praktik hidup pribadi.

 

Protes atas kerusakan iklim memang penting. Protes keras diperlukan di saat genting. Tapi ada pilihan jalan untuk protes tanpa merusak mahakarya seni atau membuangi makanan di saat inflasi atau paceklik. Please-lah.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/29/lebih-cerdas-dalam-protes-perubahan-iklim

 

 

Ikhtiar Melahirkan Buya Syafii Maarif Baru

Iqbal Basyari

KOMPAS, 30 Oktober 2022

 

                                                

 

Suatu siang tahun 2019 lalu, Direktur Eksekutif Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali bersama sejumlah koleganya berkunjung ke apartemen mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka datang untuk memastikan kondisi kesehatan Buya yang telah berusia di atas 80 tahun.

 

Waktu itu, Buya Syafii masih rutin ke Jakarta untuk menjalankan tugas kenegaraan, baik sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) maupun anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Kesempatan itu selalu dimanfaatkan para aktivis Maarif Institute menemui sang pendiri yang belakangan lebih sering tinggal di kediamannya di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Pada beberapa kesempatan, Buya sempat melontarkan keinginan untuk mengumpulkan artikel-artikelnya yang dipublikasikan di sejumlah media menjadi sebuah buku. Namun, hingga Buya wafat, 27 Mei 2022, keinginan itu belum terwujud.

 

Setelah 100 hari Buya meninggal, barulah kumpulan tulisannya diterbitkan dalam tiga buku berjudul Bulir-bulir Refleksi Seorang Mujahid yang diterbitkan Kompas, Al-qur’an untuk Tuhan atau untuk Manusia? diterbitkan Suara Muhammadiyah, serta Indonesia Jelang Satu Abad, Refleksi tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan diterbitkan Mizan. Ketiga buku itu diluncurkan secara bersamaan di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (27/10/2022).

 

Menurut Rohim, buku-buku yang berisi gagasan Buya Syafii tersebut perlu disebarluaskan, terutama di kalangan generasi muda. Sebab, pemikiran Buya selalu relevan dengan kondisi Indonesia. Sebagai calon pemimpin bangsa, generasi muda perlu memahami sekaligus mewarisi pemikiran kritis Buya. Dengan begitu, lambat laun akan muncul ”Buya Syafii” baru.

 

Tiga pemikiran

 

Setidaknya ada tiga pemikiran Buya Syafii yang terangkum dalam ketiga buku tersebut, yakni tentang pemikiran Islam keindonesiaan, keadilan, dan pemberantasan korupsi. Dalam isu Islam dan keindonesiaan, Buya Syafii melihat ada upaya-upaya untuk membenturkan keislaman dengan kebangsaan dan Pancasila. Menurut dia, hal itu bisa membahayakan kehidupan bangsa.

 

”Kalau bagi Buya, antara Islam dan keindonesiaan bukan semacam pilihan ganda, bukan pilih salah satu dan mengabaikan yang lain. Gagasan Buya adalah secara umum keislaman dan keindonesiaan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” kata Rohim.

 

Soal isu keadilan, lanjutnya, Buya selalu mengatakan bahwa mimpi tentang Indonesia yang adil baru bisa terwujud jika tak ada lagi kemiskinan di Tanah Air. Maka, muncullah ungkapan, sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kini kondisinya yatim piatu karena keadilan belum sepenuhnya terwujud. Adapun gagasan tentang pemberantasan korupsi, Buya selalu mendorong siapa pun untuk memerangi korupsi walau harus berhadapan dengan kawan sendiri.

 

”Meski pemikiran Buya relevan, gagasannya dianggap elitis. Maka, Maarif Institute selalu mengarahkan program ke anak muda agar pemikiran Buya yang dianggap elitis bisa dipahami agar Buya baru lambat laun bisa muncul,” ujar Rohim.

 

Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo saat peluncuran dan diskusi buku Ahmad Syafii Maarif mengatakan, sehari setelah Buya Syafii wafat, halaman depan Kompas berlatar belakang hitam dan menampilkan tulisan tentang Buya berjudul Nyala Abadi Suluh Bangsa. Hal itu menggambarkan pikiran Buya Syafii selalu relevan dengan zaman.

 

”Di hari yang sama, saya menulis di kolom catatan politik dan hukum berjudul ”Muazin” Bangsa yang Selalu Gelisah. Saya menangkap Buya selalu gelisah dengan kondisi negara ini, apakah itu soal keberagaman, korupsi yang terus merajalela, dan keadilan sosial yang terus menganga di republik,” tuturnya.

 

Menurut Budiman, tulisan-tulisan Buya menjadi semacam sistem pengingat dini akan bahaya yang mengancam bangsa. Tulisannya yang mampu menangkap kegelisahan atas kondisi negara ini selalu relevan dengan zaman.

 

Sepeninggal Buya dan ”muazin” bangsa lainnya, seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan terakhir Azyumardi Azra, menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk melahirkan muazin-muazin bangsa selanjutnya. Muazin bangsa yang bisa menjadi jangkar antara masyarakat sipil dan partai politik.

 

Pengajar di Universitas Paramadina, Putut Widjanarko, mengatakan, Buya Syafii sangat mudah dan haus dengan hal-hal baru. Kata-katanya sangat lugas dan menggambarkan kegeraman yang luar biasa terhadap kondisi negeri ini.

 

Ia mencontohkan, beberapa kalimat Buya Syafii di antaranya "Politisi bermental lele, tuna moral"; "Saya akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi adalah sebuah dusta yang disengaja"; "Inilah sebuah negeri yang dikatakan beragama tetapi kelakuan warganya alangkah busuknya"; serta "Mungkin Indonesia akan bubar jika rahim nusantara gagal melahirkan para negarawan dengan wawasan yang jauh menembus ke depan karena yang berkeliaran adalah politisi rabun ayam plus pengusaha tuna moral".

 

Selain itu, ada kalimat "Indonesia terlalu mulai dijadikan ajang pertarungan politik tuna adat dengan membenamkan Pancasila ke bawah debu sejarah, namun jika yang tampil adalah mereka yang miskin visi dan tuna moral, kondisi Indnesia yang sudah lama berkubang dalam dosa dan dusta akan kian rontok, tuna martabat, dan sunyi dari keadilan".

 

"Buya adalah seorang intelektual organik karena terlibat dalam upaya-upaya yang serius untuk mentransformasi kita semua, dan tugas terberat Maarif Institute untuk menyebarkan ini," tutur Putut.

 

Oleh karena itu, sudah semestinya pemikiran-pemikiran Buya disebarluaskan, terutama kepada generasi muda, sebagai ikhtiar untuk melahirkan Buya Syafii baru.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/10/29/ikhtiar-melahirkan-buya-syafii-maarif-baru

 

 

Menguji Inklusivisme Agamawan R20

Imam Malik Riduan : Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon; Kandidat Doktor pada School of Social Sciences Western Syndney University, Australia

KOMPAS, 30 Oktober 2022

 

                                                

 

Agama memiliki kapasitas untuk tampil sebagai salah satu jalan keluar bagi persoalan dunia. Pesan itulah yang tampaknya ingin disampaikan oleh forum agamawan R20 (Religion of Twenty) pada 2-3 November 2022 di Bali.

 

Pemerintah Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 memberikan dukungan penuh kepada inisiatif Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf itu dengan menjadikan ajang R20 sebagai official engagement G20. Dengan demikian, presidensi G20 telah memproklamasikan agama sebagai komponen yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendesain solusi persoalan global. Dengan kata lain, beberapa saat lagi Indonesia akan menutup era peminggiran agama dari ranah publik untuk kemudian berbalik mengampanyekannya sebagai bagian dari solusi bagi tantangan global.

 

Ketua panitia acara ini, Ahmad Suaedy, dalam tulisannya di Kompas (22/10/2022), mengatakan, acara ini akan dihadiri oleh setidaknya 100 pemimpin agama dunia dan 200 tokoh agama dari Indonesia. Tokoh-tokoh agama itu, menurut dia, datang dari berbagai latar belakang aliran dan sekte.

 

Tidak seperti seminar dan konferensi serta forum-forum lain, kata Ahmad Suaedy dalam artikelnya, forum ini memberikan kesempatan kepada para pemimpin agama dan sekte itu untuk melakukan refleksi tentang kekurangan dan kelebihan serta tradisi yang negatif ataupun yang positif untuk kemudian mencari jawaban bersama atas apa yang bisa dilakukan oleh agama-agama ini untuk memecahkan berbagai masalah kemanusiaan di dunia.

 

Melalui tulisan pendek itu, panitia R20 memberikan tiga sinyal penting agar cita-cita menjadikan agama sebagai solusi dapat terwujud. Pertama, inklusivisme. Kedua, kesadaran akan adanya persoalan dalam ekspresi keberagamaan. Ketiga, pentingnya menumbuhkan sikap-sikap reflektif untuk menggali jawaban atas solusi persoalan global dari dalam entitas agama. Untuk menjadikan tiga pesan tersebut sebuah gerakan internasional, terlebih dahulu sikap meminggirkan agama dari ranah publik haruslah diakhiri.

 

Agama sebagai masalah

 

Agama yang diprediksi hanya akan mengisi ruang-ruang pribadi pemeluknya, setidaknya sampai awal abad ke-20 ini, masih eksis memberi pengaruh bagi kehidupan sosial. Para pemikir terkemuka, seperti Durkheim, Marx, Weber, dan Freudm berpendapat bahwa pengaruh agama secara bertahap akan memudar seiring dengan gelombang sekularisasi akibat masifnya rasionalisasi, birokratisasi, dan urbanisasi. Usaha-usaha meminggirkan agama telah banyak terjadi, konsensus mengenai terpinggirnya agama dari ruang publik sampai saat ini tidak terbukti.

 

Sayangnya, kini agama lebih dikenal sebagai entitas yang menghambat laju modernisasi. Sikap konservatif kelompok-kelompok agama dianggap sebagai tantangan bagi kemajuan dunia. Secara sangat mengejutkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan jujur mengakui hal tersebut. Pengakuan itulah yang kiranya menjadi kata kunci yang dapat kita gunakan untuk membedah logika R20.

 

Untuk lebih jelasnya penulis, secara verbatim, akan mengingatkan apa yang telah dikatakan oleh Ahmad Suaedy yang mengutip statement Gus Yahya sebagai inisiator R20 dalam tulisannya di media ini. ”KH Yahya Cholil Staquf melihat situasi dunia dan kemanusiaan kini mengharuskan keterlibatan langsung agama … Ini bukan karena agama punya jawaban terhadap isu-isu tersebut, melainkan justru ada masalah besar di dalam agama-agama itu sendiri yang selama ini coba dihindari untuk dibicarakan dan dicari pemecahannya.”

 

Secara jujur, inisiator R20 insaf bahwa agama telah menjadi bagian dari persoalan yang ingin dicarikan solusi. Mengenai posisi agama atas persoalan global telah menjadi perdebatan yang panjang. Juergensmeyer (2004) dalam Is Religion the Problem? menggambarkan terjadinya perubahan imajinasi terhadap agama, dalam hal ini Islam, sejak tragedi 9/11.

 

Bayangan tentang agama yang sederhana dan membawa ketenangan telah digantikan oleh gambaran agama yang politis, bahkan dalam hal-hal tertentu sangat dekat dengan kekerasan. Apakah kini topeng agama telah terkuak dan yang tampak adalah wajah aslinya, atau sebenarnya agama hanyalah korban? Demikian pertanyaan yang dilontarkan Director of Global and International Studies at the University of California, Santa Barbara, itu. Sayangnya, pertanyaan kritis itu sampai saat ini belum menemukan jawabannya.

 

Senyatanya kita bisa beranjak meninggalkan perdebatan mengenai posisi agama dan menjadikan kedua pertanyaan yang dilontarkan oleh Juergensmeyer sebagai titik tolak untuk memberikan kontribusi kepada kemajuan dunia. Gus Yahya sebagai pemimpin organisasi Islam dengan pengikut terbanyak di dunia ini memilih berangkat dari fakta adanya kelompok agama tertentu yang menggunakan idiom-idiom agama untuk menyulut api perlawanan terhadap narasi pembangunan global.

 

Sejatinya penulis tidak terlalu sepakat dengan titik dari mana Gus Yahya bertolak. Namun, kesadaran untuk mengakui adanya persoalan dan semangat untuk menjadi bagian dari solusi dari seorang tokoh sebesar Gus Yahya harus diapresiasi. Gagasan ini tentu tidak lahir dari pikiran politis semata tanpa didasari perenungan yang mendalam.

 

Cara kaum beragama memecahkan masalah

 

Agama saat ini lebih sering dianggap hanya sebagai sumber legitimasi, baik oleh kelompok yang mendukung maupun menentang arus global. Agama dalam sejarahnya telah secara unik memiliki fungsi ganda, menjadi justifikasi bagi gerakan progresif, dan pada saat yang sama menjadi sumber legitimasi bagi terjadinya kekacauan.

 

Studi yang dilakukan oleh Omelicheva dari Departemen Ilmu Politik Universitas Kansas berargumen bahwa sebagai sebuah sistem kepercayaan, Islam (baca agama) memanifestasikan dirinya melalui wacana-wacana, yang tidak hanya memberikan kejelasan pada praktik-praktik keagamaan dan kepercayaan, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen kontrol dan regulasi sosial. Karena itu, tidak berlebihan jika ketua panitia R20 menyebut forum R20 ini sebagai jalur pacu (runway) untuk keberhasilan presidensi G20 tahun 2022 di Indonesia.

 

Agama sudah saatnya untuk tidak merasa puas hanya dengan menjadi tukang stempel. Agama harus sudah mulai mencari jalan keluar atas persoalan global dari khazanah yang ada dalam dirinya. Lalu bagaimana cara komunitas beragama mencari solusi?

 

Salah satu pembeda antara kaum beragama dan kelompok lainnya dalam mencari solusi atas permasalahan mereka adalah pada pelibatan Tuhan. Kelompok beragama selalu melibatkan Tuhan, dalam kadarnya masing-masing, dalam setiap langkah yang mereka ambil. Penulis belum menemukan hasil penelitian dalam konteks Indonesia mengenai hal ini.

 

Laporan sebuah penelitian yang melibatkan 197 jemaah gereja di Midwestern Amerika serikat memberikan clue kepada kita mengenai pelibatan Tuhan dalam usaha seorang beragama. Peneliti, Keneth I dan tim, memaparkan ada tiga model pelibatan Tuhan dalam kegiatan penganut agama saat menyelesaikan masalahnya. Ketiganya secara berurutan adalah self directing, deferring, dan collaborative.

 

Kelompok pertama, self-directing, teridentifikasi sebagai orang-orang yang menganggap Tuhan telah memberikan karunia berupa kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan kebebasan memilih solusi apa yang seharusnya mereka ambil. Untuk itu, bagi seorang religius yang masuk kategori ini, Tuhan tidak berperan secara langsung dalam proses pemecahan masalah (problem solving).

 

Orang dengan tipe kedua akan menunggu Tuhan memberikan petunjuk sebelum mereka mengambil sikap untuk menyelesaikan masalahnya. Mereka menganggap Tuhan adalah sumber solusi, karena itu menunggu tanda-tanda dari Tuhan sebelum bereaksi atas apa pun adalah sikap paling religius menurut mereka.

 

Kemudian kelompok ketiga, collaborative, memilih memosisikan Tuhan sebagai partner dalam hidup. Orang-orang yang masuk pada kategori ini mengatakan, ”Tuhan selalu bersama kami dan memberikan kekuatan.”

 

Penulis tidak berani menerka-nerka model manakah yang akan dipakai pada perhelatan yang anti-mainstream itu. Bisa jadi R20 akan memunculkan kategori keempat yang belum pernah ada. Di luar semua kategori itu, mengamati cara para pemuka agama menyelesaikan masalah tetaplah sesuatu yang menarik. Apalagi, acara ini disediakan sebagai landasan pacu untuk presidensi G20 yang motonya adalah ”Recover Together, Recover Stronger”.

 

Tidak ada kelompok yang tertinggal

 

Terlepas di mana Tuhan diposisikan oleh agamawan R20 di Bali nanti, inklusivisme tetaplah harus diupayakan. Seperti yang juga ditulis oleh Suaedy, inisiatif R20 tidak bisa dilepaskan dari pengalaman Nahdlatul Ulama yang keluar dari kedua mainstream cara pandang relasi agama dan negara. Menurut Suaedy, NU bukanlah organisasi masyarakat eksklusif yang memaksakan doktrin agama, juga bukan ormas yang selalu bersepakat dengan skenario sekularisasi. Klaim ini akan diuji dalam mekanisme kerja R20 dalam proses mengambil keputusan.

 

Disadari atau tidak, arus sekularisasi telah meminggirkan sebagian masyarakat beragama. Munculnya istilah kelompok radikal atau ekstremis dalam diskursus relasi agama dan negara adalah bukti adanya kelompok masyarakat yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh pengusung sekularisme.

 

Panitia R20 tidak boleh membiarkan ada kelompok yang tertinggal, seekstrem apa pun cara pandangnya, dalam membicarakan agama dan persoalan global. Sejauh apa pun perbedaan cara pandang kelompok yang dianggap radikal, mereka tetaplah komunitas yang memiliki hak bersuara dalam perbincangan mengenai agama. Pelibatan kelompok ekstrem dalam menyusun konsensus R20 akan menjadi salah satu kunci bagi kesuksesan NU untuk terus menjadi aktor pengubah peradaban.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/menguji-inklusivisme-agamawan-r20

 

 

Muktamar Muhammadiyah dan Nasionalisme Indonesia

Erik Tauvani Somae : Dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Ahmad Dahlan

KOMPAS, 29 Oktober 2022

 

                                                

 

Persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah akan menggelar muktamar yang ke-48 di Surakarta pada 18-20 November 2022. Permusyawaratan tertinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah ini sedianya dilaksanakan pada 2020, tetapi ditunda karena pandemi.

 

Sebagai tuan rumah, Surakarta tengah menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menyambut para muktamirin dan penggembira dari seluruh Indonesia, bahkan dunia. Umat Katolik se-Solo Raya pun menyampaikan kesiapannya untuk turut menyambut, membantu, dan melayani para tamu, saudara dalam kemanusiaan, sebangsa dan se-Tanah Air.

 

Tahun ini merupakan kali ketiga Surakarta menjadi tuan rumah Muktamar Muhammadiyah. Yang pertama, Muktamar tahun 1929, saat itu bernama Congres Moehammadijah dan yang kedua muktamar pada 1985. Surakarta telah menjadi saksi sejarah Muhammadiyah dalam bingkai keislaman dan keindonesiaan.

 

Muktamar dan nasionalisme

 

Muktamar Ke-18 Muhammadiyah di Surakarta diselenggarakan pada 30 Januari hingga 5 Februari 1929, hanya selisih sekitar tiga bulan dengan peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, yang memakai nama Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia itu. Meskipun Congres Moehammadijah 1929 dan Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia 1928 merupakan peristiwa yang berbeda, keduanya membawa napas dan spirit yang sama: nasionalisme Indonesia.

 

Buya Ahmad Syafii Maarif menyebutkan bahwa peristiwa Sumpah Pemuda merupakan upaya penyamaan bahasa dan penyatuan diri dengan meninggalkan nasionalisme lokal menuju nasionalisme Indonesia. Hal ini dipertegas dalam keputusan penting peristiwa tersebut yang menyatakan bahwa putra putri Indonesia bersatu dalam Tanah Air, bangsa, dan bahasa.

 

Sementara itu, nasionalisme Indonesia dalam Muktamar Muhammadiyah di Surakarta pada 1929, di antaranya secara teknis tertuang dalam aturan peserta muktamar agar memakai pakaian tradisional daerah masing-masing dengan tetap menjunjung nilai-nilai Islam. Selain menjadi lebih semarak dan bangga dengan adat budaya setiap daerah, bersaudara dalam perbedaan adalah bagian dari misi dakwah Muhammadiyah yang menggembirakan. Isi dari seruan itu adalah sebagai berikut:

 

”Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing jang tidak melanggar Sjara’. Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja” (Programma dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang terbesar di Solo 1929) (Najib Burhani).

 

Meskipun Muktamar 1929 dilaksanakan di Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, seruan itu dituliskan dalam bahasa Indonesia yang berbasis kepada kebudayaan Melayu sebagai bahasa pemersatu. Bukan satu hal yang mudah bagi wilayah kepulauan Nusantara yang belum merdeka, melainkan telah menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia dengan menghalau sentimen kedaerahan. Pada saatnya, spirit inilah yang mengantarkan pada pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.

 

Lantas, apakah spirit nasionalisme di Muktamar Muhammadiyah 1929 ini terpengaruh dengan peristiwa tiga bulan sebelumnya? Sejarah telah mencatat bahwa justru salah satu tokoh penting dalam peristiwa Sumpah Pemuda adalah Kasman Singodimedjo yang kader Muhammadiyah tulen itu. Maka, spirit nasionalisme di Muhammadiyah sebagai upaya integrasi nasional dan wujud cinta Tanah Air adalah bagian penting dari corak Islam berkemajuan di Muhammadiyah.

 

Pada Muktamar 1985, pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi semua ormas juga menjadi sejarah penting bagi Muhammadiyah. Gaya diplomasi kultural Pak AR Fakhruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah kala itu, mampu menembus hati kalangan elite dan alit. Meskipun ada saja yang menolak, jumlahnya tidak sebanding dengan yang setuju. Ibarat pengendara sepeda motor, kata Pak AR, wajib memakai helm. Setelah helm dipakai, kepalanya tidak berubah, kan?

 

Untuk bangsa dan dunia

 

Di atas 17.000 pulau yang membentang dari ujung Sumatera hingga ke ujung Papua dengan keragaman suku, adat, dan budaya, kemudian menyatukan diri menjadi sebuah bangsa besar bernama Indonesia adalah anugerah yang harus dirawat dengan penuh rasa syukur, kesadaran, dan ketulusan yang otentik. Butir ketiga Pancasila yang berada di tengah di antara lima sila lainnya memang mesti diposisikan sebagai penengah yang menyatukan semua golongan.

 

Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah, selain sebagai permusyawaratan akbar persyarikatan, sekaligus sebagai arena perjumpaan bagi jutaan warga Muhammadiyah dari seluruh penjuru Tanah Air, bahkan dunia. Selain warga Muhammadiyah pun turut serta bergembira dalam partisipasi yang bermanfaat. Muhammadiyah turut berperan dalam mempertemukan dan memperkenalkan ragam kebudayaan di tengah semangat kebersamaan. Sama-sama warga persyarikatan, warga Indonesia, dan warga dunia.

 

Selanjutnya, dalam Muktamar Ke-18 Muhammadiyah di Surakarta, tema yang diangkat adalah ”Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”. Sementara Aisyiyah mengangkat tema ”Perempuan Berkemajuan Mencerahkan Peradaban Bangsa”. Keduanya sungguh kompak dan serasi. Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah belahan jiwa yang berjalan seiring seia sekata untuk tujuan yang sama, baldatul thayyibatun wa rabbun ghafur.

 

Wawasan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal telah bersenyawa dalam spirit tema Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah. Di tengah persoalan bangsa dan dunia yang kian pelik, Muhammadiyah senantiasa hadir dan memberikan yang terbaik.

 

Peran di berbagai bidang di dalam negeri itu kini kian luas hingga ke negeri orang dengan pendirian lembaga pendidikan dari level dasar hingga perguruan tinggi. Tentu saja ini bukan hanya menjadi kebanggaan warga persyarikatan, melainkan juga bangsa dan negara. Meskipun jalan terjal dalam setiap perjuangan itu akan selalu ada, Muhammadiyah dan Aisyiyah telah kenyang asam dan garam.

 

Akhirnya, permusyawaratan akbar ini akan menghasilkan keputusan dan rumusan resmi persyarikatan yang membawa kepada pencerahan dan kemajuan bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan. Sejak didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan, memajukan dan menggembirakan adalah karakter khas Muhammadiyah. Selamat bermuktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah yang ke-48 dengan gembira. Semoga lancar, berkah, dan senantiasa mencerahkan. Muhammadiyah dan Aisyiyah, dari Islam untuk bangsa dan dunia.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/muktamar-muhammadiyah-dan-nasionalisme-indonesia