Ketika Kejahatan Menyentak
Topo Santoso ; Guru Besar Hukum Pidana dan Dekan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 28 Mei
2016
Mengapa tersangka
hanya diancam sepuluh tahun untuk kebiadaban yang dilakukan?” Pertanyaan itu
diajukan seorang ibu yang geram dan marah atas berita pemerkosaan dan
pembunuhan Yy oleh 14 orang, yang sebagian besar berumur di bawah 18tahun. Pertanyaan
itu mungkin mewakili banyak masyarakat lain di negeri ini.
Tentu saja dalam hal
ini emosi dan rasa marah warga berhadapan dengan ketentuan adanya perlakuan
khusus bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana. Mereka dianggap belum
memiliki kesadaran sepenuhnya dalam melakukan tindakannya.
Di beberapa negara,
ada pengaturan khusus, baik dalam hukum pidana materiil maupun hukum acara
pidana. Dalam hukum pidana materiil, misalnya, ancaman hukuman setengah lebih
rendah. Dalam hal ancaman pidana mati atau seumur hidup, hanya diancam
sepuluh tahun penjara. Dalam usia tertentu, malahan hanyaboleh dijatuhi
tindakan.
Sementara dalam hukum
acara pidana, ada kekhususan bagi mereka, misalnya penyidik, penuntut, atau
hakim mengenakan pakaian yang berbeda, ruangan sidang yang berbeda, dan
sebagainya. Intinya, bagi anak di bawah umur tertentu diminimalkan adanya
stigmatisasi yang merupakan faktor bagi perilaku delinkuensi yang lebih
serius.
Paradigma pemidanaan
Hanya saja, bagi
masyarakat, rasa marah karena kejahatan sadis semacam itu tetap sulit
dihilangkan dengan penjelasan tersebut. Bagi masyarakat luas, kejahatan mesti
dibalas dengan hukuman setimpal, siapa pun pelakunya. Paradigma yang masih
luas dianut, retribusi. Sebagian masyarakat ingin pelaku dihukum berat agar
”kapok” dan tidak mengulangi lagi (special
deterrence) atau agar kejahatan seperti itu tidak diikuti orang lain,
agar orang lain takut konsekuensi hukuman jika melakukan hal yang sama (general deterrence).
Padahal, paradigma
pemidanaan sudah lama berkembang, di mana hukuman dijatuhkan terutama adalah
untuk merehabilitasi pelaku, resosialisasi pelaku, dan pembinaan bagi pelaku
agar kembali menjadi manusia yang normal sebagaimana anggota masyarakat
lainnya. Kini, bahkan makin berkembang pendekatan baru, yakni restorative justice.
Kelemahan dari hukuman
penjara sudah lama menjadi bahan kajian. Bahkan, sekalipun telah banyak
dilakukan perubahan dan sudah ada standar bagi pemasyarakatan, studi yang
dilakukan di sejumlah negara masih menunjukkan adanya kelemahan
program-program dalam tujuan membina kembali para narapidana (warga binaan
pemasyarakatan). Tingkat keberhasilan yang biasanya dilihat pada recidivism rate (angka pengulangan
kejahatan) belum bisa dikatakan tercapai. Riset-riset yang ada menunjukkan
data yang berbeda-beda, kurang meyakinkan bahwa pemidanaan yang dilakukan
dengan corrections, pembinaan,
pemasyarakatan sudah efektif.
Sarana ”penal” dan ”non-penal”
Peristiwa kejahatan
bisa dijelaskan dengan menggunakan teori-teori kriminologi, seperti routine activity atau teori lainnya.
Melalui teori ini (yang memfokuskan pada situasi kejahatan) bisa dijelaskan
ketiga hal penting yang membuat kejahatan itu terjadi, yakni adanya motivated offenders atau a likely offender (pelaku yang
memiliki motivasi melakukan kejahatan), adanya a suitable target (target yang bisa menjadi sasaran pelaku), dan
ketiga, the absence of a capable
guardian (ketiadaan penjaga yang mampu melindungi). Jika ketiga hal ini
bertemu pada satu waktu dan satu tempat, terjadilah kejahatan. Meski menarik,
teori ini dianggap kontroversial bagi sebagian kalangan karena mengabaikan
sebab-sebab yang sifatnya sosial untuk terjadinya kejahatan.
Masih banyak teori
lainnya yang bisa digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa kejahatan.
Namun, bagi masyarakat umumnya, pertanyaan terbesar yang muncul adalah apa
hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan? Bagaimana agar kejahatan semacam
itu tidak terjadi (lagi)? Apa upaya penegak hukum dalam melindungi masyarakat
agar tidak menjadi korban kejahatan? Apakah undang-undang yang ada serta
ancaman hukumannya perlu diubah agar lebih melindungi masyarakat dan mencegah
orang melakukan kejahatan? Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk
melindungi warganya dari ancaman kejahatan yang terasa kian mengepung?
Sejatinya,
pertanyaan-pertanyaan di atas bukan hanya dilontarkan masyarakat kita. Di
mana pun di seluruh dunia, masyarakat berhadapan dengan masalah sosial yang
bernama kejahatan. Akan tetapi, kejahatan sebagai masalah sosial sesungguhnya
bukan hanya masalah yang harus dihadapi, dicegah, dan ditanggulangi penegak
hukum semata. Kita bisa melihat upaya penanggulangan masalah kejahatan dengan
penal policy (sarana hukum pidana).
Di setiap masyarakat ada sistem yang bertujuan menanggulangi kejahatan,
menekannya hingga serendah mungkin, mencegah terjadinya kejahatan, memproses
pelakunya hingga dinyatakan bersalah dan menghukumnya, mencegah masyarakat
menjadi korban.
Sistem itu biasa
disebut dengan criminal justice system
(sistem peradilan pidana). Komponen yang bekerja dalam sistem ini terutama
adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, serta
unsur lainnya sesuai dengan perundang-undangan.
Di sisi lain,
penanggulangan kejahatan juga harus dilakukan pada saat yang sama melalui
pendekatan non-penal policy
(pendekatan di luar hukum pidana). Di sini kita melihat pentingnya institusi
seperti keluarga, sekolah, perkumpulan agama, unsur pemerintahan dari yang
terendah seperti desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan
pemerintah pusat mestinya berperan.
Di beberapa masyarakat
terdapat kesatuan masyarakat yang juga bisa berperan. Pemerintah melalui
berbagai kementerian serta lembaga-lembaganya. Bahkan, dari perspektif yang
luas, dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan ini, bisa dilakukan dengan
memperbaiki ekonomi masyarakat, pendidikan masyarakat, meningkatkan integrasi
sosial, kerukunan, penguatan perspektif terhadap perempuan dan anak,
pendidikan moral, penguatan nilai-nilai, dan sebagainya.
Memang benar, seperti
kutipan di awal, masyarakat kini menanti bagaimana proses hukum dijalankan
atas para tersangka. Apakah polisi bisa mengungkap tuntas? Apakah jaksa bisa
membawa ke pengadilan dan membuktikan kesalahan terdakwa? Apakah hakim menjatuhkan
hukuman yang sepantasnya? Meski demikian, hukum pidana memiliki keterbatasan.
Jangan berharap terlalu tinggi, bahwa dengan proses itu maka kejahatan
kekerasan yang meresahkan ini akan bisa dimusnahkan atau ditekan, apabila
upaya-upaya non-penal tidak dilakukan, termasuk menanggulangi faktor-faktor
kriminogen dan pencetus, seperti maraknya minuman keras/obat terlarang dan
film-film vulgar yang dengan mudahnya bisa diakses dengan berbagai cara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar