Pendidikan untuk Kedaulatan
Gumilar Rusliwa Somantri ;
Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
25 Mei 2016
AMAT menarik membaca
tulisan Syarifudin Tippe, Guru Besar Manajemen Strategis sekaligus rektor
pertama Universitas Pertahanan, soal 'Bela Negara dalam Sisdiknas' yang
dimuat di harian Media Indonesia Selasa, 17 Mei 2016. Syarifudin Tippe
menyodorkan ide pengaplikasian materi pendidikan bela negara dalam proses
belajar mengajar harus menggunakan model pembelajaran yang berfokus pada
siswa didik. Siswa didik akan dituntut aktif mempelajari dan mencari sumber
yang terkait dengan bela negara, termasuk kajian komparasi melihat model
negara lain.
Saya sangat mendukung
gagasan itu. Apalagi di abad ke-21 ini, penaklukan suatu negara berdaulat,
kecuali untuk keperluan dan kasus-kasus dianggap 'khusus', tidak perlu
melalui perang militer terbuka. Namun, ia dilakukan dengan cara halus,
seperti intrusi ideologis dan pemikiran. Itu dapat pula dilakukan dengan
menggelar operasi intelejen bisnis, militer spesifik, dan sosial-budaya.
Bahkan dengan
melibatkan agen-agen strategis dalam kompleks struktur yang relatif masih
dapat dijangkau. Misalnya bagi calon pemimpin strategis negara-negara
tertentu, agar sukses meraih kekuasaan dan aman menjalankan roda
pemerintahannya, berupaya mendapatkan restu negara-negara adidaya.
Dukungan global itu
diupayakan pula diperoleh dari kelompok elite dunia the Meta-Invisible Hands,
yaitu sebuah kekuatan besar 'beyond' pasar. Mereka penguasa urat nadi
perdagangan dan sumber daya penting dunia. Penguasaan kedaulatan sebuah
negara dapat pula terjadi di ranah 'abu-abu', misalnya okupasi data dan ruang
geo-spasial, ruang spesifik di antariksa, dan bahkan area lautan dalam suatu
negara.
Banyak pemikir militer
terkemuka menyadari bahwa intrusi narkoba, gerakan radikalisme lambung
kiri-kanan, terorisme, serta sebagian besar unjuk rasa yang dibayar dan
bersifat mengganggu ketentraman publik, bukti berlangsungnya 'perang proksi'
asimetrikal.
Hal yang perlu
dicatat, upaya penguasaan di atas melibatkan elemen-elemen rumit, mulai agen
intelejen, intelektual proksi, pelobi canggih, penyandang dana, infrastruktur
organisasi, hingga tebaran aneka-ragam soft power, yang saling terjalin erat
satu sama lainnya. Singkat kata, semua hal di atas bertalian dengan nasib
mendasar portofolio kedaulatan suatu negara secara jangka panjang. Berdaulat
secara nyatakan negara kita?
Bung Karno,
proklamator sekaligus presiden pertama RI, menyadari betul realitas hubungan
antarnegara di era pascakolonial yang bersifat kurang menguntungkan bagi
negara-negara 'menengah-bawah' dan 'bawah'. Mereka masih berjuang keras
meraih cita-cita bersama negara adil-sejahtera. Lebih dari 50 tahun lalu Bung
Karno dalam pidato Trisakti menegaskan visi bahwa kedaulatan yang harus
dibangun suatu negara harus bersifat nyata dan meliputi semua aspek
kehidupan.
Pidato itu tampaknya
masih sangat relevan bagi konteks dunia dan negara kita di abad ke-21.
Konstelasi hubungan antarnegara dewasa ini ditandai hadirnya dua kekuatan
adidaya dunia. AS dan Tiongkok terus melebarkan sayap kekuatan dan pengaruh
mereka di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya didukung supremasi
kekuatan militer dan soft-power yang sangat dahsyat. Sudah barang tentu, hal
yang perlu dicermati di sini ialah implikasinya terhadap kedaulatan nyata dan
menyeluruh dari negara-negara lain terutama kita.
Penguatan kedaulatan
negara dalam koridor visi Trisakti, tampaknya, menjadi agenda penting
pemerintahan sekarang. 'Nawa Cita' atau 'Sembilan Harapan'pemerintahan
Jokowi-JK merupakan misi yang dirumuskan dalam mewujudkan visi kedaulatan
holistik Bung Karno.
Izinkan saya lebih
berfokus pada pandangan realistis dan konstruktif mengenai tata hubungan
antarnegara di dunia di masa datang. Mencoba mencari solusi konkret dalam
kerangka 'Nawa Cita', tanpa menyalahkan siapa pun, atas situasi relatif tidak
menguntungkan dihadapi negeri ini dari masa ke masa. Dalam kaitan ini, jika
kita kaji butir ke-5 'Nawa Cita', tampaknya pemerintah berkomitmen
meningkatkan kualitas hidup manusia RI melalui peningkatan kualitas
pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar.
Sementara itu, butir
ke-8 'Nawa Cita' mengatakan, 'Melakukan revolusi karakter bangsa melalui
kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan
aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek
pendidikan'. Bagaimana membangun kedaulatan nyata negara? Usul kami ialah
melalui reorientasi sistem pendidikan nasional menuju sistem yang lebih
menekankan tumbuhnya nilai dan kecakapan berfikir kreatif. Meminjam pandangan
pemenang hadiah Nobel asal India, Amartya Sen, pendidikan dilihat sebagai
langkah pembebasan, 'education as
liberation'. Pandangan seperti itu didengungkan pula oleh banyak ahli
penting di awal abad ke-21, di antaranya Curle, Friedman, dan Nyerere.
Apa pendidikan kreatif
itu? Pendidikan kreatif ialah proses belajar-mengajar yang lebih menekankan
upaya membangun kemampuan anak didik untuk dapat berfikir lateral-kreatif.
Sistem pendidikan seperti ini tidak hanya membawa anak didik 'untuk
mengetahui'. Namun, ia juga membangun kapasitas dan prakarsa berpikir kreatif
dan inovatif yang produktif. Tentu saja, karakter lain secara bersamaan perlu
dikembangkan, antara lain sikap terbuka, kritis, jujur, serta tanggung jawab
atas nasib bangsa di era persaingan abad ke-21 yang lebih ekstrem.
Edward de Bono, pakar
dunia yang memelopori pengembangan kemampuan manusia dalam berpikir kreatif,
mengatakan, “Lebih baik mempunyai sejumlah ide meskipun sebagiannya salah,
daripada harus selalu benar tetapi tidak memiliki ide apa pun." Sungguh
pengembangan menakjubkan dari pandangan klasik Rene Descartes mengenai
eksistensi manusia melalui berpikir.
Generasi baru yang
piawai dalam berpikir kreatif ini akan menjadi 'obat dari dalam' untuk
memperbaiki posisi negeri kita di dalam berbagai tata hubungan global. Kita
mampu menguasai dengan baik semua lini kehidupan karena ditopang SDM kreatif
dan inovatif dalam jumlah yang besar. Singkat kata, generasi-generasi baru
bangsa membawa negara menjadi entitas berdaya dan berdaulat secara penuh dan
nyata.
Bagaimana cara kita
merealisasikan sistem pendidikan yang mampu menciptakan insan-insan kreatif
yang berkarakter itu? Pertama, sistem pendidikan kreatif seyogyanya menjadi
upaya luar biasa bangsa yang melibatkan komitmen penuh para pemimpin bangsa.
Kedua, sebaiknya di-subsume di
bawah kerangka konseptual dan praktikal dari 'revolusi mental' agar esensi
perubahan mendasar dan didukung pendanaan yang mencukupi diperoleh. Ketiga,
dilakukan di berbagai tingkatan pendidikan. Keempat, nilai dan tradisi riset
kreatif pun perlu mendapat perhatian utama. Kelima, kita mempersiapkan
infrastruktur tata aturan dengan cermat.
Agar sistem pendidikan
baru itu berjalan, kita seyogianya gesit melakukan reorientasi dan
penyesuaian kurikulum, bahan ajar, metode penyampaian, dan meningkatkan
kecakapan guru yang relevan dengan sistem pendidikan kreatif itu. Kita juga
perlu mempersiapkan koridor yang cukup terbuka lebar bagi anak didik pada
ekspose terhadap pengalaman dan kasus-kasus simulatif, nyata yang kaya dan
bervariasi, dalam rangka merangsang kemampuan berpikir lateral. Melengkapi
hadirnya guru dan dosen yang transformatif dan inspiratif, kita pun
seyogianya membangun infrastruktur pendukung lain yang penting seperti
ruangan ajar, perpustakaan, dan laboratorium yang memadai. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar