Menjadi Jembatan
Mudji Sutrisno ;
Guru Besar STF Driyarkara; Dosen
Pascasarjana UI; Budayawan
|
KORAN SINDO, 24
Mei 2016
Ketika lagu tahun
70-an dari Simon and Art Garfunkel berjudul Bridge Over Troubled Water masih menggema sampai hari ini, ia
menjadi “klasik”. Nyaris melegenda karena mampu menyentuh hati generasi yang
dahulu dan berikutnya.
Tetapi, makna mendalam
dari lagu itu justru sudah tersurat dalam judul “jembatan”. Dan, tersirat
makna menjadi jembatan, saat melalui air bergejolak dan laut bergelombang,
ibarat hidup yang krisis. Dalam syairnya tertulis penawaran sikap hidup mau
menjadi “jembatan” manakala krisis melanda, kehampaan pudar nilai merasuk.
Lalu terjawab, mengapa lagu ini menjadi klasik bermakna.
Karena, membahasakan
kebutuhan manusia untuk panggilan, rela menjadi jembatan bagi situasi
keterputusan dan keterputusasaan menjalani hidup. Kita sebagai bangsa yang
majemuk penuh kekayaan warnawarni ini sedang mengalami “krisis acuan nilai
hidup bersama” di sana-sini. Tidak hanya karena sebab dari dalam secara
kultural, namun pula karena empasan dari luar.
Bagai troubled water
(riak air deras jadi gelombang) karena mentalitas “minder” tidak mampu
mengapresiasi perbedaan sesama, ataupun menghormati prestasi dan kerja keras
mereka. Yang muncul selalu saja dicela, di-bully, atau dirusak. Padahal, para
pendiri bangsa seperti Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Karno, Tan Malaka, Agus
Salim, dan Cokroaminoto sudah merumuskan bahwa mental budak dan koeli, karena
kolonialisme dan penundukan kepatuhan untuk perlakuan para hamba, membuat
sikap harus ditransformasi melalui pendidikan.
Bahasa konstitusi Bung
Hatta gamblang jelas, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, kalau
acuan hidup mengenai kebaikan, kebenaran, kesucian, keindahan mengalami retak
dan krisis acuan, jalan keluar yang harus ditapaki adalah jalan transformasi
pendidikan.
Krisis kurikulum yang
kini mulai diperbaiki serta batu uji integritas tidak mencontek dan kebocoran
soal ujian (meski sudah ditanggulangi sekuat daya), menjadi “fakta” indikator
betapa jalan transformasi pencerdasan bangsa ini belum menemukan buahnya
setelah 70 tahun merdeka. Lebih tragis lagi, saya selalu sedih dan pilu
setiap peristiwa ujian nasional.
Meskipun baru saja
diklaim tidak menentukan kelulusan siswa, setiap peristiwa ujian, pengawalan
soal-soal ujian tetap dikawal aparat keamanan polisi. Ketika menyeberang
pulau membutuhkan penakutnakutan senjata untuk security - nya. Soal-soal
ujian tidak bocor dan toh masih bocor. Meskipun ujian nasional dengan sistem
ujian nasional berbasis komputer (UNBK) relatif semakin mengurangi
ketidakjujuran dan jumlah pesertanya meningkat drastis, bisakah UNBK disebut
“jembatan”?
Teman saya tertawa
terbahak karena pengertian jembatan jadi amat teknis dan tidak substantif.
Indikasi mental budak yang sudah masuk bawah sadar ini karena harus survival
, maka ekspresinya bertingkattingkat. Tingkat pertama, ia muncul manakala
keminderan itu menemukan wewenang yang seharusnya wewenang bertanggung jawab
pada tugas yang di pidato-pidato atau khotbah dengan bibir manis diucapkan
sebagai amanah.
Namun, praksis
nyatanya, muncul dengan gaya menghayati wewenang sebagai “kekuasaan”.
Lihatlah, begitu resmi memakai seragam satpam, tampilan mengatur wilayah
kuasa akan menampilkan gaya “bos”. Dan, tidak kebetulan kita mengawetkannya
dan senang menikmati bila dipanggil “bos” untuk pelayan-pelayan.
Lihat pula, kuasa guru
yang setelah lulus doktor pegang ujian, serta setelah berwenang “menentukan”
hidup-mati mahasiswa dan karyawankaryawannya. Ia menikmati menjadi “dosen
killer “ atau atasan yang minta dibawakan tas kerja, atau dikawal rombongan
untuk upacara. Ketika Anda mengemudi truk besar militer atau mobil,
cermatilah cara Anda memperlakukan motor dan kendaraan yang lebih kecil.
Paling terakhir,
karena saya pejalan kaki di trotoar, harus geleng-geleng kepala dan berhenti
diam, berdiri tegak menghambat sepeda-sepeda motor, yang saat jalanan macet
mereka naik ke trotoar dan bersepeda motor di situ. Teman-teman peneliti saya
dan saya sendiri sepakat, untuk berujar pada kelas menengah yang diharapkan
dalam teori-teori sosial pembangunan, ternyata menampilkan diri sebagai
pelanggar lalu lintas nomor satu.
Maka itu, ketika
proses awal-awal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, generasi pendiri bangsa
mewujudkannya dalam “cermin pertama” negatif ini melalui latihan rasionalitas
kritis, terbuka berdasar argumentasi budi sehat. Dan, sikap diskusinya, hati
boleh panas emosi, namun budi dengan akal sehat tetap dingin.
Lihatlah gerakan
mereka ini dalam dokumen sejarah koran perjuangan Bung Hatta dan Sjahrir
untuk Pendidikan Nasional Indonesia dengan nama dahsyat visi mencerdaskan
kehidupan bangsa yaitu Daulat Rakyat. Sebuah majalah untuk polemik debat
sehat akal budi, justru di titik api perjuangan melawan mentalitas bangsa
minder yang berperilaku menghamba- hamba, tunduk patuh tanpa reserve.
Yang tiap kali
menjawab tuan-tuan “penjajah” dengan “hamba-tuan” dengan mata tunduk ke
bawah, tak berani menatap yang mengajak bicara, karena merasa “kecil”,
minder! Daulat Rakyat adalah berdaulatnya rakyat. “Jongos koeli “ini karena
proses transformasi pencerdasan kehidupannya keluar dari tindasan ketundukan
kuasa “kolonial”, dan perilaku-perilaku tuantuan dan bos-bos sampai hari ini.
Mereka menjawab
persoalan pendidikan mentalitas dalam transformasi dengan saling memanggil
setara yang akrab bersahabat dengan panggilan “Bung”. Inilah generasi Bung
yang mempraktikkan sikap hidup berkepribadian, untuk keluar dari keminderan
justru dengan belajar menjadi orangorang berdaulat untuk dirinya dan
dihadapkan pergaulan sosialnya.
Tidak hanya itu,
praktik kedaulatan diri untuk mengatasi mentalitas minder menjadi seorang
Bung yang akrab, tapi siap berdebat, menjadi tidak mendendam atau menyimpan
luka bila tersinggung atau dikritik. Lihatlah dokumen sejarah debat
antarmajalah para pendiri bangsa baik Daulat Rakyat, Suluh Indonesia, maupun
yang lain. Dengan terbuka, Bung Hatta mengkritik tajam agitasi massa Bung
Karno untuk menanamkan sikap “persatuan”.
Kritik Hatta rasional
dan melengkapi substansi persatuan karena hakikat mau bersatu dalam perbedaan
suku dan pemikiran adalah sikap mau menghormati keragaman, mau mengapresiasi
dengan tetap berdaulat, untuk berani menjadi pribadi mandiri. Karena itu,
persatuan yang benar adalah bukan “persatean” manakala satu tangkai bambu
untuk membuat sate, yaitu satu tusuk sate hanya menyatukan semu daging-daging
itu.
Paling menarik
dicatat, praxis mereka keluar dari mental minder untuk belajar berbudi jernih
dan tidak dendam emosi dalam debat-debat adalah fakta bahwa di sidang-sidang
dan rapat-rapat mereka berbeda pendapat, berdebat tajam rasional. Tetapi,
setelah rapat, mereka tetap berangkulan bersahabat. Bahkan, beda agama pun
tidak memisahkan dan membuat kubu.
Semisal IJ Kasimo yang
Katolik dibantu mencarikan tempat kost oleh Moh Natsir, dan begitu
sebaliknya. Generasi Bung ini pula yang memberi ingatan positif hormat
menghormati. Meskipun di kekuasaan Bung Karno berseberangan, bahkan
memenjarakan “Bung Sjahrir”, saat berobat ke Swiss, izin tetap diberikan.
Dan, saat meninggal,
Bung Sjahrir tetap dihormati sebagai pahlawan dengan pemberian gelar itu.
Belum lagi bila Anda baca kesaksian putri Bung Hatta dalam buku mutakhir Tiga Putri Hatta: Gemala, Meutia, dan
Halida Hatta (Gramedia, 2015) yang memuat fakta-fakta menyentuh hati dan
manusiawi sekali, yaitu persahabatan antara Soekarno dan Hatta.
Meskipun Hatta dengan
integritasnya mundur pada 1957 sebagai wakil presiden, saat-saat Bung Karno
sakit dan ketika sudah tidak presiden lagi, mereka terus saling bertemu.
Saat-saat terakhir tanpa bahasa verbal, tetapi melalui bahasa tatap mata yang
menyentuh, mereka berdua bahkan saling berpamitan.
Generasi Bung Karno
pula yang memberi contoh seorang Bung Hamka yang pernah dipenjara Bung Karno.
Ketika Bung
Karno meminta Bung Hamka yang memimpin
doa penghantaran jenazah Bung Karno sebagai wasiat, toh Buya Hamka memenuhi
permintaan itu.
Dari fenomena-fenomena
peristiwa di depan, bisakah para pendiri bangsa dengan visi mencerdaskan
kehidupan bangsa kita sebut sebagai “jembatan”— yang menghubungkan jurang
lembah mentalitas minder— melalui keteladanan kehidupan berbangsa dan
rupa-rupa metode pendidikan watak, pendidikan mengasah sikap kritis, pun gentleman fairness.
Sehingga, mengolah
idapan “penyakit” mental “boedak “ diproses menjadi merdeka budi dan merdeka
jiwa (mentalitas)? Jawabannya langsung dua ranah. Ranah pertama berbunyi
“ya”. Artinya, sejauh buah-buah proses menjembatani itu membuahkan anak-anak
bangsa yang setelah merdeka fisik, kini sungguh-sungguh merdeka jiwa!
Orang-orang yang dalam
acuan nilai cinta negeri tanpa pamrih, menjadi relawan-relawan yang peduli
kenestapaan, keterbelakangan, kemiskinan sesamanya, lalu bergerak tanpa
pamrih kuasa, atau kepentingan cari uang, muncul dalam perjuangan-perjuangan
kemanusiaan, apalagi pejuang-pejuang kehidupan.
Tujuh tahun bersama
dengan Komarudin Hidayat, Imam Prasodjo, Julianti, saya sampai tersentuh haru
dan malu saat menjadi tim penilai para pahlawan-kehidupan di Kick Andy
Heroes. Sepertinya mereka-mereka ini, seperti Bung Andy mengatakan, para
pahlawan-pahlawan kehidupan ini seperti dikirim dari langit sebagai
“malaikatmalaikat” untuk warta baik seperti simbol “bulu burung” yang
melayang dari langit sampai ke kita.
Saya sampai merenung,
justru mereka yang tidak lengkap secara badan, mereka ini yang bermodalkan
kerelaan dan kepedulian terhadap anakanak yang telantar tak terdidik,
terhadap orang-orang gila yang di jalanan, lalu dirawat dengan modal
perhatian dan kepedulian seperti “menjewer telinga” atau “mengiris nurani”
dan menggugat budi kita yang “lengkap”, punya semuanya.
Dari mereka inilah
makna jembatan pencerahan dan pencerdasan diberi bahasa kepedulian saat ini.
Ketika kelas menengah yang highly thinking but low commitment berperilaku dan
kalah dengan relawanrelawan pejuang kemanusiaan, untuk melanjutkan visi
pencerdasan kehidupan bangsa generasi pendiri RI.
Jawaban keduanya
mengatakan “tidak”, apabila retas-meretas mentalitas minder masih merajalela
dalam ekspresi kekinian, yaitu jalan pintas sama dengan mau meraup hasil
tanpa mau susah payah keringatnya. Mentalitas menerobos yang terus
diungkapkan tak hanya dalam korupsi dan penyalahgunaan wewenang untuk
memperkaya diri akan terus menjadi kelanjutan “gagalnya” wujud-wujud dan
kurikulum yang “gagal” dalam memberantas sikap mencontek.
Selama ujian,
soal-soalnya masih butuh dikawal polisi dan ujian dengan komputer untuk
“kejujuran” bisa “imparsial”, tetap ada yang mau membocorkan atas kepentingan
cari uang. Di sana lagu Bridge Over
Troubles Water masih harus merasuk menjadi sikap mentalitas dan bukan
hanya lagu merdu. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar