Topeng
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi
Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO, 30 Mei
2016
Laki-laki bertopi infanteri bertopeng ski
hitam dengan pipa kecil yang menyembul dari mulutnya itu tak tampak lagi. Tak
di San Cristobal de las Casas, tak di kota lain, tak juga di pedalaman
Meksiko. Di sana ia pernah angkat senjata, bertempur, berbicara, menulis, dan
bergabung dengan petani Chiapas miskin yang memperjuangkan hak mereka.
Sepuluh tahun kemudian, Sub-komandante Marcos, tokoh paling menonjol dalam
pembangkangan Zapatista itu, menghilang.
Mungkin begitulah seharusnya: pejuang datang,
pejuang menang, pejuang menghilang. Sepuluh tahun sebelumnya sekitar 3.000
anggota pasukan bersenjata Zapatista menyatakan perang kepada tentara
Meksiko, menduduki beberapa kota, dan 150 orang tewas. Mereka kemudian
terpukul, tapi akhirnya diakui sebagai satu kekuatan politik yang nyata yang
berhasil membangun wilayah-wilayah otonomi tanpa pengakuan resmi. Selama 10
tahun itu Marcos, dengan penampilannya yang unik, jadi ikon perjuangan. Tapi
kemudian sebuah statemen Zapatista diumumkan pada 24 Maret 2014: Marcos tak
ada lagi. "Ia sosok yang diciptakan, dan kini para penciptanya, kaum
Zapatista, menghancurkan dia."
Kata "menghancurkan" tentu saja
sebuah kiasan. Sebab Marcos menghilang bukan karena dibunuh atau
disingkirkan, melainkan karena gerakan pembebasan itu menyimpulkan: perannya
telah selesai. Kata orang yang bersangkutan, "Suara Tentara Pembebasan
Nasional Zapatista tak lagi datang dari saya."
Mungkin ini terjadi karena arus balik: ada
yang mengatakan dukungan rakyat Chiapas semakin menipis. Usaha menegakkan
ekonomi rakyat yang swadaya tak berhasil. Tapi Marcos (tentu saja bukan nama
sebenarnya) sejak mula memang tampak mendua dalam menjalankan perannya. Ia
tampil di tiap kejadian besar gerakan Zapatista, berpidato di depan massa,
dan mengesankan sebagai ideolog gerakan itu; tapi ia tak pernah disebut
"komandante"; ia cuma "sub-komandante". Ia memang anggota
gerakan pembebasan bangsa Maya, orang Indian di ujung selatan Meksiko, yang
tanahnya diambil alih bisnis besar dan hidup miskin berabad-abad; tapi ia
bukan "pribumi". Dari celah topengnya, ia tampak berkulit putih,
bermata biru. Dalam potret yang tersebar di seluruh dunia ia-kadang-kadang berkuda
dan bersenjata-kelihatan jantan dengan postur seorang pemimpin yang
karismatis; tapi jika kita dengarkan cara ia berpidato dan kita simak bahasa
tubuhnya, ia lebih mirip seorang profesor desain, atau seorang penulis, yang
tak kelihatan perkasa, tapi malah santun. Kalimat yang dipilihnya dengan baik
tak diucapkan berapi-api.
Kata-kata itu lebih menggugah orang berpikir-bukan
bahasa politik kerakyatan yang lazim. Ia tak hendak mengkhotbahi audiens.
Nadanya tak menganggap diri punya otoritas yang lebih.
Ia tampaknya sadar: ia tak bisa mengklaim ia
mewakili suara petani miskin di sekitar hutan Lacandona. Betapapun dalam
simpatinya, betapapun erat hubungannya dengan para petani itu, benar-benar
tahukah ia tentang harapan dan rasa cemas mereka? Dalam percakapannya dengan
sastrawan Garcia Márquez ia mengaku dibesarkan dalam keluarga guru dusun yang
kemudian makmur, dengan ayah-ibu yang mengajarinya mencintai buku dan bahasa.
Dari statemen-statemennya bisa ditebak ia penulis yang bagus; ia memang
menulis sejumlah puisi, prosa, cerita.
Tampaknya ia juga mempelajari filsafat dan
tertarik pada Marx, Althusser, Foucault. Ia seorang Marxis. Dengan militan ia
melawan penetrasi neoliberalisme dari Amerika ke wilayahnya; ia mengagumi Ché
Guevara, pahlawan Partai Komunis Kuba. Tapi ia berhenti percaya ada partai
yang bisa mewakili kelas proletar di Chiapas. Berada di kancah petani Maya,
ia tak lagi melihat kelas proletar bisa jadi pelopor segmen rakyat yang luas.
Bagi Marcos, yang jadi pedomannya adalah asas mandar obedeciendo, "memimpin
dengan mematuhi", adat orang Indian setempat.
Dengan kata lain, ia percaya kaum miskin itu
yang punya kearifan. Ia sendiri hanya berguru di sana, lebur di sana. Ia
bukan "aku" yang berpikir, bukan pemandu jalan, bukan pula pahlawan
pembela yang jelata. Ia bukan siapa-siapa.
Di sini topeng-topeng yang dikenakannya
bersama kaum Zapatista-adalah satu pernyataan. Topeng itu meneguhkan tak
pentingnya nama-nama: tak ada yang pegang supremasi dan memonopoli
perjuangan. Tapi topeng itu juga meneguhkan kemampuan memilih identitas
ketika kekuasaan yang ada menghapusnya. "Kami menutupi wajah kami, agar
mereka melihat kami," kata Marcos. "Kami lepaskan nama kami, agar
mereka memanggil nama kami."
Dengan kata lain, topeng membuat nama dan
label hanya sebagai tanda perlawanan, bukan cap yang menetap. Maka ia bisa
jadi lambang siapa saja. Marcos, dengan topengnya, "adalah tiap
minoritas yang tak diterima, ditekan, dan diisap-dan melawan dan berkata,
'Cukup!'" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar