Kamis, 30 November 2017

Kekuatan dan Kelemahan Indonesia Sebagai Bangsa (I)

Kekuatan dan Kelemahan Indonesia
Sebagai Bangsa (I)
Ahmad Syafii Maarif ;  Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
                                                 REPUBLIKA, 28 November 2017



                                                           
Sudah lebih dari sekali saya menulis di ruang ini bahwa Indonesia sebagai bangsa baru muncul tahun 1920-an berkat perjuangan heroik dari PI (Perhimpunan Indonesia) di negeri Belanda dengan mitra seidenyanya yang memprakarsai SP (Sumpuh Pemuda) 1928 di Batavia.

Baik tokoh PI maupun penggerak SP adalah anak-anak muda yang berasal dari berbagai suku di Nusantara. Mereka ini semua berkat pendidikan Barat di usia yang peka itu telah semakin menjadi sadar tentang makna penjajahan yang mengisap anak negeri dengan cara-cara kasar dan biadab.

Realitas getir yang dirasakan itu kemudian menyatu dengan cita-cita demokrasi dan gagasan nasionalisme yang didapatkan melalui sarana pendidikan dan bacaan yang luas. Gemblengan situasi ini telah semakin mematangkan sikap mental mereka untuk merebut sebuah kemerdekaan bangsa pada suatu hari.

Dan, kemerdekaan itu hanya mungkin menjadi kenyataan jika semua suku bangsa di Nusantara bersedia bersatu padu dalam susunan kekuatan yang kompak dengan menjinakkan rasa kedaerahannya masing-masing.

Cita-cita luhur untuk melepaskan diri dari rantai penjajahan yang ingin berkuasa di negeri kepulauan ini sampai akhir zaman akan menjadi sebuah angan-angan kosong manakala suku-suku bangsa tetap bertahan dengan primordialisme kesukuan sempitnya masing-masing. Tanpa didahului PI dan SP yang mengusung bendera demokrasi dan nasionalisme, saya tidak bisa membayangkan Proklamasi 17 Agustus 1945 akan terwujud.

Keberhasilan PI dan SP dalam membentuk sebuah bangsa baru adalah di antara kekuatan dan jasa anak-anak muda Nusantara yang sungguh dahsyat. Semboyan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa adalah kekuatan pemersatu yang luar biasa tinggi nilainya yang kita warisi sampai detik ini.

Adapun masih ada saja muncul kelompok sempalan yang ahistoris dan daerah-daerah tertentu yang ingin melepaskan diri dari ikatan keindonesiaan adalah pertanda bahwa proses pembentukan kebangsaan kita belum lagi rampung. Dan, proses menjadi bangsa yang utuh dan padu ini bisa dipercepat dengan meratakan kerja pembangunan di seluruh Tanah Air, sesuatu yang masih terbengkalai sejak proklamasi.

Para pendiri bangsa sangat paham bahwa kerja mempersatukan anak-anak suku bangsa dengan subkultur dan bahasa lokal yang kaya dan beragam bukan perkara mudah. Dalam perspektif inilah ungkapan: “nation and character building” (pembangunan bangsa dan karakter) masih tetap relevan, sekalipun usia kemerdekaan kita telah melampaui angka 70 tahun.

Selama tujuh dasawarsa itu, berbagai cobaan dalam bentuk perpecahan dan perang saudara telah kita lalui dengan selamat dan dengan susah payah, tetapi masih berujung dengan keutuhan nasional. Ini modal utama bangsa ini untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan bermartabat.

Apa arti semuanya itu? Artinya, perjuangan PI dan SP dengan puncaknya Proklamasi 17 Agustus masih merupakan kekuatan perekat yang ampuh dengan daya tahan yang lentur. Kekuatan perekat inilah yang wajib dijaga oleh kita semua agar tangan-tangan kotor pemecah-belah persatuan tidak mendapat tempat dalam proses berbangsa dan bernegara.

Seandainya para politisi kita mau memahami proses yang tidak mudah dalam pembentukan bangsa ini, mereka tentu akan lebih arif dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai “wakil rakyat” di DPR. Tanda dua koma ini menunjukkan bahwa saya belum begitu percaya bahwa kebanyakan politisi itu benar-benar menghayati aspirasi rakyat yang telah mendudukkan mereka di kursi legislatif itu. Keraguan semacam ini juga dirasakan oleh banyak teman sebangsa.

Dalam bacaan saya, politisi yang mengaku mewakili rakyat banyak itu hanya segelintir yang mau membaca perjalanan sejarah bangsa ini dengan sungguh-sungguh. Buktinya, perilaku yang korup dan tunamartabat a.l. disebabkan oleh minimnya penghayatan mereka terhadap suka-dukanya perjuangan para pendiri bangsa, khususnya sejak permulaan abad ke-20.

Seandainya penghayatan itu dilakukan secara jujur, tentu perilaku menyimpang yang dipertontonkan selama ini akan lebih terawasi karena nurani mereka akan selalu meluruskan niat mereka dalam berpolitik. Perilaku buruk dan busuk ini telah melemahkan dan merusak sendi-sendi kultur bangsa. Dan, itu sangat memprihatinkan serta mesti dicarikan obat penyembuhannya dalam tempo dekat. ●

Mitos-Mitos Politik Pilkada 2018

Mitos-Mitos Politik Pilkada 2018
Ribut Lupiyanto ;  Deputi Direktur C-PubliCA
(Center for Public Capacity Acceleration)
                                                DETIKNEWS, 28 November 2017



                                                           
Suhu politik lokal mulai menghangat. Pemicunya adalah pelaksanaan kontestasi demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang puncaknya dijadwalkan berlangsung pada 27 Juni 2018. Panasnya politik lokal terjadi di 171 daerah yang menggelar Pilkada 2018. Terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.

Pilkada 2018 rata-rata menjadi pilkada langsung yang ketiga di masing-masing daerah. Dinamika politik awal selalu diwarnai munculnya analisis, prediksi koalisi, survei hingga spekulasi, dan hantu mitos. Salah satu yang menarik adalah mitos politik pilkada. Mitos mestinya tabu dalam dunia modern, tetapi nyatanya menjadi hantu yang mempengaruhi dinamika. Tantangan kontestan adalah menyikapi hingga kemampuan mematahkan mitos jika berada pada pihak terugikan.

Hantu Mitos

Banyak pihak memilih tidak percaya dan sebagian cukup fanatik adanya mitos politik, termasuk dalam perhelatan pilkada. Mitos politik muncul sebagai produk politik tradisional. Menurut Karen Armstrong, mitos memiliki fungsi khusus, yaitu menjelaskan sesuatu yang belum mampu disentuh oleh logos (nalar, akal). Seiring perjalanan waktu, mitos mengalami komodifikasi, yakni dirancang sebagai komoditas guna memenuhi berbagai jenis tujuan (Endibiaro, 2014).

Komodifikasi mitos paling mutakhir adalah hadirnya mitos politik (Lupiyanto, 2014), termasuk Pilkada ini. Banyak bentuk mitos politik pilkada selama ini muncul dan penting dipahami secara empirik dan ilmiah. Pertama, mitos kekalahan wakil kepala daerah (wakada) petahana.

Tren pilkada memberikan bukti kekalahan yang dialami wakada yang maju sebagai kepala daerah. Dalam posisi ini sang wakada tersebut adalah petahana. Wakada yang kalah dalam pilkada antara lain Rano Karno di Banten, Muallem di Aceh, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di DKI Jakarta, dan Rustam Efendi di Bangka Belitung. Kesemuanya diunggulkan berdasarkan mayoritas survei.

Kedua, adanya mitos sulit mengalahkan petahana. Petahana yang baru menjabat sekali periode hampir pasti maju kembali. Petahana diyakini memiliki modal lebih kuat dibanding kontestan pesaingnya. Modal politik tersebut antara lain popularitas dan elektabilitas, jaringan birokrasi, kemudahan memanfaatkan anggaran daerah untuk kampanye, kemudahan mendapatkan cukong, dan lainnya. Hal tersebut memang ilegal dan petahana dalam kondisi wajib cuti selama kampanye, namun sudah menjadi rahasia umum.

Ketiga, mitos putra daerah. Pilkada lebih terasa sentimen kedaerahannya dalam kontestasi. Kondisi ini terjadi khususnya di daerah non perkotaan dan luar Jawa. Putra daerah dianggap paling sesuai memimpin daerah tersebut karena kesamaan historis dan komitmen kedaerahannya tinggi.

Keempat, mitos kuasa uang. Jer basuki mawa bea. Pepatah Jawa tersebut juga diyakini berlaku dalam kontestasi politik. Pilkada membutuhkan tidak sedikit modal uang. Kebutuhannya antara lain untuk mengurus pengumpulan KTP bagi independen, modal kampanye, dan lainnya. Publik telanjur memahami bahwa pilkada adalah momentum bagi-bagi uang. Penyakit ini menjadi mitos menakutkan bagi politik uang dan hantu korupsi di kemudian hari.

Kelima, mitos popularitas. Banyak analis mengemukakan bahwa faktor personal calon dalam pilkada lebih menentukan dibandingkan parpol pengusungnya. Pilkada diyakini sebagai pertarungan figur. Popularitas menjadi modal awal yang harus dipenuhi sebelum menganjak ke elektabilitas. Tidak mengherankan jika dalam pilkada banyak figur publik berlaga, misalnya artis.

Keenam, adanya mitos independen sulit menang. Sejauh ini calon independen yang memang pilkada masih dapat dihitung jari. Persyaratan untuk maju juga dinilai sangat memberatkan. Hal ini menambah kegamangan individu untuk berani maju melalui jalur ini. Kekhawatiran lanjutannya adalah jika menang pun masih berpotensi digoyang oleh parpol melalui DPRD.

Upaya Mematahkan

Mitos-mitos di atas umumnya tidak baik dari segi kesehatan demokrasi. Oleh karena itu perlu disikapi bijak dan harus dipatahkan melalui kerja-kerja politik yang riil dan terukur. Banyak hal dapat dilakukan oleh parpol maupun calon dalam mematahkan mitos tersebut.

Mitos kekalahan wakada petahana sebenarnya mudah dipatahkan. Angka wakada yang menang pilkada lebih banyak daripada yang kalah. Kunci mendapatkan kemenangan jauh lebih mudah, namun harus melalui jalur legal dan demokratis. Prestasi kepemimpinannya bersama kepala daerah dapat diklaim dan dijual ke publik. Kekurangan selama ini mesti akui dan berjanji melakukan perbaikan signifikan.

Peluang mengalahkan petahana sangat terbuka dalam pilkada. Mitos sulit mengalahkan petahana penting disingkirkan. Banyak daerah yang petahananya kuat secara politik akhirnya tumbang. Misalnya Kabupaten Bantul, sang petahana baik bupati maupun wakil bupati yang maju kembali dikalahkan rivalnya yang merupakan tokoh baru dikenal. Petahana bahkan didukung mayoritas parpol dan dinahkodai partai penguasa selama ini. Spirit perubahan yang dibawa selama kampanye terbukti mampu mematahkan mitos ini.

Mitos putra daerah di era modern ini dapat dipatahkan dengan pengembusan spirit nasionalisme dan NKRI. Batasan pencalonan dalam pilkada adalah NKRI. Banyak calon luar daerah yang memenangkan pilkada, sebut saja DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan lainnya. Calon luar daerah yang maju mesti tahu diri dan menunjukkan komitmennya membangun budaya lokal serta memajukan daerah tersebut. Pendekatan kepada tokoh lokal dan program yang memihak budaya lokal penting ditonjolkan. Tidak ada jaminan putra daerah yang memimpin bisa memberikan hasil terbaik bagi daerahnya. Selain itu pendidikan nasionalisme yang tidak sentimen SARA mesti dilakukan selama kampanye kepada publik.

Uang dalam pilkada memang dibutuhkan namun tidak menjadi segalanya. Hal yang tidak logis jika menafikkan uang. Namun faktor lain juga tidak kalah penting perannya, seperti jaringan sosial, rekam jejak calon, program kampanye, dan lainnya. Pemenuhan pembiayaan pilkada yang terpenting adalah mengikuti peraturan berlaku dan transparan. Mitos kuasa uang dengan demikian dapat dipatahkan.

Popularitas mutlak diperlukan dalam perhelatan pilkada. Hal yang perlu dipahami modal awal popularitas bukanlah jaminan berbuah elektabilitas. Popularitas bahkan dapat berimplikasi negatif kepada sikap tidak simpatik publik. Kuncinya pada pengemasan figur calon atau personal branding. Popularitas dapat dibangun dalam tempo singkat di era digital ini. Hal terpenting adalah efektivitas branding yang ujungnya dapat meningkatkan elektabilitas.

Terakhir, mitos independen sulit menang tidak sepenuhnya mesti dipercayai. Kelebihan calon dari parpol memang ada pada jaring struktur dan kader parpol yang sudah eksis. Calon independen harus membangun sendiri atau memanfaatkan jaringan sosial yang selama ini dimiliki atau yang mendukungnya. Keikutsertaan independen merupakan hak dan tentunya disertai pertimbangan matang dari yang bersangkutan. Segala konsekuensi sejak awal penting dipahami. Faktanya ada independen yang menang, artinya peluang menang adalah sama dengan calon dari parpol.

Upaya-upaya mematahkan mitos di atas juga menjadi jalan memperbaiki praktik demokrasi. Ujungnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi, partisipasi, dan hasil yang sesuai harapan publik. Pilkada serentak 2018 kembali menjadi ajang pembuktian tingkat pengaruh mitos politik. ●

Pemimpin Visioner

Pemimpin Visioner
Gun Gun Heryanto ;  Dewan Juri Indonesia Visionary Leader KORAN SINDO
                                              KORAN SINDO, 28 November 2017



                                                           
INISIATIF untuk memberi ruang dialektika sekaligus apresiasi pada kemunculan para pemimpin visioner di banyak daerah, digelar KORAN SINDO pada 28-29 November ini dalam Program Indonesia Visionary Leader (IVL). Para kepala daerah dan yang berniat menjadi kepala daerah diundang untuk mempresentasikan gagasannya dalam merumuskan, mengomunikasikan, dan mengimplementasikan visi mereka di wilayah kepemimpinannya. 

Program ini menjadi momentum uji kompetensi melalui sejumlah indikator ilmiah untuk memastikan pemimpin di banyak daerah memiliki gagasan dan orientasi kerja sebagai pemimpin visioner!

Dimensi Pengukuran

Indonesia saat ini sedang bergerak menuju konsolidasi demokrasi yang tak hanya berjalan di Jakarta melainkan juga di banyak daerah. Paradigma pembangunan tak lagi Jakarta Centris melainkan harus Indonesia Centris. Oleh karena itu, pemerintah di pusat harus bersinergi dengan pemerintah di daerah yang memiliki visi membangun Indonesia dari daerah.

Ada dua dimensi yang menjadi pengukuran IVL, yakni visioner dan operasional. Visioner difokuskan pada empat kemampuan utama yang akan dikonfirmasi, dikritisi, dicek, dan dibuktikan oleh panel expert yang bersifat independen.

Pertama, kemampuan menciptakan visi dan tujuan yang jelas berkenaan dengan pemahaman tentang masa depan kepemimpinannya yang lebih maju. Kedua, kemampuan untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari warga dalam merealisasikan visi yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, tentu pemimpin yang visioner bukan semata mampu meyakinkan kelompok pendukungnya, melainkan piawai berkomunikasi secara lintas sektoral dan bersinergi dengan banyak pihak untuk membangun kepercayaan publik (trust building).

Pada era seperti saat ini, tak cukup bergerak sendirian. Pemimpin harus mampu membangun semangat kekitaan dalam prinsip kebersamaan, bukan keakuan atau ego personal maupun kelompok.

Membangun good seciety di Indonesia perlu mengukuhkan ulang prinsip komunitarian. Amitai Etzioni pernah menulis di bukunya The Spirit of Community: Reinvention of American Society (1993), bahwa prinsip komunitarian ini berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai kebersamaan, tanpa puritanisme dan penindasan.

Yang penting dari prinsip ini, masyarakat perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Artinya, kekitaan yang tidak menindas keakuan dan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Saat pemimpin memiliki konsep yang jelas dalam membangun berdasarkan prinsip kekitaan, berpotensi besar mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok politiknya.

Ketiga, kemampuan mewujudkan visi-misi ke dalam berbagai program. Sosok transformatif memiliki keunggulan dalam memadukan dua kesadaran yang sama pentingnya, yakni kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness).

Bukan semata pandai berwacana, manis beretorika, melainkan juga langkah-langkahnya konkret dan dirasakan nyata kiprahnya. Sosoknya visioner, solutif, dan bukan bagian dari masalah di masa lalu.   

Dalam menjaga performa, tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas diri seseorang dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan rekam jejak kerja nyatanya. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik pemahaman tentang perilaku manusia dalam sebuah organisasi.

Citra perlu, tapi bukan segalanya, karena jika pemimpin terjebak ke dalam politik citra berlebihan maka akan senantiasa menghadirkan hiperealitas. Tentu, sosok transformatif tak akan menjadikan politik citra segalanya karena basis tindakannya selalu mengacu pada agenda kerja. Citra diposisikan secara proporsional sebagai salah satu bagian penunjang dalam merealisasikan agenda kerja bukan sebaliknya menjadikan citra dominan.

Keempat, kemampuan dalam menciptakan strategi yang inovatif, mengubah pemikiran konvensional dengan pemikiran yang progresif dan lebih sistematis. Para nominator yang layak diapresiasi sebagai Indonesia Visionary Leader (IVL) harus memiliki kemampuan refleksivitas organisasi birokrasi secara memadai.

Poole, Seibold, dan McPhee dalam Hirokawa RY & MS Poole di bukunya Communication and Group Decision Making (1986:237-264), memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi termasuk birokrasi. Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka.

Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki seseorang pemimpin daerah. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik.

Operasional Penilaian

Secara operasional, IVL difokuskan pada tiga perspektif. Pertama, perspektif finansial yakni kemampuan pengelolaan keuangan daerah yang efektif, ekonomis, efisien, transparan, bertanggung jawab, dan adil.

Kedua, perspektif pelanggan (masyarakat). Hal ini terkait dengan pemenuhan pelayanan dalam hal efisiensi program yang dihasilkan, kualitas dan efektivitas program, serta rasio antara usaha pelayanan yang dilakukan pemerintah dan hasil pelayanan yang dinikmati masyarakat. Dalam hal ini, termasuk kerja pelayanan komunitas (community services), yakni rekam jejak untuk melayani banyak orang melalui kerja profesional maupun gerakan kerelawanan (volunteerism).

Ketiga, perspektif pembelajaran dan perkembangan (learning and growth). Adanya peningkatan pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat. Hal ini terkait dengan pemberdayaan komunitas (community empowerment) yakni turut membantu banyak orang agar mandiri, dan menggerakkan mereka untuk memiliki keterampilan (skill) serta sikap atas beragam persoalan dirinya dan publik di mana mereka berada.

Hal lain dari perspektif ini adalah hubungan komunitas (community relations), yakni rekam jejak hubungan sosial yang bagus dengan lingkungan di mana para nominator berada. Baik dalam lingkup sosial maupun profesional terutama yang teridentifikasi dalam sejumlah publikasi media massa dan laporan masyarakat.

Dalam konteks panel expert, indikator-indikator penilaian yang lebih rinci diturunkan dari lima kategori utama yakni: ideologi visioner, kinerja ekonomi, leadership, integritas, dan komunikasi. Sejumlah orang yang masuk nominasi IVL diharapkan menjadi contoh (role model), bahwa masih banyak sosok di Indonesia yang sungguh-sungguh bekerja bukan semata berwacana.

Yang jelas, apresiasi semacam ini bukan semata gaya-gayaan atau sekadar pencitraan di kulit permukaan. Ada nilai yang hendak dibangun dari IVL ini, yakni menyemai semangat para pemimpin visioner yang mendedikasikan diri mereka secara optimal di daerah masing-masing. Saatnya pemimpin punya gagasan dan bekerja!  ●

Strategi Kebudayaan

Strategi Kebudayaan
Daoed Joesoef ;  Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
                                                    KOMPAS, 30 November 2017



                                                           
Keprihatinan primer dari tulisan ini bukanlah mengenai teori, melainkan kondisi. Masyarakat, sampai tingkat tertentu, adalah arena di mana para pemangku kepentingan berkonflik dan bersaing.

Namun, bukan tak terelakkan dan juga bukan sesuatu yang bisa diterima bagi suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia jika terus-menerus ribut siang dan malam. Walau demikian, begitulah keadaan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sementara lembaga- lembaga publik tidak peduli pada perkembangan motif egoistis dari organisasi kemasyarakatan, terutama partai-partai politik yang tidak kenal fatsun dalam berpolitik.

Adalah satu keharusan kalau kemerdekaan negara-bangsa perlu dibela. Kita sudah membentuk angkatan bersenjata demi pembelaan tersebut. Si vis pacem para bellum. Tidak ada satu pun negara-bangsa yang berupa lokalitas fisik semata-mata. Sebuah hotel adalah sebuah lokalitas fisik. Untuk kelangsungan eksistensinya, ia butuh penghuni (occupants). Negara-bangsa tidak begitu. Demi kelangsungan hidupnya (survival), ia harus memiliki warga negara (citizen), yaitu occupants/penduduk yang sudah menyadari hak dan kewajibannya berkat pendidikan umum. Berarti pemerintah yang demokratis diniscayakan berperan sekaligus sebagai “pelayan” dan “tutor” karena kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu pola pikir (mind-set).

Bela negara

Untuk membela negara-bangsa sampai hari kiamat dibutuhkan warga negara bukan hanya sebatas penduduk. Warga negara memiliki keterikatan-keterlibatan dibanding penduduk yang bersifat lepas. Berhubung bagi warga negara kelangsungan hidup dimulai dari pikiran, di situlah harus dibangun benteng-benteng ketahanan demi kelangsungan hidup negara-bangsa.

Jadi pembela negara-bangsa yang paling efektif dan sangat bisa diandalkan adalah warga negara yang merasa tidak perlu pergi ke mana pun (he/she has nowhere to go). Mereka terpanggil untuk bertahan. Bukan karena dilarang pergi oleh pemerintah/penguasa, tetapi karena sadar bahwa hanya di Indonesia dia merasa di-uwongke, tidak hanya berpeluang lebih kaya (to have more), tetapi lebih-lebih to be more, lebih bermartabat/harga diri.

Mereka diajak bicara mengenai pembangunan di lokasi di mana dia bermukim. Dia dilibatkan dalam setiap usaha yang disusun untuk memajukan hidup dan kehidupan warga lokal. Dia tidak hanya dijadikan “penonton”, tetapi “peserta aktif”. Dia diundang untuk turut bermusyawarah ke arah mufakat. Dia tidak boleh diwakili atau mewakili orang lain.

Ketidakpahamannya mengenai urusan pembangunan bukan alasan untuk absen. Pejabat pemerintah (pusat atau daerah otonom), melalui peran “pelayanan” dan tutorship-nya mengembangkan pemahaman yang mendasari martabatnya sebagai warga negara (citizen).

Kesadaran ini menempa dia menjadi “prajurit patriotik”, bukan “serdadu profesional”. Semua perang gerilya melawan penjajah membuktikan hal ini. Gerilyawan menghayati perang kemerdekaan bukan hanya selaku peperangan bangsa, melainkan perangnya sendiri, demi kedaulatan negara-bangsa. Ini jelas tecermin dalam pertempuran arek-arek Surabaya, perjuangan muda-mudi di “Bandung lautan api” dan serbuan Jenderal Sudirman di Salatiga serta perlawanan rakyat Aceh melawan Belanda pada masa Perang Sabil.

Kebudayaan dan peradaban

Jika demikian, proses pembangunan nasional tidak boleh lagi terfokus pada nilai tambah benda (produk nasional bruto/GNP) melainkan nilai tambah human. Berarti pemerintah melalui peran kepelayanan dan bimbingannya berusaha mengembangkan “kebudayaan manusiawi” (human culture). Budaya manusiawi adalah semua nilai hidup dan kehidupan manusia yang membuatnya meningkat di atas kondisi hewani dan yang memungkinkannya semakin berbeda dengan hidup dan kehidupan hewani.

Kebudayaan adalah sistem nilai yang dihayati oleh suatu bangsa. Kebudayaan Indonesia adalah sistem nilai yang dihayati oleh bangsa Indonesia. Nilai human bukan aturan tetapi iluminasi yang sorotan cahayanya membuat batas antara keadilan dan kesewenang-wenangan, baik dan buruk, betul dan keliru, cara dan tujuan, menjadi begitu jelas hingga tidak tersangkal. Nilai-nilai ini seharusnya tidak ditanggapi sebagai entitas yang abstrak, tetapi lebih berupa ketentuan, ukuran dan norma yang dihayati selaku panduan bagi perilaku manusia.

Maka, strategi kebudayaan berupa membiasakan anak Indonesia sedini mungkin menggali, mengenal, mempelajari, menguasai dan menghayati nilai-nilai yang diakui oleh komunitas berguna bagi kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negara.

Budaya strategis adalah nilai yang solusi persoalannya mempermudah dan memperlancar persoalan-persoalan relevan yang terkait. Bila demikian ia adalah tak lain daripada pendidikan. Ia menjadi bagian konstitutif dari kebudayaan.

Indonesia bisa hidup abadi melalui kultivasi dari dunia fisik di bawah kita dan di sekitar kita serta dunia intelektual dan moral di dalam (diri) kita. Pendidikan adalah pendidikan moral karena pembelajaran yang dilaksanakannya mengondisikan sikap dan perbuatan bangsa dalam suasana yang luas dan penting dari hidup dan kehidupan serta mental yang membuat warga berkarakter.

Sejarawan Arnold Toynbee memberikan judul karyanya yang terkenal “Civilization on Trial”, bukan “Culture on Trial”. Namun, ketika dalam karyanya ini dia membahas sejarah peradaban China, dia jelas menggunakan istilah civilization, baik peradaban maupun budaya.

Kerancuan pengertian ini bisa dijernihkan jika kita menganggap bahwa pada dasarnya “budaya” dan “peradaban” mewakili konsep yang sama. Kebiasaanlah yang kiranya memengaruhi penggunaannya. Dalam banyak hal, jangankan orang awam, para ilmuwan pun tidak membedakan pengertian dari kedua istilah tadi dan memakai kedua-duanya secara bergantian.

Demi memupus kerancuan, para pemikir Jerman pada abad XIX telah mengetengahkan suatu solusi. Menurut mereka, walaupun Kultur (budaya) dan zivilisation (peradaban) sama-sama menggambarkan perkembangan dan kemajuan umat manusia, “budaya” mengacu pada aspek spiritual dari kehidupan human, sementara “peradaban” merujuk pada aspek teknologisnya.

Dengan begitu mereka berkesimpulan bahwa istilah “budaya” meliputi bahasa, ilmu pengetahuan, agama, pendidikan dan keterampilan (arts) sebagai faktor-faktor pengembang pikiran manusia, sedangkan “peradaban” adalah istilah konseptual yang terkait secara integral pada industri, teknologi, ekonomi, dan hukum, yang dibina untuk mengontrol alam agar memenuhi kebutuhan manusia.

Jika demikian, kita bisa saja menulis “Sejarah Kebudayaan Nusantara” di samping “Sejarah Peradaban Nusantara” selama dan sejauh kita membahas aspek-aspek yang berbeda dari kehidupan manusia-manusia di bumi Nusantara ketika itu. Ipso facto dengan pemaparan budaya dan peradaban Majapahit, Sriwijaya, dan lain-lain. Jadi, bila kita menerima perbedaan antara istilah budaya dan peradaban, kita anggap masing-masing mewakili pandangan yang berbeda tentang fenomena yang sama, di mana “budaya” berpembawaan deskriptif sementara “peradaban” valuatif. Asal usul linguistik dari kedua istilah ini turut membantu pemahaman kita mengenai maksud kedua istilah tadi.

Budaya atau culture berakar kata sama dengan cultivation. Yang berarti menumbuhkan (growing) atau “pembudidayaan” (cultivation). Sementara istilah civilization berasal dari kata civic dan civil, yang berkaitan dengan city (kota) dan citizen (warga kota).

Kota dan warganya menggambarkan tahap pembudidayaan yang maju atau wujud dari keberhasilannya. Makhluk hewan bisa bertahan hidup (survive) dengan mematuhi hukum-hukum alam. Hanya makhluk manusia yang membudidayakan alam. Maka, pembudidayaan atau budaya menggambarkan hubungan yang spesifik antara manusia dan alam.

Menurut pengertian ini, baik manusia primitif maupun manusia modern, sama-sama berorientasi budaya, culture oriented. Perbedaan antara masyarakat primitif dan masyarakat modern hanya dalam karakteristik kebudayaannya masing-masing. Kedua masyarakat tersebut dapat dievaluasi melalui eksistensi dan kualitas dari pembudidayaannya masing-masing.

Jadi, dari sudut pandang ini masyarakat human dapat dibedakan satu dari yang lain. Peradaban adalah suatu pendekatan konsep pembudidayaan, yaitu budaya yang berkembang ke satu tingkat tertentu. Berarti, budaya perlu berkembang atau dengan sadar dikembangkan hingga ke satu tingkat tertentu untuk bisa dikualifikasi sebagai peradaban.

Sejarah budaya

Berhubung sejarah kebudayaan human berkembang dari satu keadaan primitif, sejarah makhluk manusia harus dianggap sebagai sejarah dari budaya dan bukan sejarah dari peradaban. Namun, harus diakui bahwa di satu titik pada tahap peralihan perkembangan, kelihatan menonjol nilai-nilai serupa pada budaya dan peradaban yang bisa dan sudah membingungkan tanggapan pemerhati.

Universitas berpotensi besar menjadi tempat refleksi tentang budaya di zaman kemajuan teknologi modern. Manusia terdidik menciptakan benda/peralatan untuk membuatnya punya lebih banyak waktu berpikir/meneliti. Let the machines do what they can do and let us do what they cannot do, i.e genuine thinking.

Namun, kita semua tahu betapa kacaunya keadaan pendidikan nasional kita sebagai keseluruhan, tak terkecuali lembaga pendidikan tinggi. Mereka sendiri masih memerlukan aneka pembenahan normatif, relevan, keilmuan dan teknologis untuk bisa diandalkan. Jika kemelut akademis ini tidak segera diatasi, kita pasti akan mengalami krisis akademis dan kekacauan intelektual. Maka tanggung jawab pelaksanaan seluruh jenjang pendidikan perlu dikembalikan ke bawah satu atap, menjadi tanggung jawab hanya seorang menteri, yaitu menteri pendidikan dan kebudayaan. ●

Praperadilan, Apa yang Kau Cari

Praperadilan, Apa yang Kau Cari
Luhut MP Pangaribuan ;  Dosen Fakultas Hukum UI dan Ketua Umum Peradi
                                                    KOMPAS, 30 November 2017



                                                           
Banyak pihak yang menduga praperadilan telah  menjadi alat baru untuk melindungi koruptor. Bahkan, praperadilan ini telah menjadi tren, terutama di kalangan political exposure person (“orang kuat”).

Beberapa di antaranya memang dimenangkan. Akan tetapi, secara kuantitatif sesungguhnya tidak lebih banyak. Sebab, akhirnya perkara sampai juga di pengadilan, kasus dugaan korupsinya diputus dan dihukum. Sekali lagi, karena menyangkut “orang kuat”, publikasinya memang lebih luas sehingga kesannya praperadilan telah menjadi hukum yang tidak layak dipertahankan.

Apakah betul begitu dan bagaimanakah sesungguhnya hukum tentang praperadilan itu?

Praperadilan harus tetap dipertahankan. Karena praperadilan ini menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia, dengan perjuangan sungguh-sungguh di DPR. Karena itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)   dijuluki sebagai “karya agung”.

Dengan praperadilan ini, salah satu fundamental rights telah menjadi bagian hukum acara pidana Indonesia sekalipun kemudian pujian ini redup karena harapan terhadap lembaga baru praperadilan ini belum sesuai dengan kenyataan. Banyak yang kecewa karena lebih sering kandas di tangan hakim.

Sesuai namanya, praperadilan adalah pemeriksaan sebelum pemeriksaan pokok perkara. Jadi, dalam pemeriksaan hakim di pengadilan, yang menjadi obyek praperadilan ialah  “cara” bagaimanakah penyidik dan atau jaksa  melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang menjadi tersangka. Apakah telah melanggar hak-hak terperiksa dan tersangka yang sifatnya asasi?

Konkretnya praperadilan intinya untuk memeriksa kebenaran (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, (b) ganti  kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menambahkan satu obyek lagi yang dapat diperiksa dalam praperadilan ini, yaitu (c) penetapan status seseorang menjadi tersangka.

Jadi, dari ketiga hal yang menjadi obyek praperadilan ini, tidak satu pun yang menyangkut pokok perkara. Artinya bukan menyangkut apakah seseorang bersalah atau tidak atas suatu sangkaan seperti korupsi.

Belum final

Oleh karena tidak menyangkut pokok perkara, apabila permohonan praperadilan dikabulkan hakim, bukan berarti perkara telah final. Konkretnya, penyidik akan tetap bisa saja menerbitkan surat perintah penyidikan baru; yang sudah umum dikenal dengan singkatan “sprindik”.

KUHAP sendiri juga mengakuinya dengan klausul jika di penyidikan suatu perkara sudah pernah dipraperadilankan, dalam tingkat penuntutan jika diajukan lagi praperadilan harus periksa (Pasal 82 Ayat (1)e KUHAP). Mahkamah Agung juga sudah mengonfirmasi hal ini dengan menyatakan “. tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan ybs sebagai tersangka lagi .” (Peraturan Mahkamah Agung/Perma No 4 Tahun 2016).

Menyedihkan ketika seorang guru besar hukum pidana pada satu acara TV saat membahas putusan praperadilan Setya Novanto mengatakan bahwa terhadap putusan praperadilan berlaku asas ne bis in idem. Artinya, terhadap kasus yang sama tidak bisa diadili dua kali.

Dengan begitu dimaksudkan perkara Setya Novanto tidak bisa disidik lagi karena sudah menang di praperadilan pertama. Asas ne bis in idem (double jeopardy) ini belum relevan ketika pokok perkaranya belum diadili. Dalam pemeriksaan perkara praperadilan Setya Novanto, pokok perkara memang belum diperiksa. Seandainya pun dalam pemeriksaan praperadilan yang kedua Setya Novanto nanti dimenangkan lagi, perkara pokok belum final.

Hak asasi tersangka

Praperadilan yang diatur dalam KUHAP  merupakan lembaga baru dalam hukum acara pidana di Indonesia. Praperadilan ini merupakan “transplantasi” dari hukum common law. Konkretnya praperadilan ini dulu diusulkan oleh antara lain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution supaya dimasukkan dalam KUHAP.

Ini adalah salah satu cara untuk melindungi hak-hak terperiksa dan atau tersangka. Dengan masukan seorang lawyer asing Greg Churchill  konsep habeas corpus yang ada dalam hukum Amerika kemudian dimasukkan dan menjadi bagian dari hukum acara pidana Indonesia yang diatur dalam KUHAP dengan istilah praperadilan.

Habeas corpus diterjemahkan dengan praperadilan. Tujuannya untuk melindungi kesewenang- wenangan dalam penyidikan khususnya yang berhubungan dengan penetapan upaya paksa seperti penahanan dan penetapan sebagai tersangka dan lain sebagainya.

Supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan, digeser dari berdasarkan diskresi ke judicial scrutiny, tunduk pada pengujian hakim. Artinya hakim sudah harus campur tangan jika ada keberatan atas penerapan upaya paksa itu. Karena itu, kalau menang berhak atas kerugian materiil, saat ini maksimum Rp 100 juta dan rehabilitasi (Peraturan Pemerintah No 92 Tahun 2015).

Dalam pemeriksaan, hakim  memastikan bahwa tidak ada kesewenang-wenangan penyidik atau jaksa. Dengan kata lain, apakah klausul “keadaan yang mengkhawatirkan” dasar penahanan dan atau “bukti permulaan yang cukup” atau probable cause dasar menetapkan sebagai tersangka sudah benar adanya atau tidak. Inilah yang diperiksa hakim, bukan yang lain.

Karena bukan pokok perkara yang diperiksa, maka putusannya pun harus cepat, yaitu hanya dalam tempo tiga hari hakim yang ditunjuk sudah harus menetapkan hari sidang. Selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Putusan hakim dalam praperadilan tetap bukan soal kesalahan atas kasus, melainkan tentang cara memeriksa itu, bagaimanapun kalimatnya, apakah ada pelanggaran.

Jika tidak ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam cara memeriksa sesuai sifat hakikat ketentuan praperadilan itu, semestinya praperadilan tidak perlu dilakukan. Seperti pernah diungkapkan oleh seorang kepala Kejaksaan Tinggi di Jawa Timur, 100 putusan praperadilan dimenangkan, maka seratus sprindik akan dikeluarkan.

Pernyataan ini terasa berlebihan, tetapi memang begitulah norma ketentuan praperadilan saat ini. Dalam Revisi KUHAP (RKUHAP) dicoba menggantinya dengan “hakim komisaris” untuk lebih baik, tetapi belum diundangkan sampai sekarang.

Kalau ada pelanggaran HAM,  ajukanlah praperadilan. Kalau mencari kemenangan atas pokok perkara, bukan mengajukan praperadilan. Kalau begitu apa yang dicari jika tidak ada pelanggaran HAM, tetapi praperadilan tetap diajukan? Ebit G Ade: tanyakan pada rumput yang bergoyang dan itulah pertanyaannya. ●

Apakah Masih Mikir, Ya?

Apakah Masih Mikir, Ya?
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 30 November 2017



                                                           
Negeri kita ini benar-benar menderita. Bukannya makin menjadi negeri yang maju dengan pencapaian-pencapaian di milenium baru, justru makin terperosok. Sebab, banyak pengelola negeri ini punya komitmen dan integritas yang rendah. Korupsi yang menjadi musuh terbesar negeri ini pascareformasi justru malah makin menyatu dalam aliran darah bangsa. Satu koruptor ditangkap, banyak lagi yang bergentayangan. Negeri ini jalan di tempat. Terlalu banyak energi dibuang sia-sia.

Hati kembali miris. Lagi-lagi KPK menggelar operasi tangkap tangan, Selasa (28/11). Ada 10 pejabat yang ditangkap, terdiri dari 7 orang di Jambi dan 3 orang di Jakarta. Rabu (29/11), KPK menggelandang mereka ke kantor KPK di Kuningan, Jakarta. Dalam jumpa pers, Rabu, KPK menggelar barang bukti OTT itu berupa uang yang jumlahnya mencapai Rp 4,7 miliar. Uang tunai itu bahkan diperlihatkan begitu koper-koper penyimpannya dibuka.

Korupsi tersebut diduga untuk pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jambi. Sampai semalam KPK menetapkan empat pejabat, yaitu Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Jambi Erwan Malik, Asisten III Pemprov Jambi Saifuddin, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Arfan, dan anggota DPRD Jambi Supriyono. Padahal, Jambi adalah provinsi yang dipimpin anak muda. Gubernur Zumi Zola, berumur 37 tahun, diharapkan membawa harapan baru di Jambi. Ia harus menjadi “panglima” memimpin perang melawan korupsi di Jambi. Sebab, perilaku korupsi adalah perilaku kuno, bukan perilaku modern yang transparan.

Kalau mengikuti pernyataan yang disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, bahwa uang suap itu ditujukan agar anggota DPRD bersedia hadir untuk pengesahan RAPBD Provinsi Jambi, sungguh-sungguh aneh. Sudah korupsi melukai hati rakyat, ketidakhadiran anggota dewan pun sangat mengkhianati rakyat. Mereka adalah wakil rakyat, yang menjadi perpanjangan suara rakyat. Tetapi, begitulah banyak yang terjadi pada diri wakil rakyat kita. Mereka lebih banyak mewakili apa yang ada di kepala mereka. Suara-suara rakyat sampai serak pun hilang terbawa angin. Demokrasi yang dibajak.

Pejabat eksekutif dan legislatif selalu menjadi cerita klasik tentang praktik kongkalikong berujung korupsi. Entah di daerah atau di pusat, banyak di antara mereka berkelakuan sama saja. Bahkan, banyak yang sampai membuat kampanye antikorupsi, tetapi terlibat korupsi juga. Tahun 2017 saja, tujuh kepala daerah ditangkap KPK karena terlibat korupsi. Sulit menjelaskan fenomena seperti itu di Indonesia hari ini.

Padahal, baru saja kasus megakorupsi KTP elektronik menyentuh “nama besar” Setya Novanto, Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Untuk itu pun bukan main sulitnya menjerat politikus yang terkenal licin, kuat, dan sakti itu. KPK sampai harus menggelar “dua ronde”. Pada ronde pertama, Novanto mampu memukul telak KPK lewat praperadilan. Pada ronde kedua, drama politiknya luar biasa, sampai menghilang dan hanya bisa dihentikan dalam insiden tabrakan tiang lampu jalan. Kini Novanto juga mengajukan praperadilan yang sidangnya mulai digelar Kamis ini. Semoga hukum tetap tegak.

Kata Karl Kraus (1874-1936), penulis dan jurnalis Austria, “Korupsi lebih buruk dari prostitusi. Prostitusi membahayakan moral individu, tetapi korupsi membahayakan moral seluruh negara.” Tetapi, apakah mereka masih mikir, ya? ●

Relaksasi Pembiayaan Bank

Relaksasi Pembiayaan Bank
Haryo Kuncoro ;  Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
                                                    KOMPAS, 30 November 2017



                                                           
Pascastagnasi suku bunga acuan dalam dua bulan terakhir, Bank Indonesia akan merilis stimulus dari ranah makroprudensial.

Mulai 2018, aturan rasio pinjaman terhadap pendanaan (loan to funding ratio, LFR) akan direlaksasi menjadi rasio pembiayaan terhadap pendanaan (financing to funding ratio, FFR).

Permintaan kredit perbankan yang seret akibat perlambatan ekonomi menjadi alasan primer Bank Indonesia (BI) menyempurnakan regulasi LFR. Kelesuan ekonomi diikuti pula oleh perilaku rumah tangga yang lebih memilih menahan belanja konsumsi dan menyimpan dana dalam bentuk tabungan dan deposito di perbankan.

Laju pertumbuhan kredit yang tidak sebanding dengan arus masuk dana pihak ketiga (DPK) membawa perbankan pada persoalan yang lebih hakiki, yakni fungsi intermediasi keuangan. Bank mampu menghimpun dana, tetapi kesulitan menyalurkannya. Dalam konteks ini, BI memperluas pembiayaan bank pada pembelian obligasi korporasi.

Sementara permintaan dan suku bunga kredit masih rendah, bank mempunyai alternatif penyaluran kelebihan likuiditasnya. Karena itu, kebijakan FFR diharapkan tetap mampu memelihara fungsi intermediasi perbankan melalui pembiayaan sehingga tetap berkontribusi terhadap perekonomian.

Bagi korporasi, rancangan kebijakan ini juga positif untuk mendapatkan sumber pembiayaan yang lebih murah. Dengan demikian, sektor korporasi didorong lebih aktif menerbitkan obligasi atau surat berharga komersial sejenis. Alhasil, pendalaman pasar keuangan adalah tujuan lain atas relaksasi FFR.

Dengan skema logika tersebut, skenario BI di atas agaknya belum bisa segera diikuti semua bank. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rata-rata LFR perbankan sampai Oktober 2017 sebesar 88 persen atau sedikit di bawah ambang batas normal 90 persen. Artinya, ruang likuiditas perbankan sejatinya tak terlalu lega.

Jika nantinya diterapkan, hanya bank-bank besar yang mampu memenuhi kualifikasi. Bank dengan tingkat LFR tinggi niscaya nyaman dalam menata ulang antara pilihan penyaluran kredit dan membeli obligasi korporasi lantaran mampu mempertahankan rasio kecukupan modal minimal 14 persen.

Sebaliknya, bank dengan LFR rendah, ketentuan FFR bisa menjadi beban ekstra. Mereka harus memenuhi persyaratan elementer terlebih dahulu, seperti rasio kecukupan modal, rasio kredit bermasalah, dan rasio kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jelasnya, ketentuan FFR akan mengundang banyak dispensasi.

Kalaupun semua bank sudah mampu memenuhi persyaratan, persoalan lain muncul. Ketentuan FFR secara implisit mengasumsikan alokasi kredit dan obligasi korporasi bisa saling menggantikan. Faktanya, kredit dan obligasi mempunyai karakteristik tersendiri. Masing-masing memiliki pangsa pasar berbeda.

Dilematis

Problematika di atas potensial juga terjadi pada sisi hulu. Pelonggaran FFR mendorong DPK jangka pendek digunakan untuk portofolio jangka panjang. Akibatnya, bank mengalami ketidaksesuaian maturitas (maturity mismatch) struktur pendanaan. Praktis, keduanya tidak mudah bersubstitusi satu sama lain.

Tidak mudahnya substitusi semakin kentara terkait perolehan imbal hasil yang akan diraih. Obligasi korporasi menawarkan imbal hasil lebih tinggi daripada kredit. Sebagai entitas bisnis, bank niscaya akan menempatkan portofolio dana kelolaannya pada instrumen yang paling atraktif.

Konsekuensinya, keputusan bank dalam penyaluran kredit akan mengalkulasi imbal hasil yang bisa diperoleh dari obligasi korporasi, medium term note (MTN), negotiable certificate of deposit (NCD), dan surat berharga komersial (SBK). Artinya, penyaluran likuiditas ke obligasi korporasi bisa mereduksi fungsi intermediasi bank.

Sudah menjadi hukum alam, imbal hasil yang tinggi termaktub risiko yang lebih tinggi pula. Sementara risiko kredit perbankan-berupa kredit macet ataupun default-bisa digeserkan kepada pihak lain melalui perusahaan reasuransi, risiko obligasi korporasi belum ada pihak yang mampu menanggungnya.

Sepertinya, relaksasi FFR terinspirasi dari peraturan OJK yang mewajibkan industri asuransi berinvestasi pada surat berharga negara (SBN). Sementara menurut UU No 24/2002, negara menjamin pembayaran kupon dan pokok SBN sampai jatuh tempo, obligasi korporasi berpedoman pada ratingyang menyisakan risiko yang substansial.

Alhasil, tanpa persiapan yang matang, regulasi FFR bakal kontraproduktif. Pembelian obligasi korporasi potensial jadi lahan baru spekulasi alih-alih menyalurkan ekses dana perbankan. Pada titik tertentu, obligasi korporasi akan dihadapkan pada salah satu pilihan antara tujuan stabilisasi suku bunga atau likuiditas.

Risiko yang paling dilematis adalah saat stabilitas suku bunga pasar keuangan tidak terkelola, sementara perusahaan masih saja mengalami kesulitan memperoleh pembiayaan murah. Padahal, ekspansi sektor swasta digadang menjadi pilar utama dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di masa-masa mendatang.

Dengan konfigurasi problematika di atas, regulasi FFR menuntut mitigasi terhadap semua risiko. Karena itu, pembelian oleh bank atas obligasi korporasi harus dibatasi dalam interval jumlah tertentu. Pembatasan juga perlu diberlakukan hanya pada obligasi yang diterbitkan perusahaan yang memiliki rekam jejak bagus dan berperingkat layak investasi.

Relaksasi FFR juga berimbas pada peran bank. Format perbankan nantinya tidak hanya sebatas lembaga intermediasi, tetapi juga sebagai lembaga investasi. Prinsip kehati-hatian adalah mutlak. Kebangkrutan lembaga investasi Lehman & Brothers yang memicu krisis finansial 2008 patut menjadi referensi.

Dalam skala yang lebih luas, relaksasi FFR menuntut kemampuan BI dalam memengaruhi imbal hasil obligasi korporasi, MTN, NCD, dan SBK termasuk SBN. Kegagalan BI dalam mengendalikan suku bunga kupon dan imbal hasil obligasi korporasi menjadi antiklimaks relaksasi makroprudensial. ●

China dan Kode Tata Berperilaku di Laut China Selatan

China dan Kode Tata Berperilaku
di Laut China Selatan
Aleksius Jemadu ;  Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan
                                                    KOMPAS, 30 November 2017



                                                           
Kesediaan China untuk memulai perundingan kode tata berperilaku (COC) di Laut China Selatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Manila baru-baru ini disambut dengan gembira bercampur waswas.

Gembira, karena memberikan harapan terciptanya peredaan ketegangan menuju stabilitas dan perdamaian regional yang didambakan semua pihak. Pada saat sama muncul juga pertanyaan mengapa China berubah menjadi sangat akomodatif dan bagaimana ASEAN khususnya Indonesia harus menyikapi perubahan sikap tersebut?

“Status quo” baru

Dalam analisis politik internasional perubahan sikap suatu negara menyangkut kepentingan strategis selalu terkait dengan kepentingan lebih luas dari negara tersebut. Perubahan sikap itu tidak serta-merta terjadi, tetapi telah dirancang secara matang.

Ada sejumlah faktor yang mendorong perubahan sikap itu. Pertama, China telah melakukan reklamasi masif di pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan (LCS). Selain itu, juga sudah dibangun fasilitas sipil dan militer yang canggih tanpa bisa dihalangi siapa pun. Artinya, secara de facto China telah mengontrol wilayah perairan itu dan akan mempertahankannya dengan kekuatan yang dimilikinya.

Kesediaan China untuk membahas COC pasca-KTT ASEAN di Manila harus diartikan untuk mengamankan kontrol de facto tersebut. Artinya, apa pun dapat dirundingkan asalkan tidak mempersoalkan keabsahan reklamasi yang sudah dilakukan serta semua fasilitas militer yang ada di dalamnya.

Jadi, perundingan harus menggunakan asumsi penerimaan semua pihak terhadap status quo baru. Jika ini yang dimaksud China, maka arah pembicaraan COC sudah jelas, yaitu legitimasi terhadap kontrol de facto China atas LCS. Bagi Beijing penerimaan status quo ini sangat penting karena dapat menetralisasi dampak dari keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/ PCA) yang menggugurkan klaim China atas wilayah di LCS.

Dengan demikian, Beijing bisa melepaskan diri dari kewajiban untuk tunduk pada ketentuan hukum internasional yang diamanatkan keputusan PCA itu.

Kedua, di tengah keengganan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump untuk memainkan peranan kepemimpinan secara global, China dengan senang hati mengisi kekosongan yang terjadi dan karena itu sangat memerlukan dukungan ASEAN demi mendapatkan legitimasi yang lebih kuat.

Apalagi Presiden Trump sempat menawarkan diri sebagai mediator dalam konflik di LCS yang langsung ditolak oleh Beijing. Jauh lebih mudah lagi untuk langsung berhadapan dengan negara-negara ASEAN sambil mengandalkan kontrol de facto atas LCS tanpa campur tangan AS.

Ketiga, Beijing sudah memperhitungkan bahwa ada tiga sumber daya tawar (bargaining power) yang dimilikinya untuk menghadapi negara-negara ASEAN. Pertama, sebagaimana Jepang dan Korea Selatan yang merupakan saingannya di Asia Tenggara, secara perlahan, tetapi pasti China sudah menguasai perdagangan, investasi, dan pinjaman luar negeri di kawasan ini. Dalam hal perdagangan tidak diragukan lagi bahwa semua negara ASEAN memerlukan pasar China yang selalu menciptakan permintaan (demand) bagi produk-produk ekspor mereka apakah sumber daya alam atau produk industri lain. Negara-negara ASEAN tak siap menghadapi risiko ditutupnya akses pasar ke China dan bahkan mereka bersaing untuk memperebutkannya.

Ketiga, Beijing pun tidak bermaksud mengganggu atau membatasi kebebasan navigasi perdagangan yang selama ini sudah berjalan di sekitar perairan LCS. Yang ditolaknya adalah pelayaran dengan misi tertentu, seperti kepentingan intelijen, spionase atau misi nonperdagangan lainnya. Sudah dapat diduga bahwa dari perspektif kepentingan Beijing pembicaraan substansi COC yang mendukung keamanan jalur perdagangan sangat sesuai dengan kemauan Beijing karena hal itu juga membawa manfaat untuk perdagangan dan investasinya di Asia Tenggara.

Sikap Indonesia

Dalam hal investasi dan keuangan China pun telah membuka jalan bagi dominasinya melalui deklarasi Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative /BRI) dengan janji investasi miliaran dollar AS di Asia Tenggara dan pembentukan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) di mana Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya ikut menjadi anggota.


Bagaimana Indonesia harus menyikapi hal ini? Indonesia harus bertolak dari kepentingan nasionalnya. Pertama, harus ditegaskan bahwa kita bukanlah claimant di LTS, artinya Indonesia bukan negara yang terlibat dalam konflik teritorial di LCS. Beijing juga tidak mempersoalkan kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna.

Kedua, Indonesia perlu menyimak secara kritis perbedaan pendefinisian makna COC antara Beijing dan negara-negara claimant lainnya. Bagi Beijing, COC yang akan dirundingkan tidak akan menyentuh substansi sengketa wilayah dan hanya akan mengatur perilaku semua pihak untuk mengendalikan diri dan membangun saling percaya (mutual trust).

Penafsiran seperti ini tidak menimbulkan beban atau ancaman apa pun bagi Beijing. Bagi claimant yang lain ekspektasinya adalah justru menyelesaikan sengketa wilayah yang ada secara damai dan menuju penyelesaian yang adil dan diterima semua pihak. Beijing pasti menolak interpretasi seperti ini.

Ketiga, sebagai pemimpin tradisional ASEAN, Indonesia berkepentingan agar Beijing tetap memperhitungkan peran ASEAN dalam menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah ini. Namun, Jakarta juga tidak perlu memberi kesan bahwa Indonesia terlalu jauh mendesak Beijing untuk menuruti kemauan ASEAN karena hal ini bisa ditanggapi secara negatif oleh Beijing yang bisa menyimpulkan bahwa Indonesia terlalu jauh mencampuri urusan negara-negara yang mengklaim wilayah di LCS.

Karena itu, kebijakan Indonesia harus tetap terukur dan realistis dan harus bertolak dari kepentingan nasional Indonesia sendiri tanpa terlalu jauh berusaha meraih apa yang bukan dalam kapasitas kita untuk meraihnya. ●