Kontroversi Tap XXV/MPRS/66
Muladi ;
Menteri Kehakiman RI 1998-1999
|
KOMPAS, 25 Mei
2016
Kontroversi atau
perdebatan tentang larangan untuk menyebarkan dan mengembangkan paham atau
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme saat ini tidak terlepas dari latar
belakang kepentingan masing-masing.
Kontroversi ini
terjadi antara lain karena adanya kesenjangan pemahaman antara generasi yang
mengalami dan yang tidak mengalami sendiri kedahsyatan G30S/PKI, yang sudah
terjadi 50 tahun lalu. Bisa juga karena merasa diri dan keluarganya atau
kelompoknya menjadi korban dari PKI maupun yang kontra PKI. Kemungkinan, juga
ada kelompok yang beranggapan bahwa paham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme tersebut secara internasional telah gagal dan
mati sehingga penegakan hukumnya justru dapat menabrak HAM.
Selain itu, ada pula kelompok yang berpendapat bahwa ideologi tidak akan mati
dan berdasarkan pengalaman empiris (1926, 1948, dan 1965), gerakan
Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia tetap merupakan bahaya laten
terhadap ideologi Pancasila dan hal ini merupakan trauma politik yang
bersifat partikularistik/khas Indonesia, tidak bisa dibandingkan dengan
negara lain, seperti di Rusia dan Eropa Timur. Apalagi di Tiongkok dan Korea Utara, paham
atau ajaran tersebut masih dianut.
Sarana pengintegrasi
Tap MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 merupakan produk hukum tertinggi masa itu dan telah berfungsi
sebagai mekanisme pengintegrasi dan penyelesaian konflik yang efektif untuk
mengatasi gonjang-ganjing bangsa pasca G30S/PKI 1965 yang telah
meluluhlantakkan persatuan dan kesatuan nasional.
Dengan Tap MPRS
tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan dan dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan
larangan diberlakukan terhadap setiap kegiatan untuk menyebarkan atau
mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Untuk penegakan
hukumnya di lapangan waktu itu, sudah tersedia UU warisan Orde Lama yang
ampuh, tetapi tidak demokratis, yaitu UU No 11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi yang semula merupakan Penpres No 11 Tahun
1963 dan menjadi undang-undang atas dasar UU No 5 Tahun 1969.
UU ini sering disebut
sebagai UU sapu jagat atau UU pukat harimau yang mudah diterapkan. Alasannya,
karena di samping perumusannya merupakan delik formal yang mudah dibuktikan,
juga karena perbuatan yang dilarang dirumuskan sangat elastis dan
multitafsir, bisa mencakup area yang luas serta dapat didayagunakan dan
sekaligus juga dapat disalahgunakan karena perumusannya yang kabur (all embracing act /multipurpose act).
Dalam UU itu digunakan
banyak istilah yang bertentangan dengan asas kepastian hukum (lex certa dan lex stricta), seperti istilah memutarbalikkan, merongrong atau
menyelewengkan ideologi Pancasila, termasuk perbuatan memikat perbuatan-perbuatan
tersebut, dan lain-lain. Kasus– kasus G30S/PKI dan tindak pidana politik lain
banyak divonis atas dasar UU ini.
Belum lagi adanya kewenangan
Jaksa Agung/Oditur Jenderal untuk dapat menahan seseorang tersangka selama 1
(satu) tahun tanpa proses. Ancaman pidananya adalah pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.
Hukum positif
Tap MPRS No
XXV/MPRS/1966 tersebut tetap dinyatakan berlaku atas dasar Tap MPRS No
V/MPRS/1973 dan Tap MPR No 1/MPR/1973, dengan
catatan bahwa
ke depan harus diberlakukan dengan berkeadilan, serta dengan menghormati hukum, prinsip
demokrasi dan HAM. Kemajuan terjadi di era Reformasi pada saat pemerintahan BJ
Habibie, dengan diterbitkannya UU No 26 Tahun 1999 yang mencabut berlakunya
UU No 11/PNPS Tahun 1963, yang disusul dengan terbitnya UU No 27 Tahun 1999.
Dengan UU No 27 Tahun
1999, kriminalisasi (larangan) terhadap perbuatan penyebaran dan pengembangan
paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leniisme tetap dipertahankan, dengan
perbaikan perumusan dan ditempatkan sebagai bagian dari Kejahatan terhadap
Keamanan Negara, melalui penambahan Pasal 107a sampai dengan Pasal 107f dalam
KUHP. Hal ini mengandung pernyataan bahwa larangan tersebut tetap merupakan
tindak pidana menurut hukum positif atas dasar Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 yang
harus ditegakkan.
Tampaknya kriminalisasi
tetap dilakukan dengan mempertimbangkan aspek empiris partikularistik, antara
lain demi melindungi keamanan negara dan ideologi negara, adanya bahaya
potensial terhadap kehidupan masyarakat, adanya dukungan masyarakat, unsur
ketepatan dan ketelitian, bersifat sistemik, sarana lain tidak memadai (ultima ratio legis) dan bersifat
proporsional.
Dalam RUU KUHP yang
saat ini sedang dibahas di DPR, di samping larangan tersebut dirumuskan
adanya alasan pembenar, dengan menegaskan bahwa tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud dan tujuan semata-mata
untuk kegiatan ilmiah. Dalam RUU KUHP tindak pidana penyebaran dan pengembangan paham
atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dirumuskan sebagai Tindak Pidana
terhadap Ideologi Negara yang merupakan bagian dari Tindak Pidana terhadap
Keamanan Negara.
Rambu-rambu penegakan hukum
Dalam suasana
demokrasi penegakan hukum positif terhadap larangan penyebaran dan
pengembangan paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme harus tetap
dilakukan, dengan memperhatikan tiga hal berikut.
Pertama, kriminalisasi
bersifat partikularistik/khas Indonesia dan tidak bertentangan baik dengan
HAM (derogable right) yang bersifat
universal maupun UUD Negara RI Tahun 1945. Menurut Article 19 Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) yang telah
diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005 dan atas dasar Pasal 28 jo Pasal 28J
UUD Negara RI Tahun 1945, kebebasan
berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya dapat dibatasi dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kedua, keberadaan
Asas-asas Umum Penyelenggara Negara, yang berdasarkan UU No 28 Tahun 1999
meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas dan asas akuntabilitas.
Ketiga, pendapat saksi
ahli (expert testimony) untuk
menafsirkan unsur-unsur tindak pidana, misalnya tentang konsekuensi PKI
sebagai partai terlarang serta makna perbuatan penyebaran dan pengembangan
paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan segala bentuk dan
perwujudannya. Dengan demikian,
jelas apakah memperdagangkan kaus yang berlogo palu arit atau bertuliskan
PKI, menyanyikan lagu genjer-genjer, memutar film ”Pulau Buru Tanah Air
Beta”, dan mengedarkan buku-buku berbau PKI/komunisme, termasuk perbuatan
tersebut.
Keempat, pandangan
yang berkembang bahwa segala kegiatan yang dimaksudkan sebagai kegiatan ilmiah harus diberlakukan sebagai alasan pembenar.
Sehubungan dengan itu,
petunjuk atau direktif Kapolri terhadap seluruh jajarannya di lapangan harus
jelas dan disertai dengan sosialisasi hukum kepada masyarakat yang bersifat
luas sebelumnya secara persuasif dan preventif sehingga efektivitas penegakan
hukumnya dapat tercapai.
Di samping itu, harus disadari bahwa kemungkinan untuk diajukannya uji
materiil terhadap Tap MPR Nomor XXV/MPR/1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999 ke
Mahkamah Konstitusi tetap terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar