Rabu, 28 Februari 2018

Jogja dalam Himpitan Logika Masa Lalu

Jogja dalam Himpitan Logika Masa Lalu
Iqbal Aji Daryono  ;   Esais;  Bisa disapa di akun Facebook-nya
                                                  DETIKNEWS, 27 Februari 2018



                                                           
Waktu kami masih di Perth, Australia, beberapa kali ibu saya datang berkunjung. Selain saya ajak jalan-jalan cantik menonton segala yang indah-indah, sering juga saya bawa dia blusukan ke tempat-tempat tak biasa. Misalnya ke sebuah kota dengan ekonomi yang sekarat. Kota itu bernama Kalgoorlie, 600 kilometer di timur Perth. Kota yang pernah menjadi salah satu kota terbesar di Australia karena tambang emasnya itu kini nyaris mati akibat kehabisan sumber daya.

Di Kalgoorlie yang mengenaskan, saya ingat emak saya bergumam. "Kasihan banget ya, orang bule kok miskin-miskin begitu. Ternyata ada juga ya bule miskin."

Saya langsung terpingkal. "Lho, Mak, kalo lihat orang Jawa miskin kok nggak kasihan-kasihan amat? Begitu orang kulit putih yang miskin, kok jadi kasihan banget? Hahaha!"

Tentu saja, kesan yang muncul di benak emak saya itu lazim saja bagi masyarakat awam pascakolonial. Kita pernah dijajah orang Eropa selama ratusan tahun. Citra orang kulit putih selalu kuat dan hebat, juga kaya raya. Kita inferior di depan mereka. Apalagi pada masa selepas perang pun hegemoni budaya kulit putih terus meneguhkan superioritas mereka. Lewat film, lewat foto-foto, lewat produk-produk teknologi, dan entah lewat apa lagi.

Maka, para turis bule yang datang ke tempat kita pun selalu kita anggap orang-orang kaya. Jadi jangan kaget kalau teman Anda yang berpenampilan Kaukasoid diminta membayar dua atau tiga kali lipat dari harga biasa, saat makan-minum di angkringan dekat rumah saya. Dia di-thuthuk, kalau istilah Jawanya. Lha semua orang bule kan pasti kaya! Hehehe.

Hari ini, setelah media jenis apa pun dengan gampang kita akses, setelah jangkauan pergaulan meluas dengan aneka kemudahan untuk melawan sindrom kurang piknik, kita tahu bahwa teori sosial "semua orang kulit putih pasti kaya" itu mitos belaka. Kita paham bahwa banyak wisatawan di bilangan Prawirotaman, Jogja adalah para buruh rendahan di negaranya. Kita mengerti bahwa tak sedikit turis Australia yang mabuk-mabukan di Legian adalah pengangguran di negeri mereka, mendapat santunan dari negara, lalu dengan uang santunan itu mereka ke Bali menghabiskan dolar untuk bertamasya.

Sebagaimana tidak semua orang kulit putih itu kaya, tidak semua juga orang kulit berwarna itu miskin. Kaya dan miskin toh bukan takdir yang melekat pada warna kulit dan ciri fisik. Orang bisa kaya karena banyak kemungkinan. Karena kerja keras dipadu kemampuan berhemat, karena cerdik campur licik, karena hidupnya beruntung terus, karena punya akses ke banyak sumber ekonomi, karena licin dan lincah dalam bergaul, karena berkah doa orangtua, dan lain-lain. Tapi kita semua pasti mencibir kalau ada orang mengaku mak-cling otomatis jadi kaya hanya karena sejak lahir sudah membawa warna kulit tertentu sesuai warna kulit bapak-ibunya.

Iya, kan? Setuju, kan? Kayak gitu aja kok masih pakai dibahas....

                                                    ***

Pengantar berpanjang-panjang barusan sebenarnya cuma untuk menemani kekaguman saya kepada hasil keputusan pengadilan yang mementahkan gugatan Handoko, seorang beretnis Tionghoa di Jogja. Dia menggugat peraturan yang melarang kepemilikan tanah bagi warga keturunan Tionghoa di DIY. Namun gugatan itu dimentahkan, dan salah satu pertimbangan dalam keputusan majelis hakim sungguh ajaib meski sekilas terdengar mulia: "Untuk melindungi warga masyarakat yang ekonominya relatif lemah."

Haduh. Kalau entitas "warga Tionghoa" diperhadapkan dengan entitas "masyarakat ekonomi lemah", berarti sudah pasti orang Tionghoa kaya dong? Seperti itu logikanya, bukan? Orang Tionghoa sudah pasti kaya, sehingga ketika mereka mendapatkan akses kepemilikan tanah, sama artinya mereka menekan orang-orang miskin. Begitu?

Saya paham, memang banyak warga keturunan Tionghoa sukses dalam perjuangan ekonominya. Mereka kaya-kaya. Namun asal muasalnya tidak terletak pada etnisitas mereka. Mereka kaya karena bekal mentalitas perantau yang berjibaku melakukan apa saja untuk memenangkan hidup. Mereka kaya karena di masa Orba tidak boleh menjadi ABRI maupun pegawai negeri, sehingga mayoritas di antara mereka menempuh satu-satunya jalan yakni berdagang. Tidak ada tentara dan polisi yang kaya raya kecuali korupsi, dan tidak ada pegawai negeri yang makmur sejahtera kecuali punya sabetan rupa-rupa.

Sementara, pedagang yang kaya ya banyak. Kalau mau kaya ya jadilah pedagang. Jangan jadi karyawan, apalagi jadi penulis.

Saya juga paham, pada awal masa Orba banyak keluarga Tionghoa difasilitasi negara untuk membangun kerajaan bisnis mereka. Mereka memang sengaja dibesarkan Orba, sehingga kemudian para konglomerat Indonesia didominasi oleh keturunan Tionghoa. Langkah itu ditempuh rezim Suharto karena blue print yang cerdik. "Meski kelompok minoritas kuat secara ekonomi, mereka tetap tidak akan melawan kekuasaan karena jumlahnya sedikit. Tapi kalau yang dibesarkan Soeharto adalah kelompok mayoritas, misalnya umat Islam, ada kemungkinan suatu saat mereka akan melawan. Dan, itu ancaman." Begitu lebih kurang yang disampaikan Prof. Vedi Hadiz dalam sebuah kuliahnya. Cari saja di Youtube kalau nggak percaya.

Nah, meski memang ada keluarga-keluarga Tionghoa yang dibesarkan Orba, apa iya keberuntungan mereka itu otomatis jatuh kepada semua orang Tionghoa di Indonesia? Keluarga Salim mungkin masih eksis dan perkasa, tapi apa ada efeknya ke bapak berkulit kuning bermata sipit yang jualan bolang-baling di sudut Jalan Bantul, yang tiap kali saya lewat selalu saya lirik warungnya yang sepi itu? Keluarga Hartono mungkin masih menikmati kejayaan mereka, tapi toh sahabat saya Cik Prima Sulistya nggak lantas bisa hidup ongkang-ongkang, masih dibelain mengedit naskah tiap hari dan cari proyek penulisan di sana dan sini.

Selebihnya, meski saya punya banyak teman beretnis Tionghoa, justru orang-orang paling tajir yang saya kenal di Jogja, yang aset ekonominya berjibun dan tanahnya ada di mana-mana, justru mereka yang so called "pribumi". Apa artinya?

Artinya, melarang warga keturunan Tionghoa untuk memiliki tanah di DIY dengan alasan "melindungi warga masyarakat ekonomi lemah" itu tidak tinemu nalar. Tidak komplet landasan logis dan faktualnya.

Kalau mau logis dalam melindungi orang miskin dalam perkara tanah, ya pemilahannya jangan pakai pri vs non-pri to, Mas. Tapi orang kaya vs orang miskin. Yang harus dibangkitkan bukan sentimen primordial, apalagi sikap-sikap rasis, melainkan kesadaran kelas. Hitung aset-asetnya, lihat seberapa besar kekuasaan lahannya, dan selanjutnya jalankan Reforma Agraria. Kan gitu. Logis, to?

"Lho, Bro, larangan itu kan berawal dari Instruksi Wakil Kepala Daerah pada tahun 1975. Warga non-pribumi tidak boleh punya tanah, karena pertimbangan bahwa mereka berkhianat dan mendukung Belanda pada waktu Agresi Militer!"

Ah, ini lagi. Lha 'mereka' yang berkhianat itu siapa? Kalau kakeknya nenek saya alias simbah canggah saya menjilat Belanda sehingga kemudian diangkat jadi pemuka desa dalam struktur pemerintahan kolonial, apa sampeyan mau menyebut saya sebagai anti-republik? Kalau teman saya di Perth punya kakek buyut yang turun dari sebuah kapal Inggris lalu membantai orang-orang Aborigin, apakah saya harus menyebut kawan saya itu sebagai pelanggar HAM? Siapa yang bisa memilih orangtua? Siapa yang bisa memilih terlahir sebagai orang Jawa, orang Bali, atau orang Dayak? Siapa yang bisa menentukan nasib untuk terlahir dalam keluarga Kraton, atau dari keluarga jelata? Anda bisa? Hebat dong.

Kadang saya merenung-renung, bisa jadi alam pikiran semacam itu tetap masuk akal juga pada masanya. Tapi, hmm, semua tentu ada masa berlakunya.

Dulu, tentara Diponegoro meyakini kekalahan mereka sebagai kutukan akibat hubungan Sang Pangeran dengan seorang perempuan Cina. Tapi dengan kejelian dalam mencermati sejarah, dengan memahami komposisi kekuatan militer berikut strategi yang dijalankan kedua belah pihak, siapa yang sekarang mau percaya kepada tulah gadis Cina?

Dulu, di Amerika Serikat bagian selatan pada masa Jim Crow, orang pun meyakini bahwa struktur otak manusia berkulit hitam memang menakdirkan mereka untuk selalu patuh dan cocok disuruh-suruh. Jadi orang kulit hitam memang harus menjadi budak. Namun kemudian sains dan naluri kemanusiaan menemukan bahwa itu semua hoax belaka.

Dulu, banyak orang Jawa meyakini bahwa orang Eropa memang ditakdirkan berkuasa, dan kaum pribumi ditakdirkan sebagai kawula. Namun belakangan muncul gagasan kebangsaan, gagasan kesetaraan, dan perjuangan harkat kemanusiaan yang menolak penjajahan. Akhirnya keyakinan lama itu runtuh porak poranda.

Sebagaimana teknologi, barangkali beberapa sistem logika pun mengalami masa kadaluarsa. Namun tidak semua orang mau mengakuinya. ●

Perumusan Delik Zina dalam RUU KUHP

Perumusan Delik Zina dalam RUU KUHP
Umar Mubdi  ;   Pemerhati Hukum;  Alumnus Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada;  Penulis buku Sejengkal dari Tubir
                                                  DETIKNEWS, 27 Februari 2018



                                                           
Delik zina dalam RUU KUHP menuai banyak perhatian dari sejumlah kalangan di masyarakat. Berkembangnya dua pandangan yang diametral, pro dan kontra, haruslah dipahami sebagai tumbuhnya percakapan rasional publik antarwarga negara. Dan, hal ini baik bagi kehidupan berdemokrasi. Tentu, percakapan ini dilakukan dengan cara yang tepat serta seluruh argumentasi haruslah berdasarkan disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga legislator yang mengemban amanah ini dapat menangkap aspirasi publik.

Pihak yang menolak delik zina dalam RUU KUHP berpandangan bahwa delik tersebut akan mengancam perempuan yang justru menjadi korban pemerkosaan. Selain itu, pasangan yang menikah secara siri dan hukum adat akan terjerat ke dalam rumusan delik. Perlindungan terhadap anak pun dianggap terlanggar karena dihapuskannya batas umur pada delik tersebut. Sedangkan pihak yang pro menganggap delik zina dalam RUU KUHP telah tepat dan persoalannya hanya tersisa pada aspek penegakan hukumnya semata.

Penulis pada dasarnya sependapat bahwa perzinaan haruslah dianggap sebagai perbuatan pidana karena bertentangan dengan moral dan nilai kesusilaan masyarakat. Hal tersebut ditempuh dengan menjadikan perzinaan sebagai objek kriminalisasi. Akan tetapi, penulis tidak sependapat dengan argumentasi yang cenderung menafikan keberadaan kelindan masalah dalam perumusan delik perzinaan.

Pada tulisan ini akan diuraikan mengenai kritik terhadap perumusan delik perzinaan sekaligus tanggapan penulis terhadap argumentasi yang memapankan delik a quo. Sehingga dalam pembahasan terkait perumusan delik ini didapatkan pertimbangan lain berdasarkan perspektif kebijakan hukum pidana. Tujuannya agar hukum pidana yang sejatinya merupakan obat penawar (ultimum remedium) tak gagal menyembuhkan persoalan di masyarakat.

Rumusan Delik dan Kepastian Hukum

Untuk lebih jelasnya mengenai delik zina tersebut, Pasal 483 ayat (1) huruf e RUU KUHP secara expressive verbis menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.

Perlu diketahui, perumusan delik zina tersebut merupakan bagian dari tahap formulasi kebijakan hukum pidana (criminal policy). Dalam konsep ini, tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana.

Tahap ini merupakan tahap yang paling sentral dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi tersebut menjadi dasar, landasan, dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi hukum pidana yang berikutnya, yakni tahap aplikasi dan eksekusi (Muladi, 1992).

Pada tahap formulasi ini, salah satu hal pokok adalah masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya ditetapkan sebagai perbuatan pidana (Barda Nawawi Arief, 2002). Berkaitan dengan itu, kriteria utama di dalam perumusan suatu delik adalah memastikan perlindungan hukum secara in abstracto. Menurut Eddy O.S. Hiariej, perlindungan hukum tersebut bermakna substansi hukum pidana haruslah memberikan perlindungan hukum dengan dua parameter, yakni kepastian hukum dan non-diskriminatif.

Perumusan delik zina dalam pasal a quo sesungguhnya tidak memberikan kepastian hukum. Argumentasinya, pasal zina tersebut memiliki rumusan yang sumir yang dapat menjadi "jaring" besar untuk menjerat banyak perbuatan yang bukan termasuk ke dalam maksud dibentuknya ketentuan pidana (original intens). Sebab, pasal a quo dapat diberlakukan secara mutatis mutandis dengan delik pemerkosaan dalam Pasal 488 RUU KUHP karena rumusan delik zina bersifat umum dan tidak mengecualikan unsur tindakan pemerkosaan berupa "ancaman", "tanpa kehendak", "tanpa persetujuan". Belum lagi mengenai definisi dari masing-masing unsur rumusan delik zina yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Sumirnya rumusan delik zina a quo mengandung konsekuensi terjadinya over-kriminalisasi. Hal ini dikarenakan Pasal 483 ayat (1) huruf e RUU KUHP bersifat overlapping dengan ketentuan pidana serupa mengenai kesusilaan. Masalahnya bukan pada perbuatan yang semula telah menjadi perbuatan pidana diatur lagi sebagai tindak pidana. Melainkan pada peningkatan penghukuman (punishment) yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (Douglas Husak, 2008).

Sebagai contoh, pelaku yang harusnya didakwa dengan pasal pemerkosaan sudah dapat dipastikan akan dialternatifkan dengan pasal zina. Jika unsur pemaksaannya tidak terbukti maka akan "ditampung" oleh pasal perzinahan yang sifatnya umum. Hal ini tentu tidak mencerminkan pengembanan hukum pidana yang baik karena sanksi pidana penjara yang harus ditanggung pelaku untuk kedua delik tersebut berbeda secara signifikan.

Selain itu, over-kriminalisasi ini juga terindikasi dengan tidak tercapainya maksud perumusan delik dengan tujuan hukum pidana (risk prevention). Hukum pidana saat ini haruslah ditujukan untuk pencegahan, rehabilitatif, edukatif, dan criminal incapacitation. Bukan hanya sebagai pembalasan. Delik zina a quo seharusnya dapat menjadi instrumen untuk mencapai tujuan pencegahan kejahatan terhadap kesusilaan asalkan dirumuskan secara tepat.

Hal terakhir yang mengakibatkan delik zina a quo bersifat over-kriminalisasi adalah ancillary offense (pelanggaran tambahan) dalam penegakan hukumnya. Terutama dalam pembuktiannya yang mengandalkan alat bukti surat berupa visum et repertum. Tidak semua korban melakukan visum pada saat beberapa waktu setelah terjadinya delik. Sehingga menjadi hambatan tersendiri di dalam pembuktiannya.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika ada pendapat yang menyatakan tantangannya justru terletak pada penegakan hukum delik zina. Karena memang, sejak tahap formulasinya tidak dilakukan secara tepat. Rumusan delik zina a quo sangat mungkin untuk ditafsirkan secara ekstensif oleh aparat penegak hukum saat berhadapan dengan kasus-kasus perkawinan siri/adat maupun aduan mengenai korban pemerkosaan. Padahal, penafsiran ekstensif semacam itu menjadi hal yang dilarang di dalam hukum pidana karena bertentangan dengan asas legalitas.

Modal Utama

Penggunaan hukum pidana sebagai strategi utama dalam pengendalian sosial, terutama dalam menanggulangi masalah perzinahan, haruslah dilakukan secara selektif dan terukur. Apabila elemen koersif di dalam hukum pidana guna menegakkan aturan hukum tidak diterapkan secara selektif dan terukur, justru akan menghasilkan ketidakadilan karena akan terjadi penghukuman yang berlebih. Kita tidak inginkan itu terjadi.

Oleh karena itu, modal utama dalam merumuskan delik zina yang tepat adalah kemampuan legislator untuk mengabstraksi berat-ringannya suatu tindak pidana, nilai-nilai dan tata urutan norma sosial, serta persoalan teknis pembentukan undang-undang. Inilah agenda penting dan terbuka guna pembentukan norma pidana yang baik di masa depan. Sehingga, penggunaan hukum pidana sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan sosial dapat dilakukan sesuai harapan. ●

Pangkas Aturan Buat Siapa?

Pangkas Aturan Buat Siapa?
Thonthowi Djauhari  ;   Co-Founder Indonesian Energy and Enviromental Institute
                                                  DETIKNEWS, 27 Februari 2018



                                                           
Kemudahan perizinan di Indonesia selama bertahun-tahun banyak dikeluhkan pelaku bisnis, tak terkecuali di bidang energi dan sumber daya mineral. Di industri hulu migas misalnya, hingga 2015 pelaku bisnis masih harus mengurus lebih dari 300 izin. Izin-izin yang harus diurus di lebih dari 15 instansi tersebut jika dicetak bisa mencapai 600 ribu lembar.

Kemudahan perizinan ini tentu sangat berkaitan dengan kemudahan dalam menjalankan bisnis dan investasi. Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis, dan tingkat daya saing ekonomi. Hal ini tampak dalam penelitian Bank Dunia yang tiap tahun dikeluarkan dalam bentuk peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing bussiness) negara-negara di dunia.

Pada survei 2015, Indonesia ada di peringkat 120, sedangkan Singapura menduduki peringkat pertama. Setahun berikutnya, Indonesia masih berada di peringkat 109 dari 189 negara yang disurvei. Pada Doing Bussiness 2018, peringkat Indonesia naik dari posisi 91 pada 2017 ke posisi 72 untuk 2018.

Bank Dunia membuat peringkat ini berdasarkan berbagai indikator pencapaian sektor publik (pemerintah) dalam memperbaiki regulasi iklim usaha, dan investasi di negaranya masing-masing. Ada 10 indeks komponen penentu peringkat kemudahan berbisnis tersebut. Komponen tersebut meliputi kemudahan memulai usaha, memperoleh sambungan listrik, pembayaran pajak, dan pemenuhan kontrak. Kemudian penyelesaian kepailitan, pencatatan tanah dan bangunan, permasalahan izin pembangunan, akses kredit, perlindungan investor, dan perdagangan lintas negara.

Karena itu, survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Tak heran jika Presiden Joko Widodo masih belum puas dengan pencapaian Indonesia tersebut. Presiden menginginkan Indonesia berada di peringkat 40. Tentu saja untuk mencapainya butuh upaya yang sangat keras.

Salah satu unsur yang perlu terus dibenahi guna mencapai target tersebut adalah penyederhanaan peraturan. Dalam konteks inilah, sepertinya sejumlah menteri kemudian melakukan pembenahan. Salah satunya dilakukan Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Kementerian yang dipimpinnya telah mencabut 32 aturan, yang kemudian ditambah dengan pencabutan 22 regulasi lainnya. Aturan yang dicabut berupa peraturan menteri, keputusan menteri, juklak, aturan perizinan, dan peraturan kerja di direktorat jenderal, serta Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Pencabutan 22 aturan tersebut merupakan bagian dari penyederhanaan 51 aturan menjadi 29 aturan. Rinciannya, di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas dari 10 aturan menjadi 7 aturan. Pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dari 2 aturan menjadi 1 aturan.

Pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara disederhanakan dari 6 aturan menjadi 1 aturan. Aturan di Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) disederhanakan dari 6 aturan menjadi 2 aturan. Regulasi di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) disederhanakan dari 27 aturan menjadi 18 aturan.

Jonan berharap pencabutan peraturan tersebut akan meningkatkan fleksibilitas investasi. Sehingga, target investasi di sektor ESDM sebesar 50 miliar dollar AS pada 2018, yang berarti hampir dua kali lipat target tahun sebelumya, dapat tercapai.

Di kementerian ini, sebelumnya memang banyak perizinan yang berdiri sendiri. Perizinan pembelian peralatan dan penggunaan tenaga kerja misalnya, disederhanakan menjadi satu dalam rencana kerja serta anggaran biaya.

Dalam investasi penyalur bahan bakar minyak (BBM) dan LPG (liquefied petroleum gas) pun demikian. Investor yang ingin membangun stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) sebelumnya harus mengantongi 31 sertifikat yang mencakup berbagai macam perizinan. Pencabutan peraturan yang telah dilakukan, membuat investor cukup punya satu sertifikat perizinan.

Pencabutan aturan tersebut terlihat memang untuk mempersingkat rantai birokrasi. Menteri Jonan pun secara terbuka pun telah meminta jajarannya tidak memperpanjang birokrasi yang bisa menghambat investasi. Apalagi untuk menambah penghasilan pribadi.

Langkah yang dilakukan Kementerian ESDM tampaknya memang sudah di jalur yang tepat, guna meningkatkan kualitas birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara pun telah menyebutkan, bahwa peraturan perundangan-undangan yang inkonsisten, tumpang-tindih, multitafsir, dan tidak jelas adalah salah satu sumber rendahnya kualitas birokrasi di Indonesia. Kini, selain meneruskan perampingan regulasi, Kementerian ESDM perlu pula meningkatkan fokus dalam efisiensi organisasi pemerintahan, peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pemerintahan, serta peningkatan manajemen kinerja pemerintahan di lingkungannya.

Perundang-undangan, organisasi, SDM, dan manajemen pemerintahan memang kunci kualitas birokrasi. Dan, pembenahan birokrasi adalah kunci pembangunan guna meningkatkan daya saing bangsa. Adalah fakta bahwa keberhasilan pembangunan di Korea Selatan dan China misalnya, terletak pada usaha yang sistematis dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem, struktur dan budaya dalam birokrasi. Seperti kita tahu, Korea Selatan dan Cina kini memiliki daya saing yang kuat di tingkat global. ●

Sengkarut Data Pangan

Sengkarut Data Pangan
Imron Rosyadi  ;   Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta;
Sedang menyelesaikan Program Doktor Ekonomi Islam di UIN Suka Yogyakarta
                                                  DETIKNEWS, 27 Februari 2018



                                                           
Di negara mana pun data menduduki posisi yang sangat krusial sebagai basis penentuan kebijakan bernilai strategis. Termasuk di dalamnya kebijakan perihal ketersediaan pangan bagi seluruh warga bangsa. Oleh karenanya data produksi pangan seperti beras, jagung, kedelai dan sebagainya harus disajikan secara akurat dan kredibel.

Penyajian data produksi/konsumsi pangan (terutama beras) yang kredibilitasnya diragukan, dalam jangka panjang akan mengganggu stabilitas pasar pangan domestik. Hal itu lantaran data pangan menjadi pijakan pemerintah untuk mengimpor atau mengekspor pangan. Kesalahan dalam memutuskan impor, misalnya tidak hanya mengancam kesejahteraan petani karena harganya merosot, tapi juga menciptakan ketergantungan pangan impor yang tak berujung.

Kegaduhan di dunia pangan beberapa pekan terakhir ini juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan biasnya data pangan. Indikasinya rencana pemerintah melalui Kemendag mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton menjadi polemik di masyarakat. Polemik itu bergulir cepat di ruang publik justru berpangkal dari perbedaan pandangan perihal data stok, dan produksi beras antara Kemendag dengan Kementan.

Beda Pintu

Menurut Kementan produksi beras di tanah air dari tahun ke tahun mengalami surplus, dan cadangan beras di gudang-gudang Perum Bulog cukup untuk menutupi kebutuhan konsumsi domestik sampai masa musim panen padi tiba sekitar akhir Februari. Pernyataan Mentan Amran Sulaiman itu bukannya tanpa dasar, tapi merujuk pada data yang secara resmi dirilis oleh kementerian yang dipimpinnya.

Kementan (2017) menaksir produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari-Maret 2018 mengalami tren peningkatan yang signifikan. Pada Januari produksi GKG mencapai 4,5 juta ton, sementara memasuki Februari meningkat menjadi 8,6 juta ton, dan Maret meningkat lagi menjadi 11,9 juta ton. Sedangkan ketersediaan beras pada Januari mencapai 2,8 juta ton, Februari (5,4 juta ton), dan Maret (7,47 ton).

Dari sisi konsumi, kebutuhan beras nasional pada Januari mencapai 2,5 juta ton, demikian juga jumlah yang sama pada Februari dan Maret 2018. Sehingga pada Januari terdapat surplus pasokan beras di tanah air sebesar 329,3 ribu ton, Februari (2,9 juta ton), dan Maret (4,971 juta ton).

Tampaknya data-data Kementan tersebut tidak sejalan dengan Kemendag yang menyebutkan bahwa ketersediaan beras mengalami defisit, dan berisiko mendorong lonjakan harga beras di pasar domestik. Sehingga dengan kondisi seperti itu pemerintah dianggap mendesak untuk mengambil kebijakan impor dalam rangka menjamin stok pangan.

Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa bisa terjadi perbedaan data pangan secara diametral antara dua kementerian yang sama-sama bersinggungan dengan urusan pangan dalam negeri? Bukankah sebelum data dirilis secara resmi sudah dilakukan sinkronisasi data antar kementerian terkait kebijakan pangan?

Kejanggalan

Sangat sulit menilai mana yang akurat dari pernyataan kedua kementerian tersebut. Jika memang klaim data-data Kementan itu akurat, maknanya produksi beras domestik dalam posisi surplus, sehingga impor tidak perlu dilakukan. Namun faktanya sejak September 2017 yang lalu harga beras terus merangkak naik, bahkan sempat menyentuh harga tertinggi selama kurun waktu 40 tahun, yakni Rp 13 ribu hingga Rp 14 ribu per kilogram (Koperasi PIBC, 2018).

Hal itu mengindikasikan terjadi kelangkaan beras, sehingga mengerek harga beras di pasaran. Dugaan ini benar adanya karena pemerintah selama ini tidak mencurigai adanya faktor lain yang menyebabkan harga beras melambung seperti permainan tengkulak besar, dan aksi penimbunan beras.

Bukti lain juga semakin menguatkan kebenaran dugaan kelangkaan beras tersebut, yakni cadangan beras Bulog semakin menipis lantaran terus-menerus digunakan untuk kegiatan operasi pasar. Hingga akhir Januari 2018 Bulog hanya menyimpan cadangan beras sekitar 800 ribu ton, padahal idealnya untuk mengamankan stok beras nasional dibutuhkan cadangan minimal sebesar 1 juta ton beras.

Sementara, meskipun pemerintah pusat sudah disodorkan data-data dari berbagai daerah yang menunjukkan produksi beras surplus, dan mengingat semakin dekatnya masa musim panen raya di berbagai daerah sentra beras. Namun pemerintah tetap ngotot mengambil kebijakan impor beras yang berasal dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan India. Ironis memang, Indonesia sebagai negara yang memiliki luas lahan tanam pangan lebih luas dari negara-negara tersebut, justru menjadi negara pengimpor pangan.

Di sisi lain, alasan pemerintah melakukan importasi beras juga tidak sepenuhnya transparan, sehingga mengundang kecurigaan banyak pihak. Pasalnya ditemukan sejumlah kejanggalan yang mengiringi kebijakan impor tersebut. Pertama, pemerintah berdalih impor dilakukan untuk menghindari risiko kekurangan pasokan. Persoalannya mengapa impor beras diputuskan hampir bersamaan dengan dekatnya musim pasokan beras melimpah karena panen raya?

Kedua, semula pemerintah mengeluarkan izin impor beras kepada PPI, namun belakangan Kemenko Perekonomian Darmin Nasution mengoreksi bahwa izin impor beras dialihkan ke Perum Bulog. Demikian juga dengan kualitas beras yang akan diimpor, pemerintah hanya akan mengimpor beras khusus (premium), padahal beras yang mengalami kelangkaan, dan harganya melonjak itu beras medium.

Ketiga, pemerintah berkilah bahwa impor beras tidak akan dilepas ke pasar, sebab beras impor digunakan untuk memperkuat stok cadangan beras pemerintah, sehingga masuknya beras impor tidak mengganggu penyerapan gabah/beras petani. Sementara tahun ini Bulog menargetkan dapat menyerap 2,7 ton setara gabah. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak fokus saja pada kebijakan penyerapan gabah/beras petani? Toh, beras impor bukan untuk kebutuhan mendesak seperti operasi pasar, dan pengendalian harga. ●

Narkoba dan Keamanan Laut

Narkoba dan Keamanan Laut
Fahmi Alfansi P Pane  ;   Alumnus Pascasarjana Manajemen Pertahanan, program kolaborasi Universitas Pertahanan Indonesia dan Cranfield University, Inggris
                                                  DETIKNEWS, 26 Februari 2018



                                                           
Laut Indonesia tidak hanya menjadi tempat nelayan menangkap ikan. Sejak beberapa tahun lalu perairan kita telah menjadi sarana utama penyelundupan narkoba. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) sekitar 80 persen narkoba diselundupkan melalui laut.  Hal itu terbukti saat TNI Angkatan Laut, BNN dan Bea Cukai sukses mencegah penyelundupan satu ton lebih sabu (serbuk metaamfetamine) dari kapal Sunrise Glory di perairan Kepulauan Riau awal Februari 2018. Namun, keberhasilan penangkapan tersebut masih menyisakan kekhawatiran. Penyebabnya adalah jumlah total sabu yang dibawa dari Taiwan tiga ton, sedangkan yang ditangkap KRI Sigurot-864 dan yang telah diturunkan di Australia masing-masing sekitar satu ton sabu.

Pada Juli 2017 sekitar satu ton sabu yang diduga hasil selundupan dari laut berhasil ditangkap BNN di Anyer, Banten. Yang menarik adalah pernyataan Kepala BNN Budi Waseso kala itu, bahwa beberapa bulan sebelumnya aparat kebobolan yang lebih besar.

Pada satu sisi bahaya narkoba sangat besar. Satu ton sabu dapat meracuni sekitar lima juta hingga enam juta orang sekaligus. Jumlah korban potensial yang dapat didorong lebih dekat kepada hidup tidak produktif, bahkan kematian, akan lebih besar jika ikut dihitung kasus-kasus penyelundupan narkoba melalui darat dan udara, serta produksi narkoba domestik. Menurut BNN kerugian ekonomi karena narkoba sekitar Rp 63 triliun per tahun. Kerugian tersebut mungkin akan lebih besar karena penyelundupan narkoba melalui laut makin gencar, serta zat sintetis baru makin banyak.

Pada sisi lain potensi perputaran uang transaksi haram narkoba sangat besar. Pemakai Indonesia terkenal royal. Harga narkoba tertinggi justru di sini. Bila sabu di China hanya Rp 100 ribu/gram, lalu di Taiwan Rp 200 ribu/gram, maka di Indonesia harganya dapat mencapai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per gram. Godaan keuntungan fantastis tersebut dapat mendorong penyelundupan narkoba melalui laut makin besar karena ketatnya pengawasan di perbatasan darat dan bandar-bandar udara.

Dengan peta situasi tersebut, perlu percepatan penguatan postur pertahanan dan keamanan laut Indonesia. Akselerasi tersebut semakin perlu karena sejujurnya armada TNI masih jauh dari ideal. Banyak kapal TNI AL sudah sangat tua, bahkan melampaui usia ideal pemakaian kapal perang selama 30 tahun. Kapal patroli Sigurot yang menangkap kapal Sunrise Glory misalnya, adalah kapal tua buatan tahun 1967. Tahun 1985 Indonesia mengoperasikannya sebagai hibah dari Australia.

Kapal tua sulit mengejar kapal-kapal yang lebih baru dan canggih. Kapal tersebut akan efektif saat berupaya menangkap kapal-kapal yang juga uzur. Menurut Komandan Kapal Sigurot, salah satu penyebab kapal Sunrise Glory dapat ditangkap karena telah masuk terlalu jauh ke perairan dalam Indonesia.

Selain banyak kapal yang telah tua, masalah lainnya adalah kekurangan jumlah kapal. Kekurangan kapal terasa sekali saat misalnya, KRI Oswald Siahaan-354 hanya berhasil menangkap satu dari 12 kapal pencuri ikan China di perairan Natuna pada Mei 2016. Kondisi jauh dari ideal juga dialami untuk pesawat patroli dan pengintaian laut, serta cakupan radar dan satelit, baik untuk misi pertahanan maupun keamanan laut.

Percepatan pembangunan postur TNI juga dibutuhkan karena beragam ancaman selain narkoba dan pencurian ikan juga harus diatasi segera. Misalnya, terorisme, yang dapat bersimbiosis dengan pembajakan dan penyanderaan, lalu penyelundupan barang dan manusia (trafficking), dan sebagainya. Transportasi barang juga perlu dilindungi, terutama angkutan migas dan mineral, serta objek strategis semacam instalasi penambangan migas lepas pantai, kabel dan instalasi telekomunikasi bawah laut, dan lain-lain. Selain itu, ada ancaman pelanggaran wilayah oleh militer asing dan risiko eskalasi konflik di kawasan Indo-Pasifik (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik).

Pemerintah memang telah melakukan pengadaan kapal-kapal baru. Kapal patroli dan kapal selam terbaru telah diadakan. Namun, kecepatan pengadaan alutsista (alat utama sistem persenjataan) baru masih di bawah kebutuhan penggantian alutsista uzur.

Salah satu masalah besar percepatan pembangunan sektor hankam adalah rendahnya anggaran yang dapat disediakan. Ada anggapan sektor hankam bukan salah satu sumber utama penerimaan negara. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah jika mengacu pada nilai penerimaan negara bukan pajak dari sektor ini. Namun, nilai ekonomi dari sektor ini justru terletak pada fungsi penciptaan keselamatan dan keamanan bagi seluruh bangsa, serta stabilitas keamanan dalam negeri dan ketertiban umum. Tanpa keamanan personal dan umum, perekonomian negara dan swasta tidak berjalan.

Sebagai contoh, dengan keamanan laut yang memadai di Selat Malaka transportasi migas dapat berlangsung. Data Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) menunjukkan bila tahun 2011 sebesar 14,5 juta barel minyak mentah per hari diangkut melalui Selat Malaka, maka tahun 2016 menjadi 16 juta barel per hari. Sebaliknya, tanpa keamanan laut di perairan Somalia kapal MV Sinar Kudus yang mengangkut feronikel bernilai triliunan rupiah sempat dibajak. Beberapa kapal dan pelaut Indonesia juga dibajak dan disandera di perairan Filipina selatan. Sebagian dapat dibebaskan setelah pembayaran tebusan.

Bila berbagai alutsista baru dapat diadakan, kebutuhan pertahanan dan keamanan dapat dipenuhi, termasuk pencegahan penyelundupan narkoba. Kapal dan pesawat dapat menjalankan beragam misi sekaligus, seperti patroli Gugus Keamanan Laut (Guskamla) untuk mencegah penyelundupan narkoba, barang dan manusia, pencurian ikan, perompakan, penyanderaan dan lain-lain.

Keragaman misi tersebut merupakan bentuk efisiensi penggunaan aset negara yang dibeli dari uang rakyat. Sebaliknya, jika masing-masing institusi hankam harus melengkapi alat peralatan hankam masing-masing akan tercipta risiko kerugian negara dari inefisiensi. Bahkan, risiko kerugian negara akan bertambah jika kemampuan personal dan institusi tidak memadai, baik dalam pengoperasian peralatan maupun pemeliharaan, perawatan dan dukungan lain, seperti logistik, fasilitas parkir, training, dan pendidikan. Pesawat dan kapal dapat mengalami kecelakaan yang tidak perlu. Padahal, kemampuan personal dan institusi tersebut tidak dapat diperoleh dalam waktu dan anggaran yang terbatas.

Dalam lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI, manajemen alutsista sudah berjalan baik, meski kualitas dan integritasnya harus ditingkatkan secara berkelanjutan. Hal berbeda terjadi pada BNN misalnya. Karena itu, untuk pencegahan penyelundupan narkoba dari laut BNN tidak perlu mengadakan kapal dan pesawat baru. Lebih baik BNN bekerja sama dengan institusi hankam, seperti TNI dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Sinergi antarlembaga juga diperlukan karena setiap lembaga memiliki kapabilitas yang berbeda satu sama lain. Pengendusan dan pembuktian keberadaan narkoba di kapal Sunrise Glory misalnya, tidak dilakukan oleh TNI. Justru aparat BNN dan Bea Cukai yang melakukan penyelidikan, sedangkan TNI berperan menangkap kapal dan menjaga keamanan operasi.

Selain sinergi semua lembaga Indonesia, kerja sama internasional juga harus ditingkatkan. Pada level strategis kerja sama ekstradisi seperti dengan China yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 13/2017 harus dikembangkan, baik dengan negara lain maupun dalam bentuk yang lebih operasional. Selain itu, perlu kerja sama intelijen dan patroli terkoordinasi, seperti yang dilakukan Indonesia dengan Malaysia dan Filipina di perairan Sulawesi dan Sulu. Program Our Eyes yang diinisiasi Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu misalnya, dan didukung lima negara anggota ASEAN lainnya, juga dapat dikembangkan untuk mengantisipasi beragam ancaman keamanan. ●

Data, Target, dan Implementasi Sektor Pariwisata

Data, Target, dan Implementasi Sektor Pariwisata
Agus Pambagio  ;   Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
                                                  DETIKNEWS, 26 Februari 2018



                                                           
Di tengah menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia, yang tentunya juga berimbas pada Indonesia, akan mempengaruhi kocek pemerintah karena menurunnya sisi penerimaan di neraca APBN. Neraca perdagangan Indonesia juga semakin njomplang meskipun pemerintah mengatakan bahwa ekonomi kita stabil tumbuh sekitar 5%, kenyataannya kita butuh lebih banyak barang impor. Untuk itu pemerintah melalui program-programnya berusaha mendorong sektor-sektor yang selama ini belum menjadi primadona sumber devisa untuk berkembang dengan segala keterbatasannya, salah satunya adalah sektor pariwisata.

Sektor pariwisata punya target 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada 2019. Saat target ini dicanangkan (2014), jumlah wisman masih di bawah 10 juta. Tahun 2017 jumlah wisman yang masuk ke Indonesia menurut Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mencapai 14,2 juta orang, termasuk pelintas batas (PLB) dan wisman khusus, atau meleset dari target awal sebesar 15 juta. Di waktu yang tersisa tinggal 2 tahun, Kemenpar harus mencapai target 20 juta wisman di luar PLB dan wisman khusus. Ini bukan sesuatu yang mudah, mengingat di regional kita harus bersaing dengan Thailand, Singapura, Vietnam dan sebagainya yang relatif secara SDM dan infrastruktur lebih siap dari Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam 5 tahun terakhir mayoritas wisman yang masuk ke Indonesia berasal dari Tiongkok dan masuk melalui 19 pintu, terutama Bali dan Jakarta. Dengan dominasi wisman dari Tiongkok, secara sosial ekonomi Indonesia dirugikan karena wisman dari Tiongkok umumnya jorok dan berisik. Kedua sifat tersebut mengganggu kenyamanan wisman lain dan juga wisatawan domestik. Artinya wisman lain enggan ke tempat-tempat wisata atau hotel yang banyak dikunjungi wisman Tiongkok, sehingga muncul biaya sosial ekonomi ekstra yang harus dibayar.

Selain masalah di atas, ada persoalan lain yang kemungkinan dapat menghambat tercapainya janji Presiden pada publik dari sektor pariwisata. Misalnya, apakah penerapan Perpres No. 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan efektif? Apakah angka-angka yang selama ini di sampaikan oleh Kemenpar akurat, termasuk target 20 juta wisman pada 2019 bisa tercapai? Apakah benar sektor pariwisata menjadi penyumbang terbesar devisa dari sektor non migas, seperti yang diklaim oleh Kemenpar? Apakah yang harus dilakukan Kemenpar menghadapi persoalan-persoalan di atas? Dan sebagainya.

Antara Target, Persoalan dan Keberhasilan

Bicara data, wisman yang masuk Indonesia akurasinya masih perlu dipertanyakan. Menurut Kemenpar jumlah wisman yang masuk ke Indonesia selama 2017 sekitar 14,2 juta atau meleset dari yang diharapkan 15 juta karena adanya erupsi Gunung Agung di Bali. Jumlah itu pun (sekitar 14,2 juta), termasuk para pelintas batas (PLB) dan wisman khusus. Menurut Direktur Data Statistik Bank Indonesia (BI), jumlah kunjungan wisman selama 2017 adalah 12,2 juta (belum termasuk PLB dan wisman khusus) -atau PBL dan wisman khusus berjumlah sekitar 2 juta. Jadi Kemenpar kalau menyampaikan data harus lengkap supaya tidak menyesatkan.

Ada klaim dari Kemenpar bahwa per 2016 sektor pariwisata sudah menjadi penghasil devisa nomor dua terbesar, atau menghasilkan USD 14 miliar -sekitar Rp 200 triliun. Angka ini perlu dipertanyakan kebenarannya. Demikian pula jika Kemenpar mengklaim bahwa sektor pariwisata sudah menjadi penarik investasi nomor dua, apa benar? Kalau benar, tentunya suatu lompatan besar dan patut diapresiasi. Untuk mencari tahu kebenaran data tersebut, penulis mencoba mengkonfirmasi ke beberapa institusi, seperti BI, BPS, BKPM, dan lain-lain.

Menurut Direktur Statistik BI, dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), jasa travel memang merupakan komponen neraca jasa yang sejak beberapa tahun lalu selalu surplus. Pada 2016 surplus jasa travel sekitar USD 3,6 miliar, sementara secara keseluruhan neraca jasa defisit sekitar USD 7,1 miliar. Jasa travel merupakan penerimaan dari wisman yang berkunjung ke Indonesia untuk akomodasi, konsumsi, dan transportasi lokal.

Perlu dipertanyakan jika sektor pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar, karena menurut BI penyumbang surplus terbesar pada transaksi berjalan NPI adalah neraca perdagangan barang non migas. Sedangkan sektor pariwisata atau travel tidak masuk katagori barang melainkan jasa. Lalu coba kita lihat dalam PDB, sektor pariwisata dapat terdiri dari beberapa lapangan usaha, antara lain penyediaan akomodasi dan makan-minum, transportasi dan pergudangan, namun di PDB yang dihitung adalah nilai tambah ekonomi tidak memilah-milah, apakah penghasil devisa atau bukan.

Kalau dari sisi gross export, menurut BI, pada 2016 komoditas ekspor non migas terbesar adalah minyak nabati (USD 17,4 miliar), diikuti batubara (USD 14,6 miliar), TPT (USD 11,9 miliar). Sedangkan ekspor komoditi migas (USD 12,9 miliar) dan ekspor jasa travel USD 11,2 miliar, bukan USD 14 miliar seperti yang diklaim oleh Kemenpar. Kembali di sini akurasi data harus dikalibrasi dengan benar.

Untuk mengkonter klaim Kemenpar bahwa sektor pariwisata telah menjadi penarik investasi nomor dua, saya sempat menanyakan ke salah satu Deputi BKPM. Berdasarkan data realisasi investasi Januari-Desember 2017 yang dikeluarkan oleh BKPM, sektor pariwisata ada di nomor 12 (hotel dan restoran) dan di nomor 7 (transportasi). Artinya, klaim Kemenpar kembali patut kita pertanyakan.

Selain persoalan di atas, lama tinggal (rata-rata dua hari/kunjungan) dan uang yang dibelanjakan selama di Indonesia juga menjadi persoalan serius dalam meningkatkan jumlah wisman masuk ke Indonesia, meskipun sudah dibantu dengan kebijakan bebas visa untuk 169 negara melalui Perpres No. 21 Tahun 2016, program promosi 10 destinasi baru dan triple coral diamond dll tetap belum banyak membantu, dan menjadi kompetitif dengan Malaysia atau Thailand dan negara ASEAN lainnya. Masih perlu perencanaan yang lebih matang.

Langkah Pemerintah

Pertama, Kemenpar harus mengkaji ulang Perpres No. 21 Tahun 2016 karena terbukti tidak dapat mendorong jumlah wisman secara pesat, dan patut diduga hanya memudahkan wisman pembawa narkoba dan komoditi ilegal lainnya masuk ke Indonesia. Pastikan hanya negara yang punya resiprokalitas dengan Indonesia yang memperoleh fasilitas bebas visa kunjungan 30 hari. Lebih baik perbaiki sistem pembuatan visa (misalnya melalui online) supaya proses cepat tetapi pengawasan negara optimal dan tetap mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kedua, pastikan proses pendataan wisman akurat dan real time. Supaya tidak ada penyesatan publik, data wisman harus dipisah dengan PLB dan wisman khusus. Ketiga, Kemenpar harus mempunyai strategi khusus atau pilah-pilah dalam mengundang wisman untuk mengurangi biaya sosial yang disebabkan oleh perbuatan wisman yang merugikan di Indonesia. Di sini target pasar menjadi penting, bukan hanya jumlah.

Keempat, upayakan supaya wisman yang masuk ke Indonesia dari kelas menengah atas yang selama ini mampir ke Singapura, Malaysia, Thailand dan sebagainya; bukan kelas menengah bawah. Wisman dari Tiongkok yang masuk ke Indonesia umumnya dari kelas menengah bawah, kelas menengah atas pergi ke Thailand.

Demikian koreksi ini saya tuliskan tanpa maksud apa-apa hanya untuk koreksi dan klarifikasi data supaya ke depan Kemenpar lebih strategis lagi dalam berkomunikasi dengan publik. Ingat, target masih jauh dan waktu semakin singkat. Kalau tidak tercapai sampaikan saja, dan itu lebih baik daripada seolah-olah target terpenuhi tetapi harus menggunakan data yang tidak akurat. Salam. ●

Dua yang Tak Jera

Dua yang Tak Jera
Hasanudin Abdurakhman  ;   Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                  DETIKNEWS, 26 Februari 2018



                                                           
Dalam dua bulan ini kita menyaksikan parade penangkapan oleh aparat terhadap para pelaku dua jenis kejahatan serius, yaitu korupsi dan narkotika. Dalam waktu kurang dari dua bulan KPK sudah menetapkan 7 kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Sebagian di antaranya adalah kasus yang terjaring operasi tangkap tangan. Bahkan ada dua hari berurutan, KPK menangkap pelaku korupsi, yaitu Bupati Subang (13 Februari), dan anggota DPRD Lampung Tengah (14 Februari). Sementara itu penangkapan penjahat narkotika juga terus terjadi. Beberapa penangkapan kapal berisi narkotika yang terjadi belakangan ini mengungkap usaha penyelundupan narkotika dalam jumlah yang mencengangkan, dalam orde ton.

Di satu sisi kita senang dengan berbagai penangkapan itu. Itu tandanya aparat kita sedang bekerja melaksanakan tugas mereka. Tapi ketika penangkapan terus terjadi, tentu kita tak bisa memaknainya sesederhana itu. Kenapa kejahatan-kejahatan serius itu terus terjadi?

Untuk memahami situasinya, kita harus meminjam logika maling. Maling yang hendak mencuri tidak pernah melupakan satu hal dalam rencananya, yaitu jalan untuk melarikan diri. Kalau maling tidak menemukan jalan itu dalam rencananya, ia tidak akan mengeksekusinya. Penjahat narkotika dan koruptor memakai logika yang sama. Kalau mereka tidak menemukan peluang untuk lolos, mereka tidak akan melakukan kejahatan.

Tapi, bukankah serentetan penangkapan itu menunjukkan bahwa tidak ada peluang untuk lolos? Salah. Justru peluang untuk lolos lebih besar. Kita bisa analisis dari kasus-kasus narkotika. Banyak usaha penyelundupan digagalkan. Tapi apakah itu berarti tidak ada narkotika yang beredar hingga ke tangan konsumen? Faktanya, ada begitu banyak yang lolos, dan dinikmati oleh para pelanggannya. Hampir setiap minggu kita melihat berita penangkapan pengguna narkotika dari kalangan pesohor. Dari kalangan non pesohor yang tidak diberitakan, lebih banyak lagi.

Dalam soal korupsi, situasinya mirip. Yang berhasil ditangkap dan ditangani KPK itu hanya secuil, puncak dari sebuah gunung es saja. Yang masih terus berlangsung, sangat banyak.Karena itulah berbagai penangkapan tadi bukan isyarat yang menggembirakan, tapi justru menyedihkan. Kejadian-kejadian itu menggambarkan bahwa para penjahat itu melihat begitu banyak peluang untuk beraksi.

Ada sejumlah kasus korupsi yang berentetan. Gubernur Sumatera Utara, misalnya, berturut-turut ditangkap karena korupsi. Gubernur Syamsul Arifin ditangkap. Penggantinya Gatot Pujo Nugroho, belakangan ditangkap juga. Provinsi Riau lebih "hebat" lagi, karena mampu mencetak "hattrick", tiga gubernurnya berturut-turut ditangkap karena korupsi, yaitu Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun. Hal yang sama terjadi di Subang, tiga bupatinya berturut-turut ditangkap dalam kasus korupsi.

Orang-orang itu tidak korupsi karena kebetulan. Boleh dikatakan, banyak orang berusaha menjadi kepala daerah agar bisa korupsi. Proses pilkada kita jelas sangat tidak masuk akal. Untuk jadi bupati atau walikota saja orang harus mengeluarkan uang bermiliar-miliar. Mustahil uang itu bisa kembali tanpa korupsi. Tapi kenapa ada yang mau keluar uang sebanyak itu? Karena mereka melihat peluang kembalinya besar.

Orang berani korupsi karena ada peluang untuk melakukannya, dan ada peluang lolos. Perhatikan bahwa sebagian besar kasus korupsi yang terungkap itu ditangani oleh KPK. Pernahkah kita mendengar lembaga pengawas seperti Inspektorat Jenderal di Kementerian membongkar kasus korupsi? Sangat sedikit. Artinya, orang berani korupsi karena tahu bahwa lembaga pengawas tidak bekerja, atau bahkan korup juga.

Kalaupun sial tertangkap, masih ada sederet kesempatan untuk lolos. Ketika sampai akhirnya divonis masuk penjara pun, para koruptor masih punya harapan untuk mendapat keistimewaan di penjara. Dengan masa hukuman hanya beberapa tahun, mereka tetap bisa hidup nikmat.

Ceritanya sama dengan para penjahat narkotika. Bahkan Kepala BNN sampai frustrasi melihat kenyataan bahwa bandar narkotika bisa tetap mengendalikan bisnisnya dari penjara. Berkali-kali kita menyaksikan berita penangkapan Kepala Lembaga Pemasyarakatan, karena terlibat dalam jaringan peredaran narkotika. Bisa kita duga bahwa yang terlibat tapi tak tertangkap jauh lebih banyak jumlahnya.

Kedua kejahatan ini berujung pada satu hal yang sama, yaitu mental korup. Aparat pemerintah korup. Mereka diangkat dan dipelihara oleh pejabat dan kepala daerah yang korup. Kepala daerah dipilih oleh rakyat yang korup. Kok rakyat yang disalahkan?

Rakyat bukan korban tak berdosa. Sistem korup ini ada karena dibiarkan ada dan dipelihara. Mengapa biaya yang dikeluarkan kandidat kepala daerah demikian besar? Karena ada begitu banyak pihak yang harus dibayar untuk memenangkan pilkada. Pembayaran itu adalah suatu bentuk korupsi. Politik uang begitu nyata terjadi, tapi kita tak pernah menyaksikan ada yang kena sanksi.

Belum lagi soal penerimaan pegawai di lembaga-lembaga pemerintah dan penegak hukum. Itu juga korup. Untuk bisa masuk, orang harus punya koneksi, atau harus membayar. Tidak heran bila pegawai dan aparat yang direkrut adalah orang-orang korup juga.

Apakah semua begitu? Tidak. Kita sedang terbelah dalam kelompok yang ingin memperbaiki, dan kelompok yang ingin bertahan. Ada upaya-upaya perbaikan, tapi masih jauh dari cukup dibanding dengan upaya untuk merusak. KPK misalnya, adalah wujud dari upaya untuk memperbaiki. Tapi kita sering mendengar usaha untuk membubarkannya.

Dua jenis kejahatan yang pelakunya belum juga jera, mengingatkan pada kita bahwa masih begitu panjang perjuangan untuk memperbaiki bangsa ini. Hal penting untuk diingat adalah, kejahatan mereka bukan sama sekali tak terhubung dengan kita. Sebenarnya, justru terhubung sangat kuat. Jera atau tidaknya mereka, tergantung pada cara kita bersikap secara kolektif. ●