Selasa, 31 Desember 2013

Ekonomi Memasuki Masa Transisi 2014

Ekonomi Memasuki Masa Transisi 2014

Umar Juoro   ;   Ekonom Senior
di Center for Information and Development Studies dan Habibie Center
REPUBLIKA,  30 Desember 2013
  


Sekalipun pada 2013 kita menghadapi banyak permasalahan ekonomi, kita tetap bersyukur dapat melaluinya dengan selamat. Tahun 2013 di- cirikan dengan inflasi yang tinggi sekitar 8,5 persen, nilai rupiah yang melemah sekitar 27 persen pada tingkatan sekitar Rp 12 ribu per dolar AS, dan pertumbuhan ekonomi yang menurun menjadi sekitar 5,8 persen.

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan inflasi yang tinggi. Defisit transaksi berjalan di atas tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) menyebabkan tekanan berat pada rupiah dan menurunnya investasi serta ekspor menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi.

Memasuki 2014 sekalipun dengan harapan ekonomi yang lebih baik, kita masih dihadapkan dengan tantangan yang tidak ringan.

Dari luar, rencana bank sentral Amerika Serikat (the Fed) untuk menurunkan stimulus dengan mengurangi pembelian obligasi yang lebih besar menyebabkan aliran modal ke luar dari negara berkembang, termasuk Indonesia, dan modal kembali ke AS. Hal ini menyebabkan tekanan masih akan berlangsung pada nilai rupiah. Kemungkinan the Fed akan menaikkan suku bunga pada pengujung 2014 yang memberi kan tekanan semakin besar pada rupiah.

Bank Indonesia (BI) masih mungkin menaik kan BI Rate untuk membuat nilai rupiah tidak terus merosot. Sementara, inflasi akan me nurun pada kecenderungannya, yaitu sekitar lima persen. Sekalipun demikian, hal tersebut menunjukkan prospek perbaikan ekonomi AS yang berpengaruh positif pada ekonomi dunia. Ekonomi Cina yang menjadi rekan perdagangan utama Indonesia kemungkinan juga akan membaik yang memberikan peluang peningkatan ekspor Indonesia. Ekonomi Jepang kemungkinan juga membaik yang juga menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Ekonomi Eropa kemungkinan yang masih lemah karena masalah struktural yang sulit untuk diatasi.

Dengan ketidakpastian di tingkat global tersebut, dengan faktor positif dan negatifnya bagi ekonomi Indonesia, kita harus mempersiapkan diri dengan lebih baik memasuki 2014 sebagai masa transisi. Di dalam negeri, kekuatan pasar domestik yang didukung oleh konsumsi masyarakat masih kuat. Sektor telekomunikasi, perdagangan, dan keuangan masih memimpin dalam pertumbuhan sektoral. Sektor yang semestinya unggul, seperti manufaktur, pertanian, dan pertambangan, masih membutuhkan restrukturisasi untuk dapat kompetitif dan memperbaiki ketergantungan ekonomi yang besar pada impor serta dapat meningkatkan ekspor.

Tahun 2014 juga merupakan tahun politik. Perhatian pemerintah dan politikus adalah pada pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Ditambah dengan ketatnya tindakan antikorupsi maka inisiatif pemerintah akan semakin terbatas. Sedangkan, pemerintah baru akan terbentuk pada Oktober 2014 dan belum akan dapat berbuat banyak bagi perekonomian 2014. Karena itu, dapat kita katakan 2014 adalah juga sebagai masa transisi dari pandangan ekonomi-politik. Harapan lebih besar pada perkembangan ekonomi pada 2015.

Masa transisi 2014 semestinya juga dikaitkan dengan restrukturisasi ekonomi dari mengandalkan sumber daya alam kepada kemampuan dalam produksi di manufaktur dan pertanian yang terkait dengan nilai tambah global (global value chain). Indonesia dapat mendapatkan manfaat optimal dari perkembangan global dan dapat meminimalkan dampak negatifnya.

Bagi dunia usaha, memasuki 2014 semestinya juga lebih fokus pada menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi dengan bunga pinjaman yang lebih tinggi, nilai rupiah yang relatif lebih lemah, dan inflasi yang menurun. Pada paruh pertama 2014, ketidakpastian masih akan dihadapi dunia usaha. Namun, pada paruh kedua 2014, ekonomi akan membaik seiring dengan perbaikan ekonomi AS dan Cina.

Peluang usaha akan semakin terbuka. Apalagi, jika presiden terpilih dan pemerintahan baru sesuai dengan harapan masyarakat, prospek perekonomian akan lebih baik lagi. Bagi dunia usaha yang dapat mempersiapkan diri dengan baik pada masa transisi ini, akan mendapatkan manfaat besar pada perkembangan ekonomi 2015. Tentu saja, penyesuaian tidaklah mudah.

Bagi masyarakat pada paruh pertama 2014, masih meng hadapi inflasi yang tinggi, tapi pada paruh kedua, inflasi akan turun dan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Terpilihnya presiden dan terbentuknya pemerintahan yang sesuai dengan kehendak masyarakat akan meningkatkan ekspektasi terhadap perbaikan ekonomi pada tahun transisi ini dan terbukanya kesempatan kerja dengan perkembangan investasi.  ●

UU Desa dan Kemiskinan

UU Desa dan Kemiskinan

Khudori   ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
REPUBLIKA,  30 Desember 2013



Mengakhiri tahun 2013, pemerintah dan DPR membuat keputusan penting.
Setelah tertunda-tunda dalam beberapa kali masa sidang, pekan lalu RUU Desa disahkan menjadi UU. Lewat produk hukum baru tersebut, desa bisa berdiri otonom, sama dengan provinsi, kabupaten atau kota, dalam menentukan arah pembangunan. Dengan otonomi itu, desa bisa membangun otonomi berbasis "otonomi asli desa" yang berbasis nilai dan identitas lokal.

Harus diakui, derap pembangunan selama beberapa dekade hanya menempatkan desa sebagai subjek. Akibatnya, desa tidak hanya berada di pinggir, tapi juga diletakan jauh di belakang. Selama puluhan tahun pendekatan pembangunan desa dicirikan tiga hal (Sudjito, 2013). 

Pertama, tak ada kejelasan kewenangan desa sebagai pengakuan negara atas desa. Sejak UU No 5/979 tentang Pemerintahan Desa berlaku, tak ada pengakuan kewenangan, baik secara politik maupun sosial-ekonomi. Pengaturan desa diseragamkan bermodel "Jawa" agar negara mudah mengontrol desa. Dampaknya, desa termarjinalisasi dalam arus kebijakan.

Pada era reformasi ada upaya memperkuat desa lewat UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan itu memberi pesan penguatan desa bertumpu pada hak asal-usul. Tapi, hal ini tak berlangsung lama.

Ketidakpastian politik menandai terbitnya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang bercorak resentralisasi. Desa kembali hanya menjadi objek, tersubordinasi pemerintah kabupaten/kota, bahkan terkooptasi pemerintahan di atasnya. Ini semua cermin kemunduran paling nyata posisi politik desa di era reformasi.

Kedua, dengan pendekatan "Jawanisasi", kemajemukan desa tidak diakui, bahkan dinihilkan. Padahal, format, struktur, dan pola desa di Indonesia be - gitu beragam. Keunikan desa atau nama lainnya mencerminkan sumber daya lokal yang dimaknai sebagai kekayaan khas bangsa. Tak mungkin variasi dimatikan lewat penyeragaman. 

Ketiga, lantaran kooptasi desa tidak berperan dalam perencanaan, penganggaran pembangunan dan redistribusi sumber daya. Pembangunan menempatkan desa sebagai objek lewat model "pembangunan di desa", desa hanya jadi lokasi. Bukan "desa membangun" yang mensyaratkan desa sebagai subjek.

Tiga paradigma pembangunan desa itu tidak lagi ada dalam UU Desa. Tidak hanya keberagaman yang diakui, desa juga diberi kewenangan (politik) besar dalam perencanaan, penganggaran pembangunan, dan redistribusi sumber daya. Secara ekonomi, UU Desa memuat kewajiban penting terkait penganggaran. Pasal 72 menyebut, dana alokasi desa berasal dari APBN diambil sebesar 10 persen dari dana on top (dana dari dan untuk transfer daerah). Dalam APBN 2014 dana transfer daerah mencapai Rp 590,2 triliun. 

Jadi, alokasi anggaran desa Rp 59,02 triliun. Sebanyak 72 ribu desa akan menerima aliran dana Rp 0,7 miliar hingga Rp 1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan, kesulitan geografis, dan luas wilayah.

Terlepas dari pro-kontra, adanya alokasi anggaran khusus ke desa membawa angin segar pembangunan di perdesaan. Pembangunan yang bias perkotaan membuat desa kering anggaran, bahkan terjadi pengurasan modal (finansial dan sumber daya) desa oleh kota. Almarhum Mubyarto dalam pelbagai penelitiannya menemukan, tabungan warga desa di perbankan yang mengalir kembali ke desa tak lebih dari 25 persen.

Sisanya mengalir ke kota. Desa identik dengan kemiskinan dan kegureman.
Selama puluhan tahun pembangunan gagal mengatasi kesenjangan kota-desa, menyebarkan penduduk ke wilayah lain di luar Jawa dan luar Jabodetabek, serta meratakan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Pembangunan tak berdaya mengatasi urbanisasi masif. Ini terjadi lantaran ketakmampuan kita membangun ekonomi perdesaan, yang telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marjinalisasi ekonomi perdesaan. Konsep yang kita kenal selama ini tentang urban-rural linkages tidak berjalan karena kenyataannya kota makin perkasa, sedangkan desa justru makin merana.

Daerah perkotaan yang didominasi oleh kegiatan ekonomi modern, seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, komunikasi, properti, dan jasa keuangan serta perbankan mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat daripada daerah perdesaan yang didominasi kegiatan ekonomi tradisional, seperti sektor pertanian dan pertambangan-penggalian. Sejak 2008, pertumbuhan sektor pertanian tak lebih dari setengah pertumbuhan nasional. Padahal, sektor ini menampung 43 persen dari total tenaga kerja yang ada. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional yang terus menurun, tinggal sekitar 14 persen, membuat kemiskinan menumpuk.

Sejak dahulu kala, kemiskinan terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin di perdesaan 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih 35 tahun kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan. Per September 2012, warga miskin berjumlah 28,594 juta (11,66 persen). 

Secara agregat, kemiskinan menurun. Namun, persentase orang miskin di perdesaan tetap tinggi: 63,4 persen (18,48 juta) dari jumlah warga miskin. Ini fakta getir karena pembangunan justru meminggirkan warga perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ternyata kemiskinan tak beranjak jauh dari desa.

UU Desa memberi harapan baru. Ada harapan besar, transfer anggaran ke desa akan membuat wajah desa berubah: dari miskin menjadi lebih menggairahkan. Ada sejumlah peluang (usaha, pembukaan tenaga kerja baru dan yang lain) yang akan tercipta seiring mengalirnya anggaran ke desa. Ada peluang harapan baru ini akan diiringi mengalirnya lulusan pendidikan tinggi ke desa. Lewat tangan-tangan mereka, kemiskinan, kegureman, dan pelbagai keterbelakangan desa dikikis. Tentu itu semua mensyaratkan kelembagaan yang mumpuni, pengawasan dan kontrol ketat agar dana desa tak dikorupsi.

Anomali Harga Gas Elpiji

Anomali Harga Gas Elpiji

Tulus Abadi   ;   Pengurus Harian YLKI 
REPUBLIKA,  30 Desember 2013

  

Pasokan dan produksi bahan bakar minyak nasional hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Terbukti, dari 1,3 juta barel kebutuhan dalam negeri, lebih dari 400 ribu barel masih diimpor. Upaya untuk menaikkan produksi minyak (lifting) nasional sampai detik ini juga belum mampu dicapai. 

Maka, bisa dipahami jika pemerintah mendorong gasifikasi sebagai alternatif kebijakan energinya. Namun, ironisnya, implementasi kebijakan gasifikasi masih kedodoran. Sampai detik ini, infrastruktur gas (SPBG) masih bisa dihitung dengan jari. Pasokan gas untuk transportasi, misalnya, untuk Transjakarta pun masih megap-megap. Tak terkecuali kebijakan gasifikasi (gas elpiji) untuk sektor rumah tangga hingga kini masih menyisakan anomali yang sangat serius, terutama dari sisi kebijakan harga gas elpiji 12 kg-50 kg. 

Mengapa? Dari sisi regulasi sebenarnya sudah cukup gamblang bahwa kebijakan menentukan harga gas elpiji 12 kg adalah domainnya operator (PT Pertamina). Lihatlah Peraturan Menteri ESDM No 26 Tahun 2009 bahwa harga jual elpiji untuk pengguna elpiji umum ditetapkan oleh BUMN dengan berpedoman pada harga elpiji (Pasal 25). Komoditas elpiji 12 kg (dan 50 kg) jelas bukan komoditas elpiji yang disubsidi sebagaimana gas elpiji tiga kg. Jadi, tak ada secuil alasan pun bagi regulator (pemerintah) untuk mengintervensi (menolak) kenaikan harga elpiji 12 kg karena hal itu adalah kewenangan operator.

Tetapi, ibarat kata pepatah pemerintah, "menyorongkan kepala, tetapi buntutnya masih dikangkangi". Dalam hal gas elpiji 12 kg, dari sisi bisnis, PT Pertamina masih merugi secara signifikan. Lihat saja biaya produksi nya yang mencapai Rp 10.943/kg, tetapi harga jual pada konsumen hanya Rp 4.944/kg. Jadi, nilai kerugiannya mencapai Rp 5.399/kg. Sebagai contoh, kerugian pada 2011 mencapai Rp 3,4 triliun, 2012 Rp 4,7 triliun, dan 2013 mencapai Rp 5,7 triliun. Jika diakumulasi kerugian PT Pertamina sejak 2009 mencapai Rp 22 triliun. 

Jadi, jelas kerugian PT Pertamina dalam bisnis elpiji 12 kg bertentangan dengan UU tentang BUMN. Hanya, ini kerugian yang secara politis dilegalisasi oleh pemerintah sendiri. Untuk menambal kerugian itu, pada akhirnya PT Pertamina harus menyubsidi gas elpiji 12 kg pada konsumennya. Sebuah cara yang tidak lazim karena urusan subsidi adalah urusan regulator, bukan operator.

Kalaupun bisnis elpiji 12 kg akan terus dibiarkan merugi, konsekuensinya pemerintah harus memberikan subsidi (PSO) pada gas elpiji 12 kg sebagaimana pemerintah menggelontorkan subsidi pada gas elpiji tiga kg.

Kerugian PT Pertamina pada bisnis gas elpiji 12 kg pun sudah terendus oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Su - rat rekomendasi BPK No 29 Tahun 2013 tertanggal 5 Februari 2013 menyebutkan bahwa PT Pertamina menanggung kerugian atas bisnis elpiji 12 kg-50 kg selama 2011-2013 sebesar Rp 7,7 triliun. BPK me rekomendasikan agar PT Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kg.

Namun demikian, menaikkan harga gas elpiji 12 kg bukan tanpa risiko (finansial) bagi PT Pertamina, bahkan bagi pemerintah sendiri. Risiko yang paling riil adalah adanya fenomena migrasi (perpindahan) dari pengguna gas elpiji 12 kg menjadi pengguna gas elpiji tiga kg. Permintaan gas elpiji tiga kg pun akan meningkat dan subsidi pemerintah untuk gas elpiji tiga kg akan melambung. Ini logis karena harga gas elpiji tiga kg lebih murah (karena disubsidi) dan akses pasarnya pun masih terbuka. Siapa pun bisa membeli gas elpiji tiga kg, tanpa pandang bulu strata sosial ekonominya. Upaya PT Pertamina dan Kementerian ESDM yang akan menjadikan gas elpiji tiga kg sebagai pangsa pasar yang tertutup sudah seharusnya dilakukan.

Dari sisi yang lain yang juga menjadi mandat Permen ESDM No 26/2009 patut disorot juga bagaimana aspek daya beli konsumen jika harga elpiji 12 kg dinaikkan. PT Pertamina menyinyalir bahwa kenaikan harga elpiji 12 sebesar Rp 3.505 per kg `hanya' akan menambah pengeluaran konsumen sebesar Rp 30 ribu per bulan. Tapi, aspek daya beli saja juga tidak cukup karena aspek willingness to pay juga harus dipertimbangkan. Mengingat, hingga detik ini keluhan konsumen terhadap takaran gas elpiji, baik yang 12 kg maupun tiga kg, masih tinggi. Secara manajerial, PT Pertamina harus membereskan mitra kerja samanya yang acap berbuat nakal mengurangi takaran.

Bagaimanapun, anomali kebijakan harga gas elpiji 12 kg tidak bisa dipelihara secara terus-menerus. Apalagi, kebijakan harga gas elpiji nonsubsidi menjadi domainnya operator, bukan domain regulator. Kalaupun kebijakan harga ini masih disandera, pemerintah wajib meng gelontorkan dana subsidi (PSO) pada konsumen elpiji 12 kg. Ini kalau pemerintah konsisten dengan eksistensi regulasi yang ada, baik pada konteks mikro (permen ESDM) maupun pada konteks makro (UU BUMN). Bahkan, rekomendasi dari BPK sekalipun. 

Akan lebih elegan jika besaran kerugian itu dikonversikan menjadi kenaikan deviden PT Pertamina pada pemerintah dan atau untuk membangun infrastruktur gas elpiji yang masih minim (membangun kilang) sehingga nilai impor gas elpiji bisa ditekan. Alasan `momen tidak tepat' untuk menaikkan harga gas elpiji 12 kg lebih bertendensi politis jangka pendek (Pemilu 2014) yang kemudian mengorbankan kepentingan dan keberlanjutan ekonomis dan kebijakan energi berjangka panjang.

Ketegasan (tidak) Melantik Tersangka Korupsi

Ketegasan (tidak) Melantik Tersangka Korupsi

Zainal Arifin Mochtar   ;   Pengajar Ilmu Hukum di FH UGM Yogyakarta,
Ketua Pukat Korupsi FH UGM Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  30 Desember 2013



“Pasal 29 hingga Pasal 35 dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sering dirujuk sesungguhnya bukanlah aturan yang dapat dinisbahkan untuk menjadi alasan hukum guna melantik Hambit.”

KITA semua paham bahwa Hambit Bintih ialah pemenang dalam kontestasi kepala daerah di daerah yang diikutinya. Ia dikukuhkan sebagai Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bukan hanya oleh komisi khusus untuk mengawal proses pemilihan umum, melainkan juga melalui proses peradilan sengketa hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengukuhkannya sebagai pemenang meski Ketua MK kala itu, Akil Mochtar, harus menjalani proses pidana karena menerima suap dari Hambit.

Proses di MK tentu saja tidaklah sama dengan proses di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MK berbicara perihal jumlah suara, sedangkan KPK berbicara soal suap yang ia lakukan dalam rangka menjaga kemenangan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada)-nya di MK. Meski jumlah suaranya cukup untuk memenangi pemilu kada, bukan berarti suap yang ia lakukan tidak memiliki makna dalam hal kualitas kepemimpinan daerah.

Bayangkan, ia akan menjadi kepala daerah yang dapat dikatakan`menghalalkan' 
segala cara untuk memegang jabatan tersebut. Ia akan mengucapkan sumpah dan janji sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, serta menjalankan segala hukum dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan, bangsa. Hal yang anakronistis karena ia bertanding memperoleh jabatan tersebut dengan cara yang melanggar hukum lewat suap, tindakan koruptif yang merupakan musuh masyarakat, nusa, dan bangsa.

Akan tetapi, pada saat yang sama, ada prosesi mekanisme pemerintahan daerah yang juga harus dijaga. Pemenang kontestasi pemilihan umum kepala daerah juga sebaiknya dilantik demi mendapatkan kepemimpinan baru yang dipilih publik, menjadi salah satu ciri utama dari model demokrasi langsung. Haruskah dilantik? Haruskah membiarkan sebuah daerah dipegang kepemimpinan yang koruptif? Berbagai pertanyaan lain akan hadir dari kondisi yang dihadapi Hambit.

Haruskah dilantik?

Pertanyaan yang menarik ialah, salahkah KPK dengan tidak memberikan kesempatan bagi Hambit untuk dilantik di penjara ataupun dibawa keluar sementara untuk pelantikan? Sulit untuk dikatakan demikian. Setidaknya dengan dua alasan. Pertama, sesungguhnya tidak ada aturan mendetail dan jelas perihal kewajiban untuk melantik kepala daerah yang sudah terpilih, tetapi dia tengah mengalami proses hukum.

Pasal 29 hingga Pasal 35 dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sering dirujuk sesungguhnya bukanlah aturan yang dapat dinisbahkan untuk menjadi alasan hukum guna melantik Hambit. Sila dibaca dengan detail, pasal-pasal tersebut sesungguhnya terkena pada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dilantik menjadi pasangan kepala dan wakil kepala daerah, bukan untuk Hambit yang berposisi sebagai pemenang pemilu kada dan berarti belumlah dapat dipandang sebagai kepala daerah. Artinya, pasal-pasal itu dapat digunakan ketika Hambit sudah dilantik, bukan ketika masih menjadi pemenang pemilu kada. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menggunakan pasal tersebut sebagai rujukan kewajiban melantik Hambit.

Kedua, tindakan KPK sesungguhnya dapat dianggap sebagai penjagaan atas moral publik secara kolektif. Etika kolektif yang dalam teori apa pun memberikan makna dan pesan yang sederhana perihal pentingnya kepemimpinan itu punya integritas. Suap ialah tindakan yang menjadi bagian negasi dari integritas tersebut. Karena itu, tindakan KPK tentu saja menjadi penting untuk dikedepankan. Dapat dibayangkan, jika kepala daerah dilantik dan dibiarkan memimpin daerah hanya karena aturan secara tidak lengkap mengatur kondisi tersebut. Padahal, kepala daerah tersebut ialah pemimpin yang tidak tepat karena melanggar etika dasar kepemimpinan perihal integritas.

Belum lagi perihal negara akan melakukan pengeluaran-pengeluaran oleh karena status jabatan publik yang ia miliki. Padahal, jamak diketahui bahwa ia telah melakukan tindakan koruptif. Tentu saja, dana publik akan kembali digunakan kepada orang yang telah menghina kesadaran publik dengan tindakan koruptif.
Satu-satunya alasan yang bisa dibenarkan untuk melantik Hambit ialah agar tidak tercipta hambatan dan gangguan bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah. 

Rasanya, dalam konteks tersebut, tidak ada kewajiban untuk melantiknya. Model-model pelaksana tugas sementara dapat menjadi tindakan yang sangat mungkin diambil jika dibandingkan dengan melantiknya, tetapi ia tetap saja tidak mampu memimpin secara langsung karena sedang terpenjara dalam proses pidana.

Kemungkinan solutif

Tentu saja, sulit untuk memetakan solusi hukum yang dimungkinkan ketika model antinomi hukum telah dihadapi. Antinomi ialah pertentangan yang mendera hukum oleh karena adanya dua hal yang bertentangan, tetapi harus dijaga hukum secara bersamaan. Moral publik yang dalam konsepsi hukum Grotius dikatakan sebagai sesuatu yang harus dijaga, sedangkan pada saat yang sama kepastian hukum pelantikan untuk menjalankan pemerintahan daerah sebagai pemenang kontestasi juga harus dilaksanakan.

Posisi itu tentu tidak sederhana. Wolfgang Friedmann mengatakan pertentangan-pertentangan antinomi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terjadi sebagai akibat dari posisi alamiah hukum itu sendiri, yang berdiri di antara nalar filosofis dan kebutuhan praktis politik yang penat kepentingan. 

Secara sederhana, kategori-kategori intelektual hukum dibangun dari pena laran filsafat yang panjang dan holistis, sedangkan cita-cita keadilan di dalam hukum dikonstruksikan melalui sebuah mekanisme politik yang cenderung transaksional.

Akibatnya, menurut Friedmann, hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan merupakan resultan dari beraneka ragam proses internal isasi, intrusi, dan negosiasi berbagai kepentingan di antara l 29 faksi-faksi dan aktor-aktor dalam masyarakat. Moral menghendaki keidealan, sedangkan hukum dengan berbagai kepentingan dalam prosesi pembuatannya seringkali gagal menghadirkan hal tersebut.

Karena itu, makna pasti yang dibutuh kan dalam kondisi tarik menarik di antara dua atau lebih kepentingan hukum memaksa pengambil kebijakan untuk melakukan langkah berani berupa terobosan. Terobosan yang harus didorong untuk menjaga moral publik agar tidak terganggu, sedangkan pada saat yang sama menciptakan kepastian yang tidak mengganggu berjalannya pemerintahan di daerah.

Pemerintah harus mampu dan mau untuk mengambil salah satu di antara sekian banyak kemungkinan terobosan. Pertama, pemerintah dapat menunjuk saja model pelaksana tugas atas kepala daerah di Kabupaten Gunung Mas, tanpa harus melantik siapa pun. Sampai ketika jatuhnya hukuman atas Hambit yang kemudian dapat dipakai pemerintah untuk melantik berdasarkan perluasan, tafsir atas Pasal 108 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah membolehkan pelantikan wakil kepala daerah oleh karena kepala daerah berhalangan tetap. Berhalangan tetap dapat diterjemahkan bukan saja karena meninggal atau sakit permanen, melainkan juga keadaan ketika ia sudah tidak mungkin dapat memimpin daerah.

Kedua, pemerintah dapat mengisi kekosongan aturan hukum pelantikan kandidat pejabat yang bermasalah oleh karena proses korupsi serupa Hambit. Aturan hukum cepat itu tentu saja bisa dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Syarat kondisional perppu yang tentunya harus dipenuhi ialah adanya hal ihwal kepentingan yang memaksa dan mendesak untuk diambil agar tidak menyebabkan kekosongan dan ketidakjelasan pemerintahan daerah di Kabupaten Gunung Mas. Lagi pula, itu menjadi penting agar dapat mencegah kejadian serupa terjadi lagi.

Yang paling ideal tentu dengan melakukan perubahan terbatas atas UU Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, itu tentu masih akan memakan waktu panjang mengingat UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemilu Kada masih tengah digodok. Pun ketika itu hadir, masih akan ada perdebatan soal pemberlakuan surut ke kasus Hambit. Pilihan dengan bentuk perppu tentu menjadi paling rasional.

Ketiga, tentu saja kembali ke kondisi yang ada sekarang, melantik Hambit dan pasangannya meski tidak harus dihadiri Hambit. Ketentuan Pasal 110 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah hanya mewajibkan pengucapan sumpah dan janji yang dipandu pejabat yang melantik. Artinya, dalam konteks dipandu, kehadiran fisik tidak menjadi hal yang wajib. Bisa saja ia mengucapkan sumpahnya dengan dipandu dari jarak jauh. Hal-hal yang masih dimungkinkan tanpa membutuhkan kehadiran. Begitu ia dilantik, jabatan diserahkan kepada wakil untuk menjadi pelaksana tugas.

Ketiga pilihan itu punya konsekuensi dan pertanyaan teknis masing-masing yang tentu saja masih dapat diperdebatkan. Namun yang terpenting ialah keberanian untuk mengambil sikap. Tidak untuk membiarkan, mengambangkan, atau malah memaksa KPK agar menyerahkan Hambit untuk dilantik. Lagi-lagi, ada kepentingan lain yang dijaga bahwa publik punya hak untuk melihat pemimpin dan kepemimpinan yang bersih dan berintegritas.  ●

Rahasia Kesuksesan dalam Pendidikan

Rahasia Kesuksesan dalam Pendidikan

Ahmad Baedowi   ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  30 Desember 2013




"THE secret of education lies in respecting the pupil. It is not for you to choose what he shall know, what he shall do. It is chosen and foreordained and he only holds the key to his own secret."  (Ralph Waldo Emerson)

SAAT mendengar kata kesuksesan, imajinasi kita pasti akan menangkap pesan berupa gambar asosiatif yang berkaitan dengan kekayaan dan keberlimpahan materi, kehormatan, dan kedudukan di mata orang lain.

Seperti teori kebutuhan Maslow, tiap-tiap kesuksesan seseorang selalu diukur berdasarkan tingkatan yang ingin dicapainya. Karena itu, kesuksesan juga bisa diidentifikasi dengan motivasi yang dimiliki seseorang ketika belajar. Artinya setiap motivasi tidak pernah dikatakan baik apabila tujuan yang diinginkan itu tidak baik, demikian pula sebaliknya.

Pertanyaannya ialah apakah tujuan pendidikan kita peduli dengan tujuan dan motivasi anak ketika belajar? Jika kita survei secara kasar, hampir setiap siswa yang ditanya soal kesuksesan selalu mengatakan hal-hal yang bersifat kebendaan. Hal itu tak aneh karena sistem pendidikan di negara kita terlalu berorientasi pada hasil yang bersifat fisik. Ijazah atau kelulusan, kesempatan dalam bekerja, dan memperoleh kedudukan adalah di antara fakta-fakta yang ada di sebagian besar kepala siswa kita. Pendek kata, belajar dimaknai sebagai usaha untuk mengejar kesuksesan dalam arti yang sempit.

Pendidikan yang berorientasi pada hasil hampir dapat dipastikan akan menciptakan manusia-manusia yang pasif dan kering secara spiritual. Mereka bisa memperoleh kesuksesan, tetapi sangat boleh jadi tak memperoleh kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan hakiki hanya akan diperoleh setiap anak jika proses belajarmengajar dimaknai dan dijalankan sebagai eksplorasi atas nilai-nilai kehidupan yang mulia. Karena itu, proses belajarmengajar harus berorientasi pada proses yang benar.

Bila mengikuti logika Maslow, pendidikan yang berorientasi pada hasil sesungguhnya hanya akan memperoleh kepuasan tingkat fisiologis semata, tetapi akan sulit untuk memperoleh kasih sayang dan rasa memiliki yang tinggi terhadap kehidupan ini. Penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan hanya bisa diperoleh dengan memberi siswa sebanyak mungkin pengalaman berinteraksi secara langsung kepada lingkungan sosial tempat mereka berada.

Menurut teori fisiologi, semua tindakan manusia itu berasal pada usaha yang memenuhi kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan fisik semata.
Padahal, kebutuhan siswa tak hanya soal materi semata, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan rasa yang sangat bersifat personal. Proses pendidikan kita yang terlalu menekankan perkembangan kognitif jelas berbuah panjang hingga saat ini. Orientasi kepada hasil yang ditandai dengan nilai ujian seakan harga mati dan selalu tak berbanding lurus dengan pengembangan kapasitas emosi siswa. Akibatnya anak-anak memiliki bias pikir dan bias rasa yang tak seimbang, dan itu menyebabkan perilaku aneh dan menyimpang kerap kita temukan di kalangan anakanak sekolah, seperti kasus kekerasan.

Proses pendidikan yang tak seimbang antara pikir dan rasa itulah salah satu ujung petaka kemanusiaan di Indonesia. Adagium tradisi dan budaya yang kerap menyebut masyarakat Indonesia hidup saling hormat-menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya penyimpangan perilaku tak berkeadaban seperti tawuran antarwarga, warga melawan polisi, sekolah versus sekolah, dan yang lebih parah dinodai pula dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.

Jelas sistem pendidikan kita memerlukan road-map baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah, dan saling menghargai. Mungkin baik untuk menimbang komposisi kurikulum pendidikan kita yang lebih berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan psikomotorik. Dalam praktiknya, antara mata ajar sains, sosial sains, humaniora, dan seni budaya harus proporsional diajarkan, baik dari aspek durasi maupun substansi. Kurangnya mata ajar humaniora dan seni budaya di sekolah, menurut beberapa temuan riset, rentan menjadikan anak-anak berpe rilaku menyimpang di tengah masyarakat.

Profesor Antonio Damasio (2006) menyebutkan hari ini sistem pendidikan hampir di seluruh belahan dunia tumbuh pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional. Menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita sehingga anak-anak kita cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim rasa.

Dalam pandangan Damasio, durasi dan substansi pendidikan seni budaya dan humaniora seharusnya diseimbangkan untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku. Minimnya durasi dan substansi proses pembelajaran yang mengasah rasa itulah yang salah satunya menyebabkan menurunnya moralitas masyarakat modern.

Menyeimbangkan pikir dan rasa dalam praktik pasti akan menumbuhkan sifat menghargai antara satu dan yang lain, dan kondisi itu sejalan dengan fakta betapa majemuknya masyarakat Indonesia. Hilangnya kesadaran kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk lebih banyak disebabkan ketidakefektifan kebijakan kurikulum kita yang kurang menimbang dalam menyeimbangkan rumpun dan mata ajar yang ada.

Hans-Peter Becker dalam Unleash the Secret of Education and Learn How to Raise a Happy Child (2012) menemukan hal menarik bagaimana kita dapat menuntut anak meraih kesuksesan secara seimbang, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Caranya, biarkan anak belajar sambil mendengarkan musik atau jadikan aktivitas menyanyi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses belajar-mengajar yang terjadi setiap hari, baik di ruang kelas, sekolah, rumah, atau di mana saja ketika anak ingin belajar. Kombinasi pikir dan rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai (meaning and value) yang berkelanjutan dalam perilaku siswa.  ●

Gus Dur dan Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional

Gus Dur dan Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional

Anton Prasetyo   ;   Pendidik di Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  30 Desember 2013

  

SETIAP 30 Desember selalu diperingati sebagai hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid. Tokoh nasionalis-agamais itu dikenang tak lepas dari keluasan intelektualitasnya. Bahkan tak jarang dirinya dikenal sebagai sosok yang lebih cerdas daripada zamannya. Sosok kiai yang akrab disapa Gus Dur itu pernah menduduki posisi strategis, baik di pemerintahan maupun di ormasnya. Selain sebagai guru bangsa, cucu pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU) itu juga pernah menjabat presiden RI dan ketua tanfiziah (badan eksekutif) ormas NU.

Gus Dur juga mendapat banyak penghargaan, seperti gelar doktor honoris causa dari Universitas Jawaharlal Nehru India, Bintang Tanda Jasa Kelas 1 Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari pemerintah Mesir, dan pin penghargaan Keluarga Berencana dari Perhimpunan Keluarga Berencana I Ramon Magsaysay. Termasuk, Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI BJ Habibie, gelar doktor honoris causa bidang perdamaian dari Soka University Jepang (2000), Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations New York (2003), World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC) Seoul Korea Selatan (2003), serta Presiden World Headquarters on NonViolence Peace Movement (2003), penghargaan dari Simon Wiethemtal Center Amerika Serikat (2008), penghargaan dari Mebal Valor Amerika Serikat (2008), penghargaan dan kehormatan dari Temple University Philadelphia Amerika Serikat yang memakai namanya untuk penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study (2008). (Kompas.com, 31/12/2009)

Keberhasilan demi keberhasilan yang diraih Gus Dur dipastikan tidak didapatkan secara instan, tetapi memerlukan proses yang panjang dan penuh perjuangan. Kesuksesan intelektual Gus Dur tak lepas dari tiga fase, sebagaimana yang banyak dilalui orang-orang sukses lainnya. Ketiganya ialah fase formulasi atau pembentukan, fase momentum, dan fase stabil. Nah, dalam fase formulasi itulah sosok Gus Dur dan orang-orang sukses lainnya harus memiliki niat baja dan tahan uji. Di fase formulasi tersebut seseorang harus menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan dan rintangan.

Karena fase formulasi penuh cobaan dan rintangan, terdapat dua kemungkinan seseorang dalam menjalani masamasa itu. Pertama, seseorang yang teguh pendirian sehingga mampu melewati cobaan dan rintangan. Orang-orang itulah yang nantinya lulus dan akan menikmati masa-masa selanjutnya. Hanya, tidak banyak orang bisa melewati masa-masa tersebut dengan baik dan lulus uji. Kedua, seorang yang tidak memiliki mental baja. Orang itu tidak sanggup melewati cobaan dan rintangan sehingga bukan hasil maksimal yang didapat, melainkan kegagalan demi kegagalan yang menghampirinya.

Pejuang intelektual

Pada fase formulasi inilah perjuangan harus diupayakan. Tanpa adanya perjuangan, mustahil semua akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Dalam pencarian ilmu pengetahuan, kiai yang pernah menjabat presiden RI setelah BJ Habibie itu harus mengalami perjuangan yang tidak banyak dilakukan orang lain. Semenjak belia Gus Dur sudah harus belajar mengaji dan Alquran kepada kakeknya (KH Hasyim Asy'ari) sehingga pada usia lima tahun ia telah lancar membaca Alquran.

Di samping itu, saat dirinya masih duduk di sekolah tingkat dasar, bersama ayahnya di Jakarta, di sela-sela waktu sekolah formal, dirinya selalu meluangkan waktu untuk les privat bahasa Belanda kepada Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam.

Ketika masuk SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama) di Gowongan, Yogyakarta, pada 1953, dirinya juga sambil mondok di pesantren Krapyak.
Hariannya full digunakan untuk aktivitas. Kegiatan rutin harian ialah mengaji kepada KH Ma'shum Krapyak setelah salat subuh, dilanjutkan sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya. Di samping itu, di masam asa tersebut Gus Dur juga mulai belajar mulai belajar bahasa Inggris.

Beragam buku berat berbahasa Inggris dibaca Gus Dur belia. Di antara buku yang dibaca Gus Dur semasa sekolah SMEP ialah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, William Faulkner, Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, serta beberapa karya penulis Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky, dan Mikhail Sholokov. Di samping itu, Gus Dur juga melahap habis karya Will Durant yang berjudul The Story of Civilization.

Tak hanya itu, Gus Dur yang baru menginjak dewasa juga rajin menggali informasi melalui siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Dirinya juga membaca buku karya Lenin What is to be Done, Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya.

Setamat dari SMEP, Gus Dur melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah. Di pesantren itu, Gus Dur meneruskan hobi membacanya. Dibawanya seluruh koleksi buku yang dimilikinya hingga membuat teman-teman santri asuhan KH Chudhari itu terheran-heran. Atas bekal ilmu yang dibawa dan ketekunannya, Gus Dur mampu menyelesaikan studi selama dua tahun di Pesantren Tegalrejo. Padahal, umumnya belajar di pesantren itu setidaknya empat tahun baru mendapat kelulusan.

Pengembaraan Gus Dur dalam rangka menimba ilmu dilanjutkan ke Pesantren Tambak Beras Jombang. Di pesantren pamannya itu, Gus Dur berkesempatan belajar sempurna karena dia manahi untuk menjadi ustaz selama dua tahun. Pada usia 22 tahun, pengembaraan Gus Dur dalam rangka mencari ilmu mulai merambah ke luar negeri. Selepas melaksanakan ibadah haji, dirinya pergi ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas Al Azhar.

Di Mesir, Gus Dur merasakan kekecewaan. Dirinya merasa ada rintangan menghadangnya. Sampai di Mesir, dirinya tidak dapat langsung masuk Universitas Al Azhar. Gus Dur harus masuk aliyah (semacam sekolah persiapan). Kendati demikian, kekecewaan Gus D Dur tidak membuatnya putus asa. Dirinya tetap mencari celah sehingga dapat menggali ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sering kali Gus Dur mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) serta toko-toko buku tempat dia dapat membaca dan/atau memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Perjalanan mencari ilmu tak henti di situ. Pada 1966 Gus Dur pindah belajar ke Irak. Dirinya masuk ke Department of Religion di Universitas Baghdad sampai 1970. Di situlah Gus Dur mulai mendapatkan rangsangan intelektual lagi karena di Kota Seribu Satu Malam itu dirinya kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Dengan adanya kesempatan emas tersebut, dirinya tidak menyia-nyiakannya, dibacanya buku-buku yang ada secara intensif.

Di samping pengembaraannya ke Mesir dan Baghdad, Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada. Di situ dirinya mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Hingga pada 1971 Gus Dur menyelesaikan pengembaraan pendidikannya dan menetap di Indonesia lagi. Kendati demikian, semangat belajar tak pernah surut. Terbukti pada 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkan gelar doktor. 

Dirinya memiliki keinginan untuk menjalankan studi itu. Hanya, niatan mulia tersebut tidak dilaksanakannya karena semua promotor tidak sanggup. Gus Dur dianggap tidak membutuhkan gelar tersebut. Bahkan pada kenyataannya, beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi.

Mendewakan

Atas prestasi intelektual Gus Dur yang luar biasa itulah masyarakat kita sering kali mendewakannya. Praktik pendewaan itu pun sekadar melihat hasil akhirnya. Banyak warga kita yang mengagumi keluasan ilmu Gus Dur tanpa menyimak proses belajarnya. Segala rangkaian kata digunakan untuk memuji-mujinya. Terlebih pada momentum peringatan hari wafatnya seperti saat sekarang. Bahkan beraneka ragam rangkaian kata menghiasi media cetak dan elektronik dalam rangka mengagumi sosok Gus Dur.

Mendewakan Gus Dur dalam arti membanggakan sehingga bisa memotivasi diri untuk bisa mencontohnya tentunya merupakan tindakan positif. Namun yang banyak terjadi ialah mendewakan sebatas mengaguminya. Masyarakat kita lupa bahwa Gus Dur ialah sosok teladan yang harus ditiru, bukan sekadar dipuji. Perjuangan intelektualnya harus ditiru generasi penerusnya. Tanpa adanya perjuangan meniru dan meneruskan upaya-upaya pendidikan Gus Dur, mustahil bangsa kita akan menjadi maju.

Dunia pendidikan pun harus berkaca pada sosok Gus Dur. Keluasan ilmu Gus Dur bukanlah semata hasil kerja pendidikan formal. Bahkan berulang kali Gus Dur kecewa terhadap dunia pendidikan formal. Dirinya sempat tidak naik kelas ketika di SMEP karena kelakuannya yang disebabkan kekecewaan pada dunia pendidikan. Berakar dari sinilah, momentum peringatan haul keempat KH Abdurrahman Wahid ini semoga bisa menjadi pelecut semangat generasi muda kita agar bisa meneladani perjuangan pendidikannya dan menjadi inspirasi para punggawa pendidikan untuk bisa meningkatkan mutu pendidikan nasional. Semoga!  ●

Modernisasi dan Kapitalisasi Desa, Siap Enggak?

Modernisasi dan Kapitalisasi Desa, Siap Enggak?

Ardi Winangun  ;   Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu
OKEZONENEWS,  30 Desember 2013
  


Setelah melalui proses perjuangan yang panjang dari para anggota DPR serta ditambah dengan desakan dari para kepala desa, akhirnya para wakil rakyat lewat sidang paripurna pada 18 Desember 2013 mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentang Desa menjadi Undang-Undang Tentang Desa. Pengesahan rancangan itu tentu menjadi sebuah kebanggaan bagi DPR, selain mengabulkan tuntutan para kepala desa juga di akhir tahun ini anggota DPR mampu menyelesaikan salah satu tugasnya yakni legislasi. Dengan disahkan undang-undang itu maka beban rancangan undang-undang yang harus diselesaikan menjadi berkurang.

Banyak aturan dalam undang-undang itu mengatur soal desa yang sebelumnya tidak ada. Inti undang-undang itu adalah modernisasi di desa. Modernisasi seperti  ada gaji, tunjangan kesehatan, dan tunjangan lainnya yang diberikan kepada kepala desa. Selama ini kepala desa mengandalkan upah bulanan dari bengkok sawah atau penghasilan halal desa lainnya. Selain itu dengan adanya undang-undang ini pemerintah pusat harus menggelontor uang hingga Rp1 miliar selama setahun untuk kepentingan pembangunan desa. Dalam undang-undang itu juga mengamanatkan pengelolaan badan usaha milik desa (BMUD). Badan yang demikian dulu hanya sampai pada tinggkat kabupaten/kota maka sekarang bisa didirikan di desa. Dengan demikian, bila undang-undang itu dijalankan maka akan terjadi perkembangan yang cepat dan melesat di desa. Kapitalisasi akan muncul dari desa. 

Selama ini pembangunan hanya berada di tangan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Bila mereka peka dengan masalah yang terjadi di masyarakat (baca desa) maka problem di desa bisa segera diatasi. Masalahnya banyak bupati kurang peka dengan masalah di bawah sehingga anggaran daerah yang ada tidak merembes ke desa. Akibatnya, pembangunan desa selama ini tertinggal. Hal demikian membuat terjadi kemiskinan dan kesenjangan sosial dan berdampak banyak penduduk desa merantau ke kota atau keluar negeri. Urbanisasi yang terjadi ini akhirnya membuat pemerintah tambah pusingnya. Dengan undang-undang itulah diharapkan hal demikian bisa diatasi.

Menjadi persoalan ketika modernisasi dan kapitalisasi desa dilaksanakan sudah siapkah masyarakat desa dengan aturan baru itu? Harus kita akui untuk menjalankan modernisasi dan kapitalisasi desa diperlukan keahlian dan ketrampilan dari kepala desa dan perangkat desa lainnya. Keahlian itu berupa bagaimana mereka bisa merancang pembangunan, mengelola transaksi keuangan, dan mengurus badan usaha milik desa. Dalam merancang pembangunan desa tentu harus dilakukan dengan cermat dan tidak bisa secara gegabah. Bila dilakukan secara gegabah maka arah yang dituju bisa membelok ke arah yang lain. Sehingga tujuan pembangunan masyarakat desa yang toto tentrem kertho rahardjo, murah tanpa tinuku, lan tukul tanpo tinandur tak akan tercapai. 

Untuk bisa merancang pembangunan desa diperlukan seorang kepala dan perangkat desa lainnya yang bisa menyerap aspirasi kebutuhan masyarakat dan memprediksi masa depan desa. Namun seperti dalam pemilihan kepala daerah, kepala desa dipilih biasanya berdasarkan popularitas, banyak uang, dan sebatas tokoh. Sedang kemampuan mungkin hanya menjadi nomer dua. Dari sinilah maka problem di kabupaten bisa terjadi di desa di mana pembangunan tidak merata atau pembangunan hanya untuk kelompok tertentu.

Bila selama ini antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sering lempar tanggung jawab soal pembangunan yang tak terurus, misalnya jalan rusak, gedung sekolah roboh, jembatan ambruk, maka rantai lempar tanggung jawab nanti akan bertambah panjang hingga ke kepala desa. Bila demikian maka dari adanya undang-undang itu yang diharapkan pembangunan menjadi lebih merata yang terjadi malah keruwetan dalam soal siapa yang berhak bertanggungjawab dalam pembangunan. Misalnya, bila di desa daerah perbatasan dengan negara lain, siapa yang akan bertanggungjawab? Apakah kepala desa, bupati, gubernur, atau presiden? Pastinya bila ada masalah di batas negeri itu maka masing-masing akan berkilah. Pemerintah pusat akan mengatakan, “Kan sudah diberi anggaran.” Pemerintah di bawah pun akan membalas dengan berujar, “Itu kan urusan pusat.” 

Tak hanya masalah sumber daya atau keahlian yang sepertinya belum siap, masalah gelontoran uang yang melimpah di desa pun juga akan mengundang banyak orang untuk melakukan tindak korupsi. Selama ini mungkin kepala desa tidak mempunyai uang untuk melaksanakan pembangunan desa. Begitu ada segebok uang dari APBN dan APBD di depan mata, mereka bisa melakukan keinginan untuk mengubah wajah lingkungannya namun kepala desa juga manusia sehingga dirinya juga bisa melakukan tindakan melanggar hukum. Tindakan melanggar hukum itu dilakukan bisa jadi untuk memperkaya diri atau untuk mengembalikan modal dalam pemilihan kepada desa (Pilkades). 

Perlu kita ketahui bahwa Pilkades juga memerlukan modal seperti Pileg, Pilkada, dan Pilpres. Nilai untuk memenangkan Pilkada jangan dibilang murah. Anggaran kepala desa bisa hingga Rp1 miliar. Bila biaya yang dikeluarkan sudah demikian banyaknya maka dari sinilah pintu bagi kepala desa terpilih untuk melakukan tindak korupsi. Kita tidak berpikir jelek kepada kepala desa namun belajar dari pengalaman beragam pemilu mulai dari wakil rakyat, kepala daerah, dan presiden semua membutuhkan uang. Dan begitu ada anggaran pemerintah yang dikelola oleh mereka maka tindak pelanggaran hukum kerap terjadi. Bila banyak wakil rakyat dan kepala daerah kecokok KPK atau Kejaksaan Negeri dan Tinggi maka kepala desa sepertinya akan mengalami hal yang sama jika mereka melakukan korupsi. 

Kesimpulannya, kita harus menyambut baik dengan hadirnya Undang-Undang Tentang Desa. Namun sambil menunggu pemberlakukan undang-undang itu pada tahun anggaran 2015 maka pemerintah harus mempersiapkan sumber daya dan mental orang-orang desa agar mereka tidak mengulang ‘kesalahan’ pemerintah kabupaten, kota, provinsi, dan pusat dalam mengelola uang. ●