Mengajarkan Nilai-nilai Baik pada Anak
Kristi Poerwandari ; Penulis Kolom PSIKOLOGI Kompas Sabtu
|
KOMPAS, 28 Mei
2016
Kita sangat prihatin
membaca berbagai berita mengenai anak melakukan pelanggaran hukum,
menganiaya, memerkosa, dan membunuh teman sebayanya sendiri. Itu sangat jauh
dari bayangan kita mengenai kehidupan anak yang idealnya diisi dengan
kebahagiaan, antusiasme belajar, dan keceriaan bermain.
Banyak sekali
pertanyaan muncul, salah satunya adalah apakah sisi afeksi dari hidup anak
sungguh diisi? Helping Your Child Become a Responsible Citizen (Delattre dkk,
2013) menguraikan hal-hal amat sederhana, yang saking sederhananya, mungkin
kita lupakan atau tidak kita anggap penting.
Kepedulian
Seperti juga anak
harus diajar untuk dapat mengenakan baju sendiri, menulis, membaca, dan
berhitung, anak perlu dituntun untuk mengembangkan tanggung jawab dan
kepedulian. Delattre dan kawan-kawan memberikan contoh-contoh sederhana
mengenai bagaimana orangtua mengajari anak tentang kasih sayang, kejujuran
dan sikap adil, hingga kemampuan membuat penilaian dan bersikap bertanggung
jawab.
- Ibu, mengapa nenek
menangis?
- Oh, teman nenek baru
meninggal. Coba ingat, waktu adik kehilangan kucing kita, perasaanmu
bagaimana?
- Adik merasa sedih
dan kesepian.
- Nah, coba kamu
bayangkan bagaimana perasaan nenek, mestinya lebih sedih lagi, ya, dibanding
saat adik kehilangan si belang? Mungkin adik ada cara membantu nenek?
- Oh, aku mau menemani
dan mengajak nenek jalan-jalan.
- Wah, itu ide yang
bagus sekali dik..
Bila anak
mempertanyakan orang yang berlaku buruk, kita mengajaknya untuk memikirkan
berbagai kemungkinan penyebab agar anak tidak segera mengambil kesimpulan
tunggal yang bersifat menghakimi. Misal, kalau temannya mendorongnya sampai
hampir jatuh, apakah temannya itu sengaja? Atau ia sedang tergesa-gesa atau
banyak pikiran sehingga tidak melihat ada anak lain?
Orangtua perlu menjadi
contoh figur yang jujur di depan anak.
- Ayah, mengapa ayah
mengembalikan uangnya? Kan bukan kesalahan kita bahwa uang kembaliannya
terlalu banyak?
- Karena, uang
kembalian yang kelebihan ini bukan milik ayah, jadi tidak benar bila ayah
diam-diam saja pura-pura tidak tahu. Lagi pula, nanti kasirnya rugi. Sebelum
tutup toko, kasirnya akan mencocokkan jumlah uangnya. Nanti kalau ia sadar
uangnya kurang, ia harus mengganti uang itu dong kalau ayah tidak
mengembalikan uang yang memang bukan hak ayah?
Orangtua sekaligus
mengajarkan bahwa menjadi jujur itu tidak berarti berbicara seenaknya yang
berdampak menyakitkan ("kamu tuh jelek ya", "kamu orang
miskin"). Orangtua memberi contoh kepada anak untuk menggabungkan
kejujuran dengan kesantunan atau sikap yang menghargai orang lain.
Penghormatan pada orang lain
Anak sejak sedini
mungkin perlu menghormati orang lain. Menghormati orang lain sesungguhnya
merupakan bentuk penghormatan pada diri sendiri. Penghormatan tidak hanya
ditunjukkan pada yang di atas kita, tetapi juga pada yang kurang beruntung,
atau secara sosial dianggap di bawah kita. Kita mengajar anak meminta tolong,
mengucapkan terima kasih, dan menyampaikan permintaan maaf bila telah
merepotkan atau menyakiti orang lain.
- Kak, kok kakak
memakai baju mama?
- Iya ma, emangnya
kenapa? Tidak bagus ya kupakai?
- Bukan masalah itu.
Kalau kakak mau pakai baju orang lain, bukannya kakak harus tanya dan minta
izin dulu?
- Ok, kakak pikir mama
tidak keberatan?
- Mama keberatannya
karena kakak tidak minta izin dulu. Kakak harus tanya dan minta izin dulu ya
kalau mau pakai barang orang lain, entah itu barang mama, papa, teman, atau
yang lainnya.
Bila anak diajar
menghormati orang lain dari hal-hal yang kecil, ia akan lebih peka mengenai
perlunya menghormati orang lain untuk urusan-urusan yang lebih besar.
Jangankan memerkosa, mengambil barang orang atau berlaku curang pun, anak
mungkin tidak terpikir untuk melakukannya.
Kompleksitas situasi
Memang menjadi masalah
bahwa banyak sekali hal di luar kekuasaan kita yang di masa kini memengaruhi
hidup kita. Orangtua harus meninggalkan rumah dalam waktu lama karena jam
kerja yang panjang dan rumah yang sangat jauh dari tempat kerja. Teknologi
merambah ke semua sisi hidup kita, menghadirkan informasi dan cerita yang
tidak dapat disaring lagi, termasuk pornografi. Narkoba sudah demikian biasa
hadir di kalangan semua usia.
Bagaimanapun, kita
perlu bertanya: apakah pendidikan di rumah dan di sekolah telah memberikan
yang terbaik bagi anak? Apakah orang dewasa konsisten mengajarkan anak untuk
menghormati orang lain, atau sebenarnya memberikan contoh perilaku curang,
munafik, tidak jujur, membeda-bedakan, manipulatif, jorok, hingga
mengobyekkan perempuan dan malah menyalahkan korban?
Orang dewasa perlu
menjadi teladan yang nyata, dan dilihat anak menjadi figur yang nyaman dan
dapat dipercaya untuk membicarakan persoalan mereka. Bila demikian halnya,
pembelajaran buruk yang telanjur diperoleh anak dari sumber lain dapat
diminimalkan dampak negatifnya. Misalnya, anak yang batinnya kacau karena
terpapar pada seks terlalu dini dengan cara yang salah (karena pornografi atau
eksploitasi seksual dari orang dewasa misalnya) dapat bercerita karena
orangtua tidak cepat menghakimi atau menghukum.
Anak dapat dibantu
untuk memahami apa yang terjadi, mengurai kebingungan dan kekacauan batinnya,
serta mengendalikan diri. Anak diajak untuk menghormati diri sendiri dan
menghormati orang lain serta menginternalisasi nilai-nilai baik yang
universal, yang menjadi prasyarat hidup yang lebih beradab dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar