Konsensus Kebangkitan Bangsa
Farouk Muhammad ;
Wakil Ketua DPD RI
|
KOMPAS, 24 Mei
2016
Momentum kebangkitan
nasional yang diperingati bangsa Indonesia setiap tanggal 20 Mei hendaknya
menjadi sarana bagi kita bersama untuk melakukan refleksi kritis dan
konstruktif terhadap kondisi kebangsaan kita saat ini dan masa depan. Dan,
hal ini seyogianya dimulai dari satu kesadaran sejarah tentang akar-akar
fondasional Indonesia merdeka sehingga kita tidak menjadi bangsa yang
tunasejarah dan tunawarisan kebangsaan—yang seharusnya kita pelihara dan
tumbuh kembangkan dalam dimensi kekinian.
Apa tujuan Indonesia
merdeka? Kita dapat menemukannya dalam Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, jika
kita tanya kepada Bung Karno, kita tahu jawabnya melalui pidatonya tahun 1963
yang sangat terkenal diberi judul ”Trisakti”, yaitu: berdaulat secara
politik, berberdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial
budaya.
Lalu, jika ada
pertanyaan, apa karakter dan watak asli bangsa Indonesia? Kita menemukan jawabannya
pada lima sila Pancasila. Konsensus para pendiri bangsa mendudukkan Pancasila
sebagai falsafah dan norma dasar (ground norm) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (philosophische grondslag).
Pertama, Indonesia
bangsa yang religius karena secara deklaratif mendasarkan diri atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Kedua, Indonesia memiliki paham kemanusiaan universal yang
mengatasi sekat-sekat negara dan kebangsaan. Ketiga, Indonesia dibangun di
atas persatuan. Justru karena kesadaran akan keberagaman, kita memilih untuk
bersatu sebagaimana semboyan kita Bhinneka Tunggal Ika. Keempat, bangsa
Indonesia mengembangkan demokrasi yang khas dengan mengedepankan musyawarah
dan perwakilan. Ia bukan demokrasi liberal bukan pula totaliter. Kelima,
seluruh sila dibingkai dengan semangat kolektivisme (keadilan sosial) yang
mesti dirasakan oleh seluruh warga bangsa dari Sabang hingga Merauke.
Realitas kebangsaan
Hari ini, kebangsaan
kita menghadapi permasalahan dan tantangan yang tidak mudah dan cenderung
menyimpangi tujuan dan konsensus Indonesia merdeka. Merebak berbagai fenomena
kehidupan yang regresif dan destruktif, mulai dari narkoba, minuman keras,
pergaulan bebas, intoleransi, terorisme, radikalisme, separatisme, perilaku
koruptif, perilaku permisif, konflik sosial, kekerasan etnis, hingga
lunturnya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Permasalahan itu, jika
semakin buruk, bisamengarahkan Indonesia menjadi negara gagal (failed state).
Tentu kita tidak berpretensi mengatakan Indonesia menjadi negara gagal,
tetapi sinyal-sinyal ke arah sana tetap harus diwaspadai dan disikapi serius.
Sinyal itu, selain tampak dari permasalahan riil di atas, juga dari fenomena
disparitas ekonomi, yang antara lain terlihat dalam bentuk ketimpangan kaya
dan miskin yang menganga dan jarak kesejahteraan yang terlalu jauh antara
daerah maju dan tertinggal.
Jika kita kaji lebih
mendalam, permasalahan dan tantangan kebangsaan kita datang dari faktor
internal dan eksternal. Secara internal, Reformasi 1998 membawa angin
perubahan berupa kebebasan (liberasi) dan demokratisasi yang menghasilkan
perubahan sistem politik ketatanegaraan dalam segenap aspeknya. Pada saat
yang sama muncul ekses (negativitas) berupa gejala primordialisme, sektarian,
kebebasan yang kebablasan yang melemahkan ikatan (bonding) kita sebagai
bangsa.
Sementara itu, secara
eksternal dunia berkembang begitu pesat akibat globalisasi, yang menembus
batas negara (borderless), pergaulan dan hubungan antarbangsa dan antarwarga
tidak lagi dibatasi negara (terra in cognita kata Alvin Tofler) akibat
perkembangan teknologi informasi yang luar biasa. Akibatnya, invasi dan
involusi budaya, nilai, identitas dominan dunia yang (mungkin) berbeda atau
bertentangan dengan identitas karakter bangsa tidak dapat dihindari lagi.
Generasi muda bangsa
mengalami fase transisi yang cukup rumit. Nilai/norma lama bangsa belum
mereka tangkap lalu hadir reformasi dan globalisasi yang menawarkan
nilai/norma baru yang lebih menarik dan ”trendi”, tetapi mereka belum sempat
menghayati sehingga menimbulkan penafsiran yang keliru. Inilah yang disebut
sebagai kondisi ketidakpastian atau anomie (Durkheim 1897, Merton dalam
Ritzer 2007, hal 251-257). Pun, acap kali institusi negara belum sempat
menyesuaikan nilai/norma lama dengan kekinian.
Akibatnya, terjadi
kerentanan dalam kepribadian generasi muda bangsa. Mereka menjadi pragmatis
dan kehilangan idealisme sebagai anak bangsa. Sebagian menikmati liberalisasi
dan gaya hidup kosmopolitan, sebagian lagi terlena dalam perilaku koruptif
yang menguras kekayaan negara untuk kepentingan pribadi/golongan, sebagian
terjerumus dalam dekadensi moral (akhlak) seperti kejahatan, seks bebas,
pornografi-pornoaksi, kekerasan seksual, dan sebagian lain ada yang frustrasi
dan hilang harapan (hopeless) terlibat dalam tindakan radikalisme (Merton,
1938).
Program pemerintah
yang berfokus pada pembangunan infrastruktur sebagai upaya mempersatukan
Indonesia secara fisik patut dihargai. Pembangunan infrastruktur fisik
penting, tetapi sejalan dengan itu pemimpin/pemerintah juga harus melakukan
pembangunan watak dan karakter bangsa. Laiknya, upaya Presiden Soekarno
melakukan pembangunan karakter (character building) melalui Tujuh Bahan Pokok
Indoktrinasi (Tubapi), yang antara lain berisi Pancasila, UUD 1945, dan
Manipol Usdek. Atau, Presiden Soeharto melalui penataran Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) atau pengajaran Pendidikan Moral Pancasila
(PMP)—betapapun di kemudian hari mengalami peyorasi.
Pemerintah saat ini sebenarnya
juga telah mencanangkan program ”revolusi mental” untuk merevitalisasi
nilai-nilai kebangsaan, hanya saja tanpa didukung oleh struktur dan instrumen
yang sesuai sebagai medan aktualisasinya tetap saja penyakit yang menyerang
keindonesiaan masih tetap menyisakan permasalahan kebangsaan.
Kondisi kebangsaan
hari ini mencerminkan dua blok. Satu pihak mengagungkan kebebasan dan hak
asasi manusia (kelompok liberal). Sementara pihak lain menginginkan kembali
kepada jati diri kebangsaan. Pertentangan ini menghasilkan turbulensi yang
pada gilirannya mengantarkan kita pada kondisi disharmoni dan disorganisasi.
Terlebih lagi, ditambah isu aktual kebangkitan komunis (PKI) dan merebaknya
dekadensi moral (akhlak) yang menyulut kemarahan publik, yang dapat kita
simak melalui berbagai media sosial. Jika tak disikapi dengan tepat, hal ini
akan melengkapi pemicu-pemicu lain yang dapat mengarah pada disintegrasi
bangsa. Puncaknya, kita merasakan bangsa ini sedang sakit karena turbulensi
sosial yang nyaris tak terkendali.
Tawaran solusi
Realitas permasalahan
kebangsaan yang diuraikan sebelumnya tidak bisa lagi diobati dengan naspro
atau antibiotik, tetapi harus dioperasi (tindakan besar-mendasar). Maknanya
tidak bisa lagi diselesaikan dengan undang-undang atau kebijakan formal,
tetapi harus dengan pendekatan nonformal melalui ”konsensus nasional” di
antara tokoh bangsa seperti sejarah kebangkitan nasional kita, sejak Sumpah
Pemuda 1928, upaya-upaya kemerdekaan melalui PPKI dan BPUPKI, hingga
deklarasi kemerdekaan dan pembentukan konstitusi negara pada Agustus 1945.
Demikian pula,
momentum reformasi tahun 1998 selalu diawali dengan konsensus nasional oleh
tokoh-tokoh bangsa sebelum diformulasikan melalui lembaga-lembaga supra
struktural.
Jika ditelisik, akar
masalah kebangsaan kita bersumber dari degradasi rasa memiliki (sense of
belonging) dan rasa tanggung jawab (responsibility) terhadap publik dan
negara (responsible freedom), kelangkaan elite pemimpin negarawan sebagai
pemberi teladan dan penjaga moral kebangsaan, haluan negara yang bergeser
dari nilai-nilai Pancasila ke nilai-nilai liberal, ketimpangan pembagian
wilayah yang berorientasi jumlah penduduk, serta kepemimpinan nasional yang
terbelenggu oleh prosedur formal.
Untuk itu, penulis
menawarkan gagasan solusi yang dilandasi konsep bangsa yang Pancasilais,
bukan serta-merta meniru bangsa lain, dengan mengkaji dan menata kembali
sejumlah pilar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pertama, untuk
mengendalikan kebebasan yang kebablasan bahkan menggerogoti nilai-nilai
Pancasila perlu memberi keseimbangan yang proporsional antara hak dan
kewajiban, bukan saja pada level perorangan, tetapi juga kewajiban untuk
bersama-sama menegakkan nilai-nilai publik dengan menyemarakkan tindakan
korektif serta kewajiban berkontribusi bagi kepentingan publik.
Kedua, mengembangkan
konsep yang memberikan bobot substansial daripada sekadar prosedural dan
formalitas, baik dalam berdemokrasi maupun dalam menegakkan hukum. Dalam
berdemokrasi, mekanisme pemilihan baik legislatif maupun eksekutif harus
lebih memberikan bobot pada aspek kualitas daripada popularitas dan finansial
sehingga mampu menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang negarawan. Dalam
penegakan hukum, pencapaian keadilan substansial harus lebih diutamakan daripada
keadilan prosedural, termasuk dengan mengefektifkan mekanisme pengawasan
masyarakat dan mengembangkan kepedulian publik untuk melakukan tindakan
korektif terhadap setiap penyimpangan terkait norma kehidupan bersama.
Ketiga, penataan
kembali pranata-pranata tersebut di atas menuntut perubahan yang signifikan
dalam menentukan kebijakan dasar sebagai haluan negara yang akan menjiwai
segenap program pembangunan dan peraturan perundang-undangan. Keempat,
kepentingan untuk menata kembali sistem perwakilan (parlemen) merupakan suatu
keniscayaan; sementara itu sebagai perwujudan dari negara yang menjunjung
nilai ”kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, kedudukan dan
komposisi keanggotaan MPR perlu ditinjau kembali.
Terakhir, kelima,
keseluruhan langkah yang direkomendasikan di atas akhirnya menuntut kehadiran
kepemimpinan nasional (sistem presidensial) yang kuat dan berani mengambil
tindakan-tindakan korektif yang tegas terukur dalam memimpin proses
perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar