Cagar Budaya Kurang Pagar
Arif Afandi ;
Mantan Wakil Wali Kota Surabaya
|
JAWA POS, 20 Mei
2016
PEMBONGKARAN bangunan cagar budaya kembali
terjadi di Surabaya. Kali ini menimpa rumah tempat siaran Bung Tomo
menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan tentara sekutu, 11
Nopember 1945. Serangan itulah yang kemudian menjadikan kota ini dikenal
sebagai Kota Pahlawan. Bangunan cagar budaya tersebut terletak di Jalan Mawar
10.
Reaksi atas pembongkaran itu terus berlanjut.
Bahkan sampai dilaporkan polisi. Sejumlah tokoh masyarakat yang dipimpin
pengacara kondang Trimoelja D. Soerjadi mengadukan unsur pidana pembongkaran
yang dilakukan pihak swasta itu. Yang menarik, Pemerintah Kota Surabaya telah
mengeluarkan IMB di atas reruntuhan bangunan tersebut.
Persoalannya, mengapa pembongkaran cagar
budaya masih terus terjadi di Surabaya? Apakah aturan yang melindungi
bangunan dan situs cagar budaya masih kurang? Mungkinkah cara lain
perlindungan terhadap cagar budaya di luar norma formal? Apa yang harus
dilakukan pemerintah untuk hal ini?
Pagar Hukum
Ada dua hal penting terkait berulang-ulangnya
kasus pembongkaran bangunan cagar budaya di Surabaya. Yakni, menyangkut
penegakan hukum dan kesadaran masyarakat untuk menjaga cagar budaya.
Penegakan hukum ibarat pagar yang melindungi cagar budaya. Sedangkan
kesadaran masyarakat yang menyemai cagar agar lebih berbudaya.
Sampai saat ini, untuk kasus seperti itu,
rasanya belum pernah terjadi penegakan hukum yang signifikan di kota ini.
Pembongkaran Stasiun Semut juga aman secara hukum hingga sekarang. Contoh
mutakhir penegakan hukum terjadi di Jogjakarta. Pelaku perusakan bangunan
cagar budaya SMA 17 tahun lalu telah dipidanakan.
Pemidanaan perusak cagar budaya di Jogjakarta
itu bisa menjadi yurisprudensi untuk kasus serupa di Surabaya. Penegakan
hukum menjadi sangat penting untuk menciptakan shock therapy terhadap semua
pihak yang berhubungan dengan cagar budaya.
Seperti diketahui, perlindungan terhadap situs
dan bangunan cagar budaya telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya. UU tersebut menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1992. Khusus di
Surabaya juga telah diatur dengan Perda Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya.
Dalam UU tentang Cagar Budaya diatur, antara
lain, ancaman pidana bagi perusak cagar budaya. Disebutkan bahwa setiap orang
yang dengan sengaja merusak cagar budaya diancam dengan pidana penjara 1
sampai 15 tahun. Juga, diancam denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling
banyak Rp 5 miliar.
Sedangkan dalam perda telah diatur kategori
bangunan cagar budaya menjadi tiga tipe. Tipe A, B, dan C. Tipe A, jenis
cagar budaya yang desain dan materialnya secara keseluruhan tak boleh diubah.
Sedangkan tipe B dan C, fungsi dan materialnya
bisa baru. Hanya struktur bangunan yang tidak boleh diubah untuk tipe B dan
hanya bagian depan tipe C yang tak bisa diutik-utik. Penambahan bangunan
dimungkinkan di belakang cagar budaya tipe terakhir.
Singkatnya, pagar aturan untuk menjaga
bangunan cagar budaya dari perusakan sebetulnya sudah sangat cukup. Yang
belum tinggal langkah penegakannya.
Dalam kasus perusakan bangunan cagar budaya di
Jogja, yang memproses pidana perusakan adalah PPNS (penyidik pegawai negeri
sipil) bekerja sama dengan Polda DIJ. PPNS merupakan aparat penegakan hukum
yang dimiliki peme¬rintah daerah. Mereka punya kewenangan untuk melakukan
penegakan peraturan daerah.
Kepemilikan
Persoalan lain, sebagian besar dari 273
bangunan cagar budaya di Surabaya adalah milik swasta. Dalam kaitan ini,
kesadaran masyarakat untuk merawat dan melestarikan bangunan cagar budaya
menjadi sangat penting. Sayang, belum ada instrumen pemerintah untuk
menumbuhkembangkan kesadaran itu.
Tampaknya, Dolphin Theory bisa diterapkan.
Teori itu menyarankan untuk memberikan insentif dengan tujuan memotivasi
orang atau masyarakat melakukan sesuatu. Jika ingin mereka merawat bangunan
cagar budaya, berilah insentif pemiliknya.
Misalnya, pemilik bangunan cagar budaya
mendapatkan pengurangan atau pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB). Jika
mereka akan melakukan renovasi, segala perizinan dipermudah. Kalau ada
kewajiban untuk membayar retribusi seperti IMB, mereka bisa diberi keringanan
atau dibebaskan.
Pada umumnya, biaya merawat bangunan cagar
budaya itu sangat besar. Sebab, sebagian besar berada di tengah kota. PBB-nya
sudah sangat mahal. Sementara itu, karena menjadi bangunan cagar budaya,
fungsi ekonomi bangunan tersebut menjadi kecil. Masalah itulah yang sering
membuat dilema para pemilik bangunan cagar budaya.
Karena itu, sudah saatnya dibuat instrumen peraturan
yang memberikan insentif kepada pemilik bangunan cagar budaya yang terbukti
konsisten telah merawat. Jika belum ada perangkat aturan, kepala daerah punya
kewenangan diskresi untuk memberikan keringanan dan membebaskan pajak maupun
retribusi.
Tanpa secara konsisten berusaha menegakkan
pagar hukum dan pagar kesadaran masyarakat yang ditumbuhkan lewat insentif,
rasanya sulit berharap kasus perusakan cagar budaya tidak terulang. Kalau itu
terjadi terus-menerus, Surabaya bisa menjadi Kota Pahlawan tanpa ruh
kepahlawanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar