Desentralisasi Kebijakan Pertanian
Gregorius Afioma ;
Peneliti di Sunspirit for Justice and Peace
di Labuan Bajo, Manggarai Barat
|
MEDIA INDONESIA,
25 Mei 2016
PEMERINTAH semestinya
mengevaluasi seluruh kebijakan di bidang pertanian. Sentralisasi kebijakan
pertanian sudah tidak relevan dengan kompleksitas persoalan pertanian di
Indonesia.
Penggusuran sorgum di
Raminara pada April lalu ialah salah satu contoh kasus. Lahan sorgum seluas
sekitar 3 hektare di Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa
Tenggara Timur, itu digusur guna mencetak area persawahan baru sekitar 50
hektare. Luas sawah irigasi yang sudah ada sekitar 3.528 hektare.
Penggusuran itu merupakan
bagian dari pelaksanaan program pemerintah pusat mencapai swasembada beras,
jagung, dan keledai selama 2015-2017. Dalam rangka mencapai swasembada beras,
pemerintah berencana mencetak sawah seluas 32 ribu hektare pada 2016.
Anggarannya mencapai Rp353 miliar.
Peristiwa penggusuran
sorgum itu sangatlah disayangkan. Sorgum punya makna tersendiri dalam konteks
perkembangan persawahan Lembor. Di tengah-tengah kondisi perubahan dan krisis
ekologis akibat penerapan implementasi pertanian modern yang mengandalkan
bibit hibrida dan pupuk kimia selama bertahun-tahun, sorgum ialah langkah
adaptasi petani agar masih 'bersahabat' dengan alam.
Sebenarnya sudah lama
sebulir padi mengalienasi petani dari tanahnya. Bantuan teknologi dan temuan
sains yang terwujud dalam bibit hibrida dan pupuk kimia tidak lagi membawa
petani pada janji keberlimpahan, tetapi justru pada kelangkaan.
Kini, selain
berhadapan dengan debit air yang semakin berkurang, petani mesti mengeluarkan
biaya pengelolahan yang mahal dan kesuburan lahan yang menurun. Tak
mengherankan bila 15 desa di kecamatan yang disebut 'lumbung padi NTT' itu
masih berlangganan menerima beras raskin. Ada sekitar 41,715 ton beras per
bulan untuk 2.781 kepala keluarga. Ibaratnya, tikus mati di lumbung padi.
Berhadapan dengan
kondisi rawan pangan tersebut, sorgum dijadikan pangan alternatif. Sorgum
ialah benih lokal. Berbeda dengan padi, keunggulan sorgum antara lain
organik, berbiaya murah, dan hasilnya melimpah. Sayangnya, refleksi model
pertanian demikian harus berhadapan dengan proyek pencetakan sawah baru.
Sentralisme kebijakan
Penggusuran sorgum
hanyalah salah satu akibat dari sistem manajemen terpusat kebijakan
pemerintah di bidang pertanian. Manajemen terpusat selalu mengutamakan
keseragaman, sentralistis, dan cenderung militeristis dalam implementasi
kebijakan. Semua itu dilakukan demi mengejar produktivitas pertanian.
Gambaran nyatanya
ialah swasembada beras. Sejak dicetuskan Presiden Soeharto dan mencapai
kesuksesan besar pada 1980-an, swasembada pangan masih terus dipertahankan.
Di era Jokowi-JK, swasembada pangan kembali digaungkan. Untuk mencapai
swasembada padi, misalnya, pemerintah menargetkan produksi beras mencapai
73,4 juta ton per tahun.
Monopoli beras pada
saat bersamaan telah menghancurkan keanekaragaman di alam dan budaya.
Berbagai pangan lokal yang sebelumnya menjadi makanan pokok pada komunitas
lokal punah seiring dengan mendominasinya beras.
Sementara itu, demi
mengejar ketercukupan pangan, pemerintah mengandalkan intervensi teknologi
dan sains. Kerangka 'penguasaan' ala saintifik mengabaikan keakraban petani
dengan alam. Padahal, sains sering kali lepas tangan dengan
kegagalan-kegagalan yang diciptakannya.
Teknikalisasi
persoalan demikian ialah akar persoalannya.
Keterbatasan alam
menyediakan keberlimpahan pangan seolah-olah dapat diatasi dengan inovasi
sains dan teknologi. Nyatanya, hal itu ternyata menimbulkan krisis ekologis
dan krisis sosial.
Tentu kelemahan utama
pendekatan tekno-politik ialah selalu mengalami dekontektualisasi. Sains dan
teknologi sering kali lepas dari konteks sosial. Persoalan sosio-ekologis
diabaikan. Pendekatan yang dipakai ialah determinasi teknologi yang
mengandalkan mono-perspektif.
Karena itu, sangat
disayangkan jika pemerintah terus-menerus mendesak swasembada pangan yang
bertumpu pada kerangka pertanian modern, sedangkan petani masih berhadapan
dengan kenyataan rawan pangan.
Desentralisasi
Di era reformasi ini,
pemerintah sudah saatnya melakukan revolusi kebijakan pertanian. Tidak lagi
sentralistis, seragam, dan militeristis, tetapi mengalami diversifikasi,
desentralisasi, demokrasi kebijakan pertanian.
Di tengah ekspansi
swasembada beras, budi daya pangan lokal seperti sorgum ialah bentuk nyata
dari diversifikasi, desentralisasi, dan demokrasi pertanian. Tujuannya bukan
demi ketercukupan pangan, melainkan mengembalikan kedaulatan petani.
Dalam kondisi
demikian, pemerintah semestinya berperan sebagai fasilitator. Diversifikasi
pangan tidak hanya mengatasi monopoli beras, tetapi juga menunjukkan kekayaan
pangan dan warisan budaya bangsa kita.
Sementara itu,
berhadapan dengan inovasi petani lokal, pemerintah mesti siap mengapitalisasi
dan menjadikannya keputusan politik. Hanya dengan demikian, kebijakan
pertanian mencerminkan partisipasi warga negara. Tidak berciri top-down, sebaliknya terdesentralisasi
dari bawah ke atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar