Selasa, 29 Mei 2018

Menembus ”Kalabendu”

Menembus ”Kalabendu”
Mochtar Pabottingi ;  Profesor Riset LIPI 2000-2010
                                                          KOMPAS, 25 Mei 2018



                                                           
Dalam artikel ini, ”kalabendu” kita pakai sebagai metafor bagi kumulasi terkini dari kompleks lima negativitas. Kelima negativitas, yaitu kala kebenaran dilihat sebagai sudah milik masa lampau (post-truth); kala ”politik” tak lagi jadi ajang upaya kemaslahatan dalam keberagaman (eksklusivisme identitas); kala patokan-patokan akal-budi di ranah publik dicampakkan (pencemoohan political correctness); kala peradaban sedunia dibaca sebagai sudah terkungkung VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) dan kala telah berlaku apa yang disebut Barry R Posen (2018) ”the rise of illiberal hegemony” (mengacu pada perilaku politik liar korosif dari Donald Trump).

Empat yang terakhir jelas menjamurkan terorisme dan kelima-limanya mengorak irasionalitas politik. Historis, negara-bangsa kita memang lebih banyak hidup dalam irasionalitas politik. Delapan tahun Demokrasi Terpimpin menjunjung bangsa atau nasion, tetapi melecehkan demokrasi. Tiga puluh dua tahun Orde Baru melecehkan nasion dan demokrasi sekaligus. Dua puluh tahun era Reformasi, yang dimulai tanpa ”a clean regime change”, banyak melecehkan nasion dan memanipulasi demokrasi. Selama 20 tahun terakhir kita kerap menjalankan ampas demokrasi, bukan jati demokrasi. Selama 32 tahun, Orde Baru melancarkan pembodohan politik masif sehingga total 60 dari 73 tahun usia republik kita, kita lebih banyak tersungkup dalam irasionalitas politik. Demokrasi yang kita jalankan selama dua dekade reformasi ini pun ramai acara, tetapi miskin ”hikmat kebijaksanaan”.

Dua ”kalabendu”

Negara-bangsa kita setidaknya sudah mengalami dua kali momen kalabendu: pada periode 1965-1971 dan 1997-2001. Tiga dari lima negativitas di atas berlaku di dalamnya. Pada kedua periode itu negara-bangsa kita benar-benar berada di ujung tanduk. Selain itu, sesudahnya, bangsa kita pernah ”bermain-main” dengan risiko kalabendu, yaitu pada Pilpres 2014 dan pada Pilkada DKI 2017. Di sini praktis kelima negativitas itu berlaku.

Momen kalabendu memiriskan akal budi kita secara berganda. Pertama, ia menghunjamkan kita ke waktu siklis, bukan ke waktu progresif. Ia menjejalkan alam kehidupan di mana keadaban dilumat oleh kekuatan-kekuatan antitesisnya. Tak lagi berfungsi agregasi koheren dari produk akal budi manusia di ranah individual maupun publik. Di dalam kalabendu, kebenaran jadi serba terjungkir, terbalik dari pesan parabel ”gua Plato”. Seperti dikatakan Martin Heidegger, ”Terang alam nyata menggelapkan segala sesuatu.” Di atas semuanya, tak lagi diindahkan ”the defining moments of our nation”—momen-momen mutiara kita sebagai bangsa di dalam rentang kehidupan politik yang tercerahkan, yang disarikan secara cemerlang oleh para Bapak Bangsa kita.

Jika kita tak siaga menghadapinya, runtun Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 bisa kembali membuat bangsa kita berhadapan dengan momok kalabendu. Itu bisa terjadi lantaran keduanya berkresendo dua tahun berturut-turut dan bermuara pada perlombaan politik tak hanya dengan taruhan tertinggi, tetapi juga potensial dengan laku-laku politik terburuk. Rasionalitas politik perenial bisa kembali dicampakkan. Kini pun masih terasa kegetiran dari Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017, yang sarat aneka manipulasi, politik uang, penghalalan cara, kampanye hitam, bahkan fitnah keji. Di sini merajalela sikap dan perilaku pokoke: ”Biar segalanya hancur jika bukan kami yang menang.” Termasuk orkestrasi ”pelintiran kebencian”, yang ceroboh disebut Sherian George (Hate Spin, 2016), sebagai hasil kerja para ”political entrepreneurs”—ungkapan penanda kegagalan paham akan esensi ”politics” dan ”entrepreneurs”.

Nasion dan demokrasi terikat dalam simbiosis alamiah. Nasion sebagai bangunan egaliter-otosentris, himpunan solidaritas terbesar, memberi wadah ideal bagi demokrasi. Dan demokrasi sebagai sistem politik otosentris adalah landasan rasional dari keadaban publik yang memperkuat serat-serat nasion. Otosentrisitas nasion maupun demokrasi berlaku manakala tiap warga negara-bangsa menghormati warga lainnya dalam prinsip ”to live and let live” (hidup dan menghidupi) tanpa diskriminasi apa pun. Esensi otosentrisitas juga bersinar pada prinsip leluhur Bugis: sipakkatau (saling memanusiakan), sipakatuo (saling menghidupi), sipakatokkong (saling membangkitkan).

Melecehkan nasion berarti mengerdilkan demokrasi, dan melecehkan demokrasi berarti menggerogoti nasion. Tanpa nasion, demokrasi tersesat; tanpa demokrasi, nasion mengerdil. Di zaman kita, bangsa mana pun akan porak poranda atau terus centang perenang jika tak mengindahkan salah satu apalagi keduanya. Internalisasi dan praksis simbiosis nasion-demokrasi adalah inti rasionalitas politik perenial. Wacana pesimisme ataupun optimisme perihal perkiraan ujung usia negara-bangsa sama tak relevan dan lebih merupakan perbincangan sia-sia, an idle talk. Negara-bangsa kita bisa bubar bahkan sebelum 2030, tetapi juga bisa berjaya melintasi 2045 dan seterusnya. Perbincangan yang paling dibutuhkan saat ini tak lain dari pengembalian rasionalitas politik seutuhnya, mulai dari patokan puncaknya. Rasionalitas politik mestilah dilaksanakan teguh dalam praksis berdemokrasi.

Kita perlu menyimak rasionalitas politik tertinggi itu. Di zaman kita, ketahanan hidup ”negara-bangsa” demokrasi ditentukan krusial oleh kesanggupannya menegari bangunan ”demokrasi-bangsa”. Begitu suatu ”negara-bangsa” terbentuk dengan sistem demokrasi, jadilah penentu keberlangsungan hidupnya hingga jauh ke masa depan tak lain dari ”demokrasi-bangsa”. Maka, begitu suatu negara-bangsa memilih sistem demokrasi, saat itu pula ia dituntut terus mengaktivasi jati diri kebangsaannya pada tiap momen dan mekanisme kontestasi substansial-prosedural dalam berdemokrasi.

Simbiosis nasion-demokrasi juga terpulang pada perbedaan hierarki di antara keduanya. Nasion atau bangsa adalah variabel penentu (independent variable) dan ”demokrasi” variabel tergantung (dependent variable), sama seperti ”bangsa” bagi ”negara”. Tak satu pun momen demokrasi di mana posisi kedua variabel ini bisa dilanggar tanpa risiko tersesatnya demokrasi atau bubarnya ”negara-bangsa”. Artinya, ”demokrasi-bangsa” (demokrasi yang tiap saat harus menjunjung bangsa sebagai variabel penentu) adalah kunci bagi keberlanjutan ”negara-bangsa”. Ini yang saya sebut ”rasionalitas politik perenial”. Negara-bangsa kita hanya bisa dipertahankan lewat rangkaian praksis demokrasi otosentris yang senantiasa bertumpu dan dalam arti kata sesungguhnya terus menyantuni bangsa secara keseluruhan.

Menembus gugus ”kalabendu”

Penyebab utama dari kalabendu 1965-1971 serta konklusi celakanya pada periode 1997-2001 tak lain karena pada kedua-duanya bangsa dicampakkan. Pada 1965-1971, para eksponen Orde Baru mem-privilese-kan diri sebagai penyelenggara pemerintahan utama di atas segala partai dan golongan di dalam republik kita. Semua kekuatan sosial-politik di luarnya selalu mereka lihat dengan penuh kecurigaan, bahkan sebagai sarang para ”pengkhianat negara” dan lantaran itu mereka anak-tirikan secara sistemik.

Pada 1997-2001 berlangsung ”showdown” antara barisan Orde Baru yang pahamnya sudah kedaluwarsa tetapi masih utuh dan mati-matian mengangkangi pemerintahan (dan ditutup dengan laku biadab adu domba bumi hangus di sejumlah daerah plus laku rampok besar-besaran di bidang ekonomi) dengan barisan reformasi yang menangkap tuntutan politik zaman tetapi berserak tanpa koherensi. Hingga kini pun residu Orde Baru masih bertahan kuat di lingkungan negara, paling mencolok di parlemen, dengan ciri yang tetap sama: miskin kepedulian pada bangsa dan kebangsaan. Di sebagian besar daerah, secara ekonomi dan politik, praksis otonomi banyak menginjak-injak keutamaan bangsa dan kebangsaan—induk semua daerah.

Khusus ihwal pilkada dan pilpres, rasionalitas politik menuntut kita melaksanakan tiap perlombaan politik secara berpantang mengorak politik identitas dan/atau populisme, termasuk paham kilafah yang sungguh eskapis. Tak boleh dilupakan pilkada ataupun pilpres adalah perhelatan negara-bangsa. Dalam negara-bangsa, penjunjungan pada bangsa tak kenal jeda dan absurd memperlakukan bangsa sebagai sewaktu-waktu tiada.

Dalam konteks Indonesia, populisme (sebutan lain dari mayoritarianisme) identik dengan politik identitas yang diusung oleh banyak kalangan mayoritas dan harus dituding sebagai laku tirani mayoritas. Dan kapan pun tiap laku tirani mayoritas, seperti juga tiap laku tirani minoritas (yaitu manakala para pelaksana negara disetir oleh segelintir taipan), pada sebuah bangsa berarti pengkhianatan terhadap negara-bangsa, terhadap bangunan kebangsaan yang telah disepakati sebagai prinsip, titik tolak, dan tempat bertumpu kegiatan apa pun yang berlangsung di dalamnya. Dan suatu tirani mustahil diatasi dengan tirani lainnya, sebab tiap praksis tirani merupakan laku menuju bunuh diri.

Para pengorak populisme atau politik identitas membaca dan menggunakan alinea terpanjang dari pidato ”Lahirnya Pancasila”, yaitu kala Soekarno menyinggung isi Badan Perwakilan Rakyat, secara keluar dari inti pesan keseluruhan pidato. Di situ terbaca: ”Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam …, marilah kita—pemimpin-pemimpin yang menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam.”

Para eksponen politik identitas tak mengindahkan kalimat penutup sarat ”hikmat kebijaksanaan” dari alinea itu: ”Allah subhanahu wa taala memberikan pikiran kepada kita agar dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya.” Ungkapan ”dalam pergaulan kita sehari-hari” searti dengan kata ”kapan pun” dan frasa ”kita selalu bergosok” senapas dengan ”kita selalu saling asah” dalam perlombaan keadaban publik demi kemaslahatan bersama.

Itu berarti ”adu program”, ”adu akal-budi”, bukan ”adu identitas”. Alinea itu juga wajib dibaca searah dengan kesimpulan alinea kesembilan di bawahnya: ”Marilah kita amalkan, jalankan agama … dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.” Pesan inti dari keseluruhan pidato cemerlang itu tak lain adalah agar bangsa kita yang beragam ini tegak bersatu dan terus berkiprah bersama di bawah cahaya kelima sila di dalam Pancasila—jati diri kebangsaan kita.

Kita mesti meyakini bahwa panji ”post-truth” hanyalah bagian dari omong kosong zaman—the fads and foibles of the time. Akal budi maupun hati nurani manusia selalu gandrung pada kebenaran. Bahwa siapa pun yang mengamalkan ”politik” sebagai arena akal bulus politik identitas akan hancur sendiri. Bahwa kompetisi di ranah publik hanya bisa dimenangi dengan menjunjung akal budi. Bahwa tiap eksponen dan kekuatan bajik di Tanah Air maupun di seluruh dunia tekun bekerja agar volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas tetap terkendali. Bahwa ”bangkitnya hegemoni tak waras” hanya merupakan gejala selintas, sebab kembali ke butir pertama, secara agregat manusia di mana pun senantiasa gandrung pada akal budi ataupun hati nuraninya.

Kini, dan sedari awal, Trump terus kewalahan menghadapi perlawanan dari kekompakan eksponen kebajikan di Amerika Serikat, bahkan tanpa jeda dari dalam Gedung Putih sendiri. Maka Posen benar sekali kala menulis, ”Sekuat apa pun dia berusaha, Trump akan gagal dalam upayanya merespons tantangan-tantangan masa kini dengan kembali ke masa lampau.”

Begitu pula halnya praktis dengan segenap barisan teroris. Jika mereka mengaku Muslim, laku ”amaliyah” mereka sepenuhnya bertolak belakang dengan prinsip ”ahsanu amala”. Hanya dengan ”ahsanu amala”, akal budi, atau ”hikmat kebijaksanaan” yang teguh bertumpu pada rasionalitas politik perenial, negara-bangsa kita bisa mengatasi dan menembus gugus-gugus kalabendu.

Rupiah dan Pertumbuhan

Rupiah dan Pertumbuhan
Muhamad Chatib Basri ;  Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia
                                                          KOMPAS, 24 Mei 2018



                                                           
Cartagena adalah kota tanpa ketergesaan. Hidup seperti bergerak tanpa tenggat. Tenang, tapi berwarna. Penulis Gabriel Garcia Marquez melukiskan kota pantai di Kolombia ini tempat dengan sore seperti batu ametis yang ungu dan malam dengan angin sepoi yang kuno (”a place of amethyst afternoons and nights of antic breezes”).

Namun, di kota yang tak bergegas ini, beberapa ekonom bertemu minggu lalu. Kami membahas masalah yang memaksa kita bersegera: tantangan arsitektur keuangan internasional. Ekonom Jose Antonio Ocampo, anggota Dewan Gubernur Bank Sentral Kolombia, bicara mengenai pentingnya kerja sama dalam kebijakan ekonomi makro, terutama antarnegara besar. Ia juga membahas pentingnya upaya pencegahan krisis keuangan. Roberto Junguito, mantan Menkeu Kolombia, dan Jose Dario Uribe, mantan Gubernur Bank Sentral Kolombia, berbicara mengenai pengalaman Amerika Latin, khususnya Kolombia.

Saya diminta memberikan pandangan dari perspektif Asia. Pembahasan menjadi menarik karena mengarah ke pengalaman Amerika Latin dan Asia dalam menghadapi gejolak arus modal. Negara emerging markets (EM) punya pengalaman panjang soal ini: krisis keuangan di Amerika Latin 1980-an dan 1990-an, krisis finansial Asia 1998, taper tantrum (koreksi terhadap periode quantitative easing di AS) 2013 dan tentunya hari-hari ini.

Sumber kerentanan

Mengapa beberapa EM di Amerika Latin dan Asia, termasuk Indonesia, rentan terhadap gejolak ini? Hampir semua studi yang dilakukan menunjukkan, gejolak ini terjadi di negara-negara yang memiliki persoalan dalam defisit transaksi berjalan dan neraca pembayaran. Krisis atau gejolak pasar keuangan umumnya dimulai dari masuknya arus modal portofolio secara drastis akibat dari penurunan tingkat bunga The Fed di Amerika Serikat (AS) yang mencari imbal lebih tinggi di EM.

Arus modal yang masuk dalam jangka pendek memang mendorong perekonomian EM, tetapi ia tak berkesinambungan. Ketika The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga, maka terjadi arus modal keluar. Pasar keuangan terguncang, nilai tukar mata uang jatuh, terutama di negara-negara yang memiliki persoalan defisit transaksi berjalan dan neraca pembayaran.

Bagaimana kondisi saat ini? Di Cartagena, Masahiro Kawai dari Universitas Tokyo menunjukkan selain Argentina, Mesir, dan Turki, kondisi di negara EM masih relatif normal. Ketiga negara tersebut memang memiliki masalah defisit transaksi berjalan dan inflasi yang akut.

Bagaimana Indonesia? Depresiasi rupiah masih normal, dan bukan yang terburuk sebenarnya. Defisit transaksi berjalan juga berada pada kisaran 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), inflasi di bawah 4 persen. Karena itu, pasar tak perlu terlalu panik. Namun, kita memang harus sangat berhati-hati. Carmen Reinhart dari Universitas Harvard menunjukkan, utang luar negeri pemerintah negara EM memang relatif terkendali, tetapi utang luar negeri swasta terus meningkat dan berpotensi bermasalah. Jika utang swasta bermasalah, maka ada risiko pemerintah harus menanggungnya.

Saya tak terlalu pandai untuk tahu seberapa benar Reinhart. Saya tak ingin semuram itu. Namun, peringatannya bijak diperhatikan. Di sisi lain, kita memang melihat bahwa imbal dari surat utang Pemerintah AS (US Treasury) bertenor 10 tahun terus meningkat, bahkan diprediksi menjadi 4 persen tahun 2019. Jika ini benar, imbal obligasi di Indonesia akan meningkat tinggi dan mungkin memaksa Bank Indonesia untuk menempatkan stabilisasi di atas pertumbuhan.

Stabilisasi atau pertumbuhan?

Di sini ada beberapa hal yang perlu dibahas. Pertama, saya ingin lebih dalam membahas soal argumen defisit transaksi berjalan dan neraca pembayaran. Sebelum krisis 1998, Indonesia kerap kali mengalami defisit transaksi berjalan yang cukup besar, tapi toh perekonomian stabil. Australia memiliki rata-rata defisit transaksi berjalan 3,2 persen sepanjang 1959-2017, toh tak terkena gejolak arus modal. Mengapa? Jawabannya karena defisit dalam transaksi berjalan dibiayai oleh investasi asing langsung (PMA), terutama di sektor ekspor dan bukan portofolio.

Apa bedanya? Modal langsung tak mudah berpindah tempat, sebaliknya investasi portofolio dengan cepat dapat berpindah sehingga menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Mengapa sektor ekspor? Karena ekspor menghasilkan devisa sehingga ketika repatriasi keuntungan dilakukan, tak menimbulkan tekanan dalam neraca pembayaran akibat ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch). Itulah yang menjelaskan mengapa walau defisit transaksi berjalan relatif besar, perekonomian relatif stabil.

Saat ini, seperti saya katakan, defisit transaksi berjalan tak terlalu besar sebenarnya. Tapi, toh tekanan di pasar keuangan terjadi. Mengapa? Karena arus modal yang masuk tak mampu mengompensasi defisit di dalam transaksi berjalan. Akibatnya, neraca pembayaran mengalami defisit. Mengapa arus modal masuk bersih relatif kecil? Karena derasnya arus modal keluar asing sejak pertengahan tahun lalu, yang mengantisipasi kebijakan moneter di AS. Artinya, sumber utama rentannya ekonomi Indonesia terhadap gejolak arus modal adalah ketergantungan Indonesia terhadap arus modal portofolio untuk membiayai defisit transaksi berjalannya.

Dalam kasus Indonesia, kepanikan kerap dipicu di pasar obligasi karena besarnya peran investor asing dalam pembiayaan defisit anggaran pemerintah. Setiap kali terjadi kejutan eksternal, investor asing di pasar obligasi melepas investasi portofolio mereka. Akibatnya, imbal hasil meningkat, rupiah melemah. Begitu juga di pasar modal.

Kedua, untuk mengatasi ini, bank sentral biasanya melakukan kebijakan stabilisasi. Pilihan kebijakan ini dikenal dengan istilah trinitas yang mustahil (the impossible trinity) atau trinitas yang tak suci (the unholy trinity). Intinya, sebuah negara mustahil menerapkan tiga kebijakan (nilai tukar yang stabil, keterbukaan arus modal, dan kebijakan moneter yang mandiri) sekaligus. Bank sentral harus memilih dua di antara tiga.

Dalam kasus Indonesia saat ini, di mana kita menganut rezim devisa bebas, maka pilihan yang tersedia bagi BI adalah memilih apakah membiarkan rupiah mengikuti pasar (depresiasi rupiah) atau menaikkan bunga. Tentu ada kombinasi di antara ketiganya, di mana tingkat bunga dinaikkan sedikit, nilai tukar melemah sedikit, dan kebijakan pengaturan arus modal dilakukan secara terbatas melalui kebijakan makroprudensial. 

Di Cartagena, saya menyampaikan bahwa efektivitas instrumen fiskal dan moneter kerap kali terbatas. Jika arus modal yang masuk atau keluar sangat besar, maka BI dan pemerintah terpaksa mengambil langkah kombinasi yang cukup drastis, seperti dalam situasi taper tantrum 2013. Dan itu memukul pertumbuhan.

Lihat tahun 2013. Saat itu Indonesia bersama dengan India, Afrika Selatan, Turki, dan Brasil dikategorikan sebagai fragile five (lima negara yang rentan terhadap gejolak arus modal) karena memiliki defisit transaksi berjalan yang cukup tinggi. Untuk menghindarkan Indonesia dari krisis finansial yang dipicu oleh besarnya defisit transaksi berjalan saat itu, pemerintah dan BI harus memotong subsidi BBM, dengan menaikkan harga BBM rata-rata 40 persen; menaikkan BI rate 200 basis poin, dan membiarkan rupiah bergerak mengikuti pasar. Kombinasi kebijakan ini dikenal dengan nama expenditure reducing dan expenditure switching policy. Memang dalam waktu tujuh bulan, Indonesia—bersama dengan India—berhasil menstabilkan perekonomiannya. Arus modal lalu kembali mengalir masuk, defisit transaksi berjalan menurun hingga hari ini, dan bersama dengan India, Indonesia keluar dari fragile five countries.

Saya ingat majalah The Economist pada bulan Februari 2014 menurunkan artikel berjudul ”Indonesia: Fragile No More”. Harian The New York Times, pertengahan tahun 2014, datang dengan artikel berjudul ”Markets the Once ’Fragile Five’ Countries are Now Soaring”. Indonesia bersama India dipuji. Namun, gejolak tetap berulang. Tahun 2015, misalnya, rupiah melemah sampai Rp 14.700 per dollar AS dipicu kekhawatiran akan normalisasi kebijakan moneter di AS dan risiko fiskal akibat target pajak yang tak realistis. Hari-hari ini kita juga menyaksikan tekanan kepada rupiah.

Ketiga, tahun 2013 memang ada ruang bagi pemerintah dan BI untuk memilih stabilitas di atas pertumbuhan ekonomi. Alasannya, saat itu pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen sehingga ada ruang untuk ”menerima” pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat (pertumbuhan turun dari 6 persen tahun 2012 menjadi 5,6 persen di tahun 2013). Sekarang berbeda: ekonomi hanya tumbuh 5 persen. Bisa dibayangkan, jika kita menerapkan kebijakan yang sama dosisnya seperti tahun 2013, pertumbuhan ekonomi akan turun di bawah 5 persen. Di sini persoalan menjadi lebih pelik.

Dampak terbatas stabilisasi

Keempat, kebijakan stabilisasi memiliki dampak terbatas. Ia bukan solusi jangka panjang. Jika kita tak menyelesaikan akar persoalan, maka gejolak arus modal berulang. Karena itu, reformasi ekonomi harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, melalui perbaikan dalam kualitas manusia, pembangunan infrastruktur dan perbaikan tata kelola pemerintahan. Pemerintah memang sudah mulai mengambil langkah ini, tetapi efeknya baru terasa dalam jangka menengah.

Selain itu, ekspor manufaktur harus kembali digenjot dengan mengundang PMA untuk masuk ke sektor yang berorientasi ekspor, terutama industri manufaktur. Ini hanya bisa dilakukan jika iklim investasi diperbaiki. Pemerintah juga bisa menerapkan reverse Tobin Tax. Jika dalam Tobin Tax, arus modal masuk jangka pendek dikenai pajak, maka dalam reverse Tobin Tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor melakukan re-investasi keuntungannya lagi untuk jangka panjang. Yang tak kalah penting, meningkatkan pendalaman keuangan (financial deepening) di pasar obligasi dan pasar modal, dengan meningkatkan peran investor dan tabungan domestik.

Alternatif kebijakan lain adalah mengurangi utang luar negeri jangka pendek swasta. Caranya, minta swasta menempatkan persentase tertentu dari utang luar negerinya untuk ditahan di BI dalam jangka waktu tertentu (lock up period), satu tahun misalnya. Ini akan membuat biaya untuk utang jangka pendek menjadi mahal.

Situasi memang tidak mudah, tetapi kita tak bisa selamanya muram. Gejolak memang berulang. Pertemuan di Cartagena minggu lalu datang dengan pesan: kita harus bergegas. Tak ada lagi sore yang ungu dan malam dengan angin sepoi kuno yang bertiup tenang. Ekonomi dunia memang bukan Cartagena dalam bayangan Marquez.

Senin, 28 Mei 2018

Radikalisme dan Quo Vadis Pendidikan Agama

Radikalisme dan Quo Vadis Pendidikan Agama
Abdallah ;  Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta
                                                MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2018



                                                           
BARU-BARU ini kita masygul dengan sejumlah fenomena kekerasan yang terjadi secara beruntun, serangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB. Sebelumnya kita digegerkan dengan serangan narapidana terorisme terhadap aparat kepolisian di Rutan Mako Brimob, Depok.

Disusul peristiwa bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Tragedi berdarah itu semakin menguatkan ideologi radikalisme yang mengarah pada kekerasan semakin terpapar di tengah masyarakat.

Peristiwa itu menuai perdebatan. Sebagian kalangan keberatan tindakan kekerasan itu disematkan pada agama karena tidak ada kaitannya dengan pesan keagamaan. Secara normatif pandangan itu benar. Kendati demikian, pada praktiknya radikalisme merupakan konsekuensi dari cara pikir keagamaan yang skripturalis dan fundamentalis.

Pemahaman keagamaan model ini melihat agama tercerabut dari konteks, yang pada gilirannya kehilangan epifani Ilahi yang menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan yang damai, inklusif, dan human.

Kita tidak bisa menutup mata, sasaran dari aksi kekerasan yang terjadi ialah anak-anak muda bahkan perempuan. Studi-studi menunjukkan fakta memilukan, kalangan anak muda terpapar pandangan yang cenderung mengarah pada kekerasan. Survei yang dilakukan Wahid Institute (2016), sebanyak 60% aktivis rohaniwan islam (rohis) menyatakan bersedia jihad ke wilayah konflik seperti Suriah, 10% mendukung serangan bom di Thamrin, dan 6% memberikan dukungan pada Islamic State (IS).

Temuan teranyar dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2017) mengonfirmasi bahwa siswa dan mahasiswa terpapar radikalisme. Sekitar 58% memiliki opini radikal, 51,1% opini intoleransi di kalangan internal muslim, dan 34,4% beropini intoleransi di kalangan eksternal muslim.

Pandangan-pandangan radikal di kalangan muda itu seperti 'api dalam sekam' yang sewaktu-waktu akan menjadi lahan subur dan pemantik kekerasan di masa yang akan datang.

Berebut narasi

Dalam konteks Indonesia yang multikultural, pendidikan agama merupakan instrumen penting dalam menyuarakan keagamaan yang damai, inklusif, dan berkeadaban. Melalui kurikulum nasional, semestinya keagamaan yang moderat dapat disuarakan di kalangan anak muda melalui pendidikan di sekolah. Pemerintah seyogianya lebih serius dalam melihat hal ini karena merupakan hulu persoalan.

Pemahaman keagamaan generasi mendatang bertumpu pada pendidikan agama di sekolah yang memungkinkan peserta didik mengenal agama secara mendalam melalui buku ajar dan guru agama. Namun, kurikulum mata pelajaran agama yang disediakan di sekolah seyogianya mengakomodasi semua pandangan, dalam hal ini pendidikan agama Islam.

Kurikulum dan buku ajar merupakan aspek penting dalam pendidikan. Buku ajar adalah arena pergumulan perebutan pengaruh pelbagai kelompok, tak terkecuali kelompok-kelompok Muslim. Semua kelompok saling berebut pengaruh untuk berupaya memengaruhi orientasi pendidikan dengan ideologi mereka masing-masing (Apple: 2000).

Perebutan pengaruh itu kerap memicu ketegangan di antara satu kelompok dengan kelompok lain dan rentan terjadi konflik. Dalam konteks RI yang secara kodrati multikultural, kurikulum pendidikan nasional semestinya dirumuskan dengan melibatkan semua kelompok dan disusun secara inklusif, deliberatif, dan dialogis (Gutman: 1987).

Namun, praktiknya hal itu tidak berbanding lurus dengan realitas pendidikan kita. PPIM UIN Jakarta (2016) dalam studinya menemukan kejanggalan dalam kurikulum pendidikan agama: buku ajar di sekolah masih kurang mengedepankan aspek dialogis dan perbedaan (khilafiah).

Term kafir dan musyrik, misalnya, masih dihadirkan secara literal, tidak diperkaya dengan konteks term itu lahir pada saat apa dan bagaimana. Seyogianya, term-term yang bernuansa teologis itu dikaitkan dengan konteks kekinian. Hal paling penting ialah memaknai jihad, misalnya, apa dan bagaimana di masa kini, agar tidak melulu ditafsirkan dengan perang secara generik. Jika pelajar di sekolah disediakan pemahaman yang beragam, diharapkan mereka akan berpikir secara terbuka dan bersikap bijak melihat perbedaan.

Hal yang tak kalah penting, guru agama yang semestinya memiliki wawasan keagamaan yang inklusif dan pandangan kebangsaan yang ajek. Guru agama diharapkan mampu menghadirkan Islam Indonesia yang ramah dan toleran. Namun, kita juga dikejutkan dengan fakta di lapangan. Studi PPIM UIN Jakarta (2016) lagi-lagi menjelaskan guru agama memiliki pandangan keagamaan dan kebangsaan yang paradoks.

Pada satu sisi, guru agama mengaku setuju dengan Indonesia yang Pancasila dan UUD 1945. Di sisi lain, mereka juga mengharapkan syariat Islam diterapkan di RI. Fakta-fakta itu semakin menggiring pada satu pertanyaan besar, "Mau ke mana pendidikan agama kita?"

Kurikulum agama

Arah pendidikan agama semestinya dijangkarkan pada tiga nilai, pertama, kita tahu, RI merupakan bangsa yang secara kodrati ialah majemuk. Pendidikan agama di sekolah seyogianya mengakomodasi nilai-nilai keragaman. Konten buku ajar agama, misalnya, mesti menghadirkan keragaman pandangan dari semua kelompok bukan hanya menyajikan pandangan keagamaan tertentu yang mengarahkan peserta didik menjadi homogen dan eksklusif.

Kedua, kurikulum pendidikan agama diarahkan pada nilai kritis. Konsekuensi dari keragaman ialah cara pikir yang terbuka dan mendorong peserta didik untuk berpikir kritis. Artinya, peserta didik mampu berpikir secara dialogis yang pada gilirannya bermuara pada nilai toleransi yang menghargai satu sama lain dan mampu melihat perbedaan sebagai suatu kemestian tanpa merasa terganggu.

Ketiga, kurikulum pendidikan agama idealnya dikemas dengan nilai-nilai bersama. Kejujuran, keadilan, dan kebaikan. Nilai-nilai inilah yang menjadi titik temu terbukanya sekat-sekat primordial, suku, ras, dan agama.

Pada kadar yang lain, nilai-nilai bersama dapat dimaknai bahwa RI ialah bangsa yang multikultural di bawah payung NKRI dan Pancasila. Maka akan tercipta pergaulan yang mengarah pada satu titik, kemanusiaan dan keindonesiaan. Di titik ini, pendidikan agama diharapkan dapat menghapus indoktrinasi dan hegemonisasi dalam dunia pendidikan seperti yang dibayangkan Bung Karno, "Bertuhan dengan tanpa egoisme agama dan berkeadaban." ●

Ritual Politik atau Pendidikan Politik?

Ritual Politik atau Pendidikan Politik?
Fuad Fachruddin ;  Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma
                                                MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2018



                                                           
TAHUN 2018 dan 2019 merupakan tahun hajatan politik bagi bangsa Indonesia. Pada 2018 beberapa provinsi dan kabupaten serta kota akan melangsungkan pilkada (gubernur, bupati, wali kota dan para wakilnya). Partai-partai politik unjuk diri dengan memasang umbul-umbul, baliho, spanduk, foto kandidat, ungkapan retorik kampanye (kampanye damai, jujur, dll), sampai debat antartokoh parpol di televisi.

Partai-partai peserta pemilu juga telah mulai memperkenalkan gambar capres atau cawapres yang digadang-gadang sembari menyiapkan jurus-jurus untuk memenangkan pemilu. Usaha masing-masing partai peserta pilkada dan pemilu menyebabkan suhu politik mulai memanas.

Di tengah euforia di atas, berbagai kasus mega korupsi masih dalam proses penanganan pihak berwenang. Kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai dan pejabat daerah mewarnai pesta demokrasi. Beberapa kasus itu menjadi bahan refleksi tentang 'gawe-gawe politik', moral atau etika (akhlak) berpolitik, serta pendidikan politik.

Banyak pertanyaan kita dapat ajukan sebagai refleksi, antara lain, apakah pilkada, pileg dan pilpres merupakan ritual kenegaraan lima tahunan semata atau proses edukasi agar seluruh warga bangsa semakin dewasa bermasyarakat, bernegara, dan memiliki komitmen untuk mewujudkan tujuan konstitutional berbangsa dan bernegara RI yang telah diletakkan oleh founding fathers?

Secara khusus, selama ini, apakah penerapan pendidikan politik sudah sampai pada tataran substantif dalam perhelatan politik? Siapa yang berkewajiban melaksanakan pendidikan politik?

Pendidikan politik

Pendidikan politik sering juga disebut pembelajaran atau sosialisasi politik yang secara umum didefinisikan sebagai proses pembentukan, pengembangan sikap dan perilaku politik. Pengertian pendidikan politik sangat tergantung perspektif yang digunakan seseorang.

Dalam perspektif 'formalis', pendidikan politik diwujudkan, antara lain, dengan keterlibatan publik atau warga bangsa yang memiliki hak pilih dalam sebuah sistem elektorat. Implikasi perspektif ini terdapat dua kelompok warga bangsa, yaitu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kelompok subordinat. Kelompok pertama yang jumlahnya sedikit menentukan tata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini berbeda dengan pandangan para "substantivis". Bagi substantivis, pendidikan politik tidak dibatasi pengertian formal politik seperti keterlibatan dalam kampanye parpol dan memberikan suara dalam pemilu/pilkada (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Orit: 2004).

Pendidikan politik tidak hanya memberi seseorang kemampuan memberi pengaruh terhadap orang tentang persoalan-persoalan politik dan keterlibatan dalam diskusi politik. Akan tetapi, juga memberikan seseorang pengetahuan dan keterampilan memahami persoalan politik dalam pengertian yang luas, termasuk pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman nilai-nilai sosial, budaya, dan politik yang dianut seseorang, kelompok atau komunitas. Pendidikan politik menumbuhkan keterlibatan seseorang melakukan deliberasi tentang persoalan-persoalan kehidupan dan dalam melakukan aksi untuk mencari jalan keluar terhadap masalah yang muncul. (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Clarke: 2007; Davies: 2005).

Karena itu, misi pendidikan politik tidak hanya mendorong seseorang terlibat dalam kegiatan formal politik atau proses elektorat. Akan tetapi, juga dalam menghadapi persoalan kehidupan, karena politik ialah "... how you live in your life, not whom you vote for. All aspects of human experience have a political dimension." (Ginsburg, 1996).

Misi substantif pendidikan politik

Terdapat tiga misi atau fungsi utama pendidikan politik. Pertama, pendidikan politik sebagai pendidikan emosi politik. Emosi dalam konteks ini bukan dalam pengertian private domain, yaitu perasaan pribadi atau kelompok yang didasarkan pada konsepsi diri/syahwat berkuasa/emosi dalam pengertian kebanyakan orang, yaitu marah.

Emosi dimaknai sebagai dorongan berupa simpati dan kasih sayang berkaitan dengan alturisme dan solidatitas sosial. Serta keputusan tentang kehidupan (Hogget; Thompson: 2012; Lewis: 2008).

Pendidikan politik adalah membangun komitmen mewujudkan keadilan, rasa solidaritas terhadap kelompok masyarakat yang tidak berdaya dan meningkatkan kemampuan serta sikap tidak toleran terhadap segala tindakan kekerasan dan ketidakadilan (Lewis: 2008; Nussbaum: 2013)

Kedua, pendidikan politik adalah revitalisasi pemahaman tentang politik dan being political. Pendidikan politik bukan mengajarkan peserta didik tentang berapa kursi di DPR, MPR atau DPD, atau apa DPR, MPR dan DPD (tata kelola dan fungsi). Akan tetapi, memberikan pemahaman atau kesadaran bahwa fungsi-fungsi kekuasaan itu sebagai a constitutive force. Bagaimana pembagian atau pertarungan kekuasaan, bagaimana kekuasaan dimanfaatkan oleh wakil rakyat dan untuk apa dan siapa?

Pendidikan politik mengandung kesadaran kritis tentang politik (Ruitenberg, n.a; Dumas dan Dumas: 1996; Davies: 2005). Being political diwujudkan dalam kesediaan mengambil peran dalam kehidupan sosial, seperti menghadapi ketidakadilan yang muncul dalam kehidupan di mana seseorang berada (Wringe: 2012).

Ketiga, pendidikan politik adalah upaya membangun kesadaran politik atau melek politik. Melek politik mempunyai hubungan dengan keterampilan, isu dan aksi penerapan politik yang demokratis, pendidikan global yang dicirikan dengan pembelajaran yang efektif dan pendekatan holistik tentang isu-isu dunia, pendidikan kewargabangsaan yang dikaitkan dengan kesukarelaan untuk berbuat sesuatu dalam masyarakat (Davies: 2005).

Melek politik ditunjukkan melalui kemampuan seseorang membaca landscape politik dalam konfigurasi masa kini maupun masa lalu. Dalam pembelajaran politik, peserta didik didorong memahami atau membaca tatanan sosial dan politik melalui--misalnya--deliberasi tentang kebebasan, persamaan dan relasi sosial yang hegemonik.

Melek politik adalah kemampuan memahami konflik kepentingan dan cita-cita dari masing-masing kelompok. Melek politik dimanifestasikan dalam sikap-sikap menghargai kebebasan, persamaan, toleransi, menghargai keyakinan dan pemikiran orang lain (Clarke: 2007)

Akhirnya, semoga para pelaku politik tidak terhenti pada pemahaman dan praktik formal politik lantaran kepentingan sesaat sehingga tiga misi (fungsi) pendidikan politik dalam pengertian luas seperti di atas diabaikan. Pendidikan politik selayaknya tidak hanya digarap menjelang pemilu atau pilkada dalam bentuk kampanye atau "jual beli suara" (politik uang) (Fachruddin: 2006).

Karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha lebih yang lebih baik untuk mewujudkan misi pendidikan politik. Serta selalu mengkaji ulang perhelatan politik dengan parameter dan indikator yang mencerminkan misi pendidikan politik.

Wallahualam. ●

Revitalisasi Pancasila

Revitalisasi Pancasila
Satya Arinanto ;  Guru Besar dan Mantan Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
                                                          KOMPAS, 28 Mei 2018



                                                           
Dalam rangka Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2018, sangat relevan untuk merenungkan kembali berbagai aspek yang terkait dengan tantangan revitalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam era globalisasi pada saat ini.

Sebagaimana diketahui, tantangan kehidupan kebangsaan kita ke depan sangatlah kompleks. Menurut Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, ada dua jenis tantangan yang kita hadapi, yaitu internal dan eksternal. Yang merupakan tantangan internal antara lain meliputi: (1) masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama serta munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit; (2) pengabaian terhadap kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme kedaerahan; (3) kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan kemajemukan; (4) kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa; dan (5) tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal.

Adapun yang merupakan tantangan eksternal meliputi: (1) pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dan persaingan antarbangsa yang semakin tajam; dan (2) makin kuatnya intensitas kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.

Meski demikian, pada era Reformasi sekitar 20 tahun yang lalu, terjadi semacam gerakan de-Pancasila-isasi. Pada saat itu MPR mencabut Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Kebijakan tersebut tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.

Sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tersebut, salah satu alasan pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 adalah karena materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Di samping itu, Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tersebut juga menegaskan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari NKRI yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

Akhir ideologi

Berdasarkan Catatan Risalah/Penjelasan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan tersebut, makna frasa dasar negara di sini adalah ideologi nasional sebagai cita-cita dan tujuan negara.

Pemberlakuan Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tersebut diikuti dengan pembubaran Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila  yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 31 Maret 1999. Dengan terpengaruh oleh pemikiran salah satu intelektual publik Amerika Serikat (AS) yang termasyhur, Daniel Bell, pada saat Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 ditetapkan, dan kemudian diikuti dengan pembubaran BP7 tersebut, penulis merasa bahwa momen itu sebagai semacam periode ”akhir ideologi” dari Pancasila.

Sebagaimana diketahui, sekitar 58 tahun lalu, Daniel Bell menerbitkan bukunya yang terkenal, The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. Dalam bukunya itu, Bell antara lain berpendapat bahwa ideologi-ideologi besar yang telah mendominasi kehidupan intelektual sejak era Victoria—Marxisme, liberalisme, dan konservatisme—telah kehilangan kekuatannya untuk menjaga tingkat kecerdasan masyarakat dan mengendalikan emosinya.

Sebagian kecil kalangan liberal tak percaya lagi terhadap kegiatan-kegiatan rekayasa sosial yang bersifat besar; dan sebagian kecil kalangan konservatif percaya bahwa konsep negara kesejahteraan merupakan semacam perhentian kedua hingga terakhir dari ”jalan menuju perbudakan”. Masa depan terletak pada para teknokrat daripada pada ideologi-ideologi, dengan kelompok pragmatis yang lebih cenderung kepada gagasan-gagasan sangat kecil hingga cetak biru yang tebal.

Dalam tinjauannya terhadap buku tersebut, majalah The Economist melihat bahwa Bell mungkin tidak teruntungkan dengan waktunya. Jika tahun 1950-an dipandang sebagai semacam kuburan bagi ideologi-ideologi, maka tahun 1960-an terbukti sebagai suatu masa pembibitan. Presiden John F Kennedy dan khususnya Lyndon B Johnson membangkitkan kembali ”big-government liberalism” (liberalisme pemerintahan yang besar). Jika gerakan New Left memasukkan kritik-kritik yang tidak mendukung dari Karl Marx terhadap kapitalisme (walaupun dengan penekanan yang lebih pada aspek konter-kulturalisme yang eksentris daripada revolusi kaum proletar); sementara gerakan New Right meninggalkan ruang bagi kapitalisme koboi dan suatu gerakan kembali kepada nilai-nilai moral.

Tahun-tahun yang kita lalui setelah terbitnya buku Bell (1960) telah membentuk suatu interplay dari tiga ideologi tersebut: kelompok pemerintahan-besar yang bersifat liberal (big-government liberals) telah memperkenalkan suatu versi AS konsepsi negara kesejahteraan dan langkah-langkah afirmatif. Para aktivis New Left kemudian mengambil alih universitas-universitas—pertama-tama melalui cara-cara protes di mana para demonstran melakukan pendudukan dan kemudian melalui penguasaan suatu kantor. Namun, hal ini tetap memunculkan pertanyaan: apakah rakyat AS pada akhirnya telah mendapatkan ideologi-ideologi yang cukup?

Pada tahun yang bersamaan dengan terbitnya buku Bell itu, Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya yang berjudul ”To Build the World Anew” di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-15, pada 30 September 1960. Dalam pidatonya, Bung Karno antara lain menyatakan bahwa bilamana dunia ingin damai, hanya Pancasila yang dapat dijadikan konsepsi; bukan konsepsi yang lain seperti kolonialisme dan imperialisme beserta turunannya yang sudah usang; serta terus membuat kerusakan di muka bumi selama berabad-abad.

Oleh karena itu, Pancasila menjadi suatu sumber kebenaran universal yang dapat diterima setiap bangsa. Pernyataan Bung Karno yang menegaskan peranan Pancasila sebagai ideologi di tengah-tengah hancurnya ideologi-ideologi besar sebagaimana disinyalir oleh Bell dalam bukunya, dan munculnya pertanyaan apakah rakyat AS pada akhirnya telah mendapatkan ideologi-ideologi yang cukup, merupakan suatu upaya yang sangat strategis untuk menonjolkan kedudukan Pancasila sebagai suatu ideologi besar yang bisa menjadi ideologi alternatif di level dunia.

Upaya revitalisasi

Kini, 58 tahun setelah terbitnya buku Bell dan pidato Presiden Soekarno tersebut, bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk merevitalisasi dan bisa menjadikan Pancasila sebagai ideologi besar dunia sebagaimana pernah dikemukakan Presiden Soekarno?

Pada level pemerintah, dengan pertimbangan bahwa Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang selama ini melakukan pembinaan ideologi Pancasila perlu disempurnakan dan direvitalisasi tugas dan fungsinya, pada 28 Februari 2018 Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP ini merupakan lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Untuk merevitalisasi Pancasila, menurut penulis, salah satu fokus utama kegiatan yang harus mendapatkan penekanan oleh BPIP adalah bagaimana untuk selalu menggaungkan Pancasila dan menanamkannya ke dalam hati sanubari setiap masyarakat Indonesia.

Berbagai gerakan radikal yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ada semacam ”kekosongan ideologi” yang dialami para pelakunya. Penggaungan tersebut juga bisa dilakukan melalui jalur peningkatan pendidikan karakter, antara lain melalui revitalisasi kegiatan-kegiatan Gerakan Pramuka yang dulu pernah bisa menjadi semacam penangkal radikalisme dan menjadi sarana penyaluran nilai-nilai kebangsaan yang cukup efektif.

Melalui aktivitas-aktivitas BPIP ini diharapkan berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, yang pernah disebut oleh Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa sebagaimana disebutkan di muka, bisa diselesaikan pada masa-masa yang akan datang. Jika hal ini tak dilakukan, kedudukan Pancasila bisa semakin tergeser dan tergusur, dan nilai-nilai dasar yang telah dimiliki dan digali dari bumi Indonesia itu pun akan lenyap secara perlahan-lahan; digantikan ideologi-ideologi lain yang mungkin akan lebih memberikan pilihan yang lebih menarik di masa depan.

Semoga di masa depan tidak terjadi semacam ”akhir ideologi” terhadap Pancasila sebagaimana pernah ditulis Daniel Bell dalam bukunya. ●