Senin, 30 Juni 2014

Yogyakarta

Yogyakarta

Bre Redana  ;  Penulis Kolom “Catatan Minggu” di Kompas
KOMPAS, 29 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Setiap kali ke Yogya saya tidak akan melewatkan makan ayam goreng Mbah Cemplung dan mangut lele Mbah Marto, keduanya di desa di Kabupaten Bantul. Yang istimewa dari Yogya bagi saya adalah makanan rakyat dan semangat kerakyatannya. Semangat kerakyatan: satu padu meniadakan perbedaan.

Benar, apa sih yang tidak berhasil ditekuk oleh semangat kerakyatan Yogya? Heri Pemad, CEO Heri Pemad Art Management (HPAM) yang kini tengah menyelenggarakan pameran seni rupa kontemporer bernama ArtJog di Taman Budaya Yogyakarta, sempat mencemaskan ”sakralitas” seni di tengah hura-hura pengunjung. Sudah dikenakan tiket masuk untuk membatasi pengunjung (tahun-tahun sebelumnya gratis), setiap hari pameran tetap dijubeli pengunjung. Mereka berfoto-foto di depan berbagai karya kontemporer, yang bagi sebagian besar pengunjung barangkali dianggap benda-benda aneh.

”Sejumlah seniman mempertanyakan apresiasi pengunjung. Apa ArtJog ini nanti tidak jadi tempat hura-hura belaka...,” ucap Heri Pemad. ”Meskipun saya juga gembira, karena pemasukan tiket,” tambahnya tertawa.

Tentu saja, pertanyaan tadi tidak seberapa serius kalau dibanding, misalnya, pertanyaan soal pemalsuan karya di dunia seni rupa. Apalagi dibanding pertanyaan bagaimana nasib bangsa kalau jatuh di tangan salah satu calon presiden nanti.

Dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, sebenarnya di Yogya tidak pernah ada dikotomi di antara berbagai gejala yang berlawanan. Entah itu seni murni atau pop, serius atau main-main, modernitas atau tradisi, olo utowo becik kata orang Jawa, semua berjalan sebagaimana adanya, seperti keberadaan siang-malam. Rasanya, tak pernah mendengar wacana pertentangan pendapat, misalnya, turisme versus nilai-nilai lokal. Di daerah-daerah lain, orang suka meramaikan omong kosong seperti itu. Untuk Yogya, semua biasa-biasa saja.

Seusai nongkrong di Sangkring Art Space bersama kolektor dan kurator dari Jakarta dan Singapura, terus cari makan di kampung. Semua senang. Teman cewek, manajer komunikasi merek terkenal dari Jakarta, paling bahagia kalau makan gudeg pawon, di sebuah dapur di kampung di Yogya.

Gejala modernisme, atau yang mutakhir sekarang gejala kontemporer, tidak pernah membuat Yogya gagap. Pulang dari New York di awal tahun 1970-an dulu, dramawan Rendra mengusung dari Sophocles sampai Ionesco di panggung. Toh, itu tak membuat Bengkel Teater dikenang sebagai kelompok teater Barat? Roh Rendra dan Bengkel Teater adalah roh kaum urakan dari Parangtritis.

Begitu pun pelukis Affandi yang menorehkan ekspresionisme Barat dan memiliki mobil-mobil sport mewah di zamannya. Rasanya, tak ada yang menganggap Affandi sebagai manusia kebarat-baratan dan hedonis. Dia dikenang sebagai sosok sangat merakyat—beda dibanding kaum berpunya zaman ini yang mengaku dekat dengan rakyat.

Itu semua merupakan gejala khas Yogya. Hip hop dari New York, di Yogya diterjemahkan menjadi Jogja Hip Hop Foundation yang main di kampung-kampung, dengan lirik dan ucapan bahasa Jawa. Lewat liriknya, mereka melontarkan kritik sosial yang sangat relevan dengan lingkungannya. Sikap politis pendiri Jogja Hip Hop Foundation, Marzuki Kill the DJ, bisa kita lihat di televisi saat ini dengan dukungannya kepada salah satu calon presiden.

Begitu pun kafe-kafe, yang dianggap merupakan bagian gaya hidup urban. Rasanya tetap berbeda nongkrong di Via Via Cafe di Prawirotaman atau Epic Coffee di Sleman, dibanding di kafe-kafe di Jakarta. Di Yogya, tetap terasa semangat kerakyatan serta melebur atau kalisnya sesuatu yang baru, berbeda, the other, liyan. Yang kontemporer dan tradisional, yang modis dan ndeso, yang serius dan plesetan, berkoeksistensi damai. Jangan itu terusik oleh gerombolan yang mencoba menyeragamkan segala hal.

Itu yang membuat kami kangen Yogya. Bersama Guru Besar Persatuan Gerak Badan Bangau Putih Gunawan Rahardja, kami nanti akan ramai-ramai ke Yogya. Makan di Mbah Cemplung, mengunjungi galeri kontemporer, ke Mendut, Merapi, dan lain-lain.

Belajar Peka

Belajar Peka

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 29 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sambil menunggu datangnya mobil jemputan, saya dan rekan kerja mengobrol soal mengapa ada orang yang enggan ditengok saat mereka berbaring di rumah sakit. Sejujurnya saya adalah orang yang semacam itu. Saya merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Tentu berbeda alasannya dengan cerita teman kerja saya di bawah ini.

Prihatin?

Begini ceritanya. Seorang temannya berada di rumah sakit dengan sebuah diagnosa yang mematikan. Artinya bahwa ia hanya tinggal menanti saatnya untuk menutup mata selamanya. Beberapa temannya berkunjung untuk menyatakan keprihatinan mereka, dan keprihatinannya itu dieksekusi dengan komentar seperti ini. ”Elo sih makannya enggak bener makanya sekarang jadi begini. Gue tu ya, kalau makan tu selalu dipikir, apa yang sehat dan apa yang tidak sehat. Enggak asal makan doang.”

Teman saya melanjutkan ceritanya. ”Mbok ya sedikit peka. Orang sudah sekarat kok malah dimarah-marahin gitu.” Saya sendiri juga tak tahu, setelah dewasa seperti sekarang ini, apakah saya ini masih perlu belajar berbicara, belajar menyatakan keprihatinan dengan tepat dan yang utama belajar menjadi lebih peka?

Seandainya yang berkomentar tajam itu bisa lebih peka, mungkin kalimat pedas yang mengandung nasihat positif itu diucapkan ketika si pasien masih dalam keadaan sehat. Kalau ia memang teman yang baik, ia akan menganjurkan si pasien atau teman-teman lainnya sejak lama, sejak pertama kali ia tahu bahwa asupan yang benar dan sehat itu mampu menyelamatkan.

Mungkin, ia tak punya waktu untuk melakukan tindakan preventif dan ia datang ketika semuanya sudah terlambat. Maka kepekaan itu sesungguhnya sebuah cara untuk mencegah datangnya keterlambatan sebuah kebaikan. Saya kemudian berpikir, bahwa si pasien sekarang berada di ujung tanduk, salah satu andil yang membuatnya, yaa... adalah yang berkomentar pedas itu.

Di zaman seperti sekarang ini, sejujurnya saya sendiri menjadi tidak tahu apakah menjadi peka itu, dan apakah tidak peka itu. Coba saya beri contoh kejadian di bawah ini, dan apa kira-kira menurut Anda.

Di suatu sore saya sedang berada di mal. Saya berjalan dari kamar kecil ke sebuah rumah makan tempat saya membuat janji temu dengan seorang klien. Saat tiba di rumah makan, saya melewati sebuah meja teman yang kebetulan juga berada di tempat yang sama. Ia menyapa, dan kemudian berkata begini. ”Lima detik aja, elo milih capres A apa B?

Tersetrum

Menurut saya, saya ini tidak peka terhadap pertanyaan itu, sehingga yang lima detik itu berubah menjadi dua puluh menit. Padahal tujuan utama saya adalah bertemu klien, dan tidak bertemu teman saya dan masuk ke sebuah percakapan panjang.

Seandainya saja saya peka, setelah saya memberi jawaban, saya akan meninggalkan mereka dan tidak membiarkan klien saya menunggu. Bahwa mereka tidak setuju dengan jawaban saya, seharusnya saya tak perlu memedulikan mereka.

Tapi pada kenyataannya, saya peduli dengan mereka, dan tidak peduli dengan klien saya. Saya tidak peduli dengan yang menjadi tujuan utama, dan saya sungguh peduli kepada yang hanya menyapa. Itu juga yang menyebabkan acapkali, tujuan dalam hidup saya tak tercapai, karena saya tidak peka untuk memilih prioritas.

Contoh berikutnya. Sudah beberapa kali kalau saya sedang berjalan terutama di mal, banyak orang berjalan dalam posisi melintang bersama tiga atau empat rekannya. Keadaan itu menutupi seluruh jalan sehingga orang tak bisa berjalan dengan benar.

Demikian juga kalau sedang menaiki eskalator. Sampai saya berpikir, apakah setelah dewasa ini saya juga harus belajar hanya untuk mengetahui berjalan yang benar itu yang seperti apa. Mungkin, yang harus saya pelajari bukan cara berjalannya, tetapi kepekaannya.

Kepekaan bahwa jalan di area publik itu bukanlah berjalan di area milik perorangan atau sekelompok orang. Area publik itu harus bisa dinikmati oleh khalayak lainnya tanpa mereka merasa terganggu.

Sudah beberapa kali saya mengunjungi negeri matahari terbit, dan beberapa kali saya melihat diri saya dan teman-teman bisa berjalan dengan benar, mengantre tanpa menggerutu, berbicara dengan lembut, dan tidak keras seperti biasanya.

Nah, mengapa kepekaan kami hanya tumbuh di tempat orang lain dan bukan di rumah sendiri. Begini seorang teman berkomentar. ”Di rumah sendiri, kan beda, kita bisa seenaknya. Di rumah tetangga malu kali...”

Saya jadi bertanya mengapa orang lain bisa disiplin, bisa peka, saya tidak bisa? Apakah menjadi peka itu perlu adanya kedisiplinan yang ditegakkan oleh orang lain dan bukan oleh diri kita sendiri?

Sungguh saya tak bisa menjawabnya. Mungkin, ini hanya mungkin, dunia ini bisa berwarna karena saya bisa berteriak, yang lain bisa berbicara dengan halus. Saya malas pakai sabuk pengaman di dalam mobil, yang lain sungguh bisa berpikir bahwa itu bukan sebuah beban, tetapi sebuah cara untuk melindungi diri saat kejadian buruk menimpa.

Saya bisa tidak atau kurang peka terhadap penggunaan sabuk pengaman, yang lain bisa peka dan sangat peka. Sehingga kalau keduanya saling mengunjungi dan bertemu, keduanya bisa tersetrum hanya karena sebuah perbedaan. Mungkin dengan demikian, hidup akan terasa menjadi lebih hidup. Mungkin.

Menghangatkan Perasaan Orang Lain, Perlukah?

Menghangatkan Perasaan Orang Lain, Perlukah?

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 29 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
”Pada dasarnya kami saling mencintai, tetapi...?”. Kalimat sambung yang diawali oleh tetapi tersebut bisa beraneka ragam, misalnya kenapa ya, relasi keseharian kami terasa hambar seperti sayur kurang garam. Atau, ”kami seolah kehilangan selera humor atau kami justru mencoba mengabaikan kebersamaan kami dengan menyibukkan diri dengan hal-hal rutin yang tidak penting” dan sebagainya.

Situasi seperti ini seyogianya diwaspadai dan guna mengantisipasi kemungkinan hubungan menjadi lebih buruk perlu dilakukan upaya perbaikan bersama.

Pada dasarnya setiap pasangan pasti mengetahui bahwa ada hal-hal khusus yang perlu dan bisa dilakukan untuk menghangatkan kembali perasaan dengan pasangannya. Biasanya jika kita sedang marah dan tidak nyaman karena rasa jengkel terhadap perilaku pasangan kita, kita cenderung menghentikan upaya-upaya untuk menghangatkan kembali perasaannya. Kemudian berkembang terhadap sikap yang cenderung memiliki makna penolakan terhadap dirinya.

Untuk mengatasi permasalahan seperti ini memang dibutuhkan niat baik dan dorongan untuk mengungkapkan perasaan yang penuh kasih dan hangat kembali seperti pada saat mengawali hubungan pada masa lalu. Semakin lama perkawinan berlalu, sering membuat pasangan pada umumnya melupakan ungkapan-ungkapan sederhana yang memberikan makna penuh kasih dan perhatian.

Sementara saat mengawali hubungan dengan pasangan, berbagai upaya apresiasi dan penghargaan perilaku pasangan sering dikumandangkan. Bahkan apresiasi itu disertai dengan upaya-upaya untuk menciptakan hubungan yang penuh kasih dengan penekanan pada aspek positif dari perilaku pasangan kita. Namun, semakin lama perkawinan berlangsung, tanpa disadari justru semakin banyak dan sering ungkapan-ungkapan yang sebaliknya dan biasanya kesan-kesan negatif yang kita lontarkan kepadanya.

Kecuali itu, kita pun setuju jika anak-anak juga membutuhkan apresiasi dan penghargaan atas perilaku mereka yang spesifik, kualitas kepribadiannya, dan perilakunya. Apresiasi itu bisa dengan kalimat seperti ”kamu terampil sekali dalam menata meja belajarmu”, ”ibu pikir kamu berani sekali menyatakan perasaan kamu tentang perilaku temanmu itu dan tidak sekadar menyatakan setuju akan pendapatnya”, ”kamu anak yang membanggakan ibu karena berani bersikap jujur”. Bahkan, orang dewasa pun membutuhkan mendengar kesan spesifik tentang prestasi yang telah mereka capai.

Dengan demikian, dapat dipahami manakala kita sudah menikah dan hidup bertahun dengan pasangan kita, kita juga membutuhkan penghargaan spesifik yang disampaikan pada saat yang tepat sehingga terasa kembali kehangatan perasaan oleh penghargaan tersebut. Dan, tanpa disadari penghargaan itu akan memotivasi diri kita untuk secara berlanjut melakukan segala hal dengan cara sebaik mungkin. Penghargaan itu bisa berupa pujian seperti ”wah, kamu bisa lakukan hal itu dengan cara yang baik” atau ”saya sangat menghargai usaha kamu dan kerja keras kamu sehingga penghasilan yang kamu peroleh sangat berguna bagi kelangsungan kehidupan keluarga kita”. Bisa juga seorang istri merasa dihargai jika suami mengungkapkan, ”waduh, hari ini kamu masak istimewa, sayur lodeh bikinanmu pas banget di lidahku”.

Ungkapan verbal

Benar-benar apa yang diungkapkan pasangan terhadap kinerja kita membuat kita selalu mendapat kejutan yang menghangatkan perasaan kita. Kehangatan perasaan yang disebabkan oleh ungkapan verbal yang tulus dan penuh kasih tersebut sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan ikatan emosional yang meningkatkan kasih di antara pasangan, di antara anggota keluarga, ataupun antara orangtua dan anak.

Sementara itu, jika kita simak dan kita cermati ekspresi spontan tersebut sebenarnya ”hal kecil”, tetapi benar-benar memberikan pengaruh yang bukan alang-kepalang maknanya. Dari fakta-fakta yang kita amati, sebenarnya aktivitas dan upaya menghangatkan perasaan orang lain berpangkal pada usaha kita, good will, dan niat dari hati yang dalam untuk memperhatikan hal-hal positif yang dilakukan orang lain serta mengekspresikan dalam aksi yang sejalan dan terasa ”pas” (congruent) dengan nilai-nilai tentang harapan kita tentang akan seperti apakah diri kita ini dalam kehidupan kita di dunia ini. Hal ini juga mendorong kita untuk menemukan suara hati kita serta menuntut kita untuk memeriksa nilai-nilai yang kita anut tentang bagaimana kita akan mengemudikan relasi kita dengan sesama dan tidak hanya sekadar memberikan reaksi terhadap apa yang dilakukan oleh orang yang berada di sekitar kita.

Yang terpenting di sini adalah ”saya ingin menjadi seseorang yang mampu menciptakan keseimbangan antara respons kritik otomatis dan hal yang positif karena hal yang positif akan menciptakan sesuatu yang positif pula. Jadi semakin banyak saya memilih untuk mengekspresikan apresiasi terhadap orang lain apakah itu pasangan perkawinan, anak yang sudah dewasa, atau anak yang masih kecil, maka semakin terasa keseimbangan tersebut bagi diri saya”.

Puasa

Puasa

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior TEMPO
TEMPO.CO, 28 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Ramadan sudah datang. Bulan suci penuh berkah yang dinanti umat Islam. Sebagai nonmuslim, saya akan menuturkan pengalaman yang barangkali dialami oleh para sahabat muslim ketika pertama kali memperkenalkan anak-anak pada kegiatan puasa.

Saat itu, akhir Januari lalu, umat Hindu melakukan brata (pantangan) ketika merayakan hari Siwaratri. Salah satu pantangan adalah berpuasa, dalam Hindu disebut upawasa. Cucu kedua saya, enam tahun, diajak "belajar berpuasa". Dia bersedia, bahkan dengan semangat.

Ternyata di siang hari yang panas itu dia masuk kamar dan minum. Ini diintip kakaknya, dan sang kakak langsung lapor ke saya. Ketika saya konfirmasi, anak itu langsung menangis: "Kan sudah sembunyi, kakak yang curang, kok diintip. Kalau tak diintip kan tak ada yang tahu."

Saya rayu dia supaya berhenti menangis. "Kalau tak tahan puasa, tak apa-apa. Kan baru pertama, nanti juga terbiasa," kata saya. Setelah tangisnya berhenti, saya katakan: "Puasa itu bukan untuk Bunda, bukan untuk Bapak, apalagi untuk Kakek. Tidak, puasa itu untuk Tuhan. Kan Tuhan tak pernah tidur, Tuhan melihat kita. Jadi, kita tak bisa berbohong sama Tuhan."

Ketika saya bertugas di Yogya, rutin menyelenggarakan buka puasa di kantor. Yang diundang bukan cuma teman-teman wartawan, juga para pejabat dan aktivis. Yang memberi siraman rohani menjelang puasa lebih banyak pengajar di Pesantren Pabelan, kebetulan saya dekat dengan Kiai Haji Hamam Dja'far--kini almarhum--pengasuh pesantren. Kami biasa bergurau menunggu undangan lengkap. Teman-teman wartawan suka menggoda: "Memangnya kamu puasa?" Saya hanya tertawa. Sesungguhnya saya memang puasa. Tapi, kalau itu harus disebutkan, terasa pamer.

"Puasa itu bukan untuk dipamer-pamerkan. Kebohongan yang paling mudah dilakukan adalah menyebut diri berpuasa padahal tidak," ini kata-kata yang saya ingat dari Kiai Hamam Dja'far. Kalau tak salah, pada 1982 itu saya sekeluarga diundang makan siang dengan menu lele bakar hasil ternak di pesantren, seminggu sebelum Ramadan tiba.

Cucu saya ingin berbohong, dan itu hampir sempurna kalau saja tidak diintip dan kemudian dilaporkan oleh kakaknya. Tapi kakaknya sendiri, kelas dua sekolah dasar, memang suka pamer. Setiap kali tiba berpuasa pada hari-hari tertentu, setelah surya terbenam pertanda puasa diakhiri, dia selalu teriak: "Saya berhasil, mana es krimnya." Ibunya suka ngeledek: "Benar nih...?" Dan dia langsung jawab: "Idih, kok pakai bohong."

Di sekitar kita, mendadak pada bulan-bulan puasa ada banyak orang saleh. Undangan berbuka puasa hampir setiap hari dengan menu yang cukup menggiurkan. Yang ikut berbuka tak cuma umat Islam, juga umat nonmuslim. Sebuah tradisi yang bagus untuk kebersamaan, meski kalau dilanjutkan dengan tarawih hanya diikuti oleh umat Islam. Yang non-Islam disilakan bubar.

Apakah puasa hanya memindahkan jam makan pada siang ke malam? Apakah puasa hanya menahan lapar sambil membayangkan bahwa saat berbuka nanti akan dipuaskan lidah dengan makanan yang lezat? Apakah puasa hanya menunda caci-maki di media sosial siang hari untuk dilanjutkan malam hari? Kalau cuma itu, nurani kita tak bisa merasakan bagaimana kaum duafa yang tidak makan karena tak ada yang dimakan. Hanya menunda maki dan fitnah di siang hari--dengan akun Twitter dan Facebook palsu pula--untuk dilanjutkan malamnya. Puasa, dalam ajaran agama apa pun, adalah mengendalikan nafsu dan membagi hati untuk orang-orang yang menderita.

Pengalaman saya ini tak bermaksud "menggarami laut", hanya untuk berbagi. Selamat melaksanakan ibadah puasa.

TV Tanpa Penghinaan

TV Tanpa Penghinaan

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 28 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pertelevisian negeri ini sebenarnya sedang disita perhatiannya pada berita dan cerita, terutama opini, pilpres yang kadang berkesan mengkhawatirkan. Namun, kasus acara Yuuk Keep Smile (YKS) dari Trans TV sempat membetot perhatian–atau kecemasan.

Acara jenis variety yang disiarkan week-day, Senin-Jumat mulai sore hingga tengah malam, tanggal 20 Juni kemarin membuat sebagian masyarakat marah dan tersinggung. Tokoh komedian Betawi, seniman besar Benyamin Sueb, diasosiasikan dengan, maaf, anjing. Pertelevisian negeri ini perlu semprit agar tidak mengulang penghinaan dan atau penipuan.

Yuk Kita Stop

YKS, sebagai acara rutin sebenarnya bukan sekali ini kena protes. Saya termasuk yang berkeberatan ketika menampilkan joget/tari malam hari untuk anak-anak, yang disiarkan secara live. Namun, apa artinya protes pribadi, ketika institusi resmi seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), atau juga Kementerian komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), tidak juga menggubris, atau tidak juga digubris. Dan kini, agak telak dan susah mengelak. Dalam acara itu, pelawak bernama Cesar dihipnosis oleh Ferdian agar tidak takut pada anjing.

Dalam bayangan Cesar, anjing dihidupkan sebagai Benyamin Sueb, yang bisa lucu ketika dipanggil dengan nama orang. Ini yang menuai protes keras. Tanpa menengok Undang-undang Penyiaran Pasal 36, ayat 6, tahun 2002, tentang larangan memperolok manusia. Dan, manusia di sini adalah tokoh besar Benyamin Sueb– yang oleh stasiun tv lain baru dirayakan kebesarannya, keberhasilannya, dan kaitannya dengan Betawi yang berulang tahun. Sedemikian geram para pendemo sehingga mengganti singkatan YKS menjadi Yuk Kita Stop, dan berniat melanjutkan gugatan secara perdata dan pidana. Meskipun masyarakat juga pesimistis. Akhirnya akan mengacu pada pola lama, nama YKS diubah menjadi (Bukan) YKS, atau malah (Tetap) YKS.

Namun kali ini berbeda, KPI benar-benar memprotes, dan pihak Trans TV, benar-benar menghentikan tayangan selanjutnya. Artinya YKS menjadi masa lalu, dan masih menjadi bahan pembelajaraan. Dan barangkali ini langkah yang baik, terutama karena urusannya menjadi panjang kalau dikaitkan terus dengan Benyamin Sueb. Artinya selama masih ada acara itu, selama ini kegusaran masih akan ada. Dan memasuki bulan puasa, sungguh tak elok masih membawabawa salah komunikasi begini. Dengan penghentian tayang, satu masalah telah selesai.

Masalah lain yang mencemaskan– untuk tidak memakai istilah ”memprihatinkan” yang bernada politis karena sering diartikan tak ada tindak lanjut– karena sebenarnya ada persoalan lebih mendasar. Yaitu mengenai acara itu sendiri, dan atau bagaimana menyikapi saat siaran langsung, tentang jenis acara penghipnosisan, dan terutama jenis acara/ program lain yang bisa menipu kalau tak diberi penjelasan seperlunya.

Kontrol Siaran

YKS disiarkan secaralive, kadang bisa mencapai empat jam atau lebih. Siaran live, dalam dunia televisi lebih dari sekadar bukan hasil rekaman, bukan film, tapi terutama adalah as it is happening. Disiarkan sebagai mana kejadian saat itu. Dengan kata lain, kontrol sepenuhnya atas program broadcast. Sehingga, kalau di awal asosiasi manusia dengan anjing dirasa akan menciderai perasaan, bisa langsung cut, bisa dihentikan. Bisa diganti hal atau orang lain atau tema lain. Kalau kontrol ini berlangsung, rasanya tayangan tidak menjadi fatal, sekitar 10 menit mengudara dan bisa disebut ”menghina”. Kalau kontrol ini terjadi, biasanya begitu cepat kita tahu reaksinya, akan lain ceritanya. Tapi justru di sini masalah utamanya.

Stasiun siar menjadi bebal, menjadi arogan, menjadi penguasa tunggal dan tidak peduli hal-hal yang dianggap memperkecil kemungkinan mendapatkan nilai rating atau sharing. Padahal, justru kritik-kritik kecil yang ditanggapi bisa menjadikan awas, menjadikan peka. Saya ingin mengulang kritik saya dengan membawa anak-anak kecil bersiaran menjelang tengah malam. Ini bisa dihindarkan, bisa dicarikan waktu lain. Hal yang sama akan membuat waspada juga apakah itu usia anak-anak sekolah, dan lain sebagainya. Hal yang sama ketika menampilkan acara penghipnosisan. Seberapa benar-tidaknya seorang Cesar bisa tersugesti sehingga mampu melihat wajah anjing yang ditakuti menjadi wajah seseorang yang lucu?

Saya tidak mengatakan sang hipnoterapis melakukan ”kerja sama” dengan pasien, melainkan apa yang terjadi pada Cesar belum tentu berlaku pada orang lain dalam kadar yang sama. Hal yang juga berlaku, dan sudah ditayangkan ketika Kiwil terhipnosis dan melihat semua perempuan berwajah sama dengan istrinya. Atau, Raffi Ahmad melihat balon seperti melihat Nagita, yang akan dinikahi. Sekurangnya ada penjelasan yang disampaikan bahwa hipnotis tidak berlaku mutlak pada semua orang di semua situasi.

Karena ini akan bertabrakan dengan akal sehat, yang pada gilirannya bisa menyesatkan pemikiran. Stasiun siar TV berkewajiban dan bertanggung jawab atas apa yang diprogramkan, disiarkan dengan memberikan penjelasan baik lewat penjelasan atau teks. Bukan malah melakukan penipuan bahwa semua benar adanya, as it is happening. Pada gilirannya, dalam tema yang lebih besar, stasiun siar termasuk bertanggung jawab atas acara-acara, program, tentang penyembuhan alternatif, pengobatan ”aneh bin ajaib”, atau yang dianggap bisa menyesatkan. Penjelasan menjadi sangat perlu dan harus, agar kita lebih sadar untuk tidak menghina dan atau merendahkan sesama manusia, apalagi melakukan penipuan secara sadar. Pertelevisian kita bisa lebih baik, lebih menarik dan sekaligus lebih mendidik.

Sabtu, 28 Juni 2014

Saatnya Melatih Diri di Bulan Suci

Saatnya Melatih Diri di Bulan Suci

Said Aqil Siradj  ;   Ketua Umum PB NU
JAWA POS, 28 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BULAN Ramadan kembali tiba. Untuk kali kesekian kita diberi kesempatan untuk merasakan nikmatnya berpuasa. Dengan berpuasa, kita bisa lebih merasakan arti seteguk air bagi tenggorokan yang kering. Dengan puasa, kita jadi lebih tahu manfaat sepiring nasi bagi perut yang lapar. Bukankah hanya dengan kelaparan kita mengetahui apa itu kenyang dan hanya dengan kehausan kita mengetahui apa itu kesegaran?

Puasa tidak hanya berurusan dengan kenyang dan lapar. Jika ditelusuri lebih jauh, kata sha-wa-ma yang berarti menahan juga merujuk pada aktivitas batiniah. Artinya, puasa juga bermakna menahan hati dari berbagai hal negatif yang bisa merusak jiwa seperti iri, dengki, sombong, riya, ujub, dan penyakit hati yang lain. Karena itu, dalam berpuasa, seorang muslim sebenarnya dilatih untuk menyinergikan antara dua eksistensi yang berbeda, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Sebab, di dalam rohani kita terdapat ide-ide kebaikan yang nanti diejawantahkan oleh jasmani dengan sikap hidup keseharian.

Lapis Batin

Manusia pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk yang baik. Allah memberi manusia komponen diri untuk digunakan sebagai penjaga kemuliaan diri seraya terus membangun kedirian menuju derajat yang lebih baik. Karena hidup nyata di muka bumi, manusia lalu mengalami pergulatan hidup. Banyak tantangan dan godaan yang akan selalu menelingkupi kehidupan manusia. Dunia memang tidaklah hampa, melainkan jamak dengan berbagai warna. Justru kebinekaan hidup itulah yang kemudian mendorong manusia bergulat dengan kehidupan. Di situlah sesungguhnya ’’lahan’’ menyemai bagi manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai khalifatullah. Rasulullah mewanti, ’’dunia adalah tempat menyemai bagi kelak kehidupan di akhirat.’’

Dalam pelatihan batin, lazim dikenal beberapa instrumen pelatihan dalam rangka memberdayakan kedirian manusia. Ibaratnya dalam membangun sebuah usaha, sudah tentu seseorang memerlukan ’’manajemen’’ agar usahanya bisa berjalan baik dan lancar. Demikian halnya, lebih-lebih ikhtiar memberdayakan diri.

Dewasa ini memang sudah cukup banyak upaya pelatihan diri. Kenyataan itu menjadi petunjuk bahwa manusia sekarang sudah begitu sadar untuk meningkatkan potensi dirinya, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan praktis. Lagi-lagi, semua itu karena yang menjadi inti pemberdayaan sesungguhnya harus bertumpu pada manusianya, bukan terfokus pada sistemnya. Bila manusianya berkarakter unggul, sistem apa pun akan mudah dirancang dan dikerjakan.

Dalam jagat rohaniah, manusia mempunyai beberapa ornamen. Di antaranya, qalb dan dlamir. Biasanya qalb diartikan dalam bahasa Indonesia dengan hati. Tetapi, makna sebenarnya bukanlah merujuk pada segumpal daging yang terletak di dalam rongga tubuh manusia, namun lebih menunjuk pada sesuatu yang bersifat rohani yang metafisik dan bukan jasmaniah. Qalb itulah yang juga sering disebut mata hati (eye of heart) atau bashirah. Bashirah mempunyai potensi untuk melihat kebaikan dan keburukan. Bashirah adalah ruang dalam diri manusia yang dapat memilah antara yang baik dan yang buruk. Bashirah merupakan alat pendeteksi yang dianugerahkan Allah untuk manusia.

Apabila bashirah hanya bisa melihat dan memilah antara yang baik dan yang buruk, dlamir berfungsi memotivasi manusia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi hal-hal yang buruk. Karena itu, dlamir juga dapat diartikan sebagai moral. Dengan demikian, jika dilihat dari sisi kualifikasi, konteks, dan batasannya, dlomir (moral) dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, dlamir ijtima’i, yakni moralitas yang terbentuk karena lingkungan dan bersifat sosial. Di sini moralitas lahir sebagai kesepakatan secara sosial. Kedua, dlamir qonuni adalah moralitas yang terbentuk karena norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta bersifat legal. Ketiga, dlamir dini, yakni moralitas berdasar petunjuk agama.

Pribadi Berkarakter

Pada era modernisasi saat ini, kesadaran untuk senantiasa melatih segi batiniah justru perlu ditingkatkan. Secara nyata, hal itu berkaitan dengan pemberdayaan diri guna menghasilkan masyarakat yang berdisiplin, santun, serta peduli. Puasa Ramadan bisa menjadi momentum tepat untuk melatih diri.

Nah, puasa pada dasarnya merupakan pekerjaan dlamir, baik dlamir ijtima’i, qanuni,maupun dlamir dini. Di dalam puasa terkandung berbagai aspek yang tidak terbatas pada masalah keagamaan saja, namun juga norma dan sosial. Ketika kita berpuasa, berniat saat malam untuk menahan diri dari makan dan minum serta berbagai hal-hal yang keji hanya karena Allah, secara otomatis kita telah ikut menjaga kestabilan lingkungan, keamanan, dan ketertiban.

Ramadan kali ini bertepatan dengan ’’tahun politik’’. Berbagai tingkah politik telah dipertontonkan. Ada kampanye negatif, kampanye hitam, atau tawuran antar pendukung. Memilih pemimpin semestinya dilakukan dengan cara yang santun dalam suasana demokratis. Nah, saatnya untuk berbenah diri dalam bulan suci ini demi melahirkan pribadi-pribadi yang berintegritas moral yang tinggi. Jangan sampai kita gagal dalam membangun manusia yang berkarakter. Negara yang berperadaban luhur (madinah al-fadhilah) sesungguhnya adalah tempat berkumpulnya pribadi-pribadi unggul yang berkarakter.

Jangan Salahkan Debat Capres

Jangan Salahkan Debat Capres

Hermanto  ;   PNS BPS Prov. Jawa Timur
JAWA POS, 27 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TERLALU prematur bila para praktisi ekonomi mengaitkan kondisi pasar saham yang terus terkoreksi dan rupiah yang semakin menjauh dari batas atas asumsi makroekonomi pemerintah sebagai respons negatif dari debat calon nakhoda negeri ini. Keadaan itu lebih disebabkan situasi pasar keuangan regional yang diwarnai indeks bursa saham yang terkoreksi serta relatif terdepresiasinya mata uang regional terhadap dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, terlalu berlebihan dan irasional jika berharap terjadi anomali situasi pasar keuangan di Indonesia ketika kondisi eksternal tidak berpihak dan faktor fundamental perekonomian kita di luar ekspektasi.

Faktor eksternal yang menjadi salah satu sebab utama depresiasi rupiah adalah dampak dimulainya kebijakan pengurangan stimulus moneter quantitative easing (QE) oleh bank sentral Amerika Serikat dalam merespons perbaikan kondisi makroekonominya. Dana asing yang mengalir deras beberapa tahun terakhir, terutama dari Negeri Paman Sam sebagai bagian dari kebijakan QE dalam upaya mengatasi krisis di Amerika Serikat, sudah mulai berlalu. Sebab, saat ini justru terjadi penarikan dana yang parkir di luar Amerika Serikat untuk balik ke dalam negerinya, terutama yang berada di negara emerging market, termasuk Indonesia yang menawarkan high return meskipun memiliki risiko yang tinggi pula.

Faktor internal yang berkontribusi pada depresiasi rupiah adalah masalah defisit anggaran yang menghantui perekonomian Indonesia 2014. Salah satu penyebab defisit anggaran itu adalah terbatasnya ekspor, terutama komoditas minerba mentah sebagai konsekuensi kebijakan pembatasan ekspor minerba mentah, yang diiringi oleh penerimaan pajak yang belum optimal dari target yang ditetapkan. Ditambah pula belum lepasnya industri kita dari ketergantungan impor bahan baku.

Sikap pemerintah dalam membatasi ekspor minerba mentah di satu sisi patut diacungi jempol, yang tidak terpengaruh oleh lobi-lobi perwakilan perusahaan eksplorasi minerba internasional beberapa waktu belakangan agar meloloskan ekspor mentah komoditasnya dengan upaya menekan melalui perumahan sementara para karyawan. Mengingat sikap perusahaan internasional yang abai dengan imbauan yang jauh-jauh hari sudah diberikan merupakan sikap yang seolah mengangkangi kebijakan pemerintah. Harapan selanjutnya, semoga isu ini tidak bergulir ke ranah politik karena tujuan kebijakan ini adalah Indonesia dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik dari sektor minerba. Tidak hanya dari sisi pemasukan domestik, namun juga penyerapan lapangan kerja karena ada peningkatan skala kegiatan, yaitu sektor pengolahan minerba.

Selain karena ekspor, tekanan penerimaan negara dari perpajakan yang belum mencapai target yang diharapkan berkontribusi pada defisit anggaran. Institusi perpajakan perlu lebih kreatif dalam melakukan upaya ekstensifikasi sektor yang belum optimal tergarap padahal memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti sektor finansial, properti, dan komunikasi. Sementara itu, untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku sektor industri, pemerintah perlu memprioritaskan investor yang akan berinvestasi pada industri yang memproduksi bahan baku atau penolong impor tersebut dengan insentif sebagai daya tarik atau memberi peluang kepada BUMN untuk membangun industri tersebut.

Sedangkan pasar saham Indonesia yang terkoreksi cukup wajar selain karena aksi profit taking para investor dalam menyikapi kondisi regional serta penarikan dana parkir instrumen QE, juga sangat mungkin adanya diversifikasi produk investasi dari para investor. Sebab, selain saham di BEI, produk investasi berupa surat berharga negara yang dikeluarkan pemerintah dalam mengatasi defisit anggaran selalu menjadi incaran dan laris manis karena menawarkan tingkat return yang pasti dan relatif tinggi meskipun tenggat waktu investasi yang panjang.

Terlalu dini jika merespons apa yang mengemuka dalam konteks debat capres, apalagi KPU membatasi kewenangan moderator untuk tidak sampai mengejar lebih dalam jawaban dari para kandidat. Maka, tidak heran jika debat yang dilaksanakan seolah dalam istilah Jawa sebagai ”ngayahi kewajiban” hanya menjadi rangkaian kegiatan yang mesti dilaksanakan KPU dan diikuti para kandidat. Sebab, jawaban yang mengemuka dari para kandidat belum tentu akan dilaksanakan, terutama karena keterbatasan kewenangan KPU untuk menjadikan apa yang disampaikan di forum itu sebagai rujukan konseptual arah kebijakan pemerintahan dan diakomodasi dalam lembaran negara. Dengan demikian, tidak salah jika para kandidat memanfaatkan ajang debat itu sebagai sarana kampanye yang diselenggarakan KPU. Meskipun demikian, itu menjadi salah satu warna demokrasi kita dan sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat.

Menelisik lebih dalam mainstream dari para kandidat di setiap bidang agak sulit, kecuali meneropong pemikiran para wakil yang keduanya pernah mewarnai kebijakan ekonomi di negeri ini. Kata kunci untuk bidang ekonomi dari kedua kandidat kurang lebih sama, yaitu komitmen pada pemerataan infrastruktur untuk mengurangi ketimpangan ekonomi.

Sayang, belum ada pemikiran konkret dari kedua kandidat untuk mengatasi ini. Padahal, perlu upaya ekstrem agar kondisi ini terwujud dan salah satunya adalah mewujudkan pemindahan pusat pemerintahan (yang selalu hanya jadi wacana) dan jangan lagi di Pulau Jawa. Pasalnya, hingga saat ini arus ekonomi dan pergerakan manusia masih terpusat di Jawa. Padahal, prasyarat pertumbuhan ekonomi agar sustainable adalah ekonomi berbasis pada manusia dan bukan pada sumber daya alam, yang dapat terwujud jika tersedia cukup modal manusia yang berkualitas. Di sisi lain, masalah kesejahteraan sosial akan dapat terwujud jika semua memiliki peluang yang sama untuk membangun dan hidup lebih sejahtera di mana pun berada.

Rupiah dalam Kompetisi Pilpres

Rupiah dalam Kompetisi Pilpres

Augustinus Simanjuntak  ;   Dosen Etika Bisnis Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra, Surabaya
JAWA POS, 27 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KETANGGUHAN rupiah kembali diuji menjelang pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli nanti. Selasa (24/6) rupiah menembus level psikologis baru di level 12.000 per USD. Persaingan ketat antara dua pasangan calon presiden-wakil presiden, tampaknya, cukup memengaruhi persepsi pasar terhadap masa depan ekonomi kita. Itu menjadi pertanda bahwa rupiah masih rentan terhadap situasi politik lima tahunan, terutama pilpres.

Berbeda dengan di negara-negara maju yang tingkat korupsinya sudah rendah, pilpres umumnya tidak terlalu berdampak buruk terhadap kurs. Di negara-negara maju, pertarungan politik dan faktor kurs sudah menjadi dua variabel yang hampir tidak saling memengaruhi. Di Indonesia, kompetisi pilpres masih sering memicu kekhawatiran bagi pelaku bisnis dan ekonomi. Dalam situasi inilah otoritas moneter lebih dipusingkan dalam mengintervensi pasar, meluncurkan paket stimulus, normalisasi volume ekspor/impor, serta penyesuaian BI rate.

Mengapa demikian? Hal itu terkait dengan trust (kepercayaan) pasar. Di negara yang tingkat korupsinya tinggi seperti Indonesia, pelaku pasar cenderung spekulatif dalam melihat situasi politik pilpres. Pada saat seperti itulah rupiah mengalami guncangan karena keraguan para pelaku ekonomi. Shang-Jin Wei dari Columbia Business School, dalam bukunya yang berjudul Corruption, Composition of Capital Flows, and Currency Crises (2000), mengungkapkan bahwa korupsi telah berdampak buruk terhadap komposisi masuknya modal asing (capital inflows) ke negara-negara berkembang.

Akibatnya, nilai mata uang di negara-negara itu pun merosot tajam. Ketika korupsi menghantam pertahanan investasi asing (berupa kepercayaan dan kepastian hukum), investor, terutama dalam direct investment, memilih pindah ke negara lain. Padahal, situasi keuangan negara yang ditinggal investor tersebut telanjur bergantung pada investasi asing dan utang luar negeri dalam membiayai pembangunan ekonominya.

Ekonom India Sourindra Banerjee mengungkapkan hal yang sama ketika mata uang India (rupee) sempat terjungkal pada Agustus tahun lalu. Menurut dia, korupsi dan kroniisme kaum kapitalis sangat berperan dalam kepanikan ekonomi India (investor menarik dananya ke luar) sehingga rupee merosot tajam terhadap USD. Merosotnya rupee itu merupakan gejala penyakit kronis ekonomi India yang gagal dibasmi pemerintah.

Koruptor dan kroni-kroni kapitalisme waktu itu telah merusak ekonomi India. Kasus-kasus korupsi di India bernilai jutaan USD dan telah menguntungkan para elite politik maupun kroni-kroninya. Hal itulah yang menghancurkan citra India sebagai negara tujuan investasi yang tepercaya. Korupsi telah berdampak buruk terhadap formasi modal, berkurangnya pendapatan pajak, minimnya lapangan kerja, serta rendahnya daya konsumsi masyarakat. Hal-hal itulah yang terkombinasi menggelincirkan nilai kurs rupee.

Rupiah dan Moralitas Ekonomi

Salah satu ciri pembangunan ekonomi pada era modernisme, aspek moral sering diabaikan para pengambil kebijakan. Ekonomi modern hanya menekankan pada profit dan pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif tanpa berusaha mengukurnya lewat tingkat integritas penyelenggara negara plus kualitas hidup warga negara. Padahal, korupsi telah banyak merusak tatanan dan kualitas ekonomi sekaligus melemahkan daya tahan rupiah. Rakyat yang seharusnya bisa menikmati hasil-hasil pembangunan yang bermutu tinggi ternyata sering dihadapkan pada proyek-proyek pemerintah yang berkualitas rendah.

Anggaran proyek sering menjadi objek bancakan oleh oknum-oknum elite politik dan birokrat yang berkongkalikong dengan pengusaha hitam. Moral ekonomi, yang di dalamnya seharusnya terdapat budaya kerja keras, kejujuran, ketulusan, dan produktivitas tinggi, justru kian terpuruk. Para oknum yang korup tidak akan sanggup menjalankan roda ekonomi secara progresif dan bermoral. Mereka justru sering menghambat orang-orang yang idealis untuk berkarya di pemerintahan.

Jadi, aneh rasanya membahas solusi krisis rupiah saat kejahatan ekonomi berskala besar belum tuntas diungkap dan diadili. Misalnya, kasus BLBI (sejak 1998) yang sampai sekarang masih menyisakan buron. Lalu, kasus bailout Bank Century (sejak 2008) yang hingga kini sidangnya belum menyentuh pengambil kebijakan. Juga, kasus Hambalang, kasus suap SKK Migas, dan seterusnya. Belum lagi kasus-kasus korupsi di berbagai instansi pusat dan daerah. Bukankah anjloknya rupiah pada 1997 disebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian karena kolusi dan korupsi?

Sebagaimana diakui pembuat UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, konsideran undang-undang itu menyatakan: Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini (Orde Baru), selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, korupsi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Jadi, kita tidak mungkin menaikkan pertumbuhan ekonomi jika korupsi masih terus merajalela di tubuh birokrasi. Apalagi korupsi di level elite biasanya sulit terdeteksi. Para pelakunya tidak lagi melakukan korupsi secara konvensional, melainkan korupsi secara sistemis melalui konspirasi politik dan hukum dalam membuat kebijakan yang membawa keuntungan bagi si pembuat kebijakan serta kelompoknya. Para pelakunya pun berusaha mengkreasi suatu sistem pertanggungjawaban kebijakan yang kabur dan menyiapkan celah untuk meloloskan diri dari jerat hukum (Croall, 1993).

Oknum birokrat bisa saja bekerja sama dengan korporasi swasta dalam mengemplang uang negara. Misalnya, melalui isu bantuan sosial atau darurat ekonomi, para oknum birokrat menggelontor dana dari kas negara ke korporasi dengan format bantuan atau pinjaman. Lalu, pemilik atau pengelola korporasi dengan bebas menggunakan dana itu untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Apalagi mereka suka menghamburkan uangnya di luar negeri. Hal itu juga ikut melemahkan rupiah. Inilah tantangan bagi presiden mendatang.